mengaplikasikannya ke dalam berbagai konteks budaya. Budaya menurutnya adalah:
“sebagai pemrograman mental secara kolektif yang menghasilkan perbedaan antara anggota kelompok masyarakat yang satu dengan
anggota kelompok masyarakat yang lain” Geert Hofstede dalam Alois A Nugroho, 2003: 35.
Lalu apa yang pula yang dimaksud dengan budaya perusahaan atau budaya
korporasi. Schein 1985 dalam Moeljono 2003: 17 menyebutkan bahwa budaya korporasi yang mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan organisasi itu terhadap organisasi-organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins 2003: 525 menyatakan bahwa:
“organizational culture refers to a system of shared meaning held by members that disguishes the organization from other
organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organizations
values” – budaya organisasi adalah sebuah sistem pemaknaan bersama yang dibentuk oleh para warganya yang sekaligus
menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai
organisasi”.
Beliau juga mengungkapkan ada tujuh kata kunci yang penting dari sebuah budaya korporasi yaitu :
a. Innovation and risk taking yaitu sejauh mana para karyawan
didorong untuk melakukan inovasi dan berani mengambil resiko.
b. Attention to detail yakni sejauh mana para karyawan diharapkan
memperlihatkan kecermatan analisis, dan perhatian kepada rincian.
c. Outcome orientation yaitu sejauh mana manajemen memfokuskan
pada hasil dan bukannya pada teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
Universitas Sumatera Utara
d. Team Orientation yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan
oleh tim-tim bukannya individu-individu.
e. People Orientation yaitu sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam perusahaan itu.
f. Aggressiveness maksudnya adalah sejauh mana orang-orang itu
agresif dan kompetitif dalam perusahaan.
g. Stability
Menurut John P. Kotter dan James L. Heskett 1997: 4 ada dua tingkatan yang berbeda dalam sebuah budaya korporasi yang dapat dilihat dari sisi kejelasan
dan ketahanan budaya tersebut terhadap perubahan. Pertama, pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, budaya merujuk kepada nilai-nilai yang dianut
bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Kedua, pada tingkatan yang
lebih terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti
perilaku sejawatnya. Geertz Hofstede mengatakan ada beberapa tipe dasar budaya Peters,
2003: 95 yang memiliki pengaruh yang sangat nyata dalam proses informasi dan interaksi orang, baik secara pribadi maupun sebagai kolega bisnis, tipe-tipe
tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Rentang Kekuasaan
Maksud dari dimensi budaya yang satu ini adalah menggambarkan bagaimana individu-individu dalam suatu masyarakat – perusahaan –
memandang kekuasaan dan konsekuensinya dalam memandang peranannya dalam pengambilan keputusan atau perintah yang tidak
melibatkan masukan dari mereka. Pada masyarakat dengan rentang kekuasaan yang tinggi, pegawai tidak mencari peran dalam pengambilan
keputusan. Dalam budaya rentang kekuasaan rendah, pegawai akan lebih banyak menerima tanggung jawab. Budaya yang rentang kekuasaannya
rendah cenderung bersifat individualistis.
2. Individualisme VS Kolektivisme
Nilai-nilai yang dianut masyarakat akan menentukan bagaimana nantinya seseorang menjelaskan dirinya sendiri, apakah sebagai orang
bebas atau sebagai anggota suatu kelompok, organisasi atau perusahaan. Masyarakat yang percaya pada pola pikir kolektif akan menghargai
keselarasan dan berupaya mengendalikan perilaku individu melalui sanksi internal seperti dipermalukan atau dikucilkan dari kelompok.
Pengambilan keputusan dalam budaya individualis lebih cepat, tetapi penerapan suatu perubahan kebijakan seperti proses kode etik
perusahaan yang baru yang akan lebih lambat dari budaya kolektif. Sedangkan dalam lingkungan yang bersifat kolektif, pencapaian konsensus
Universitas Sumatera Utara
mungkin akan makan waktu lama tetapi sekali keputusan selesai dibuat penerapannya akan lebih cepat.
