8 2. Objek penelitiannya
Adapun objek dalam penelitian ini adalah partner dan staf auditor pada Kantor Akuntan Publik yang ada di Medan sesuai dengan Direktori KAP
2014 yang diterbitkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia IAPI. Sementara, objek penelitian sebelumnya adalah auditor yang merupakan
anggota dalam Certified Accountants Community di Tehran dan Shiraz Ghorbanpour et al., 2014 dan seluruh auditor pada KAP di Jawa Timur
Fanani et al., 2007.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah komitmen organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor?
2. Apakah interaksi antara komitmen organisasi dengan konflik peran berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor?
3. Apakah interaksi antara komitmen organisasi dengan ketidakjelasan peran
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor? 1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas adalah untuk menganalisis :
1. Pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja auditor
Universitas Sumatera Utara
9 2. Pengaruh interaksi antara komitmen organisasi dengan konflik peran terhadap
kinerja auditor 3. Pengaruh interaksi antara komitmen organisasi dengan ketidakjelasan peran
terhadap kinerja auditor
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Kontribusi Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi yang menambah pengetahuan terutama yang berkaitan dengan akuntansi
keperilakuan tentang pengaruh komitmen organisasi dalam hubungannya
dengan stres peran terhadap kinerja auditor. 1.4.2. Kontribusi Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis khususnya bagi auditor yang berada dalam suatu organisasi agar dapat
menilai komitmennya pada
organisasinya serta diharapkan
dapat mengantisipasi stres peran yang dapat membahayakan kinerja dan
kesejahteraan mereka.
Universitas Sumatera Utara
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Literatur 2.1.1. Kinerja Auditor
Untuk mengukur keberhasilan suatu organisasi dapat dilihat kinerja sumber daya manusianya. Kinerja auditor berkontribusi terhadap kinerja dan
citra kantor akuntan publik di mata masyarakat. Secara etimologis, kinerja berasal dari kata job performance prestasi kerja atau actual performance
prestasi sesungguhnya yang dapat dicapai seseorang yang merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya Mangkunegara, 2009:9. Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia KBBI adalah sesuatu yang dicapai atau pun prestasi yang diperlihatkan. Kinerja organisasi menurut Daft 2000 adalah kegiatan suatu
organisasi yang dalam mencapai tujuannya menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dikutip dalam Ghorbanpour et al., 2014. Pernyataan yang
sama juga dikemukakan oleh Ricardo 2001 yang menyatakan bahwa kinerja organisasi itu mengacu pada kegiatan organisasi yang dilakukan untuk
mengupayakan tujuan dan sasarannya dikutip dalam Abo-jarard, Yousof, dan Nikbin, 2010. Definisi kinerja organisasi di atas sama-sama mengacu pada
pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sementara, kinerja auditor adalah evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, diri
sendiri, dan bawahan langsung Kalbers dan Fogarty, 1995. Jika sebelumnya
Universitas Sumatera Utara
11 Mangkunegara melihat kinerja berdasarkan hasil kerja menurut kualitas dan
kuantitas, di sisi lain Neely et al. 1996 memandang kinerja dari perspektif kualitas atas efisiensi dan efektivitas dari suatu pekerjaan yang telah
dilakukan. Neely bermaksud menjelaskan dua komponen utama dalam definisi yang ia berikan yaitu efisiensi dan efektivitas. Efisiensi berbicara
mengenai ketepatan dalam mengelola sumber daya yang ada untuk menghasilkan barang dan jasa. Sementara, efektivitas berkaitan dengan
pencapaian tujuan organisasi. Tujuan organisasi yang dimaksud di sini biasanya dinyatakan dalam hal kesesuaian hasil mampu menjawab
kebutuhan pelanggan, ketersediaan prioritas dalam distribusi dan jaraknya secara fisik, serta kualitas tingkat realisasi atas standar yang ditetapkan
Dollery dan Worthington, 1996. Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja
organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan.
