An ta ra Te o ri d a n P ra kte k

An ta ra Te o ri d a n P ra kte k

Salah satu tem a paling hangat dan sam pai hari ini m enjadi perdebatan adalah hubungan teori dan aksi. Mereka yang coba tekun m em pelajari teori dan m em pelajari situasi sosial dianggap

terlalu intelek dan berm ewah-m ewah di tengah kebutuhan m endesak m elancarkan aksi. Sebaliknya gairah aktivism e dianggap kenakalan rem aja yang tidak punya orientasi dan arah jelas. Forum diskusi yang coba m em pertem ukan kecenderungan ini ham pir selalu berakhir dengan gerundelan atau sum pah-serapah penuh jargon yang tak jelas ujung dan pangkalnya. Proses yang m elelahkan dan akhirnya tidak m em bawa perkem bangan apa pun bagi keduanya.

Masalahnya apa yang disebut teori m aupun praktek itu seringkali bertolak dari keinginan subyektif yang diputuskan seram pangan. Mereka yang m enjalankan kerja tekun kadang berasyik- m asuk dengan pikirannya sendiri, m engikuti trend pem ikiran m ancanegara tanpa coba m elihat kegunaannya bagi lingkungan sekitar m aupun m enyadari asal-usulnya. Selam a 198 0 -an kaum intelektual m enggeluti pikiran kritis dengan bekal seadanya. Kam i berusaha m em aham i Marxism e dari perkem bangan yang paling akhir seperti teori ketergantungan dan neo-Marxis, tanpa pernah m engenal akarnya, ujar Harry Wibowo, yang sem pat aktif m em bangun kelom pok studi di m asa itu. Bahan bacaan sulit diperoleh sem entara perpustakaan tidak m em adai, sehingga yang ada kadang diperlakukan seperti jim at yang dipercaya benar kebenarannya. Kem am puan m enggertak dengan kutipan m enjadi lebih dihargai ketim bang pem aham an m endalam terhadap m asalah.

Teori dan konsep pun kadang terkesan dipungut dari sem barang tem pat dan dilontarkan m entah-m entah. Misalnya konsep civil society yang m ulai populer awal 1990 -an dan m enjadi jargon gerakan LSM yang paling populer sam pai sekarang. Penggunaannya sudah m eluas sedem ikian rupa tapi jarang sekali digali m endalam , sehingga saban kali terbentur pada perbedaan definisi dan hal-hal yang sangat m endasar. Sam a halnya dengan istilah-istilah reform asi, transform asi dan revolusi yang sering digunakan dan dilecehkan begitu saja. Dan intelektual pun terheran-heran ketika rum us-rum us buatannya dengan m udah diam bilalih dan m enjadi agenda elite politik yang kepentingannya bertolak belakang.

Kebebasan yang dinikm ati setelah Soeharto m engundurkan diri m enjadi pedang bem ata dua. Di satu sisi orang lebih bebas m elahap bacaan yang sem ula dilarang, m engutarakan pikirannya tanpa perlu m erasa khawatir dijem put agen intel m alam harinya, dan juga m endirikan lem baga baru untuk m em perkuat geraknya. Tapi di sisi lain kaum intelektual, khususnya kelas m enengah di kota besar, sem akin sibuk dengan peran barunya sebagai agen reform asi . Studi, m em baca dan m enulis ditinggalkan karena harus m enghadiri undangan sem inar, konperensi dan lobby . Belum lagi kegiatan publik seperti konperensi pers, m akan siang dengan jurnalis atau talk-show di televisi. Terlalu sedikit waktu untuk m erum uskan pikiran sendiri apalagi duduk bersam a warga desa m em ikirkan m asalah dan m encari pem ecahannya.

Belum lagi tawaran m enggoda dari lem baga internasional, donor dan birokrasi yang tengah berganti rupa. Sem ua itu m em buat kita sem akin kekurangan intelektual yang m au m engabdikan diri pada pem ikiran serius dan m endalam , kata Karlina Leksono-Supelli. Buat apa m enulis buku

kalau dengan m enulis beberapa lem bar artikel di suratkabar saja dapat bayaran lebih besar? Buat apa m elakukan kajian dengan bayaran kecil, kalau bicara di sem inar tanpa m akalah pun sudah dapat bayaran m ahal? Masalahnya banyak juga intelektual yang tadinya kritis, kreatif dan produktif tenggelam dalam kenyam anan ini dan dengan begitu m em pertajam pertentangan teori-praktek di atas.

Intelektual yang m erasa lebih terlibat sebenarnya m enghadapi m asalah yang tak kalah peliknya. Keengganan berdiskusi m em aham i situasi yang terus berubah secara serius m em buat aksi-aksi di segala bidang sem akin kehilangan arti. Pengenalan relatif m endalam terhadap kenyataan sosial, m asalah di tingkat basis dan segala perniknya tidak diolah m enjadi dasar berteori atau m em bentuk pengetahuan, tapi lebih seperti bintang penghargaan akan jasa-jasanya di m asa lalu. Ketika gerakan protes m ulai pudar kalangan ini seperti kehilangan peran, bergentayangan di kantor LSM, jalan raya atau lingkungan elite m encari cantolan baru.