Hofstede memberikan pengertian masyarakat yang individual dan kolektif sebagai berikut :
“Individualism pertains to societies in which the ties between individuals are loose; every is expected to look
after himself and his or her immediate family. Collectivism as its opposite pertains to societies in which people from
birth onwards are integrated into strong, cohesive in groups, which throughout people’s lifetime to protect them
in exchange for unquestioning loyalty
- Istilah
individualisme berkaitan dengan masyarakat di mana hubungan antar individual begitu renggang; setiap orang
lebih peduli pada dirinya dan keluarga dekatnya. Sementara itu istilah collectivism, kebalikan dari individualism,
berkaitan dengan masyarakat di mana seseorang sejak dilahirkan merupakan bagian integral dari kelompok
masyarakat” Hofstede dalam Sobirin, 2006: 83
3. Sikap Terhadap Ketidakpastian
Dimensi ini menyoroti tentang bagaimana sebuah korporasi menghadapi ketidakpastian dalam menghadapi masa depan. Hofstede
dalam Sobirin 2006: 87 mendefinisikan upaya menghindari ketidakpastian atau ketidaktentuan uncertainty avoidance sebagai “the extent to which
the members of a culture feel threatned by uncertain or unknown situation” – sejauh mana masyarakat merasa terancam oleh situasi yang
tidak menentu atau tidak di ketahui sebelumnya. Reaksi yang timbul akibat situasi yang tidak menentu pada seseorang atau kelompok dalam
sebuah perusahaan tergantung pada sejauh mana orang atau kelompok dalam perusahaan tersebut merasa terancam. Sehingga, secara umum sikap
terhadap ketidakpastian uncertainty avoidance terbagi dua :
Universitas Sumatera Utara
a. Strong uncertainty avoidance yang maksudnya adalah toleransi yang relatif rendah terhadap situasi ketidakpastian.
b. Weak Uncertainty avoidance yang cenderung berupaya untuk menghindari ketidakpastian, masyarakat dengan weak uncertainty
avoidance cenderung toleran terhadap ketidakpastian.
4. Maskulinitas VS Feminitas
Tipe ini membicarakan tentang nilai dan sikap sosial. Masyarakat yang berorientasi ‘maskulin’ menghargai agresivitas dan ketegasan serta
mengharapkan sasaran berupa pencapaian material. Sedangkan yang berorientasi ‘feminim’ lebih menghargai hubungan pribadi, meletakan
kualitas hidup sebelum pencapaian material, dan menunjukkan kepedulian terhadap golongan yang tidak beruntung.
Budaya korporasi merepresentasikan persepsi budaya umum yang dimiliki oleh semua pekerjanya. Ini merupakan bentuk eksplisit dari dimana mereka
mendefinisikan budaya sebagai suatu sistem makna. Di dalam hal ini kita dapat mengharapkan bahwa individu dengan latar belakang dan pangkat berbeda dalam
suatu perusahaan akan mendeskripsikan perusahaan itu dengan bahasa yang sama. Kehadiran budaya korporasi di sebuah perusahaan tidaklah muncul begitu
saja tanpa melalui suatu proses. Ada beberapa unsur yang melandasi terbentuknya suatu budaya korporasi Atmosoeprapto dalam Moeljono 2003: 22, yakni :
Universitas Sumatera Utara
a. Lingkungan Usaha yaitu lingkungan di tempat perusahaan itu
beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan.
b. Nilai-nilai yang merupakan konsep dasar dan keyakinan suatu
organisasi.
c. Panutan atau keteladanan, orang-orang yang menjadi panutan atau
teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya.
d. Upacara-upacara rites dan ritual, acara-acara rutin yang
diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya.
e. Network, jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang
dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai budaya perusahaan. Namun bukan hal yang mudah untuk dapat menerapkan sebuah budaya
korporasi kepada setiap karyawan di perusahaan. Untuk itulah dibutuhkan suatu proses sosialisasi agar budaya korporasi itu dapat diaplikasikan secara utuh dan
menyeluruh oleh para karyawan. Sosialisasi yaitu merupakan proses yang mengadaptasikan karyawan dengan kultur organisasi Robbins, 2008: 269, yang
terdiri dari beberapa tahapan, yakni :
a. Tahap pra-kedatangan , yaitu periode pembelajaran dalam proses