Kinerja individu akan tercapai apabila didukung oleh atribut individu, upaya kerja work effort, dan dukungan organisasi Mangkunegara, 2009:15.
Selain itu, Mangkunegara 2009:16 juga menyetujui pandangan teori konvergensi William Louis Stern bahwa faktor-faktor penentu kinerja
individu adalah faktor pembawaan individu dan faktor lingkungan kerja organisasi. Sementara, kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja
individu dengan kinerja kelompok.
Universitas Sumatera Utara
12 Selain pembagian kinerja di atas, terdapat faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja. Hennry Simamora 1995:500 dalam Mangkunegara 2009:14 menyatakan ada tiga faktor yang memengaruhi kinerja
performance, yaitu : 1 Faktor individual yang terdiri dari :
a. Kemampuan dan keahlian b. Latar belakang
c. Demografi 2 Faktor psikologis yang terdiri dari :
a. Persepsi b. Attitude
c. Personality d. Pembelajaran
e. Motivasi 3 Faktor organisasi yang terdiri dari :
a. Sumber daya b. Kepemimpinan
c. Penghargaan d. Struktur
e. Job design Untuk mengetahui seberapa baik kinerja yang dihasilkan oleh auditor
perlu diketahui pengukuran yang digunakan untuk menilainya. Reza Surya 2004:35 menyatakan bahwa kinerja seseorang yang baik dilihat dari hasil
Universitas Sumatera Utara
13 kerja individu tersebut yang melampaui peran atau target yang telah
ditentukan sebelumnya. Demikian pula, Miner 1988 menyatakan bahwa dimensi kinerja adalah ukuran penilaian dari perilaku yang aktual di tempat
kerja dan mencakup : a. Quality of Output, kinerja seseorang individu dinyatakan baik apabila
kualitas output yang dihasilkan lebih baik atau paling tidak sama dengan target yang telah ditentukan.
b. Quantity of Output, yaitu kinerja seseorang juga diukur dari jumlah output yang dihasilkan. Seseorang dinyatakan mempunyai kinerja yang
baik jika kuantitas output yang dicapai dapat melebihi atau setidaknya sama dengan target yang telah ditentukan serta tidak mengabaikan
kualitas output yang bersangkutan. c. Time at Work, yaitu dimensi waktu juga menjadi pertimbangan di dalam
mengukur kinerja seseorang. Hal ini berarti dengan tidak mengabaikan kualitas dan kuantitas output yang harus dicapai, seseorang dinilai
mempunyai kinerja yang baik jika individu tersebut dapat menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu atau bahkan melakukan penghematan
waktu. d.
Cooperation with Others’ Work, yaitu kinerja juga dinilai dari kemampuan seorang individu untuk tetap bersifat kooperatif dengan
pekerja lain yang harus menyelesaikan tugasnya masing-masing. Selain pengukuran, evaluasi juga penting untuk melihat apakah kinerja
yang dihasilkan telah sesuai dengan apa yang diharapkan. Tujuan evaluasi
Universitas Sumatera Utara
14 adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja organisasi melalui
peningkatan kinerja dari auditor suatu KAP. Agus Sunyoto 1999:1 dalam Mangkunegara 2009:10 mengemukakan tujuan evaluasi kinerja secara lebih
spesifik, yaitu : a. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan
kinerja. b. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan sehingga mereka
termotivasi untuk berbuat yang lebih baik atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.
c. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau
terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang. d. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan sehingga
karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya. e. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan
kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja performance auditor adalah suatu hasil kerja yang dapat dicapai oleh auditor
dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya berdasarkan kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan
memerhatikan kuantitas, kualitas, ketepatan waktu, dan sikap kooperatifnya dengan rekan sekerja dalam kantor akuntan publik. Kinerja berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
15 kualitas adalah berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan sedangkan
berdasarkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu. Ketepatan waktu adalah kesesuaian antara waktu yang dapat
dicapai untuk menyelesaikan kerja dengan waktu yang telah direncanakan.
