Konstruksi Sosial dalam Film Feature Dokumenter Dongeng Rangkas

menarik film features dokumenter ini, yaitu dari budaya yang turun menurun sebagi penjual dan pembuat tahu, serta mengundang masyarakat pendatang untuk singgah dan menjadi penjual tahu di tanah Rangkasbitung, sehingga menimbulkan banyak persaingan antara penjual dan pembuat tahu. Dari tokoh Kiwong dilihat harus bersaing dengan penjual tahu yang lain, Kiwong harus nekat berjualan di kereta api dan main kucing-kucingan dengan petugas kereta. Dalam proses konstruksi atas realitas sosial di dalam film features dokumenter dongeng rangkas telah terjadi dialetika antara individu mencipatakan masyarakat dan masyarakat mencipatakan individu. Proses dialektika ini melalui eksternalisasi, obyektivitasi dan internalisasi. ketiga proses dialektika ini merupakan gagasan Berger dan Luckman yang memunculkan suatu proses konstruksi atas realtias sosial. Teori ini dilihat dari segi asal muasalnya merupakan hasil dari ciptaan manusia yang melalui interakasi intersubjektif. 1. Tahap Eksternalisasi Eksternalisasi yang mana proses ini merupakan penyesuaian diri terhadap lingkunganya. Dalam hal ini usaha mencurahkan atau ekspresi diri ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan mencurahkan diri ketempat ia berada. Manusia tidak akan dimengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya sendiri, dan menghasilkan suatu dunia. Dalam film features dokumenter dongeng rangkas, terlihat dari dua tokoh Iron dan Kiwong yang melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial yang ada di masyarakat Rangkasbitung, mereka mengikuti tradisi yang ada sebagai penjual dan pembuat tahu. Dimulai dari wawancara peneliti dengan sutradara film Dongeng Rangkas. “... Kita coba si Kiwong itu, bareng. Karena dasarnya dia penjual tahu dan dia orang asli situ. Nah selama temuan produksi itu, banyak yang menarik yaitu, ketika tahu-tahu di kawasan muara ini terletak di Rangkasbitung di daerah. Yang dimana banyak pabrik tahu, nah si Kiwong ini sebagai salah satu pembawa tahu-tahu ini keluar Rangkasbitung, karena dia berjualan di kereta itu. kreta penghubung dengan Jakarta, dia jualan dari siang sampai malam pulang. Dan rutinitasnya seperti itu, dan dia menemukan berbagai macem cerita yang seperti ketemu oranglah, seperti meeting points, karena dia ketemu dengan banyak orang yang berantem, belum lagi dengan para petugasnya keretanya sendiri, jadi seperti pergulatan di keretanya”. 4 Dari wawancara dengan sutradara film features dokumenter dongeng rangkas ini terlihat proses ketika suatu produk sosial telah menjadi bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar. Tahap eksternalisasi pada film features dokumenter dongeng rangkas ini berlangsung ketika masyarakat mulai mengetahui jika Wawancara pribadi dengan Saiful Anwar salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 21 Mei 2013. daerah Rangkasbitung merupakan daerah penghasil tahu dikarenakan banyak pabrik pembuatan tahu di daerah itu. Kemudian timbul lah keinginan dari masyarakat luar daerah untuk datang ke Rangkasbitung dan menetap menjadi pembuat dan penjual tahu. Selain itu sang pemuat film features dokumenter dongeng rangkas juga melakukan penyesuaian dan ekspresi terhadap lingkungan penjual tahu di Rangkasbitung dengan melakukan proses observasi langsung. Observasi terhadap penjual dan pembuat tahu dilakukan dengan mengikuti semua aktivitas kesehariannya. Proses riset dan observasi dimulai sejak tahun 2008 saat workshop akumassa di Saidjah Forum. Proses penyesuaian dan ekspresi diri para pembuat film ini dengan lingkungan pembuat dan penjual tahu juga menggunakan konsep akumassa. Akumassa merupakan gabungan antara aku dan massa. Jadi dalam konsep akumassa, ‘aku’ dalam hal ini adalah sang pembuat film harus menjadi bagian dari massa. Kaitanya dalam film ini massa merupakan masyarakat Rangkasbitung khususnya para penjual dan pembuat tahu. Proses eksternalisasi yang dilakukan para pembuat film features ini, para pembuat menjadi bagian dari kelompok pembuat dan penjual tahu di Rangkasbitung. Terlebih sutradara dari Forum Lenteng, Jakarta yang pada dasarnya bukan masyarakat setempat, maka harus lebih dapat memahami realitas sosial yang sudah berjalan dalam kehidupan pembuat dan penjual tahu di Rangkasbitung. Kecuali dua sutradara Fuad Fauzi dan Badrul Munir yang berasal dari Rangkasbitung, mereka sudah menjadi bagian dari pembuat dan penjual tahu, terlebih Kiwong yang merupakan salah satu tokoh dalam film merupakan adik kandung dari sutradara Badrul Munir. 