Akses Pangan di Provinsi Jawa Timur

terus meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Berbagai riset ditujukan untuk dapat memenuhi bibit-bibit padi yang unggul sehingga dapat meningkatkan produktivitas dari luas lahan yang ada.

4.4 Akses Pangan di Provinsi Jawa Timur

Salah satu faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan selain ketersediaan pangan adalah akses pangan. Meskipun suatu daerah memiliki persediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, namun jika tidak mampu mengakses pangan tersebut maka tidak akan dapat mencapai ketahanan pangan. Sebaliknya, suatu daerah yang tidak memiliki sumberdaya sebagai penghasil bahan pangan, namun masih dapat memenuhi kebutuhan pangannya jika memiliki akses yang cukup kuat untuk mendapatkan makanan. Faktor yang menentukan akses pangan diantaranya adalah pendapatan regional yang tercermin melalui Produk Domestik Regional Bruto PDRB, stabilitas harga, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. PDRB menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi pendekatan yaitu produksi, pengeluaran dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan dan sumber pendapatan. PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah upahgaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung neto yang diperoleh. Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah seperti provinsi atau kabupaten. Fenomena dan perilaku ekonomi dari berbagai pelaku ekonomi dapat dilihat dari data PDRB. Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dan direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, diharapkan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan regional suatu daerah dan menimbulkan multiplier effect terhadap perekonomian Jawa Timur. Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, sebab kontribusi Produk Domestik Regional Bruto PDRB Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto PDB Nasional mencapai sekitar 16 persen. PDRB Jawa Timur baik Atas Dasar Harga Berlaku ADHB maupun Atas Dasar Harga Konstan ADHK pada periode 2002-2008 menunjukkan kecenderungan terus meningkat sejalan dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian. Pada tahun 2002 PDRB Jawa Timur menurut ADHB sebesar 267,158 triliun rupiah, yang kemudian meningkat di tahun 2008 mencapai 621,582 triliun rupiah. PDRB ADHK juga mengalami kenaikan menjadi 304,799 triliun rupiah pada tahun 2008 yang pada tahun 2002 sebesar 218,452 triliun rupiah Tabel 7. Tabel 7 PDRB Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 Atas Dasar Harga Berlaku milyar Atas Dasar Harga Konstan milyar 2002 267.157,72 218.452,28 2003 300.609,86 228.884,34 2004 341.065,25 242.228,77 2005 403.392,35 256.374,93 2006 470.627,49 271.244,67 2007 534.919,33 287.817,72 2008 621.581,96 304.798,97 Tahun PDRB Sumber : BPS, diolah. Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan sembilan kota. Masing- masing daerah di Provinsi Jawa Timur mempunyai karakteristik alam, sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan produktivitas perekonomian antar wilayah yang satu berbeda dengan wilayah lainnya. Nilai tambah bruto Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang paling besar pangsanya dalam pembentukan nilai tambah bruto Jawa Timur. Ketiga sektor tersebut adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Tabel 8 menunjukkan bahwa mulai tahun 2006, terjadi pertukaran posisi antara sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi industri pengolahan mengalami penurunan, salah satu penyebabnya adanya krisis BBM pada tahun 2005. Sebagaimana diketahui, bahwa sektor industri adalah sektor yang sangat tergantung pada BBM, sehingga jika ada kenaikan harga BBM akan berpengaruh pada sektor industri. Tabel 8 Struktur PDRB di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 persen Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pertanian 19,04 18,24 17,58 17,24 17,16 16,72 16,57 Pertambangan dan Penggalian 2,06 2,00 1,93 2,01 2,06 2,11 2,17 Industri Pengolahan 29,31 29,50 29,61 29,99 29,26 28,75 28,49 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,62 1,76 2,05 1,89 1,86 1,92 1,91 Konstruksi 3,81 3,74 3,68 3,60 3,46 3,36 3,34 Perdagangan , Hotel dan Restoran 25,35 26,08 26,71 27,17 27,96 28,81 29,36 Pengangkutan dan Komunikasi 5,67 5,71 5,52 5,53 5,58 5,55 5,32 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 4,79 4,59 4,60 4,53 4,53 4,62 4,68 Jasa - Jasa 8,35 8,38 8,32 8,04 8,14 8,15 8,15 Produk Domestik Regional Bruto 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS Kontribusi sektor PDRB terhadap total PDRB untuk masing-masing kabupatenkota di Jawa Timur sangat bervariatif. Potensi