2.1.2. Komitmen Organisasi
Komitmen setiap anggota dalam suatu organisasi merupakan hal yang penting agar organisasi tersebut tetap going concern apapun bentuk organisasinya
termasuk kantor akuntan publik. Komitmen mengindikasikan keinginan anggota untuk tetap loyal dan mengabdikan dirinya pada organisasi tempat ia bekerja.
Robbins 2001 menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan dimana seorang individu memihak pada suatu organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan
keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai keadaan psikologis yang
mengikat seorang karyawan pada organisasinya sehingga mengurangi tingkat turnover Allen dan Meyer, 1990 dan sebagai pola pikir yang berbeda bentuknya
yang mengikat individu untuk melakukan suatu tindakan yang relevan dengan sasaran tertentu Meyer dan Herscovitch, 2001. Sementara Aranya et al. 1981
menyatakan komitmen profesional yang juga berlaku bagi komitmen organisasi sebagai :
1. Rasa percaya yang kuat dan penerimaan seseorang terhadap tujuan dan nilai- nilai organisasi,
2. Keinginan seseorang untuk melakukan usaha secara sungguh-sungguh demi organisasinya,
Universitas Sumatera Utara
16 3. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu
organisasi. Dengan demikian, individu dengan komitmen yang tinggi pada pekerjaannya
akan berusaha melakukan yang terbaik untuk organisasinya yang akan berdampak pada keberhasilan atau kegagalan internal pekerjaannya Gifford, 2003. Ada dua
jenis komitmen, yaitu : 1. Attitudinal commitment
2. Behavioral commitment
Mowday et al. 1982 menguraikan perbedaan di antara keduanya. Attitudinal commitment merupakan pola pikir dimana individu memerhatikan keselarasan
tujuan dan nilai-nilai mereka dengan orang-orang dari organisasi yang mempekerjakan mereka. Sementara, behavioral commitment adalah proses
dimana perilaku individu di masa lalu dalam sebuah organisasi mengikat mereka kepada organisasinya. Baik attitudinal maupun behavioral commitment memiliki
beberapa aspek yang terkandung di dalamnya. Aspek attitudinal antara lain : 1. Diidentifikasikan dengan organisasinya
2. Partisipasi dan keterlibatan dalam peran organisasi 3. Kesetiaan kepada organisasinya
Demikian pula yang termasuk aspek behavioral adalah : 1. Usaha yang sangat besar
2. Kecenderungan untuk tetap berada dalam organisasinya.
Universitas Sumatera Utara
17 Sifat saling melengkapi antara attitudinal commitment dan behavioral
commitment tak terpisahkan dalam konseptualisasi model multidimensional komitmen organisasi Meyer dan Allen 1991.
Meyer dan Allen 1991 menyimpulkan bahwa komitmen mencerminkan keinginan, kebutuhan, dan kewajiban untuk mempertahankan keanggotaan dalam
sebuah organisasi. Hal ini mewujudkan tiga komponen model komitmen organisasi yang dikategorikan oleh Meyer dan Allen 1991 yaitu, komitmen
afektif affective commitment, komitmen kontinu continuance commitment, dan komitmen normative normative commitment.
1. Komitmen Afektif Affective Commitment Komitmen afektif didefinisikan sebagai keterikatan emosional,
identifikasi, dan keterlibatan yang dimiliki oleh seorang karyawan terhadap organisasinya Mowday et al., 1997; Meyer dan Allen, 1993. Porter et al.
1974 mencirikan komitmen afektif dalam tiga faktor, yaitu: 1 Kepercayaan dan penerimaan sasaran dan nilai organisasi
2 Keinginan untuk memusatkan usaha dalam pencapaian tujuan organisasi, dan
3 Keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Individu memandang pekerjaannya sebagai bagian dari identitasnya dan
ingin berkontribusi untuk mencapai tujuan yang ditargetkan Smith dan Hall, 2008. Komitmen ini timbul ketika karyawan ingin menjadi bagian dari
organisasi karena adanya ikatan emosional atau psikologis terhadap
Universitas Sumatera Utara
18 organisasi di mana ia berada. Komitmen afektif ini juga timbul melalui
pengalaman profesional yang positif atau keahlian profesional yang berkembang Hall et al. 2005.
