1. 4 Tinjauan Pustaka
Sebuah perusahaan memiliki budaya korporasinya sendiri yang menjadikannya berbeda dari perusahaan lain. Terlebih lagi jika perusahaan itu
telah lama malang-melintang dalam bidang usaha tertentu. Budaya korporasi A belum tentu sama dengan budaya korporasi B. Itulah mengapa budaya di suatu
perusahaan belum tentu dapat di terima secara utuh di perusahaan lain. Bukan berarti budaya korporasi A lebih hebat atau superior dibanding budaya korporasi
B atau sebaliknya. Tiap perusahaan pastilah memiliki budayanya sendiri dan dalam budaya
itu memiliki sistem nilai dan cara pandangnya masing-masing. Jadi ketika perusahaan yang satu pergi ke daerah atau perusahaan lain dengan latar budaya
berbeda, perusahaan itu menanggapi sekelilingnya dengan sudut pandang budaya korporasinya, dan bila ini dibiarkan mampu merugikan perusahaan itu sendiri.
tidak ada dua budaya korporasi yang persis sama. Maka budaya korporasi tersebut sifatnya relatif.
Relativisme budaya menyatakan bahwa tidak ada budaya yang lebih unggul daripada budaya yang lainnya. Claude Levi-Strauss mengemukakan
bahwa: “Cultural relativism affirms that one culture has no absolute
criteria for judging the activities of another cultures as “low” or “noble”. However, every culture can and should apply such
judgment to its own activities, because its members are actors as well as observers” Levi-Strauss dalam Cliffort Geertz, 1997: 7.
Universitas Sumatera Utara
Relativisme budaya menegaskan bahwa suatu budaya tidak memiliki kriteria yang mutlak untuk menilai budaya lain rendah maupun mulia. Masyarakat dari sebuah
kebudayaan harus berpikir dua kali sebelum menerapkan norma-norma dari satu orang, kelompok atau masyarakat yang lain.
Budaya dalam sebuah perusahaan dapat dianalogikan seperti budaya di dalam suatu masyarakat. Budaya dalam suatu masyarakat merupakan lahan kajian
untuk ilmu Antropologi sendiri, karena Antropologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat dan kebudayaannya. Namun seiring perkembangan
zaman, Antropologi bermetamorfosis menjadi ilmu yang tidak hanya mempelajari ‘masyarakat primitif’ namun beranjak menuju masyarakat-masyarakat yang
modern. Meluasnya bidang ilmu Antropologi ditandai dengan lahirnya kajian mengenai budaya korporasi dari perspektif Antropologi. Sejak tahun 1930 an,
antropologi budaya telah mengkonduksikan penelitian di berbagai latar industri dan budaya yang berfokus dengan budaya korporasi di AS. Sebagai contoh,
sekolah yang mempelajari hubungan antar manusia meneliti pada tahun 1930 dan 1940an tentang sebuah etnografi yang menunjukkan bagaimana pola budaya
internal dapat mempengaruhi tujuan dari para manajer. Sebelum melangkah terlalu jauh ada baiknya perlu diketahui terlebih
dahulu apa pengertian perusahaan dan apa pula yang dinamakan budaya. Secara sederhana, perusahaan dapat dimaknai sebagai suatu badan yang di bentuk atau
didirikan yang bertujuan untuk menghasilkan laba. Menurut Wikipedia, perusahaan adalah tempat terjadinya kegiatan produksi dan berkumpulnya semua
faktor produksi. Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
tinjauan hukum istilah perusahaan mengacu kepada badan hukum dan perbuatan badan usaha yang menjalankan usahanya. Perbuatan badan usaha tersebut
mencakup perbuatan ekonomi yang komersial yang bertujuan mendapatkan keuntungan atau laba. Termasuk di dalamnya segala aktifitas perdagangan,
pelayanan, dan industri dengan bentuk badan usaha yang berbeda-beda seperti perusahaan komanditer CV dan perusahaan terbatas
http:id.answers.yahoo.comquestionindex?qid=20091011200354AAEOmTU. Budaya telah dimaknai dengan banyak cara. Bahkan antropolog masih
belum setuju satu sama lain dengan satu pengertian. Berbagai definisi budaya yang ada tidak hanya mengacu pada benda-benda fisik atau perilaku lahiriah
semata, melainkan juga pada hal-hal yang tidak terindera oleh manusia, itulah yang menyebabkan banyak sekali pendapat para ahli mengenai budaya. Menurut
Edward Burnett Tylor 1871 salah seorang antropolog berkebangsaan Inggris mendefinisikan kebudayaan sebagai:
“kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lain-lain kecakapan, dan
kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.” E.B.Tylor dalam William Haviland, 1985:332.
Menurut A.L Kroeber dan C. Kluckhohn, kebudayaan dimaknai sebagai
“pola-pola nilai, ide dan sistem simbolik lainnya yang disebarluaskan dan mengarahkan perilaku.” Sedangkan menurut seorang ahli konsultan asal Belanda
Geert Hofstede yang merupakan salah satu pionir dalam meletakkan keberagaman budaya dalam agenda kerjanya. Beliau lah peneliti pertama yang mempertanyakan
bagaimana mengadaptasi teori manajemen perusahaan-perusahaan Amerika dan
Universitas Sumatera Utara
mengaplikasikannya ke dalam berbagai konteks budaya. Budaya menurutnya adalah:
“sebagai pemrograman mental secara kolektif yang menghasilkan perbedaan antara anggota kelompok masyarakat yang satu dengan
anggota kelompok masyarakat yang lain” Geert Hofstede dalam Alois A Nugroho, 2003: 35.
Lalu apa yang pula yang dimaksud dengan budaya perusahaan atau budaya
korporasi. Schein 1985 dalam Moeljono 2003: 17 menyebutkan bahwa budaya korporasi yang mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan organisasi itu terhadap organisasi-organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins 2003: 525 menyatakan bahwa:
“organizational culture refers to a system of shared meaning held by members that disguishes the organization from other
organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organizations
values” – budaya organisasi adalah sebuah sistem pemaknaan bersama yang dibentuk oleh para warganya yang sekaligus
menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai
organisasi”.
Beliau juga mengungkapkan ada tujuh kata kunci yang penting dari sebuah budaya korporasi yaitu :
a. Innovation and risk taking yaitu sejauh mana para karyawan