Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Timur

panjang jalan berkualitas baik dan sedang meningkat menjadi 32.563,51 km Lampiran 6. Jumlah pasar merupakan salah satu indikator kemudahan masyarakat untuk akses pembelian bahan makanan. Berdasarkan data PODES terlihat bahwa jumlah pasar mengalami peningkatan baik di pedesaan maupun perkotaan Lampiran 7. Peningkatan jumlah pasar ini akan meningkatkan kemudahan akses rumah tangga dalam mencukupi kebutuhan pangan yang beragam.

4.5 Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Timur

Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 disusun berdasarkan Indeks Ketahanan Komposit DKP, 2009. Pilar utama dalam penyusunan Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 ada tiga yaitu: 1 ketersediaan pangan, 2 akses terhadap pangan dan 3 pemanfaatan pangan. Ketiga pilar ini dijabarkan menjadi sembilan indikator yaitu: 1. Ketersediaan pangan yang terdiri dari rasio normatif per kapita terhadap padi+jagung+ubi kayu+ubi jalar 2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan penduduk miskin 3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai 4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 5. Angka harapan hidup 6. Berat badan balita di bawah standar 7. Perempuan buta huruf 8. Persentase rumah tangga tanpa air bersih 9. Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan Ketersediaan pangan dijabarkan dalam indikator pertama. Akses terhadap pangan dijabarkan dalam indikator kedua, ketiga dan keempat. Adapun pemanfaatan pangan terdiri dari indikator kelima sampai kesembilan. Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 menunjukkan ada lima kabupaten di Jawa Timur yang rawan pangan DKP, 2009 dengan prioritas yang berbeda. Kelima wilayah tersebut adalah Sampang, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Probolinggo Gambar 12. Secara umum wilayah yang rawan pangan adalah wilayah yang terletak di kepulauan kecuali Kabupaten Probolinggo. Masuknya kabupaten Probolinggo dalam prioritas ketiga dalam Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009 adalah karena tingginya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yaitu sebesar 25,49 persen, jauh di atas rata-rata Provinsi yaitu 18,20 persen. Disamping itu, angka harapan hidup di Kabupaten Probolinggo juga masih rendah yaitu sebesar 60,33 tahun sedangkan rata-rata angka harapan hidup di Provinsi Jawa Timur adalah 68,90 tahun DKP, 2009. Kedua hal ini merupakan indikator yang menyebabkan Kabupaten Probolinggo masuk ke dalam prioritas ketiga di dalam Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009. Keterangan : Kota 01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri 02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar Prioritas 1 03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang Prioritas 2 04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo Prioritas 3 05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan Prioritas 4 06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto Prioritas 5 07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun Prioritas 6 08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya 09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu 10 Banyuwangi 20 Magetan Kabupaten Sumber : FSVA, 2009 Gambar 12 Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009. Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Menurut hukum Engel, pangsa pengeluaran untuk belanja pangan rumah tangga miskin lebih besar dari rumah tangga kaya. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan Deaton dan Muellbauer, 1980. Berdasarkan penghitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi Jawa Timur persentase penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar. Namun, persentase penduduk yang rawan pangan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2002 persentase penduduk rawan pangan adalah sebesar 16,66 persen yang kemudian menurun pada tahun 2005 menjadi 12,04 persen dan pada tahun 2008 menjadi 11,63 Tabel 9. Penurunan persentase rumah tangga yang rawan pangan di Jawa Timur diikuti dengan meningkatnya rumah tangga yang tahan pangan. Pada tahun 2002, rumah tangga tahan pangan adalah sebesar 23,65 persen. Nilai ini meningkat pada tahun 2005 menjadi sebesar 35,90 persen dan kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi sebesar 36,30 persen. Tabel 9 Persentase status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur Status Rumah Tangga Kota Desa Total Kota Desa Total Kota Desa Total Rawan Pangan 13,85 18,76 16,66 9,26 13,95 12,04 9,87 12,96 11,63 Kurang Pangan 13,50 6,97 9,77 18,49 10,17 13,55 18,91 9,12 13,33 Rentan Pangan 41,72 56,06 49,92 26,82 46,51 38,51 26,52 47,97 38,73 Tahan Pangan 30,93 18,21 23,65 45,43 29,37 35,90 44,71 29,94 36,30 2008 2002 2005 Sumber : BPS, diolah Berdasarkan latar belakang daerah tempat tinggal, ternyata persentase rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Pada tahun 2008, rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan sebesar 12,96 persen sedangkan di perkotaan 9,87 persen. Sebaliknya, rumah tangga yang tahan pangan di perkotaan lebih banyak daripada di pedesaan. Rumah tangga tahan pangan di perkotaan pada tahun 2008 mencapai 44,71 persen sedangkan rumah tangga tahan pangan di pedesaan hanya sebesar 29,94 persen. Hal ini terkait dengan sarana infrastruktur yang digunakan untuk mengklasifikasikan apakah pedesaan suatu daerah dikategorikan sebagai pedesaan atau perkotaan. Terbatasnya sarana di pedesaan menyebabkan tingginya kerawanan pangan rumah tangga. Persentase rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan. Rumah tangga yang diidentifikasi rentan pangan ini pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan kalori minimum, namun secara ekonomi memiliki pangsa pengeluaran pangan yang masih besar. Biaya hidup yang lebih murah di pedesaan menjadi salah satu penyebab terpenuhinya kebutuhan kalori meski pangsa pangannya lebih besar. Rumah tangga yang kurang pangan di perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan. Hal ini menunjukkan rumah tangga di perkotaan masih banyak yang tidak terpenuhi kebutuhan kalori minimumnya meski dari sisi ekonomi pangsa pangannya cukup kecil. Rumah tangga perkotaan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan non pangan meski kebutuhan kalorinya di bawah standar minimum yang dianjurkan. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, terlihat bahwa rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan Gambar 13. Hal ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller 2010 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga. Kepala rumah tangga yang memiliki pendidikan cukup baik, akan lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan sehingga mampu mendapatkan income yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pendidikan akan dapat meningkatkan produktivitas, yang selanjutnya mampu meningkatkan output sehingga dapat meningkatkan income. Pendidikan yang cukup baik juga akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki sehingga dapat digunakan untuk menentukan pola makanan yang baik dan bergizi sehingga terhindar dari kerawanan pangan. 40,12 37,56 12,04 9,60 0,67 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Tidak Lulus SD SD SLTP SLTA PT Tingkat Pendidikan P e r s e n Gambar 13 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga adalah sumber penghasilan utama rumah tangga. Sumber penghasilan utama rumah tangga dapat didekati dengan lapangan usaha kepala rumah tangga. Secara umum, setiap rumah tangga di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya menganut sistem ‘single budget’ dimana kebutuhan seluruh anggota rumah tangga dipenuhi melalui satu pengelolaan manajemen keuangan. Kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan istrisuami dan anggota rumah tangga lainnya bersifat membantu mencari nafkah. Oleh karena itu, lapangan usaha yang ditekuni oleh kepala rumah tangga dijadikan acuan dalam penentuan kategori sektor dalam penelitian ini. Diantara penduduk rawan pangan pada tahun 2008, ternyata persentase terbesar adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 44,35 persen Gambar 14. Hal ini merupakan suatu kondisi yang ironis, mengingat pertanian adalah salah satu lapangan usaha yang menghasilkan bahan makanan namun rumah tangga di sektor pertanian merupakan rumah tangga yang rawan pangan. Apabila kondisi ini terjadi terus menerus maka lapangan usaha pertanian akan banyak ditinggalkan oleh masyarakat untuk beralih ke lapangan usaha lainnya yang memberikan pendapatan. Akibatnya, hasil-hasil pertanian yang merupakan salah satu pendukung ketahanan pangan nasional dan sebagai jaminan ketersediaan pangan, ketersediannya akan terancam. Indonesia akan terus tergantung kepada impor bahan makanan dari negara lain sehingga tidak memiliki kemandirian pangan. tidak bekerja 12,14 pertanian 44,35 industri 15,23 jasa 28,29 Gambar 14 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur persen Berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangganya, rumah tangga dibedakan menjadi enam kategori yaitu : 1 berusaha sendiri, 2 berusaha dibantu buruh tidak tetapburuh tidak dibayar, 3 berusaha dibantu buruh tetapburuh dibayar 4 buruhkaryawanpegawai, 5 pekerja bebas dan 6 pekerja tidak dibayar. Gambar 15 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga. Status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetaptidak dibayar merupakan status pekerjaan dengan persentase tertinggi dalam rumah tangga rawan pangan yaitu sebesar 25,70 persen. Tingginya persentase rumah tangga rawan pangan pada status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetaptidak dibayar menunjukkan tingginya resikonya terkena kerawanan pangan pada status tersebut. Status berusaha dengan dibantu buruh tidak tetaptidak dibayar sebagian besar merupakan pekerja informal dengan jaminan kepastian pekerjaan lebih rendah dibandingkan status lainnya. Kondisi ini disebabkan resiko yang harus ditanggung oleh para pekerja dengan status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetaptidak dibayar lebih besar dibandingkan status pekerjaan lainnya. Tidak bekerja 12,12 Berusaha sendiri 20,71 Berusaha dibantu buruh tidak tetaptidak dibayar 25,70 Berusaha dibantu buruh tetapdibayar 2,61 Buruh karyawan 21,95 Pekerja bebas 15,40 Pekerja tidak dibayar1,51 Gambar 15 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan di Provinsi Jawa Timur persen. Berdasarkan klasifikasi silang Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. 2000, maka dapat dibuat peta tematik kerawanan pangan. Peta ini disusun untuk memberikan gambaran dinamika ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur. Peta ini disusun dengan tiga gradasi warna yang menunjukkan semakin gelap warna maka tingkat persentase rumah tangga rawan pangan semakin besar. Perbandingan dinamika kerawanan pangan dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu: 1 membandingkan kondisi kerawanan pangan 2002 dan 2005, 2 membandingkan kondisi kerawanan pangan 2005 dan 2008. Gambar 16 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan yang dibandingkan antara tahun 2002 dan 2005. Perbandingan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1 wilayah dengan kondisi membaik yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari gelap ke arah yang lebih terang, 2 wilayah dengan kondisi memburuk yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari terang ke arah yang lebih gelap, 3 wilayah yang tidak berubah warnanya. Sebanyak 17 kabupatenkota masuk dalam kelompok pertama, yaitu kelompok yang membaik dengan perubahan gradasi dari gelap ke warna yang semakin terang. Kelompok kedua terdiri dari lima