Pengaruh dari Kampanye Pemilukada

commit to user Nduk. Aku ditanya siapa-siapa gitu, yang aku coblos ya itu, hitam gagah gemuk.] Wawancara, 27 Juni 2010 MAN yang termasuk kategori pemilih sekedar memilih ini mengaku dirinya juga mendapatkan pesan yang sama dari beberapa temannya yang lain, baik itu rekan jualannya di pasar maupun temannya di gereja. Semua komunikasi berlangsung dalam bentuk komunikasi diadik, di mana informan bertatap muka secara langsung hanya dengan komunikator. Adanya pesan yang sama dari beberapa sumber yang berbeda memantapkan hati Arjo untuk memilih pasangan nomor urut tiga, Wardoyo Wijaya - Haryanto, meskipun ia tidak mengerti betul siapa sosok yang ia pilih dan apa pula program kerja yang diusung mereka tidak rasional. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik antar persona dengan teman efektif mempengaruhi perilaku memilih masyarakat transisi Desa Ngabeyan dalam Pemilukada Sukoharjo 2010, khususnya bagi pemilih yang tidak memiliki referensi cukup mengenai kandidat yang berkompetisi sehingga mereka berperilaku sekedar memilih.

2. Pengaruh dari Kampanye Pemilukada

Dalam konteks pemilukada, kampanye adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik atau perorangan, untuk memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan Lilleker dan Negrine, 2000. Kampanye dapat dilihat sebagai suatu aktivitas pengumpulan massa, parade, orasi politik, pemasangan atribut partai misalnya umbul-umbul, baliho, poster dan 168 commit to user pengiklanan partai. Kampanye jenis ini akan diakhiri dengan pemungutan suara untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan dukungan terbanyak untuk disahkan sebagai pemenang pemilu Firmanzah, 2007 : 268. Untuk kebutuhan penelitian ini, peneliti membatasi pembahasan kampanye pemilukada hanya mengenai aktivitas penggalangan massa melalui saluran komunikasi publik, sedangkan kampanye atau komunikasi politik melalui iklan media luar ruang dan media massa akan dibahas dalam bagian terpisah. Adapun saluran komunikasi publik yang biasa digunakan sebagai media kampanye dalam pemilukada antara lain kampanye terbuka di alun- alun, rapat terbuka, pertemuan terbatas, panggung terbuka di pasar swalayan, pagelaran musik di kampung, turnamen olahraga, pasar murah, termasuk iring-iringan atau pawai kendaraan bermotor. Periode kampanye Pemilukada Sukoharjo yang dijadwalkan selama 12 hari terhitung dari tanggal 17 sd 30 Mei merupakan ajang bagi ketiga kandidat cabup-cawabup untuk saling mengeluarkan manuver politiknya demi dukungan segenap rakyat Sukoharjo, tidak terkecuali masyarakat Desa Ngabeyan Kecamatan Kartasura. Berdasarkan observasi peneliti, saluran komunikasi publik yang dimanfaatkan sebagai media kampanye kandidat di Desa Ngabeyan yakni pertemuan terbatas oleh pasangan calon Titik Suprapti - Sutarto dan Wardoyo Wijaya - Haryanto, kampanye terbuka yang diawali dengan kegiatan sepeda santai oleh Muhammad Toha - Wahyudi, serta pertunjukan musik dangdut yang disertai iring-iringan kendaraan bermotor oleh Wardoyo Wijaya - Haryanto. 169 commit to user Kegiatan kampanye ini mendapat tanggapan berbeda-beda dari masyarakat Desa Ngabeyan selaku publik sasaran. Akan tetapi, dari kesemuanya dapat ditarik satu benang merah bahwa pada umumnya, masyarakat menyadari tujuan dari dilaksanakannya kampanye itu sendiri adalah penggalangan massa sehingga apa yang diutarakan kandidat maupun juru kampanye cenderung hal-hal yang positif saja. Sementara di sisi lain, masyarakat juga masih sangsi apakah janji-janji kampanye tersebut benar- benar terealisasi bila sang kandidat terpilih. Salah satu informan penelitian yang beralamat di Dukuh Indronatan, LIM Laki-laki, 59 tahun, Pensiunan PNS mengemukakan pandangannya terkait aktivitas kampanye pemilukada yang berlangsung di desanya sebagai berikut : “ Nggih sae, Mbak. Kampanye tujuane kan ngge penggalangan