2. Komitmen Kontinu Continuance Commitment Komitmen ini merupakan komitmen yang dimiliki oleh individu yang
merasa bahwa mereka harus tetap berada dalam profesi di mana ia berada sekarang dengan pertimbangan akumulasi modal atau kurangnya alternatif
yang sebanding Smith dan Hall, 2008. Komitmen ini didasarkan pada teori Becker
yang menyatakan
bahwa orang-orang
berkomitmen pada
organisasinya karena modal terakumulasi dalam organisasi tersebut atau kurangnya alternatif yang sesuai Hall et al., 2005. Teori Becker juga
menjelaskan bahwa individu berinvestasi di organisasinya, dan komitmennya pada organisasi dan pekerjaannya berkaitan langsung dengan jumlah
investasinya. Komitmen kontinu ini merupakan penyebab mengapa orang tetap berada
di posisinya yaitu karena adanya biaya yang tinggi jika harus meninggalkan organisasi dan pekerjaannya. Kondisi pasar tenaga kerja yang tidak sesuai
dan adanya keahlian dan investasi yang tidak dapat dipindahtangankan seperti dana pensiun dan hubungan dengan rekan sekerja menyebabkan terjadinya
peningkatan komitmen kontinu continuance commitment. Singkatnya, komitmen ini ada ketika karyawan tetap bertahan pada
organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain atau karena tidak menemukan pekerjaan lain yang sesuai. Meyer dan Allen 1997
Universitas Sumatera Utara
19 menjelaskan bahwa karyawan yang bersama-sama memiliki komitmen
kontinu dengan atasannya membuat mereka sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut.
3. Komitmen Normatif NormativeMandatory Commitment Komitmen ini menjelaskan keadaan auditor yang menyadari bahwa
mereka harus tetap berada dalam organisasi tersebut karena paksaan Smith dan Hall, 2008. Komitmen organisasi normatif ini timbul saat auditor benar-
benar ingin tetap menjadi bagian dari organisasi atau setelah menerima keuntungan mereka merasa harus membalansya take and give dan
merupakan hal yang timbal balik. Selain itu, juga timbul ketika auditor menerima keuntungan yang cukup besar dengan berada pada suatu posisi atau
dengan mengalami sejumlah tekanan dari keluarga atau rekan-rekan kerja yang menekan mereka saat berada di posisi tersebut Hall et al., 2005.
Sederhananya, komitmen ini timbul dari nilai-nilai diri auditor. Auditor bertahan menjadi anggota suatu kantor akuntan publik karena memiliki
kesadaran bahwa komitmen terhadap KAP tempat ia bekerja merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan karena ia berkewajiban untuk itu.
2.1.3. Stres Peran Role Stress
Stres bersifat personal. Setiap orang memiliki tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap tekanan tertentu. Sehingga, untuk tekanan yang sama
tidak selalu menghasilkan stres. Stres merupakan respon psikologis yang dihadapi seseorang ketika berada dalam situasi di luar kendalinya. Stres
Universitas Sumatera Utara
20 penting untuk pertumbuhan, perubahan, perkembangan, dan kinerja auditor
baik di rumah maupun di tempat kerja Quick dan Quick, 1984:1 tetapi bagaimana auditor tersebut akan merespon stressor tergantung pada berbagai
faktor individual. Stres kerja sering timbul dalam situasi ketika seeorang tidak dapat memenuhi kebutuhan kerja yang bersangkutan French dan
Caplan, 1972. Artinya, orang akan mengalami stres ketika mereka tidak dapat mengendalikan pekerjaannya atau ketika tuntutan kerja melebihi
kemampuan yang mereka miliki. Stres tidak selalu dianggap sebagai hal yang buruk karena ada stres yang berdampak baik tetapi ada juga yang
berdampak buruk. Stres yang buruk distress merupakan hasil dari situasi seperti
kehilangan pekerjaan. Sementara, stres yang baik eustress dapat berupa situasi yang akhirnya akan mengondisikan kegembiraan misalnya stres yang
dialami ketika seseorang ingin mendapatkan promosi kerja mendorong seseorang untuk bekerja dengan lebih baik untuk mencapainya Larson,
2004. Namun, salah mengatur stres yang dimiliki organisasi berdampak pada stres dan ketegangan individual yang mengganggu baik individu itu
sendiri maupun organisasinya. Stres berpengaruh baik pada fisik maupun proses mental yang keduanya akan memengaruhi bagaimana seseorang
berperilaku di bawah tekanan yang berat dan memengaruhi tingkatan di mana ia bisa melanjutkan perannya, di rumah dan di tempat kerja, secara efektif dan
efisien Towner, 2002:26.
