Etnologi Penumpasan Snouck Hurgronje

Etnologi Penumpasan Snouck Hurgronje

Arif Rusli Perbincangan kritis tentang pem bagian peran C. Snouck Hurgronje sebagai etnolog dan ideolog

politik kolonial Belanda dim ulai pada tahun 1979 atau 43 tahun setelah kem atiannya. Sebelum itu, karya-karyanya selalu hadir sebagai referensi yang dikutip dengan rasa takjub dan syukur oleh para m uridnya.

Pada peringatan seratus tahun kelahiran Snouck, 10 Februari 1957, salah sorang m uridnya, Prof. G.W.J Drewes m engatakan di dalam m akalah bertajuk Snouck Hurgronje dan Studi Islam ,

“semoga Snouck Hurgronje tidak hanya dihormati dalam pengertian ilmu tentang Islam, m elainkan akan m uncul angkatan yang dengan rasa syukur m em andang seluruh karya hidupnya sebagaim ana adanya. ”

Sulit untuk m em bantah besarnya kekagum an para sarjana hum aniora dari negeri Barat dan dari dalam Indonesia sendiri terhadap Snouck. Karya-karyanya telah m enjadi bacaan klasik bagi setiap peneliti yang m endalam i Islam dan penganutnya. Terlebih lagi untuk studi-studi atas m asyarakat Indonesia. Bersam a Cornelis van Vollenhoven (18 74-1933), seorang perum us hukum adat Indonesia, dia m enjadi peletak dasar studi Indologi di Universitas Leiden. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Snouck adalah seorang ideolog yang m ekonstruksikan pem aham an terhadap bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara.

Pun khasanah ilm u sosial dan hum aniora m odern Indonesia yang tum buh pada dasarwarsa awal abad ke-20 m engadopsi dan m erupakan reaksi terhadap cara pandang peradaban Barat atas dunia Tim ur yang ditahbiskan sebagai “tak beradab” dan “kotor”. Istilah peradaban (civilization) m em ang telah m em ancing kritik-kritik tajam dari pelbagai sarjana postm odern, nam un istilah itu dengan berbagai bias ideologi hingga sekarang dianggap sebagai suatu kebenaran.

Asasinya peradaban Barat m enunjukkan dua elem en. Satu, ide atau paham teleologi hum anism e yang berm ula dengan tentangan terhadap dom inasi gereja Katolik dan feodalism e. Kedua, politik im perial kolonialis yang m encoba m eletakkan dasar pem erintahan yang efesien dan efektif di negeri-negeri jajahan. J adi alasan itulah yang m endorong berdirinya pusat-pusat studi oriental (ketim uran) di negeri-negeri pem ilik koloni, seperti Inggris, Prancis dan Belanda. Um um nya pusat studi itu berdiri pada akhir abad ke-18 .

Minat anak em as era pencerahan atas kebudayaan klasik Yunani m eram bah jalan ke dunia tim ur, khususnya ke negeri-negeri Arab Muslim . Sejum lah penelitian m utakhir m enunjukkan peran negeri itu sebagai penyelam at dan pengem bang peradaban klasik Yunani dan Rom awi. Kendati begitu m inat para sarjana barat itu terutam a untuk perbandingan perkem bangan bangsa dan m elihat pengaruh ideologi terhadap tum buh dan jatuhnya suatu bangsa.

Dorongan lain adalah hasrat untuk m em buktikan keunggulan perkem bangan peradaban Kristen di Eropa – yang melahirkan ide tentang individu – dibanding peradaban Islam, Yahudi, Buddha, Hindhu, Tao dan Konfusianism e yang terpaku pada solidaritas kom unal. Islam m endapat sorotan khusus sebab pada pada m asa itu ada kepentingan im perium kolonialis untuk m em atahkan im perium Ottom an di Turki atas negeri-negeri di Asia Barat dan Afrika. J uga hasrat untuk m enundukkan bangsa-bangsa yang hidup di Asia Tenggara dan Selatan.