2. Tahap Objektivasi Objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Yang mana proses tersebut merupakan hasil dari proses eksternalisasi manusia tersebut. dari proses tersebutlah akan menghasilkan realitas objektif yang dapat menghadapi sang penghasil itu sendiri sebagai suatu faksilitas yang berada diluar dan berbeda dengan manusia yang menghasilkannya. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses instituasionalisasi sedangkan individu memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia baik dalam produk-produk kegiatan manusia. Objektivasi dalam dongeng rangkas ini juga dapat dilihat dari hasi wawancara dengan sutradara film ini Badrul Munir. “Sebenarnya tidak ada nama komunitas tahu di Muhara Kebon Kelapa, tapi mereka sering menyebut hanya pedagang tahu dari muhara. Dan karena jumlah pabrik tahu semakin bertambah, jumlah pabrik tahu sekarang ada 25 pabrik tahu. Dan hanya dibentuk koperasi tahu saja, dengan nama al muawanah, diambil dari nama mesjid yang ada di kampung saya”. 5 Di daerah rangkas meskipun tidak ada komunitas resmi yang di bentuk oleh para penjual tahu. Namun pembentukan kelompok di Rangkasbitung itu terbentuk karena sistem. Mereka membentuk sebuah komunitas atau kelompok penjual tahu di Rangkasbitung, baik mereka penduduk asli Rangkasbitung maupun pendatang yang juga ikut membuat dan menjual tahu di daerah Rangkasbitung. Dengan adanya komunitas ini kehidupan para penjual dan pembuat tahu lebih baik, dikarenakan setiap berkumpul bersama, mereka membicarakan kebutuhan produksi, dan juga menunjang kebutuhan simpan pinjam, serta solidaritas sesama pekerja tahu. 6 Konstruksi atas realitas sosial ini mengubah indvidu menjadi kelompok, dan kelompok juga mempengaruhi kehidupan sosial individu. 3. Tahap Internalisasi Internalisasi merupakan proses individu mengidentifikasi dirinya sendiri terhadap lembaga sosial dimana dia tinggal. Dengan kata lain Wawancara dengan pesan elektronik email dengan Badrul munir salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 15 Juli 2013. Wawancara dengan pesan elektronik email dengan Fuad Fauzi salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 20 Mei 2013. internalisasi merupakan proses penyerapan kemabali dunia objektif kedalam kesadaranya sehinga subjektif individu terpengaruh terhadap struktur dunia sosial. Berbagai unsur dari produk dunia yang terobjektifkan akan tertangkap menjadi gejala realitas diluar kesadaran, serta menjadi gejala internal untuk kesaranya sendiri. Melalui proses internalisasi tersebutlah manusia menjadi hasil dari masyarakat. Dalam tahapan ini, pembuat film features dokumenter dongeng rangkas setelah melakukan riset dan observasi langsung kemudian melakukan penyerapan terhadap realitas sosial penjual tahu yang telah terobjektivasi kedalam pikiranya dan kemudian melakukan konstruksi ulang ke dalam medium film. Selain itu Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar, yakini pemahaman individu dengan orang lain, pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial . 3.1 Pemahaman mengenai individu dengan orang lain Dasar dari internalisasi yang pertama yakini pemahaman mengenai individu dengan orang lain ketika sutradara melakukan negoisasi terhadap individu yang mejadi subyek dari film dokumenter. Dalam film features dokumenter dongeng rangkas ini sutradara melakukan eksternalisasi dengan melakukan riset dan observasi langsung terlebih dahulu sebelum membuat film, hal ini dilakukan agar sutradara dapat memahami situasi baik sosial maupun ekonomi masyarakat penjual dan pembuat tahu di daerah Rangkasbitung. Hal ini merupakan upaya untuk terbentukanya suatau hubungan yang dinamis antara individu dengan orang lain, agar menghasilkan suatu produk kebudayaan sosial. “... Realitas sosial yang ada dalam masyarakat penjual tahu di Rangkasbitung sama seperti dalam film Dongeng Rangkas. Idenya dari 2008 saat waorkshop akumassa pertama di saidjah forum. Riset dan workshop hampir sebulan disana, taulah wilayah-wilayah situs, memetakan. Semacam kayak pemetaan, disana melihat dan disana kayak muncul bukan muncul, tapi memang ada penjual, pabrik tahu yang emang terkenal di rangkas.Kalau orang pada pergi di kereta sampai keman. Tanah Abang, Kota Jakarta itu, tahunya disana mbuatnya. Jadi emang, ternyata pabrik tahu yang kebanyakan orang tahu sumedang ternyata di Rangkas juga banyak”. 7 Selain melakukan riset dan juga pemetaan, sutradara juga bekerjasama dengan penduduk setempat dengan melibatkan penduduk setempat menjadi sutradara yang di wakili oleh Fuad Fauzi dan Badrul Munir, serta anggota Saidjah Forum lainya. Hal tersebut dikarenakan mereka lebih mengetahui bagaiamana situasi dan kondisi masyarakat Rangkasbitung itu sendiri. Dengan bekerjasama dengan masyarakat Rangkasbitung, maka pembuatan film dokumenter benar-benar mengangkat kehidupan yang dialami oleh para pembuat dan penjual tahu di Wawancara pribadi dengan Saiful Anwar salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 21 Mei 2013. Rangkasbitung. Dalam pembuatan film ini sutradara bekerjasama dengan masyarakat. “... Tempat pembuatan film ‘dongeng rangkas’ tentang para pekerja tahu di daerah Rangkasbitung yang letaknya di sisi sungai. Ada belasan pabrik menyatu dengan warga dan pekerjanya. Hampir kebanyakan para pejual dan pekerja pabrik tahu berasal dari daerah pinggiran kota rangkasbitung. Mereka berasal dari daerah selatan rangkasbitung. Karena warga kampung ini banyak pendatang jadi sedikit terbuka pemikirannya. Untuk menerima kami selama produksi misalnya”. 8 3.2 Pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi Dasar internalisasi kedua tentang pemahaman mengenai dunia sebagai suatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Dalam film features dokumenter dongeng rangkas merupakan wujud nyata dari kehidupan para pembuat dan penjual tahu di daerah Rangkasbitung, bagi siapa saja yang menyaksikan film ini akan mengerti bagaimana optimisme para penjual tahu di daerah Rangkasbitung. “... Kenyataan sosial jarang dihadirkan lewat film. Sekalinya dihadirkan biasanya ceritanya masing ngwang-ngawang. Seperti kisah umum warga kaya dan miskin. Kadang para pembuat film seringkali membuat film dokumenter berakhir di tokoh si korban. Eksploitasi si miskin dan kesenjangan masyarakat. Saya termotivasi untuk membuat film Wawancara dengan pesan elektronik email dengan Fuad Fauzi salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 20 Mei 2013. dokumenter berbeda. Kepingan cerita pekerja tahu dan optimismenya dalam kehidupan sehari-hari”. 9 Setelah melakukan tahapan eksternalisasi kemudian melakukan internalisasi terhadap realitas sosial pembuat dan penjual tahu, yang mana dalam proses terakhir inilah sutradara menyerap kembali realitas sosial tersebut kedalam alam bawah sadarnya kemudian dibentuk menjadi film features dokumenter yang nantinya film tersebut akan bersifat objektif dan subjektif. Menurut penjelasan Margaret M. Polama, Berger menegaskan bahwasanya realitas sehari-hari memiliki dimensi sebjektif dan objektif. Manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalaui proses eksternalisasi. Yang mana ia mempengaruhi dalam proses internalisasi yang mencerminkan realitas sosial secara subjektif Konstruksi atas realitas sosial yang paling nampak dan bersifat objektif dalam film features dokumenter dongeng rangkas ini adalah para pembuat film tidak mengubah realitas sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan penjual tahu tersebut. Dimana pembuat dan penjual tahu khususnya Iron dan Kiwong, pada akhirnya tetap meneruskan usaha keluarga mereka sebagai penjual tahu. Wawancara dengan pesan elektronik email dengan Fuad Fauzi salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 20 Mei 2013. Keluarga mereka sudah turun temurun menjadi penjual tahu sehingga Kiwong dan Iron memilih atau menjadikan diri mereka juga menjadi pedagang tahu dan berbaur dengan realitas yang ada di lingkungan Rangkasbitung sebagai daerah penghasil tahu. Kiwong dan Iron meruapakn penjual tahu yang mengesampingakan mimpi mereka dan terbawa arus dimana pada akhirnya kelompok sosial menentukan kehidupan individu itu sendiri. Hal tersebut merupakan hasil dari poses eksternalisasi. Sedangkan yang mencerminkan realitas subjektif, sutradara melakukan internalisasi terhadap realitas penjual tahu yang terlah terkobjektivasi ke dalam pikiranya kemudian dibentuk menjadi sebuah film features dokumenter. Dalam pembentukanya menggunakan kaidah-kaidah film yang memiliki alur, cerita, dan plot. Sehingga pembuat film ini harus merangkai potongan-potongan gambar hasil observasi langsung, riset, dan pengambilan gambar menjadi sedemikian rupa, sehingga akan menghasilkan cerita yang menarik untuk ditonton.

