Perilaku Memilih Telaah Pustaka 1. Komunikasi Politik

commit to user kampanye pada menit-menit terakhir cenderung berpengaruh terhadap keputusan memilih. Sementara Rothschild dan Ray 1974 menyatakan bahwa iklan kampanye cenderung berpengaruh di kalangan orang-orang yang memiliki keterlibatan rendah dalam lingkungan politiknya Pawito, 2009 : 196.

5. Perilaku Memilih

Perilaku memilih voting behaviour dalam pemilu merupakan salah satu bentuk perilaku politik political behaviour . Perilaku politik merupakan perilaku yang dapat dipahami sebagai perbuatan, kelakuan, atau tindakan, dan juga aksi yang dijalankan individu atau kelompok atau masyarakat sebagai respon terhadap stimulan atau lingkungan politik tertentu, terutama berkenaan dengan distribusi dan pemanfaatan kekuasaan dalam suatu masyarakat, bangsa, dan negara yang sering muncul dalam berbagai bentuk. Studi perilaku memilih menurut Jack C. Plano 1985 : 280 adalah studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mereka melakukan pilihan itu Sofiah, 2003 : 18. Sementara itu, Bone dan Raney 1971 : 2-3 memberikan pandangan mengenai perilaku memilih sebagai berikut: “ In most study of voting behavior….., voting behavior is pictured as having the two dimension. Preference…. Can be to measure his approval or disapproval of Democratic and Republican Parties, their perceived stands on issues, and teha personal quality of their candidate…. Activity has six main categories: organization activities, organization contributors, opinion leaders, voters, non voters, and apolitical Sofiah, 2003 : 18. ” 37 commit to user Berdasarkan dua pandangan di atas, perilaku memilih mengandung pengertian yakni tingkah laku atau atau tindakan seseorang dalam proses pemberian suara dalam penyelenggaraan pemilu serta latar belakang seseorang melakukan tindakan tersebut. Adapun tingkah laku atau tindakan tersebut meliputi preferensi orientasi terhadap isu, orientasi terhadap kualitas personal kandidat, identifikasi partai, aktivitas keterlibatan dalam partai politik tertentu, keterlibatan dalam setiap kampanye, kehadiran dalam pemungutan suara dan pilihan terhadap salah satu partai politik atau kandidat tertentu. Untuk memahami perilaku memilih, ada tiga macam pendekatan yang biasa digunakan, yakni model sosiologi, model psikologi sosial, dan model pilihan rasional Dieter Roth, 2008 : 23 - 54. 1. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis atau yang disebut pula dengan pendekatan sosial struktural untuk menerangkan perilaku memilih secara logis terbagi atas model penjelasan mikrososiologis dan model penjelasan makrososiologis. Penjelasan mikrososiologis senantisa dikaitkan dengan sosiolog Paul F. Lazarfeld dan rekan sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University, oleh karena itu model ini disebut juga mahzab Columbia. Sedangkan model penjelasan makrososiologis dari Seymour martin Lipset dan Stein Rokkan didasarkan atas pengamatan perilaku memilih menurut Lazarfeld. Model ini menelaah perilaku memilih di seluruh tingkatan atau lapisan masyarakat secara keseluruhan yang merupakan cikal bakal penjelasan mengenai terbentuknya sistem partai di Eropa Barat. 38 commit to user Dasar model penjelasan mikrososiologis atau mahzab Columbia berasal dari teori lingkaran sosial yang diformulasikan oleh Georg Simmel 1890. Menurut teori ini, setiap manusia terikat di dalam berbagai lingkaran sosial, contohnya keluarga, teman-teman, rekan kerja, dan lain-lain. Paul F. Lazarfeld menerapkan pola pikir ini kepada para pemilih. Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu, misal status ekonominya, agamanya, tempat tinggal, pekerjaan dan usia yang semuanya mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya tersendiri dan kepatuhan terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi. Konteks ini turut mengontrol perilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar individu tersebut menyesuaikan diri, karena pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya. Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih. Pengaruh terbesar berasal dari keluarga dan lingkungan rekan sahabat erat individu terkait. Berdasarkan tingginya relasi antara predisposisi politis sesuai struktur sosial dan keputusan yang diambil berkenaan dengan pemilu, mahzab Columbia sampai pada suatu kesimpulan: seseorang berpikir politis sebagaimana ia berpikir secara sosial. Karakteristik sosial menentukan kecenderungan politis A person thinks politically as he is socially. Social characteristic determine political preference. Untuk menghindari konflik, tiap orang berusaha mempertahankan homogenitas sosialnya. Berelson, dkk berhasil menemukan suatu dasar bahwa 39 commit to user individu memilih teman-teman dan rekan yang memiliki pandangan politis yang kurang lebih sama. Namun, homogenitas lingkaran sosial ini jarang ditemukan dalam masyarakat modern sebab masyarakat ini memiliki mobilitas ruang dan sosial yang kuat sehingga cenderung mengakibatkan hilangnya hubungan-hubungan yang ada. 2. Pendekatan Psikologi Sosial Pendekatan Psikologi yang dikembangkan oleh sekelompok ahli ilmu sosial dari University of Michigan ini menjelaskan bahwa perilaku memilih masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis yang berkembang dari dalam dirinya sendiri sebagai hasil proses sosialisasi politik. Persepsi dan penilaian pribadi mengenai sang kandidat berikut tema-tema yang diangkat sangat berpengaruh terhadap pilihan yang dijatuhkan pengaruh jangka pendek. Selain