J adi sem angat hum anism e liberal ini bukan hanya keunikan Snouck, karena banyak ahli dunia Tim ur di Eropa yang m enaruh m inat serupa. Salah seorang yang dianggap paling berjasa dalam pengem bangan teori ilm u sosial adalah Max Weber. Bersam a dengan Karl Marx dan Durkheim , dia m enjadi sokoguru cabang studi sosiologi. Cara berpikir m ereka m enjadi ciri teori m odernisasi yang dikenal sekarang, yang dengan variannya m ensahkan kolonialism e sebagai satu cara untuk m em ajukan bangsa-bangsa jajahan yang dikategorikan sebagai “belum tinggi tingkat peradabannya atau sudah m andek pertum buhannya. ”

Sisi kontroversial yang biasa dikecam dari karya dan peran Snouck adalah kiprah dia sebagai penasehat politik pem erintah kolonial Hindia Belanda. P. Sj. Van Konigsvel secara m eyakinkan telah m em buktikan bagaim ana Snouck m enyam pingkan kode etik peneliti untuk m enginform asikan respondennya tentang tujuan penelitiannya. Alih-alih m engikuti prinsip tersebut, ia m enyam ar sebagai m uslim atau Izraul ‘l-Islam dalam pelaksanan observasi terhadap Islam dan penganutnya. Cara ini dia lakukan sejak m asa awal penelitiannya di Mekkah, di pulau J awa dan kem udian dalam “penaklukan Aceh.” Tentu saja berkat kefasihan berbahasa Arab dan beradu argum entasi dalam soal-soal keagam aan, dia berhasil m engelabui kalangan Muslim baik di Mekkah dan Hindia Belanda.

Kepada sahabatnya Theodor Noeldeke, seorang ahli teologi dari J erm an, Snouck m engakui bahwa dia m elakukan syaria ’ Islam sekadar ritual tanpa penghayatan. Cara ini adalah syarat untuk m enyelidiki – dalam kata-katanya sendiri – “cara berpikir, cara berbuat dan perilaku kaum ulam a dan bukan ulam a di pusat kehidupan Muslim . ” Pada dasarnya Snouck m enggunakan m etode penelitian yang lazim dipakai para etnolog. Sam pai sekarang pun m etode penelitian ini dikenal dengan observasi partisipatif atau m etode penelitian partisipatif aktif.

Hanya bedanya, Snouck bergerak lebih jauh lagi. Ia m elakukan penelitian guna m enum pas para pem berontak Muslim di Hindia Belanda. Seorang sosiolog Belanda, Wim F. Wertheim berkesim pulan bahwa Snouck adalah aktor intelektual dalam penyusunan strategi perang anti gerilya (counter insurgency) dalam fase kedua perang Aceh (18 73-190 4). Dari tulisan ini bisa dilihat bahwa Snouck sudah m em ulai penelitian tentang perang anti gerilya, jauh sebelum Am erika Serikat m endanai berbagai proyek serupa di Vietnam pada tahun 1970 -an.

Snouck m enggunakan kajiannya sebagai nasehat politik bagi pem erintah kolonial. Kolonialism e baginya adalah conditio sine qua non bagi kepulauan Nusantara dan penduduk yang hidup di atasnya.

Di dalam tiga jilid laporan rahasia berjudul Aceh Verslag yang dialam atkan kepada Gubernur J enderal Hindia Belanda tanggal 23 Mei 18 92, Snouck secara khusus m enyoroti persoalan operasi m iliter di Aceh. Dari hasil observasi langsung yang diram pungkannya selam a enam bulan di Aceh, ia berkesim pulan bahwa persoalan Aceh bukanlah pada form alitas takluknya kraton Aceh. Negeri itu tidak akan berhasil ditundukkan dengan cara m em bentuk daerah sem padan (concentration line), tapi dengan jalan m enum pas gelora perlawanan yang digerakkan oleh para ulam a dan para petualang yang m engobarkan perang suci m elawan kaphee (kafir).

