Determinan Ketahanan Pangan Rumah Tangga

5.2 Determinan Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Analisis regresi logistik ordinal Dalam menentukan determinan ketahanan pangan rumah tangga, digunakan. Analisis regresi logistik ordinal digunakan untuk memeriksa hubungan antara peubah respon yang biasanya terdiri atas data kualitatif dengan peubah-peubah penjelas yang terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Regresi Logistik Ordinal dalam penelitian ini melibatkan peubah respon dengan empat kategori dan delapan peubah penjelas. Asumsi Regresi Logistik Ordinal mensyaratkan bahwa peubah penjelas harus bebas dari multikolinieritas. Lampiran 16 menunjukkan bahwa peubah penjelas dalam model Regresi Logistik Ordinal memiliki VIF dibawah 10 sehingga dapat disimpulkan peubah bebas multikolinieritas. Kombinasi pasangan yang diobservasi adalah sebanyak 301.845.235 yang merupakan kombinasi pasangan dari empat status ketahanan pangan rumah tangga. Nilai concordant adalah sebesar 71,6 persen menunjukkan bahwa 71,6 persen pengamatan dengan kategori tahan pangan mempunyai peluang lebih besar pada kategori tahan pangan. Nilai disconcordant sebesar 28 persen menunujukkan 28 persen pengamatan dengan kategori selain tahan pangan mempunyai peluang lebih besar pada kategori tahan pangan. Ties merupakan persentase pengamatan dengan peluang tahan pangan sama dengan tidak tahan pangan yaitu sebesar 0.4 persen. Semakin tinggi nilai concordant maka model semakin baik mengestimasi. Evaluasi model dilakukan dengan melihat likelihood ratio test pada G statistic Lampiran 17. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh hasil nilai statistik G sebesar 5628,255 dengan p value sebesar 0,000. Hal ini berarti H ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu peubah yang dapat menjelaskan persentase rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik. Model Regresi Logistik Ordinal yang dibentuk dari 8 peubah penjelas menunjukkan ada satu peubah yang tidak signifikan yaitu jenis kelamin kepala rumah tangga dengan p value 0,9980 Tabel 12. Hasil ini sejalan dengan studi Mallick dan Rafi 2009 yang meneliti kerawanan pangan di Bangladesh dan menemukan bahwa gender kepala rumah tangga tidak nyata dalam menentukan kerawanan pangan rumah tangga. Adapun tujuh peubah lainnya yaitu daerah, umur, pendidikan, jumlah ART, pendapatan perkapita, lapangan usaha dan dummy penerimaan RASKIN signifikan dengan tingkat α tertentu. Correct Classification Rate CCR menunjukkan seberapa tepat model dapat memprediksi status ketahanan pangan rumah tangga. CCR dalam penelitian ini adalah sebesar 0,5154. Hal tersebut menunjukkan ketepatan model memprediksi status ketahanan pangan rumah tangga adalah sebesar 51,54 persen. Tabel 12 Hasil estimasi determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur Statistik Uji G Const1 -1,4805 0,0000 G = 5.628,255 0,5154 Const2 0,4081 0,0000 P-Value = 0,0000 Const3 1,4034 0,0000 GenderKRT Laki-laki 0,0001 0,9980 1,0001 Daerah Perkotaan -0,2020 0,0000 0,8171 UmurKRT 0,0036 0,0000 1,0036 PendidikanKRT Menengah 0,0931 0,0020 1,0975 Tinggi 0,1319 0,0730 1,1409 JumlahART -0,1507 0,0000 0,8601 Pperkapita 0,0036 0,0000 1,0036 Lapangan Usaha Pertanian 0,1558 0,0000 1,1686 Raskin Menerima -0,1601 0,0000 0,8521 Predictor Coef P value Odds Ratio CCR Sumber : Pengolahan data Keterangan : nyata pada α 10 persen, nyata pada α 5 persen, nyata pada α 1 persen Daerah tempat tinggal rumah tangga berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini berbeda dengan studi Garrett dan Ruel 1999 yang menyatakan bahwa determinan kerawanan pangan di desa maupun di kota memiliki persamaan. Dalam penelitian ini terlihat bahwa peluang rumah tangga di perkotaan untuk meningkatkan status ketahanan pangannya hanya 0,8171 kali dibandingkan masyarakat perdesaan. Daerah dengan kategori perdesaan memiliki peluang yang lebih besar dalam meningkatkan ketahanan pangannya dibanding daerah perkotaan. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk perkotaan memiliki status ketahanan pangan yang kurang pangan, yaitu rumah tangga dengan kalori yang kurang dari 80 persen dari yang dianjurkan namun pangsa pangannya kurang dari 60 persen. Rumah tangga di perkotaan secara ekonomi lebih baik dengan pangsa pangan yang kurang dari 60 persen, namun kecukupan kalorinya masih banyak yang dibawah 80 persen 1.600 kkalhari dari yang dianjurkan. Penelitian ini sejalan dengan studi Nord 2000 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan ketahanan pangan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Biaya hidup di pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan. Hal ini menyebabkan rumah tangga perdesaan memiliki kemudahan dalam akses pangan. Tercapainya akses pangan yang merupakan salah satu determinan ketahanan pangan akan dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Umur kepala rumah tangga signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Semakin