massa, cari massa sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan program- program kerjanya. Nggih to? Dadi aku nduwe program ngene, tak tawarke ben do seneng karo aku. Lha sak niki Wardoyo sing wis kepilih programe netes po ra. Nek kados lapangan kerja luas, niku mungkin saget ditampung. Ning nek 200 juta per desa niku, lha kiro- kiro yo wes mbuh. Nek kampanye tujuane nggih baik, Mbak, ngetokke program-programe. Aku gen oleh massa okeh i piye, nek perlu yo nyoh tak kei duit, kan ngoten niku. Nggih ngerti kulo nggih pun ngoten niku.” [Ya kampanye bagus, Mbak. Kampanye tujuannya kan untuk penggalangan massa, mencari massa sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan program kerjanya. Iya kan? Jadi saya punya program begini, saya tawarkan biar pada suka sama saya. Lha sekarang Wardoyo yang sudah terpilih programnya bisa terlaksana apa tidak. Kalau seperti lapangan kerja luas, itu mungkin bisa ditampung. Tapi kalau 200 juta per desa itu, lha kira-kira ya sudah tidak tahu. Tapi kampanye tujuannya ya baik, Mbak, mengeluarkan program- programnya. Saya biar dapat massa banyak itu gimana, kalau perlu ini saya kasih uang, kan begitu itu. Ya tahu saya ya sudah cuma begitu] Wawancara, 12 Juni 2010 170 commit to user Informan lain, TAN Laki-laki, 44 tahun, Juru Parkir menilai bahwa kampanye yang marak dilakukan sebelum pemilukada tak ubahnya sebagai suatu bentuk hura-hura politik, khususnya kampanye dengan arak-arakan atau sepeda motor di jalan raya. Selain membahayakan, ia menilai bentuk kampanye seperti itu sudah bukan jamannya lagi dilakukan pada saat pemilih sudah lebih pintar dalam merumuskan keputusan memilihnya seperti sekarang ini. TAN memberikan penjelasan lengkapnya sebagai berikut : “Kalau menurut pendapat saya kampanye itu bukan mendidik suatu politik. Itu adalah termasuk hura-hura dari pihak yang mau mimpin. Dengan begitu kan dia menghambur-hamburkan uang.Kalau itu tertib, bagus, kui [itu] ndak masalah. Tapi kenyataannya di jalan malah menakutkan orang. Di jalan dar der dar der sepeda motor bagaimana dilihat kebisingannya, tapi pimpinan calon bupati itu ndak mau tau, yang penting aku punya massa, itu tok. Padahal massa itu belum tentu memilih dia. Jadi untuk pimpinan kalau mau kampanye itu ndak seperti itu, sebenarnya bisa ditempuh dengan cara lain, dengan pendekatan secara personal begitu mungkin. Kalau seperti yang ada sekarang itu saya kira ndak ada pengaruhnya bagi pemilih, sekarang pemilih udah pinter-pinter kok. Udah tau, oo… itu orangnya gimana, ini orangnya gimana, itu udah tau.” Wawancara, 28 Juni 2010 Sejalan dengan TAN, informan yang juga tim sukses Titik - Tarto, WAR Laki-laki, 48 tahun, Karyawan Swasta mengungkapkan bahwa dirinya tidak menaruh respek sama sekali terhadap jalannya kampanye. Menurutnya, kampanye dapat memicu timbulnya hal-hal negatif semisal cek-cok dan perkelahian. Berikut Warmengutarakan pendapatnya : “ Kulo mboten seneng blas Mbak. Alesane tepat yo, mesti kan ngeten Mbak, nek nganti dumpyuk kan hal yang tidak diinginkan kan bisa terjadi, perkelahian, nggih to, terus perang mulut itu kan udah biasa. Kulo mboten seneng Mbak nek kampanye.” [Saya tidak suka kampanye sama sekali Mbak. Alasan tepat ya, pasti kan begini Mbak, kalau sampai konflik kan hal yang tidak diinginkan kan bisa terjadi, perkelahian, iya kan, terus perang mulut itu kan sudah biasa. Saya tidak suka Mbak kalau kampanye.] Wawancara, 15 Juni 2010 171 commit to user Berbicara mengenai pengaruh kampanye pemilu terhadap perilaku memilih voting behavior , penelitian yang ada selama ini tidak berhasil menghasilkan suatu kesepakatan. Penelitian yang dilakukan Huckfeldt dkk 2000 menunjukkan bahwa kampanye pemilu meningkatkan keterjangkauan, kepastian, dan akurasi pesan politik yang disampaikan kontestan kepada pemilih. sementara studi-studi yang lain menunjukkan hasil yang berbeda. Kampanye pemilu hanya diungkapkan berdampak kecil, kalau tidak mau dibilang tidak berdampak, terhadap perilaku memilih. Gelman dan King 1993 serta Bartels 1993 menunjukkan bahwa preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh-jauh hari sebelum kampanye pemilu dimulai. Sehingga siapa yang akan memenangkan pemilu dapat ditentukan sebelum pemilu dilaksanakan. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemilih mengevaluasi layak atau tidaknya suatu kandidat tidak hanya sebatas pada kampanye pemilu, melainkan berdasarkan atas reputasi masa lalu Firmanzah, 2007 : 269. Temuan penelitian ini cenderung mengarah pada teori yang terakhir disebutkan, di mana berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada seluruh informan, peneliti menemukan bahwa kampanye Pemilukada Sukoharjo, khususnya yang menggunakan saluran komunikasi publik, nyaris tidak membawa pengaruh apapun terhadap perilaku memilih masyarakat transisi Desa Ngabeyan Kecamatan Kartasura. Kalaupun ada pengaruh, hal itu hanya sebatas memperkuat atau memperkokoh perilaku yang ada dan bukan mengubah perilaku tersebut. Fakta ini tentu tidak terlepas dari bagaimana 172 commit to user masyarakat mempersepsikan kegiatan kampanye pemilu itu sendiri, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pernyataan informan yang juga seorang Ketua RT, HAR Laki-laki, 48 tahun, Karyawan Swasta merepresentasikan temuan ini. Sadar akan tujuan dari dilaksanakannya kampanye itu sendiri, informan tidak serta-merta terpengaruh untuk memilih kandidat yang dikampanyekan. Terlebih, dirinya adalah pemilih rasional yang memberikan penilaian positif terhadap kinerja pemerintahan masa lalu, sehingga janji-janji kampanye yang belum tentu terealisasi itu tidak sedikitpun mengubah opini maupun perilakunya. Terkait hal ini, berikut penuturan informan : “Kalau saya tidak pengaruh apa-apa kampanye itu. Karena ya sudah saya katakan tadi, kampanye itu biasane cuma ajak-ajak untuk memilih, istilahnya menggiring massa agar memilih calon tertentu. Lha biasanya yang diutarakan itu yang baik-baik, program ini ini ini, biasanya ya tidak cuma calon bupati tok ya, wakil rakyat juga begitu, masa kampanye yang dikemukakan ya yang baik-baik, gini gini gini, tapi kalau jadi yaa… biasanya lupa, ndak ada, istilahnya ya ndak ada yang ditepati, cuma janji-janji kosong.” Wawancara, 28 Juni 2010 Pendapat senada dikemukakan oleh YAN Laki-laki, 23 tahun, Mahasiswa. Walaupun secara objektif mengaku salut terhadap cara berkampanye Muhammad Toha - Wahyudi yang terkesan lebih tertib dengan bersepeda santai, informan ini mengaku tidak juga terpengaruh oleh kampanye tersebut. Memang benar pasangan calon nomor urut satu itu adalah pilihannya dalam pemilukada, akan tetapi preferensinya sudah terbentuk jauh-jauh hari sebelum dilaksanakan kampanye karena ia adalah tipe pemilih rasional yang menyimak track record kandidat dari media massa. Sehingga dapat dikatakan bahwa kampanye yang dilakukan Ha-Di tidak membawa pengaruh apapun 173 commit to user bagi perilakunya, terlebih ia hanya mengetahui sepintas acara itu, tidak mengikuti penuh jalannya acara. Demikian YAN mengutarakan pandangannya: “ Wingi aku reti sing terakhir bupati sing nomer siji kae. Kuwi kan ndek wingi sepeda santai neng lapangan. Yo nek ngaranku, kan koyo sepeda santai kan semua kalangan, mungkin efektif. Lebih efektif daripada konser dangdut. Nek konser-konser kan paling gur dewasa karo wong tuo kan, cah cilik kan ra enek. Tur nggak mengganggu lingkungan, ra koyo arak-arakan pake sepeda motor, bising. Tapi kalau pengaruh nggak sih, kan aku sebelumnya wes pengen milih kuwi. Salut aja sama cara berkampanyenya, nggak pake motor, nggak brutal, lebih tertib.” [Kemarin aku tahu yang terakhir bupati yang nomor satu itu. Itu kan kemarin sepeda santai di lapangan. Ya kalau menurutku, kan seperti sepeda santai kan semua kalangan, mungkin efektif. Lebih efektif