Universitas Sumatera Utara
21 Stres yang terjadi di lingkungan tempat kerja dan disebabkan oleh hal-hal
yang berhubungan dengan pekerjaan disebut stres kerja. Tuntutan peran berkaitan dengan tekanan yang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari
fungsi peran tertentu yang dimainkannya dalam organisasi tersebut Eko Sasono, 2004:123. Fogarty et al. 2000:32 menegaskan bahwa tekanan
peran terbagi atas tiga, yaitu konflik peran, ketidakjelasan peran, dan kelebihan peran.
Stres peran bersifat berbahaya karena membuat auditor tidak memiliki kepastian akan tujuan-tujuan dan harapan-harapannya dalam organisasi.
Sopiah 2008 menerangkan stres karena peran atau tugas termasuk kondisi dimana auditor mengalami kesulitan dalam memahami apa yang menjadi
tugasnya dan merasa perannya terlalu berat atau memainkan peran yang banyak pada tempat mereka bekerja. Pemicu stres memiliki empat penyebab
utama, yaitu: a. Konflik Peran Role Conflict
Ketika di antara rekan sekerja bersaing menghadapi berbagai tuntutan maka terjadi konflik peran ini. Ada beberapa jenis konflik peran dalam
setting organisasional, antara lain : a Inter-role conflict, terjadi ketika seseorang memiliki dua peran yang
masing-masing berlawanan dalam suatu organisasi. b Intra-role conflict, terjadi saat seseorang menerima pesan
berlawanan dari orang yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
22 c Person-role conflict, terjadi saat kewajiban-kewajiban dalam
pekerjaan dan nilai-nilai organisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai pribadi.
b. Ketidakjelasan Peran Role Ambiguity Stressor ini terjadi dan dialami oleh para karyawan saat mereka merasa
bimbang tentang tugas-tugas mereka, harapan kinerja, tingkat kewenangan, dan kondisi kerja yang lain. Hal ini cenderung terjadi saat orang memasuki
situasi yang baru, seperti menjadi anggota suatu organisasi atau mengambil suatu tugas pekerjaan yang asing karena bimbang dengan harapan sosial dan
tugas-tugasnya. c. Beban Kerja workload
Beban kerja adalah pemicu stres yang berhubungan dengan peran atau tugas lain yang terjadi karena pegawai merasa beban kerjanya banyak. Hal
ini dapat terjadi karena para karyawan merasa beban kerjanya banyak. Hal ini dapat terjadi misalnya karena perusahaan mengurangi tenaga kerjanya dan
melakukan restrukturisasi pekerjaan, membebani pegawai yang ada dengan tugas yang banyak dan waktu serta sumber daya yang sedikit untuk
menyelesaikannya. d. Karakteristik Tugas Task Characteristics
Beberapa tugas yang potensial memicu stres adalah ketika membuat keputusan, memantau perlengkapan, atau saling bertukar informasi.
Pengendalian yang kurang, aktivitas dalam pekerjaan yang terlalu banyak, dan lingkungan kerja juga termasuk dalam kategori stressor ini.