kabupatenkota. Adapun kelompok ketiga terdiri dari 16 kabupatenkota Lampiran 13. Keterangan : Kota 01 Pacitan 08 Lumajang 15 Sidoarjo 22 Bojonegoro 71 Kediri 75 Pasuruan 02 Ponorogo 09 Jember 16 Mojokerto 23 Tuban 72 Blitar 76 Mojokerto 03 Trenggalek 10 Banyuwangi 17 Jombang 24 Lamongan 73 Malang 77 Madiun 04 Tulungagung 11 Bondowoso 18 Nganjuk 25 Gresik 74 Probolinggo 78 Surabaya 05 Blitar 12 Situbondo 19 Madiun 26 Bangkalan 79 Batu 06 Kediri 13 Probolinggo 20 Magetan 27 Sampang 07 Malang 14 Pasuruan 21 Ngawi 28 Pamekasan 29 Sumenep Kabupaten Gambar 16 Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur tahun 2002 dan 2005. 2002 2005 Gambar 17 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan yang dibandingkan antara tahun 2005 dan 2008. Perbandingan persentase rumah tangga rawan pangan pada tahun 2005 dan tahun 2008 juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1 wilayah dengan kondisi membaik yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari gelap ke arah yang lebih terang, 2 wilayah dengan kondisi memburuk yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari terang ke arah yang lebih gelap, 3 wilayah yang masih dalam kelompok yang sama atau tidak berubah warnanya. Sepuluh kabupatenkota masuk dalam kelompok pertama, yaitu kelompok yang membaik dengan perubahan gradasi dari gelap ke warna yang semakin terang. Kelompok kedua terdiri dari enam kabupatenkota. Adapun kelompok ketiga terdiri dari 22 kabupatenkota Lampiran 13. Persentase rumah tangga yang rawan pangan pada Gambar 16 dan 17 mengalami penurunan dari tahun ke tahun menuju suatu kondisi yang konvergen. Namun hal ini tidak terjadi pada wilayah kepulauan. Persentase rumah tangga yang rawan pangan di wilayah kepulauan masih cukup tinggi yaitu lebih dari 20 persen. Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa secara konsisten ada daerah yang selalu membaik dengan perubahan gradasi warna dari arah gelap ke arah yang lebih terang. Daerah yang masuk kelompok ini terdiri dari 11 kabupatenkota yaitu : Ponorogo, Trenggalek, Blitar, Jember, Mojokerto, Nganjuk, Magetan, Bojonegoro, Tuban, Gresik dan Bangkalan. Daerah ini mampu menurunkan kerawanan pangan karena didukung oleh meningkatnya produksi padi sebagai food availability, meningkatnya rata-rata lama sekolah yang merupakan stability dan bertambahnya access to food baik dari sisi panjang jalan maupun jumlah pasar Lampiran 3, 6, 7 dan 8. Gambar 16 dan 17 juga menunjukkan bahwa terdapat daerah yang secara konsisten semakin memburuk yang ditunjukkan dengan perubahan gradasi dari warna terang ke arah yang lebih gelap. Daerah yang termasuk dalam kategori ini hanya ada satu yaitu Kabupaten Pamekasan. Kabupaten Pamekasan yang tidak dapat menurunkan persentase rumah tangga yang rawan pangan antara lain disebabkan oleh menurunnya produksi padi di tahun 2005 Lampiran 3 dan rusaknya infrastruktur jalan pada tahun 2008 Lampiran 7. Kedua hal ini mengurangi food availability dan access to food. Keterangan Kota 01 Pacitan 08 Lumajang 15 Sidoarjo 22 Bojonegoro 71 Kediri 75 Pasuruan 02 Ponorogo 09 Jember 16 Mojokerto 23 Tuban 72 Blitar 76 Mojokerto 03 Trenggalek 10 Banyuwangi 17 Jombang 24 Lamongan 73 Malang 77 Madiun 04 Tulungagung 11 Bondowoso 18 Nganjuk 25 Gresik 74 Probolinggo 78 Surabaya 05 Blitar 12 Situbondo 19 Madiun 26 Bangkalan 79 Batu 06 Kediri 13 Probolinggo 20 Magetan 27 Sampang 07 Malang 14 Pasuruan 21 Ngawi 28 Pamekasan 29 Sumenep Kabupaten Gambar 17 Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur tahun 2005 dan 2008. 2005 2008 Berdasarkan uraian di atas, food availability, access to food dan stability merupakan faktor yang harus dicapai untuk menurunkan persentase rumah tangga rawan pangan di sepanjang waktu. Faktor-faktor tersebut harus terjaga stabilitasnya sehingga penurunan persentase rumah tangga rawan pangan dapat tercapai sepanjang waktu.

4.6 Hubungan Kemiskinan dan Kerawanan Pangan