daripada konser dangdut. Kalau konser-konser kan paling cuma dewasa sama orang tua kan, anak kecil kan tidak ada. Lagian tidak mengganggu lingkungan, tidak seperti arak-arakan pakai sepeda motor, bising. Tapi kalau pengaruh ya tidak, kan aku sebelumnya sudah ingin milih itu. Salut saja sama cara berkampanyenya, tidak pakai motor, tidak brutal, lebih tertib.] Wawancara, 12 Juni 2010 Sementara itu, informan yang berasal dari Dukuh Blateran, AYU Perempuan, 28 tahun, Ibu Rumah Tangga mengatakan dirinya sedikit terpengaruh oleh kampanye pasangan Titik Suprapti - Sutarto yang dilakukan melalui saluran pertemuan terbatas di salah satu rumah warga. Akan tetapi, pengaruh tersebut hanya memperkokoh atau memperkuat perilaku menilihnya terhadap pasangan nomor urut dua tersebut karena seperti pemilih rasional lain yang melalukan penilaian retrospektif, pengaruh citra positif pemerintahan incumbent lebih kuat dalam membentuk perilakunya. AYU menyatakan pendapatnya seperti berikut : “ Kampanyene yo pas ngandhani programe Bu Titik. Pokoe programe nglanjutke suamine lah. Nek masyarakat kan ngertine sing wes terbukti to Mbak, sing liyane kan yo rung ngerti. Kampanye ya mung neng Brontowiryan, nggone Pak TRI, ya mung pengarahan ngono, 174 commit to user diomongilah program-programe ngene-ngene tok. Tertarik iya, lha udah sreg itu og.” [Kampanyenya ya waktu memberitahu programnya Bu Titik. Pokoknya programnya melanjutkan suaminya. Kalau masyarakat kan tahunya yang sudah terbukti kan Mbak, yang lainnya kan ya belum tahu. Kampanye ya cuma di Brontowiryan, di rumahnya Pak Trimo, ya cuma pengarahan begitu, diberitahu programnya begini-begini. Tertarik pengen mencoblos iya, lha sudah cocok itu.] Wawancara, 11 Juni 2010 Kecilnya pengaruh kampanye dalam membentuk perilaku memilih ini diakui oleh informan yang juga menjadi tim sukses Muhammad Toha - Wahyudi, RAH Perempuan, 44 tahun, Pengusaha. Menurutnya, kampanye pemilu dengan menggunakan saluran komunikasi publik memang efektif untuk mengumpulkan massa, tetapi tidak untuk menciptakan keterpengaruhan, apalagi hingga taraf perilaku. Karena kadangkala yang terjadi pemilih berpartisipasi menghadiri kampanye publik semata-mata hanya karena tergiur iming-iming tertentu. Uang, sembako, hadiah dan bingkisan-bingkisan lain misalnya, sudah bukan rahasia umum lagi hal itu menjadi magnet tersendiri yang mampu menarik kehadiran massa dalam setiap kampanye publik yang dilakukan kandidat calon. Inilah yang menjadikan kampanye publik tidak begitu efektif dalam mengubah perilaku. Kembali, informan ini mengemukakan pendapatnya : “Kalau menurut saya itu ya gimana ya Mbak ya, dibilang ya kampanye kayak bohong-bohongan ajalah, misalnya di sana semua kaos minta semua ya, padahal yang minta itu belum tentu nyoblos dia, gitu. Sekarang itu sulit Mbak untuk memprediksi bahwa itu bener- bener ke pihak kita itu sulit. Kadang udah nerima kaos, udah nerima uang, ee… mbalik. Karena apa? Dia udah punya pilihan itu. Jadi kampanye itu kurang efektif.” Wawancara, 19 Juli 2010 Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kampanye pemilukada oleh kandidat cabup-cawabup Sukoharjo, khususnya 175 commit to user dengan menggunakan saluran komunikasi publik, nyaris tidak memberikan pengaruh apapun terhadap perilaku memilih masyarakat transisi Desa Ngabeyan Kecamatan Kartasura. Sesuai dengan teori Gelman dan King 1993 serta Bartels 1993, preferensi masyarakat Desa Ngabeyan telah terbentuk sebelum kampanye pemilukada dimulai. Pada pemilih rasional, kampanye publik sebatas berpengaruh dalam memperkokoh atau memperkuat perilaku memilih, tidak mengubahnya, itupun dengan catatan kandidat yang berkampanye sama dengan kandidat yang sebelumnya telah menjadi preferensi pemilih. Pada situasi dan kondisi yang sebaliknya, kampanye publik tidak memberikan pengaruh apapun dalam perilaku memilih.

3. Pengaruh dari Iklan Media Luar Ruang