Universitas Sumatera Utara
23 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres peran
adalah stres yang disebabkan oleh tuntutan peran yang dilakoni oleh seseorang ketika kemampuannya kurang memadai untuk memenuhi tuntutan
fungsi peran tersebut. Ada beberapa jenis stres peran yang diketahui. Namun, penelitian ini hanya menggunakan konflik peran dan ketidakjelasan
peran sebagai variabel moderating.
2.1.4. Konflik Peran Role Conflict
Konflik peran adalah suatu situasi yang terjadi karena seseorang tidak bekerja sesuai dengan aturan, norma, dan etika profesional. Konflik dapat
menyebabkan dampak negatif terhadap perilaku individu yang akhirnya akan berujung pada penurunan kinerja auditor secara keseluruhan Fanani et al.,
2007. Konflik peran merupakan gambaran kondisi karena diterimanya dua perintah atau lebih yang berbeda secara bersamaan sehingga terabaikannya
perintah yang lain sementara perintah yang satu dilaksanakan. Konflik peran menimbulkan harapan-harapan yang kemungkinan sulit untuk dipenuhi
Robbins dan Judge, 2009. Demikian pula, Patelli 2007 mengemukakan bahwa konflik peran terjadi saat dua atau lebih peran dilakukan secara
bersamaan sehingga pelaksanaan atas satu tekanan menghambat pelaksanaan tekanan yang lainnya. Stres yang dialami secara terus-menerus selain
merugikan kinerja auditor juga menyebabkan timbulnya reduced personal accomplishment yang mengakibatkan kepuasan kerja dan keinginan untuk
tetap bekerja di kantor akuntan publik menjadi rendah. Gibson et al. 2006 membagi konflik dalam beberapa bentuk antara lain :
Universitas Sumatera Utara
24 a. Konflik Peran Pribadi Person-Role Conflict
Konflik ini terjadi ketika peran yang ada bertentangan dengan peran dasar, sikap, dan kebutuhan individu yang memainkan peran tersebut.
b. Konflik Intraperan Intrarole Conflict Konflik ini terjadi ketika individu terkait peran memiliki harapan yang
berbeda dengan definisi peran yang sebenarnya ia lakoni sehingga ia sulit untuk memenuhi semua permintaan perannya.
c. Konflik Antarperan Interrole Conflict Konflik ini terjadi ketika individu mengerjakan banyak peran yang
memiliki harapan yang saling bertentangan secara bersamaan. Teori peran menegaskan bahwa ketika individu tidak memiliki
kekonsistenan terhadap perilaku-perilaku yang diharapkan darinya maka ia akan mengalami stres yang berdampak pada efektivitas organisasi yang
menurun. Rizzo et al. 1970 melihat konflik peran sebagai penyebab menurunnya kepuasan individu dan efektivitas organisasi. Role conflict dan
role ambiguity merupakan dua ketegangan psikologis yang memengaruhi baik kesehatan mental maupun fisik Jackson, 1983.
Umar Nimran 2004 menyebutkan ciri-ciri seseorang yang berada dalam konflik peran, yaitu :
a. Mengerjakan hal-hal yang tidak perlu. b. Terjepit di antara dua atau lebih kepentingan yang berbeda atasan dan
bawahan atau sejawat.
Universitas Sumatera Utara
25 c. Mengerjakan sesuatu yang diterima oleh pihak yang satu tetapi tidak oleh
pihak yang lain. d. Menerima perintah yang bertentangan.
e. Mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan keadaan dimana saluran komando dalam organisasi tidak terpenuhi.
Beberapa definisi mengenai konflik peran di atas dapat disimpulkan bahwa konflik peran role conflict adalah suatu ketegangan psikologis yang
dihadapi oleh seseorang yang terjepit di antara situasi yang menempatkannya di keadaan yang tidak sesuai antara perintah yang diberikan dengan sikap,
komitmen, dan kebutuhan dari individu yang memainkan peran tersebut. Fanani et al. 2008 menyatakan bahwa konflik peran berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap kinerja auditor. Konflik peran berdampak buruk terhadap perilaku individu yang memicu dampak buruk lainnya yang hasilnya
adalah kinerja yang buruk.