bertambah umur kepala rumah tangga maka kehidupan lebih mapan dan lebih baik sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan studi Bogale dan Shimelis 2009 yang menunjukkan bahwa semakin matang umur kepala rumah tangga akan semakin meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Berdasarkan odds ratio, kenaikan satu tahun umur kepala rumah tangga akan dapat meningkatkan peluang untuk memperbaiki status ketahanan pangan meskipun relatif kecil yaitu 1,0036 kali dibandingkan sebelumnya. Pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga secara signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil studi Demeke dan Zeller 2010 yang menunjukkan bahwa pendidikan kepala rumah tangga menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga maka ketahanan pangan rumah tangganya akan semakin baik. Nilai odds ratio menunjukkan bahwa pada rumah tangga yang kepala rumah tangganya berpendidikan menengah SMP dan SMU akan memiliki peluang ketahanan pangan yang lebih baik sebesar 1,0975 kali dibandingkan pendidikan dasar. Sedangkan rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangganya tinggi akan memiliki peluang memiliki ketahanan pangan yang lebih baik sebesar 1,1409 kali dibandingkan pendidikan dasar. Hal ini juga sesuai dengan analisis data panel yang menunjukkan rata-rata lama sekolah di suatu sekolah akan meningkatkan ketahanan pangan. Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Bertambahnya satu orang anggota rumah tangga, akan mengurangi peluang rumah tangga mencapai ketahanan pangan akan berkurang menjadi 0,8601 kali dibandingkan jika anggota rumah tangganya tidak bertambah. Kondisi ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller 2010 yang menyatakan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Ukuran rumah tangga merupakan peubah yang menentukan distribusi kecukupan pangan dan gizi secara internal. Adanya asumsi kendala anggaran budget constraint akan menyebabkan bertambahnya anggota rumah tangga akan menurunkan derajat kecukupan pangan diantara anggota rumah tangga. Hal ini akan menyebabkan potensi rawan pangan akan lebih tinggi terjadi pada rumah tangga yang memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih banyak. Pendapatan perkapita yang merupakan proxy dari pengeluaran per kapita merupakan peubah ekonomi yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini disebabkan dengan adanya peningkatan pendapatan akan meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Odds ratio dari pengeluaran perkapita adalah sebesar 1,0036. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan pendapatan perkapita perbulan akan menghasilkan peningkatan peluang rumah tangga tahan pangan dibandingkan sebelumnya. Klasikasi rumah tangga berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga dibagi menjadi rumah tangga pertanian dan bukan pertanian. Rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangganya sebesar 1,1686 kali lebih banyak dibandingkan rumah tangga non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari persentase sumber konsumsi rumah tangga pertanian yang berasal dari produksi sendiri adalah sebesar 17,22 persen, sedangkan rumah tangga non pertanian hanya 7,38 persen. Kebijakan subsidi terarah targeted food subsidy berupa barang masih diperlukan untuk mengurangi beban pengeluaran dalam mencukupi kebutuhan pokok rumah tangga yang rawan, kurang maupun rentan pangan. Program beras keluarga miskin RASKIN adalah implementasi kebijakan subsidi pangan terarah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Secara vertikal, program RASKIN akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan ketahanan pangan rumah tangga. Secara horizontal, program RASKIN merupakan bentuk transfer energi yang mendukung program perbaikan gizi, peningkatan kesehatan, peningkatan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Dummy penerimaan RASKIN ternyata berpengaruh signifikan dalam penentuan ketahanan pangan rumah tangga. Nilai odds ratio sebesar 0,8521 menunjukkan bahwa jika ada rumah tangga yang mendapat RASKIN maka peluang dikategorikan tahan pangan berkurang menjadi 0,8521 persen dibandingkan yang tidak mendapatkan RASKIN. Gambar 19 menunjukkan persentase rumah tangga yang menerima raskin berdasarkan status ketahanan pangan rumah tangga. Gambar tersebut menunjukkan pada status rawan pangan persentase rumah tangga yang menerima raskin sangat besar yaitu 77 persen. Hal ini mendukung dengan hasil regresi logistic ordinal yang menyatakan bahwa jika ada rumah tangga yang mendapat RASKIN maka peluang dikategorikan tahan pangan berkurang lebih kecil dibandingkan yang tidak mendapat RASKIN. 77,20 49,49 77,18 45,54 22,80 50,51 22,82 54,46 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Rawan Kurang Rentan Tahan Menerima Tidak P e r s e n Status Ketahanan Pangan Gambar 19 Alokasi RASKIN berdasarkan status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan