Pendahuluan Pola Pengembangan Perkebunan

131

III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT

1. Pendahuluan

Kebijakan policy adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang menyangkut aparatur negara, tapi juga governance yang menyentuk berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, hingga masyrakat madani civil society. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan- keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara Ellis, 1994; Suharto, 2007. Definisi yang lebih sederhana menyebutkan kebijakan publik tidak lebih dari pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; whatever government choose to do or not to do Bridgman and Davis, 2004. Setiap peraturan atau perundang-undangan adalah kebijakan, tapi tidak semua kebijakan menjadi peraturan atau menjadi undang-undang. Secara garis besar, kebijakan publik dapat dimaknai sebagai 1 proses pengambilan keputusan, 2 proses manajerial dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan, 3 intervensi pemerintah dan 4 interaksi antara negara dengan rakyat Nogi, 2003. Dengan dasar klasifikasi di atas, maka efisiensi kebijakan publik dapat dilihat di ranah mana formula kebijakan dibuat pemerintah, pelaku, masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan.

2. Pola Pengembangan Perkebunan

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.357 tahun 2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, pengembangan usaha perkebunan harus menyertakan masyarakat petani perkebunan dengan pola: 132 a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan; modal usaha 100 dimiliki oleh Koperasi Usaha Perkebunan. b. Pola Patungan Koperasi dengan Investor; saham 65 dimiliki koperasi dan 35 dimiliki investorperusahaan. c. Pola Patungan Investor Koperasi; saham 80 dimiliki investorperusahaan dan minimal 20 dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap. d. Pola BOT Build, Operate and Transfer; pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investorperusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi. e. Pola BTN Bank Tabungan Negara; investorperusahaan membangun kebun dan atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan kepada peminatpemilik yang tergabung dalam koperasi. f. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan. Selanjutnya, pada UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disebutkan Perkebunan diselenggarakan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta keadilan Pasal 2; dan perkebunan mempunyai fungsi: a. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan c. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa” Pasal 4. Salah satu pola pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan undang-undang tersebut dan cukup menarik untuk diaplikasikan saat ini menurut Tryfino 2008 adalah pola Transmigration Corporate Farming TFC. Pola ini adalah pola penyempurnaan dari pengembangan perkebunan inti plasma sebelumnya, dimana para petani plasma hanya mengerjakan lahannya saja dan tidak melibatkan kepemilikan pemerintah daerah dan pusat. Pada pola TFC ini perusahaan inti wajib memberikan 20 sahamnya berupa lahan kepada petani 2 ha per petani, sehingga petani merasa memiliki perusahaan dan akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkan hasilnya yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan juga. Pola ini juga mengadopsi kepentingan 133 pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD, karena perusahaan wajib memberikan 10 sahamnya ke pemerintah daerah. Selain itu di dalam pola ini perusahaan juga memberikan 10 sahamnya ke pemerintah pusat. Tryfino, 2006. Kebijakan teknis terbaru yang terkait dengan perizinan usaha perkebunan telah diatur secara operasional melalui Permentan No.26PermentanOT.14022007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Di dalam peraturan tersebut Pasal 5 dan Pasal 6 disebutkan bahwa untuk usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan lahan lebih dari 25 hektar WAJIB memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya IUP-B, sedangkan untuk luasan lahan kurang dari 25 hektar cukup didaftarkan dengan bukti Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Perkebunan STD-B dari BupatiWalikota. Menurut Fadjar 2006, pola kemitraan saat ini merupakan perubahan struktur yang belum lengkap dan butuh perbaikan. Struktur kemitraan yang diharapkan adalah struktur yang mampu memperbesar peluang dan manfaat usaha sehingga dapat mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani kecil. Bahkan menurut Syam 2006, bentuk kemitraan usaha yang diarahkan pemerintah untuk memberdayakan UKM tidak efektif karena UKM selalu dipandang sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh pengusaha besar untuk mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah dengan mengatasnamakan kemitraan. Oleh karena itu diperlukan alternatif pola pengembangan berupa Jejaring Usaha. Didu 2001 dengan model agrosawit dengan pendekatan sistem menyebutkan bahwa prioritas utama pengembangan agroindustri kelapa sawit adalah peningkatan pendapatan perkebunan dan pendapatan petani. Peran pemerintah daerah masih sangat diharapkan dalam menciptakan kebijakan yang kondusif terutama dalam hal penetapan harga TBS, gajiupah dan perpajakan. Basdabela 2001 mengajukan pola Perusahaan Agroindustri Rakyat PAR sebagai kelembagaan alternatif lain dari lima pola yang ditawarkan oleh pemerintah yang pada intinya mengupayakan pengembangan kebun dan PKS oleh 134 koperasi baik seluruhnya atau sebagian melalui patungan dengan investor. Analisis terhadap kelembagaan pola PAR menunjukkan bahwa pola ini mampu menetralisir dikotomi yang terjadi antara plasma dan inti, memberdayakan dan meningkatkan pendapatan petani serta meningkatkan kredibilitas petani di mata perbankan. Syahza 2010 mengembangkan model agroestate berbasis kelapa sawit ABK untuk percepatan pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam model ABK ini terdapat dua kegiatan bisnis utama. Pertama, kegiatan bisnis membangun kebun dan pabrik industri serta jika diperlukan permukiman petani peserta yang akan dilakukan oleh perusahaan pengembang, Kedua, bisnis mengelola kebun dan pabrik milik petani peserta serta memasarkan hasilnya yang dilakukan oleh badan usaha pengelola yaitu koperasi yang dibentuk oleh petani peserta itu sendiri. Model ABK merupakan konsep pembangunan perkebunan di pedesaan untuk masa datang, konsep ini dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan pengembang. Wigena et al. 2010 merancang model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan berbasis pendekatan sistem dinamis. Model ini diklaim mampu memenuhi aspek biofisik, ekonomi, sosial dan lingkungan serta peningkata kualitas SDM yang menjamin keberlangsungan usaha industri kelapa sawit.. Friedmann dan Douglass 1978 mengembangkan strategi agropolitan untuk pengembangan agroindustri di negara-negara Asia sebagai pendekatan komprehensif yang menyatukan pengembangan desa-kota dengan mengaitkan perkotaan dengan pengembangan perdesaan. Bahkan Douglass 1998 merekomendasikan strategi ini untuk pengembangan industri pertanian di Indonesia. Tacoli 1998 menggunakan pendekatan serupa dengan istilah urban- agriculture dan non-agricultural rural development. Di Indonesia, konsep agropolitan ini kemudian dituangkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang meski sebenarnya sudah diintroduksi pada tahun 2002. Menurut Nugroho 2008, salah satu kendala penerapan agropolitan di Indonesia adalah jarak. Di Jawa, untuk radius pelayanan 5 – 10 km, dengan jumlah penduduk 135 antara 50 – 150 ribu jiwa dan kepadatan minimal 200 jiwakm2 sebagai distrik agropolitan, konsep dan strategi ini mungkin diterapkan, namun sulit untuk daerah-daerah seperti Kalimantan dan Papua.

3. Kebijakan dan Strategi Pemerintah di Bidang Persawitan Nasional