2.1.5. Ketidakjelasan Peran Role Ambiguity
Ketidakjelasan peran adalah kurangnya pemahaman atas hak-hak, hak istimewa dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan
Gibson et al., 1997. Zaenal Fanani et al. 2007 menyatakan bahwa role ambiguity terjadi ketika informasi yang dimiliki tidak cukup, tidak adanya
arah dan kebijakan yang jelas, ketidakpastian otoritas, kewajiban dan hubungan dengan yang lainnya, serta adanya ketidakpastian sanksi dan
ganjaran terhadap perilaku yang dilakukan. Begitu juga Eko Sasono 2004
Universitas Sumatera Utara
26 menjelaskan bahwa ketidakjelasan peran terjadi saat pemahaman tentang
harapan peran tidak jelas dan individu tidak memiliki kepastian akan apa yang harus dikerjakannya. Hal ini dapat terjadi pada semua orang tak
terkecuali auditor sendiri. Ketidakjelasan peran dapat membuat orang-orang sulit untuk menyesuaikan diri dengan organisasinya karena mereka tidak
mengetahui dengan pasti apa yang diharapkan darinya. Oleh karena itu, mereka mengharapkan penjelasan sehingga mereka mengerti apa yang harus
dan tidak harus dikerjakan. Menurut teori peran, ketidakjelasan peran yang dialami dalam waktu
yang lama dapat mengikis kepercayaan diri, memupuk ketidakpuasan kerja, dan menghambat kinerja. Penelitian Jackson 1983 menemukan bahwa role
ambiguity berkorelasi negatif dengan kesehatan psikologis dan kesejahteraan fisik. Demikian pula, teori klasik menyatakan bahwa setiap kedudukan dalam
struktur organisasi formal harus memiliki tugas dan tanggung jawab yang khusus dan jelas. Seperti Rizzo et al. 1970 menyatakan bahwa jika
seseorang tidak tahu dengan pasti otoritas yang sebenarnya yang dimilikinya untuk mengambil keputusan, apa yang diharapkan untuk dicapai, dan
bagaimana dia akan dinilai maka ia akan ragu untuk membuat keputusan dan harus mengandalkan pendekatan trial and error dalam memenuhi harapan-
harapan pemimpinnya. Hal ini tentunya akan menempatkannya pada situasi yang tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan perannya yang sebenarnya
sehingga kinerja pun tidak optimal.
Universitas Sumatera Utara
27 Umar Nimran 2004 menggambarkan ciri-ciri mereka yang berada
dalam ketidakjelasan peran sebagai berikut : a. Tidak mengetahui dengan jelas apa tujuan peran yang dimainkannya.
b. Tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab dan siapa yang melapor kepadanya.
c. Tidak cukup wewenang untuk melaksanakan tanggung jawabnya. d. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan darinya.
e. Tidak memahami dengan benar peranan pekerjaannya dalam rangka mencapai tujuan secara keseluruhan.
Maka, dapat disimpulkan bahwa ketidakjelasan peran role ambiguity merupakan kurang memadainya informasi yang dimiliki oleh seseorang untuk
mengerti perannya secara utuh dan memahami kewajiban-kewajiban dan hak- haknya dalam organisasi sehingga ia tidak dapat melakukan tugasnya sesuai
dengan tuntutan peran yang dimilikinya. Fanani et al. 2008 menemukan bahwa ketidakjelasan peran tidak berpengaruh terhadap ketidakjelasan peran.
Sementara, Fried 1998 menyatakan bahwa ketidakjelasan peran berpengaruh pada level kinerja yang lebih rendah. Seperti konflik peran,
ketidakjelasan peran pun berbahaya bagi kesehatan psikologis dan fisik karena merupakan memicu stress.
