commit to user
luar, yaitu teman-teman Informan yang kebanyakan memilih pasangan ini sehingga membuatnya memilih calon yang sama dengan mereka. CAN
mengemukakan alasan memilihnya seperti berikut : “Ya cuma ikut-ikutan ya memilih Titik - Tarto. Saya kan masalah
kayak gitu kan ndak paham. Ya ikut-ikutan orang-orang sini. Pada milih nomer dua, milih nomer dua,
ya wes
[ya sudah] nomer dua, hehe...” Wawancara, 14 Juli 2010
Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial memang tidak menyukai keterasingan. Ia selalu menginginkan berada di pihak mayoritas.
Hal itu pula yang dilakukan oleh CAN, terlebih mengingat dirinya juga tidak mempunyai alasan yang tepat untuk berbeda pendapat.
2. Pemilih Partisan
Pemilih partisan atau pemilih fanatik merupakan kelompok pemilih yang memiliki keberpihakan kuat terhadap kandidat tertentu karena berbagai
alasan. Kandidat cabup-cawabup, kader partai pengusung dan pendukung maupun tim sukses pasangan calon termasuk dalam kategori ini. Hal demikian
meluas setidaknya kepada cakupan keluarga, sanak famili, dan teman dekat. Alasan lain yakni adanya kesamaan ideologis, tradisi, dan ikatan sosio-
kultural lain yang sampai tahap tertentu dapat menjadi pertimbangan dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu.
Salah satu pemilih partisan di Desa Ngabeyan adalah WAR Laki-laki, 48 tahun, Karyawan Swasta. Karena berpartisipasi sebagai tim sukses
pasangan Titik Suprapti - Sutarto, otomatis pasangan inilah yang dipilihnya dalam pemilukada kemarin. Ia bersedia berpartisipasi menjadi tim sukses
pasangan karena pertimbangan aspek kemanfaatan yang didapatkannya bila
124
commit to user
kelak pasangan ini memenangkan pemilukada. Mengenai hal ini, WAR mengutarakan pandangannya sebagai berikut :
“ Kene ki milih niku mboten gaco milih, tapi supoyo injoh digondheli. Suk nek enek kesulitan tetep isoh dieloni terus no Mbak. Nek milih yo
ra gaco milih tok. Dadi oo… iyo ya aku nduwe anak. Koyo Mamat, Ida, mengko nek Mamat neng SMA 2 jelas injoh. Lha itu kan saya
milih tetep ono kegunaane Mbak supoyo disemelehi injoh. Masalah gawean suk pomo dadi tenan titip ponakan ngoten niku, nek ra enek
manfaate wegah no Mbak milih koyo ngono kui. Nggih to?”
[Sini itu milih tidak asal milih, tapi supaya bisa diikuti. Nanti kalau ada kesulitan tetap bisa diikuti terus, Mbak. Kalau milih ya tidak asal
milih. Jadi, o iya ya saya punya anak. Kayak Mamat, Ida, nanti kalau Mamat ke SMA 2 SMA N 2 Sukoharjo jelas bisa. Lha itu kan saya
milih tetap ada manfaatnya Mbak, biar bisa dijadikan sandaran. Masalah pekerjaan besok kalau Titik jadi beneran titip keponakan
begitu itu, kalau tidak ada manfaatnya tidak mau Mbak milih kayak gitu itu. Iya kan?] Wawancara, 15 Juni 2010
Berbeda dengan WAR yang menjadi tim sukses Titik - Tarto dan memilih pasangan ini karena kepentingan pragmatis, RAH Perempuan, 44
tahun, Pengusaha beralasan bahwa ikatan pertemananlah yang membuatnya memilih pasangan nomor urut satu, Muhammad Toha - Wahyudi. Bukan
hanya itu, sosok Toha yang ia nilai
gentleman
serta memiliki program kerja yang bagus mendorongnya berpartisipasi dengan menjadi tim sukses pasangan
yang juga rekan bisnisnya tersebut. Demikian penjelasan RAH : “Kalau saya milih yang nomer satu, pertimbangannya kan juga teman
sendiri, Pak Toha itu sama Pak Wahyudi. Kalau pribadinya apa kan sudah kenal, ya to, tapi kalau sama yang lainnya itu kan, mungkin
kalau dari Pak Bambang sendiri saya juga sudah ngerti sedikit-sedikit pribadinya, terus kalau sama Pak Wardoyo sendiri kan saya nggak tahu
siapa beliau, belum kenal, nggak kenal sama sekali kalau sama Pak Wardoyo. Jadi saya ndukungnya ya Pak Toha itu. Kalau menurut saya
beliau itu orang baik, ya boleh dibilang orang
gentleman
, terus punya program yang bagus, kan gitu.” Wawancara, 19 Juli 2010
Temuan berbeda peneliti dapatkan dari hasil wawancara dengan TAN Laki-Laki, 44 tahun, Juru Parkir. Di sini, tampak sekali bahwa faktor
125
commit to user
sosiokultural yakni agama turut berperan dalam menentukan perilaku memilih informan yang juga merupakan anggota MTA Majelis Tafsir Al Qur’an ini.