C. Faktor Konstruksi Sosial dalam Film Dongeng Rangkas

Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemui penjual tahu yang menawarkan daganganya di sekitar tempat tinggal kita, namun masyarakat mengangap hal itu adalah hal yang sepele dan tidak perlu di perhatikan. Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat sebuah film features dokumenter yang berjudul dongeng rangkas, dimana film ini bercerita tentang kehidupan penjual tahu di daerah Rangkasbitung. Realitas sosial merupakan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat, namun realitas yang ada tersebut merupakan hasil kreatif masyarakat dengan menggunakan kekuatan konstruksi sosial masyarakat. Realitas yang berkembang dalam masyarakat Rangkabitung yang mayoritas bekerja sebagai pedagang tahu juga hasil dari konstrukasi mereka sendiri. “... Mungkin dalam hal realitas sosial disini menurut anda adalah realitas kehidupan sosial para pedagang tahu atau masyarakat disekitar para pedagang tahu. Realitas sosial pedagang tahu adalah kenyataan dalam hal berjuang untuk bertahan hidup, dikarenakan pekerjaan yang lebih baik susah didapat dan para pedagang tahu mayoritas tidak mempunyai pendidikan tinggi maka menjadi pedagang tahu adalah solusi yang tepat bagi mereka dalam hal realitasnya. 10 Kehidupan penjual tahu sebagai sebuah konstuksi realitas sosial di film features dokumenter dongeng rangkas memiliki sebuah makna dimana mereka para pembuat dan pedagang tahu tidak memiliki pendidikan yang tinggi sehingga berdagang tahu adalah solusi untuk tetap bertahan hidup. Masyarakat membuat konstruksi tersendiri akan kehidupan berkelompok mereka sebagai pedagang tahu. Wawancara dengan pesan elektronik email dengan Badrul munir salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 22 Mei 2013. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti beranggapan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya kontruksi realitas sosial, adapaun faktor yang mempengaruhi kehidupan penjual tahu sebagai konstruksi realitas sosial adalah kondisi pendidikan, kondisi sosial dan juga ekonomi. 1. Kondisi Pendidikan Dalam suatu konstruksi realitas sosial tentu saja faktor pendidikan juga berperan dalam pembentukan relitas sosial di masyarakat penjual tahu dalam film features dokumenter dongeng rangkas yang bercerita tentang kehidupan penjual tahu. “... Realitas sosial pedagang tahu adalah kenyataan dalam hal berjuang untuk bertahan hidup, dikarenakan pekerjaan yang lebih baik susah didapat dan para pedagang tahu mayoritas tidak mempunyai pendidikan tinggi maka menjadi pedagang tahu adalah solusi yang tepat bagi mereka dalam hal realitasnya”. 11 Pendidikan masyarakat yang tidak tinggi membuat masyarakat daerah Rangkasbitung tidak memiliki pilihan lain dalam bidang pekerjaan, sehingga sebagian masyarakat khususnya Iron dan Kiwong memilih meneruskan tradisi keluarga sebagai seorang penjual dan pembuat tahu seperti masyarakat yang lain. Wawancara dengan pesan elektronik email dengan Badrul munir salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 22 Mei 2013. 2. Kondisi Sosial Kondisi sosial tentu merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap konstruksi realitas sosial yang terbentuk dalam masyarakat penjual dan pembuat tahu di daerah Rangkasbitung. “... Realitas sosial masyarakat penjual tahu di Rangkasbitung khususnya di muhara kebon kelapa yang dimana sebagian besar pengambilan gambar dilakukan, tidaklah begitu terpinggirkan atau terendahkan karena hampir kebanyakan di sana adalah pedagang walaupun bukan hanya pedagang tahu. Bahkan para pedagang tahu sangatlah bermasyarakat dengan penduduk asli di sana, karena hampir semua pedagang tahu dirangkasbitung adalah pendatang dari pinggiran kota Lebak”. 12 Dari hasil wawancara, penelitian ini masyarakat penjual tahu di Rangkasbitung memiliki jiwa sosial yang tinggi hal ini terlihat dari masyarakat disana sangat bermasyarakat. Para penjual tahu di daerah Rangkasbitung membuat sebuah kelompok atau komunitas pembuat dan penjual tahu, mereka juga membuat sebuah koprasi usaha hal ini tentu memudahkan kehidupan sosial di masing-masing masyarakat. 3. Kondisi Ekonomi Dalam kehidupan masyarakat di daerah yang mayoritas pedagang tentu kondisi ekonomi masyarakat di Rangkasbitung Wawancara dengan pesan elektronik email dengan Badrul munir salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 22 Mei 2013.