2.2. Penelitian Terdahulu
Adapun hasil-hasil dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian
ini dapat
dilihat pada
tabel 2.1
di bawah
ini.
Universitas Sumatera Utara
28
Tabel 2.1 Penelitian-penelitian Terdahulu
No. Peneliti
Judul Penelitian Variabel
Teknik Analisis
Hasil Penelitian
1. Zahra
Ghorbanpour et al. 2014
Investigating the Effect of Organization
Commitment on Performance of
Auditors in the Community of
Certified Accountants Independen : komitmen
afektif, kontinu, dan normatif
Dependen : kinerja auditor dan karakteristik
demografis Regresi
berganda Komitmen afektif dan normatif
berpengaruh sementara komitmen kontinu tidak berpengaruh secara
signifikan.
2. Sri
Trisnaningsih 2007
Independensi Auditor dan Komitmen
Organisasi Sebagai Mediasi Pengaruh
Pemahaman Good Governance, Gaya
Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi
Terhadap Kinerja Auditor
Independen : pemahaman good governance, gaya
kepemimpinan, budaya organisasi, independensi
auditor, dan komitmen organisasi
Moderating : independensi auditor dan komitmen
organisasi Dependen : kinerja
auditor, independensi auditor, dan komitmen
organisasi Structural
Equation Model SEM
Gaya kepemimpinan berpengaruh secara langsung terhadap kinerja
auditor sedangkan pemahaman good governance dan budaya
organisasi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja
auditor.
Universitas Sumatera Utara
29 Tabel 2.1. Lanjutan
No. Peneliti
Judul Penelitian Variabel
Teknik Analisis
Hasil Penelitian
3. Josina
Lawalata, Darwis Said,
dan Mediaty 2008
Pengaruh Independensi Auditor,
Komitmen Organisasi, Gaya Kepemimpinan,
dan Budaya Organisasi Terhadap
Kinerja Auditor Independen : independensi
auditor, komitmen organisasi, gaya
kepemimpinan, dan budaya organisasi
Dependen : kinerja auditor Regresi
berganda Independensi auditor, komitmen
organisasi, gaya kepemimpinan, dan budaya organisasi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja auditor.
Hal ini menunjukkan bahwa auditor yang memiliki independensi dan
komitmen organisasi yang tinggi, cara memimpin yang baik, serta
adanya budaya organisasi akan meningkatkan kinerja dalam
organisasi di mana ia bekerja.
4. Zaenal Fanani
et al. 2007 Pengaruh Struktur
Audit, Konflik Peran, dan Ketidakjelasan
Peran Terhadap Kinerja Auditor
Independen : struktur audit, konflik peran, dan
ketidakjelasan peran Dependen : kinerja auditor
Regresi berganda
Struktur audit dan konflik peran berpengaruh secara signifikan
sementara ketidakjelasan peran tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kinerja auditor.
Universitas Sumatera Utara
30 Tabel 2.1 Lanjutan
No. Peneliti
Judul Penelitian Variabel
Teknik Analisis
Hasil Penelitian
5. Darwish A.
Yousef 2000 Organizational
Commitment: A Mediator of the
Relationships of Leadership Behavior
with Job Satisfaction and Performance in a
Non-Western Country Independen : gaya
kepemimpinan, komitmen organisasi
Moderating : kebangsaan dan komitmen organisasi
Dependen : kinerja dan kepuasan kerja
Moderated Multiple
Regression Gaya kepemimpinan dan
kebangsaan berinteraksi secara bersama dalam
meningkatkan kepuasan kerja
Interaksi antara gaya kepemimpinan dan
komitmen organisasi meningkatkan baik kepuasan
kerja maupun kinerja
Kebangsaan tidak memoderasi baik hubungan
antara gaya kepemimpinan dengan komitmen organisasi
dengan kinerja maupun hubungan antara komitmen
organisasi dengan kinerja dan kepuasan kerja.
Universitas Sumatera Utara
31
2.3. Kerangka Konseptual