Terhadap pihak yang m elawan ini – disebutnya sebagai gerombolan, seperti halnya tentara Indonesia m enyebut m ereka GPK atau GPL – ia mengusulkan agar pemerintah menutup ruang negosiasi, karena “doktrin dan kepentingan pribadi para petualang menyebabkan mereka takkan takluk kecuali dengan penggunaan kekerasan. Karena itu tujuan m em buru para ulam a dan para petualang perang suci ini adalah untuk m enjaga agar orang Aceh m erasa takut untuk bergabung dengan gerom bolan pengacau itu. ” Dalam nasehat itu, Snouck secara tegas m enyatakan bahwa jika pem erintah berhasil m em buat golongan ulam a dan para petualang tidak berdaya, dengan dem ikian akan m em bangkitkan sedikit banyak kepercayaan rakyat Aceh atas kekuasaan dan kem auan pem erintah pusat. Dengan kata lain, Snouck m egusulkan agar pem erintah m enggunakan perang psikologis untuk m em bangkitkan rasa takut penduduk Aceh. Dengan begitu pem berian bantuan dana perang suci dan logistik kepada para pejuang sahid terhenti. Untuk m enguatkan usulannya Snouck m enyatakan bahwa para pejuang Aceh sebagai teroris yang m usti dihadapi dengan kekerasan dan sikap tanpa kom prom i.

Dibutuhkan waktu ham pir lim a tahun sebelum ide Snouck tersebut dilaksanakan di lapangan. Lalu tam pil van Heutsz sebagai pem im pin operasi Pax Neerlandica di akhir abad ke-19. Dari sejum lah ekspedisi yang dikirim untuk penaklukkan Aceh, van Heutsz berkesim pulan bahwa perjuangan rakyat Aceh hanya bisa ditaklukkan oleh suatu brigade pasukan tem pur yang bergerak tanpa jeda m em buru dan m enghancurkan kantong-kantong perlawanan serta kubu- kubu logistik pejuang Aceh. Unit ini dikenal sebagai Marsose, sejalan dengan ide Snouck m enem ukan pelaksana yang tram pil dan bringas.

Meskipun usul penum pasan terhadap para pengobar perang suci adalah tujuan utam anya, Snouck m enyadari rasa benci rakyat Aceh terhadap kehadiran pem erintah Belanda di daerah tersebut m engakar sangat kuat. Karena itu, dengan sabar – paling tidak terkesan dari berbagai pem belaan diri yang disam paikan lewat surat-suratnya setelah tahun 190 3 – ia menasehati gubernur m iliter di Aceh agar tidak m elakukan pem bakaran rum ah dan peram pasan harta penduduk di daerah-daerah yang m enjadi target operasi pasukan Marsose. Dia m em iliki harapan bahwa gabungan operasi m iliter yang tegas dan terarah serta pem erintahan sipil yang lem ah lem but dan m em perhatikan kesejahteraan rakyat yang tinggal di daerah taklukan, akan m enyebabkan ketundukan dan kepatuhan rakyat Aceh kepada pem erintahan kolonial.

Nasehat itu tam paknya m em icu konflik antara gubernur m iliter Van Heutsz dan Snouck, m engenai siapa yang akan m enjadi gubernur pengganti van Heutsz dan bagaim ana Aceh bisa ditaklukkan secara perm anen. Setelah tahun 190 4, Snouck m engusulkan pengurangan jum lah pasukan Marsose serta penghapusan aturan-aturan m iliter dan digantikan dengan polisi serta penegakan hukum sipil. Sem entara van Heutsz dan para pengikut di kalangan perwira tetap berkeras bahwa posisi Gubernur m iliter tetap dipertahankan di Aceh. Dengan dem ikian kekuasaan m iliter akan tetap bisa dilanggengkan.