itu, ‘keanggotaan psikologis’ dalam sebuah partai yang dapat diukur dalam bentuk identifikasi partai turut pula mempengaruhi pilihan pada saat pemilu pengaruh jangka panjang. Pendekatan sosial psikologis berusaha menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih melalui trias determinan, yakni identifikasi partai, orientasi terhadap kandidat dan orientasi terhadap isu tema. Sementara itu, faktor lainnya yang sudah ada terlebih dahulu misalnya keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu dianggap memberi pengaruh langsung terhadap perilaku memilih. Indentifikasi partai merupakan orientasi yang permanen, tidak berubah dari pemilu ke pemilu. Namun apabila seseorang mengalami perubahan 40 commit to user pribadi yang besar misalnya menikah, pindah profesi atau tempat tinggal, atau situasi politik yang luar biasa seperti krisis ekonomi dan perang, maka identifikasi partai ini dapat berubah. Dalam orientasi kandidat pun berlaku ketentuan semakin sering sang pemilih mengambil posisi terhadap kandidat-kandidat yang ada, maka semakin besar pula kemungkinan ia akan berpartisipasi dalam pemilu. Bila posisi pandangan pemilih cocok dengan kandidat sebuah partai tertentu, maka semakin besar pula ia akan memilih kandidat tersebut. Sementara isu tema dapat mempengaruhi pemilih apabila mampu memenuhi tiga persyaratan dasar, yakni tema tersebut harus dapat ditangkap oleh pemilih, tema tersebut dianggap penting oleh pemilih, dan pemilih dapat menerima konsep pemecahan permasalahan yang ditawarkan partai atau kandidat. 3. Pendekatan Rasional Menurut pendekatan rasional, yang menentukan kemenangan partai atau kandidat dalam pemilu bukanlah ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai yang kuat, melainkan hasil penilaian rasional pemilih. Menurut V.O. Key 1966 : 61 dalam bukunya The Responsible Electorate , masing-masing pemilih menetapkan pilihannya secara retrospektif, yaitu dengan menilai apakah kinerja partai yang menjalankan pemerintahan sudah baik bagi negara maupun negara ataukah justru sebaliknya Roth, 2008 : 48. Penilaian ini juga dipengaruhi oleh pemerintahan di masa lampau. Apabila hasil penilaian kinerja pemerintah yang berkuasa positif, maka 41 commit to user mereka akan dipilih kembali. Begitupun sebaliknya, hasil penilaian yang negatif tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi pemerintahan tersebut untuk dipilih kembali. Salah satu teori klasik pendekatan rasional dikemukakan Anthony Downs. Menurutnya, pemilih yang rasional senantiasa mendahulukan kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain, atau istilahnya self- interest axiom . Manusia bertindak egois untuk mengoptimalkan kesejahteraan material mereka. Apabila hal ini diterapkan pada perilaku memilih, maka pemilih yang rasional akan memilih partai atau kandidat yang paling menjanjikan keuntungan bagi dirinya. Pemilih tidak terlalu tertarik pada konsep politis sebuah partai, melainkan pada keuntungan terbesar yang ia dapat apabila partai atau kandidat menduduki pemerintahan. Dalam konteks pemilih Indonesia, Pawito menggolongkan perilaku memilih menjadi empat golongan, yaitu pemilih yang sekedar memberikan suara dalam pemilihan sebagai wujud partisipasi politik, pemilih partisan, pemilih rasional, dan golongan tidak memilih golongan putih atau golput Pawito, 2009 : 180. Golongan pertama, pemilih yang sekedar ikut memberikan suara, biasanya adalah pemilih yang tidak memiliki cukup referensi tentang politik, pemilu, kandidat, dan partai. Pada umumnya mereka tidak banyak mengetahui, sering pula tidak mau tahu tentang politik dan kandidat, termasuk platform serta program-program kerja yang diusung. Partisipasi golongan ini dalam pemilu seperti layaknya just to celebrate the election , karena mirip dengan kehadiran pada upacara bendera. 42 commit to user Golongan kedua, pemilih partisan adalah kelompok pemilih yang memiliki keberpihakan kuat terhadap partai atau kandidat tertentu karena berbagai alasan. Kandidat, tim sukses, maupun kader partai dengan sendirinya akan memberikan suara kepada dirinya sendiri atau partai yang bersangkutan. Selain itu, adanya persamaan ideologis, tradisi, dan ikatan sosio-kultural termasuk agama dan etnik, dapat menjadi pengikat seseorang untuk memberikan suara kepada partai atau kandidat tertentu. Kemudian golongan ketiga, pemilih rasional, terdiri dari orang-orang yang relatif tidak memiliki ikatan keluarga, ideologis, dan sosio-kultural dengan partai atau kandidat manapun. Mereka dapat mengambil keputusan yang logis dengan mempertimbangkan alternatif-alternatif yang ada demi kepentingan umum. Kelompok ini cenderung aktif mencari informasi mengenai politik maupun pemilu, memiliki pengetahuan relatif luas mengenai partai dan kandidat yang sedang berkompetisi, serta mampu membuat analisis- analisis perbandingan di anatra partai maupun kandidat. Pada dasarnya, tipikal pemilih seperti ini benar-benar bebas independen dari kepentingan golongan dalam mengambil keputusan. Sedangkan untuk golongan yang sengaja tidak mau memberikan suaranya dalam pemilu golput, dalam konteks pemilu 1999 dan 2004, sebenarnya banyak berasal dari orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kesadaran politik relatif tinggi. Akan tetapi, mereka tidak puas dengan keadaan yang ada, baik menyangkut sistem dan mekanisme pemilihan, partai politik, maupun kandidat yang berkompetisi, sehingga dengan kesadaran penuh memilih untuk tidak memberikan suaranya dalam pemilu. 43 commit to user

6. Masyarakat Transisi