Kondisi ini dapat dikomparasikan dengan apa yang terjadi di kancah perpolitikan nasional, misalnya pada pemilu 1999 dan 2004 di mana kalangan
NU kebih banyak memberikan suaranya ke PKB dan PPP sedang Muhammadiyah cenderung memilih PAN dan PKS. Dalam konteks perilaku
memilih TAN, pasangan Wardoyo Wijaya - Haryanto menjadi pilihan terakhirnya dikarenakan pola pikir Informan yang didasari oleh nilai-nilai
keislaman sehingga membuatnya tidak bisa memilih dua pasangan calon yang lain. Berikut penuturan TAN terkait perilaku memilihnya :
“Aku milih War-To ada pola pikirnya. Alesannya ada tiga. Satu, saya sebagai orang islam ndak mungkin milih perempuan, karena islam
tidak bisa dipimpin oleh perempuan. Itu, satu. Dua, kalau saya milih Toha, Toha itu kalau dengan keyakinan saya, dengan Toha jauh
berbeda. Karena dia mempunyai keyakinan dengan lambang, apa, jagad. Peta dunia itu. Lha itu musuh dakwah dalam kajian saya. Saya
ngaji di MTA, dia nggak senang dengan MTA Majelis Tafsir Al Qur’an, adanya islam dengan diajarkan yang benar dia ndak senang,
makanya dia musuh bagi saya, ndak mungkin saya milih. Ya terpaksa, milih diantara itu hanya satu tok, lha War-To, karena jelas sebagai
orang islam, dia tidak akan menghalangi dakwah saya. Lha itu pilihan saya.” Wawancara, 28 Juni 2010
Selain faktor agama, partai politik pengusung pasangan calon merupakan pertimbangan kuat pemilih partisan dalam memilih cabup-
cawabup Sukoharjo. Banyak orang walaupun dirinya bukan merupakan kader partai namun memiliki loyalitas dan fanatisme yang tinggi terhadap partai
tersebut. Terlebih Kabupaten Sukoharjo terletak di wilayah eks-Karesidenan Surakarta yang terkenal dengan tipikal pemilih fanatiknya. Salah satunya
adalah WID Laki-laki, 46 tahun, Perangkat Desa. Informan yang juga
126
commit to user
berprofesi sebagai dalang ini menjatuhkan pilihannya kepada cabup-cawabup nomor urut tiga, Wardoyo Wijaya - Haryanto dengan alasan pasangan ini
diusung oleh PDI Perjuangan. Lebih lanjut, WID menjelaskan pandangannya seperti ini :
“ Nek masalah teng partai, kulo masalahe ngrumaosi sejarah isoh makmur, merdeka, kulo njenengan mangan enak nyandhang utuh, niku
sejarahe saking Pak Karno, nggih to? Mulo terus kulo nindhakke partaine Pak Karno, mpun niku. Mongko Pak Karno partaine opo?
PDI Perjuangan to. Aku masalahe yo ngrumangsani aku injoh dadi dalang laris, injoh nduwe omah tingkat, montor, sawah, ojo ora Pak
Karno le merdheka’ke ora mungkin injoh ngeten niki, mpun. Nggih. Pokok’e sing kulo senengi niku nopo? Mung partaine Pak Karno. Pak
Karno nggenah partaine PDIP. Dadi mbok sing maju sinten ning sing baku sing ngajo’ke partaine Pak Karno tetep kulo pilih.”
[Kalau masalah partai, saya merasa sejarah bisa makmur, merdeka, saya kamu makan enak pakai pakaian utuh, itu sejarahnya dari Pak
Karno Ir. Soekarno--Presiden Pertama RI, iya kan? Makanya terus saya menjalankan partainya Pak Karno, sudah begitu. Padahal
partainya Pak Karno apa? PDI Perjuangan kan. Saya juga merasa saya bisa jadi dalang laris, bisa punya rumah tingkat, mobil, sawah, kalau
bukan Pak Karno yang memerdekakan Indonesia, tidak mungkin bisa seperti ini. Iya. Pokoknya yang saya sukai itu apa? Cuma partainya
Pak Karno. Pak Karno jelas partainya PDIP. Jadi mau yang maju siapa tapi yang mutlak yang mengajukan partainya Pak Karno tetap saya
pilih.] Wawancara, 11 Juli 2010
Walaupun di sisi lain dirinya tetap tidak mengabaikan program kerja yang ditawarkan War-To seperti sekolah dan berobat gratis serta santunan tiga
juta untuk orang meninggal namun WID mengakui bahwa faktor partai tetap menjadi pertimbangan utamanya.
3. Pemilih Rasional