yang beragam di masing-masing wilayah menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik struktur perekonomian yang berbeda di setiap kabupatenkota. Sebagai contoh aktivitas perekonomian di wilayah kabupaten pada umumnya didorong oleh sektor pertanian dan sektor industri sedangkan wilayah perkotaan oleh sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Beberapa kabupaten didominasi hampir 50 persen oleh sektor pertanian seperti Kabupaten Banyuwangi, dan kabupaten-kabupaten di kawasan Madura. Kontribusi dari sektor pertanian di wilayah kota secara umum sangat kecil, kecuali Kota Batu. Sebagian besar wilayah kota didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pangsa terbesar pada PDRB tahun 2008 disumbangkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang kemudian disusul sektor industri, namun sebagian besar wilayah Jawa Timur masih berbasis sektor pertanian. Sedangkan sektor perdagangan dan industri pengolahan hanya menjadi basis di beberapa kabupatenkota saja. Selain faktor pendapatan, akses pangan juga ditentukan oleh stabilisasi harga. Dalam hal ini angka inflasi dapat mencerminkan tingkat stabilisasi harga di tingkat konsumen. Meskipun banyak komoditi yang mempunyai kontribusi terhadap inflasi, namun karena lebih dari 50 persen pendapatan masih digunakan untuk pangan, maka pengaruh perubahan harga pangan terhadap inflasi diduga cukup besar. Dalam penelitian ini, angka inflasi yang digunakan adalah inflasi yang terjadi pada PDRB kabupatenkota, karena keterbatasan data inflasi di beberapa kabupatenkota. Gambar 10 menunjukkan fluktuasi harga yang terjadi pada PDRB di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2005 inflasi PDRB mencapai nilai tertinggi diantara tahun 2002 sampai 2008. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebijakan kenaikan BBM di tahun 2005. 10,04 7,39 7,21 11,75 10,27 7,12 9,73 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Persen Tahun Gambar 10 Deflator PDRB Provinsi Jawa Timur 2002-2008. Akses pangan juga ditentukan oleh pendidikan. Dengan adanya pendidikan yang cukup baik, masyarakat dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk menentukan jenis pangan yang dikonsumsi sehingga cukup dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Pemilihan dan penentuan dalam penyusunan hidangan konsumsi makanan bukanlah sesuatu yang secara otomatis diturunkan, dalam pengertian heriditer. Susunan hidangan adalah hasil dari manifestasi proses belajar. Susunan hidangan di masyarakat dapat diubah dengan proses pendidikan gizi, penerangan dan penyuluhan meskipun mengubah suatu susunan hidangan adalah relatif sulit. Penelitian ini menggunakan rata-rata lama sekolah RLS sebagai cerminan pendidikan yang diraih oleh masyarakat. Rata-rata lama sekolah di Jawa Timur masih dibawah standar pendidikan sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah yaitu berada pada kisaran enam tahun. Namun nilai ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun Gambar 11 . Peningkatan rata-rata lama sekolah ini juga terjadi hampir di semua kabupatenkota di Provinsi Jawa Timur. 6,50 6,76 6,95 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7.0 2002 2005 2008 Tahun L a m a S e k o l a h Gambar 11 Rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Timur. Faktor lain yang menentukan ketahanan pangan adalah infrastruktur wilayah. Infrastruktur akan meningkatkan kemudahan dalam distribusi barang pangan dari produsen ke konsumen. Dengan adanya kemudahan distribusi barang pangan, maka harga yang dikenakan kepada konsumen akan lebih murah. Hal ini akan mendukung pencapaian ketahanan pangan rumah tangga. Adapun dua indikator infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalan dan pasar. Data infrastruktur jalan yang digunakan adalah panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang di Provinsi Jawa Timur. Pada umumnya terjadi peningkatan panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 panjang jalan yang berkualitas baik dan sedang adalah sepanjang 25.858 km. Tahun 2005 terjadi peningkatan panjang jalan berkualitas baik dan sedang menjadi 26.040 km. Pada akhir periode penelitian yaitu tahun 2008 panjang jalan berkualitas baik dan sedang meningkat menjadi 32.563,51 km Lampiran 6. Jumlah pasar merupakan salah satu indikator kemudahan masyarakat untuk akses pembelian bahan makanan. Berdasarkan data PODES terlihat bahwa jumlah pasar mengalami peningkatan baik di pedesaan maupun perkotaan Lampiran 7. Peningkatan jumlah pasar ini akan meningkatkan kemudahan akses rumah tangga dalam mencukupi kebutuhan pangan yang beragam.

4.5 Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Timur