Me n ge m b a n gka n P ikira n Ko le ktif
Me n ge m b a n gka n P ikira n Ko le ktif
Gerakan intelektual organik di tingkat basis ini m ungkin m asih terlalu m uda untuk dinilai pencapaiannya. Mungkin istilah alternatif m asih kegedean, kata Fauzi Abdullah. Tapi dari apa yang berkem bang sejauh ini terlihat bahwa usaha m em aham i kenyataan hidup yang langsung m em bawa para pesertanya kepada berm acam -m acam issue yang sem ula tak terjangkau karena dibungkus konsep-konsep hebat yang tak dim engerti. Istilah seperti neoliberalism e, globalisasi, krisis finansial dan sebagainya m em ang dirasa asing dan berjarak. Tapi tidak berarti bahwa sem ua itu tidak ada hubungannya dengan kenyataan hidup m ereka. J ustru sebaliknya, m asyarakat di basis m engalam inya langsung dan m engem bangkan pengertian m aupun istilahnya sendiri.
Usaha m em bela hak-hak rakyat atas tanah biasanya berawal dari pencatatan kasus, khususnya perlakuan pihak yang m ereka hadapi, m ulai dari perusahaan tam bang atau perkebunan, sam pai birokrat setem pat dan aparat keam anan. Kalangan aktivis-intelektual kem udian m em bawa pengetahuan m ereka tentang ekspansi m odal atau kapitalism e, globalisasi neoliberal, sistem hukum dan catatan kekerasan aparat keam anan yang m em beri kerangka pada pengalam an nyata itu. Pertem uan antar basis selanjutnya m em ungkinkan orang bertukar pengalam an dan m em buat abstraksi yang berujung pada gugus pengetahuan yang disebut teori. Fungsi kritik dari teori yang dipelajari di universitas m enjadi konkret dan sebaliknya m asyarakat yang m engalam i persoalan secara langsung dapat m engenali kasusnya dalam kerangka lebih luas.
Sem entara analisis kritis seringkali berhenti pada upaya m em aham i m asalah, kerangka pengetahuan yang berkem bang dalam situasi ini biasanya bersam bung dengan pem ecahan m asalah dan m em beri dasar untuk m em bayangkan m asa depan lebih baik secara konkret. Seperti penggunaan pupuk organik dari bahan sederhana. Di sam ping m em ecahkan kesulitan yang dihadapi petani untuk m erawat tanam annya praktek ini sekaligus m em otong ketergantungan pada industri kim ia yang m enjadi ciri pertanian m odern a la Revolusi Hijau dan m enggali kem ungkinan m engem bangkan pertanian yang berdaya.
Di Wonosobo gerakan petani hutan berhasil m erum uskan pengam atan dan pengalam an m ereka m enjadi kritik am puh untuk m enilai hasil kerja pem erintah dalam pengelolaan hutan dan perawatan lingkungan. Dengan perhitungan cerm at m ereka m engatakan bahwa kebijakan Perhutani m enanam pohon pinus di lahan kosong justru m em buat resapan air sem akin berkurang dan sebagai gantinya m engusulkan penanam an pohon jati. Berbekal pengetahuan dan pengalam an ini akhirnya m ereka m em beranikan diri m enangani pengelolaan hutan di wilayahnya, m enentukan aturan m ain dan m em bangun perangkat kelem bagaannya. Keinginan sederhana m erawat hutan yang m enjadi sum ber penghidupannya berkem bang m enjadi gugus pengetahuan yang lengkap m engenai tatanan sosial, kekuatan birokrasi dan sekaligus langkah perubahan yang konkret.
Ada banyak kisah pencapaian sem acam itu, nam un sedikit sekali usaha m erekam dan m engem bangkannya. Pem erintah jelas tidak m enaruh perhatian, m ungkin karena sudah terlanjur m enganggap rakyat bodoh dan tidak berdaya m engikuti doktrin m assa m engam bang Orde Baru. Pendidikan kejuruan tidak terarah pada pengem bangan pengetahuan lokal, tapi justru sebaliknya m encetak agen m odernisasi yang bertugas m engubah cara pandang tradisional . Sem asa Revolusi Hijau m isalnya penyuluh pertanian dan birokrat lokal m ewajibkan petani m em akai bibit buatan pem erintah karena bibit lokal yang dipelihara selam a puluhan m ungkin ratusan tahun dianggap tidak produktif. Hasil tem uan yang diwariskan bergenerasi itu pun terancam punah dan kerugiannya sem akin dirasakan ketika krisis m elanda pertanian
m odern sekarang ini. Kalangan aktivis-intelektual juga tidak selalu m enjalankan tugas m enjem batani pengetahuan ini.
Kadang m ereka justru m enganggapnya bertentangan atau bahkan bertolak belakang sehingga gerakan m engem bangkan pikiran kolektif itu sulit berkem bang. Ada sem acam rom antism e yang m enganggap daya-pikir rakyat di basis sebagai sesuatu yang sakral, tidak boleh diutak-atik apalagi dicam puri dengan pikiran m odern. Ada juga yang kem udian m engam bilalih dan m engklaim nya sebagai m ilik. Saya m elihat fenom ena seperti itu, kata Lely Zailani dari Parbaungan, Sum atera Utara. Sem entara aktivis terus bertam bah pengetahuannya karena m em ungut pikiran dan tem uan di basis-basis, m asyarakat tetap saja terbatas karena tidak m endapat kesem patan m engem bangkannya.
Menurutnya, tugas lem baga, aktivis atau siapa pun yang terlibat dalam proses pendidikan bersam a ini adalah m em beri kerangka kerja untuk m elakukan inventarisasi dan dokum entasi agar dapat disebarluaskan kepada m asyarakat. Beberapa lem baga yang bergerak di bidang pertanian dan pengobatan tradisional sudah m ulai m elakukannya dengan m encetak buku, m anual dan bahkan m em buat video tentang praktek-praktek m asyarakat di bidang itu. Bagaim anapun usaha itu m asih terbatas m engangkat pengetahuan lokal agar dapat diserap kelas m enengah, sem entara transfer pengetahuan dari basis ke basis yang lebih diperlukan m asih sangat terbatas.
Beberapa yang lain coba m elakukannya dengan m erekrut cerdik-pandai di pedesaan ke dalam lem baga m asing-m asing, agar dapat duduk setara dan ikut m enentukan kebijakan lem baga. Sayangnya upaya ini seringkali berakhir dengan dibentuknya LSM baru yang m em buat m ereka terseret tarik-m enarik kepentingan lem baga dana, adm inistrasi dan birokrasi, atau m enjadi sasaran partai politik yang m encari tokoh lokal untuk m enarik pem ilih. Pekerjaan di basis pun akhirnya dilupakan dan m enjadi bagian dari elite baru yang sem akin gagap bergaul dengan lingkungannya sendiri.
Langkah penting untuk m engatasi berbagai problem ini adalah m enyediakan ruang diskusi, tukar pikiran dan pengalam an terus-m enerus. Sem inar, konperensi, pertem uan atau sejenisnya bisa m enjadi efektif jika tidak bergantung pada jadwal aktivis-intelektual yang selalu sibuk atau program LSM yang ketat perencanaan dan laporannya. Saya berpikir tentang tem pat di m ana tem an-tem an itu bisa m enginap, diskusi di antara sesam anya atau dengan narasum ber. Di tem pat itu juga tersedia bahan bacaan dan fasilitas m enulis. Tidak perlu ada program ketat, sem uanya longgar dan bergantung pada keperluan dan keinginan, kata Fauzi Abdullah.