Dua dari tiga jilid Aceh Verslag itu, kem udian diterbitkan secara urutan pada tahun 18 93 dan

18 94 dalam bentuk buku yang berjudul De Atjehers. Buku yang dipuji sebagai m agnum opus ini tam paknya dialam atkan kepada para pem baca di Eropa. Karena itu, dia sengaja m em berikan kesan bahwa orang Aceh dan um um nya penduduk pribum i Nusantara sebagai m anusia yang m em iliki sifat licik, kotor, ingkar janji dan tidak m em iliki keunggulan berpikir. Tentu saja dengan bebagai deskripsi yang “menghinakan” penduduk pribumi, dia mengajak pembaca Eropa untuk m em bandingkan penduduk Nusantara dengan kelas m enengah Eropa pada m asa itu.

Bagi Snouck narasi yang sarat pesan rasial dan m oralitas liberal ini diarahkan untuk m em bungkam berbagai kritik yang m uncul di Eropa soal perperangan di Aceh yang sudah m em akan seratus ribu lebih korban jiwa, waktu yang begitu panjang dan m enghabiskan ratusan juta gulden. Narasi ini tak ada bedanya dengan bebagai laporan am atir kelasi Portugis pada tiga abad sebelum dia m enulis, yang m enggam barkan penduduk Nusantara sebagai pem akan m anusia dan m asih berekor seperti kera. Sistem sosial dan kenegaraan di Nusantara dipandang jauh terbelakang, tak m em iliki persatuan dan tidak ada pem erintahan yang utuh. Khusus m engenai Aceh, Snouck m enekankan pertikaian yang terus m enerus dalam pergantian raja-raja dan perebutan kekuasaan antar hulubalang. Ia m engajukan kesim pulan bahwa kem unduran kerajaan Aceh selam a 30 tahun sebelum perang Aceh dim ulai adalah situasi yang sah untuk m enaklukkan negeri tersebut.

Menyangkut persoalan elite sosial di Aceh, pada tanggal 18 J anuari 18 94, Snouck m enulis nasehatnya kepada Gubernur J enderal Hindia Belanda sebagai berikut, ” hubungan ulama dan hulubalang di Aceh m enunjukkan rasa benci yang didorong oleh kepentingan pribadi ”. Karena itu dia m enganjurkan agar pem erintah Hindia Belanda tidak m udah percaya kepada pernyataan takluk para hulubalang, “sebab di Aceh tidak terdapat ajaran adat yang diakui secara umum. Sebaliknya terdapat kekacauan yang tak ada habis-habisnya. ”

Walaupun apa yang disebutnya sebagai perilaku non-Islam terdapat dalam adat Aceh, seperti pem akaian jim at, ilm u kebal dan lain-lain, m em buat kesim pulan suatu kondisi um um berdasarkan sejum lah contoh negatif adalah penilaian yang berat sebelah. Toh, banyak ditem ukan upaya-upaya dari ulam a untuk m em berantas praktek-praktek non-Islam di Aceh. Sayangnya Snouck kurang m elihat upaya tersebut sebagai suatu proses bertahap dalam perkem bangan m asyarakat.

Sungguh m enggelikan bahwa Snouck dengan gam pang saja m enilai bahwa perlawanan rakyat Aceh terhadap kum peni Belanda sebagai nafsu perang yang bodoh. Apalagi ia sengaja m em uji para pem belot yang m enjadi sekutu pem erintah kolonial. Di dalam karya “ilmiah” maupun dalam nasehat politiknya Snouck m em andang perlawanan sebagai ekspresi anarki dan tidak patuh pada hukum . Akhirnya niat sem ulalah yang m enjadi dorongan utam a m eneliti soal Aceh, yaitu politik kolonial yang m engingkari pengakuan kedaulatan negara Aceh, kendati Traktat London tahun 18 24 dengan tegas m em uat hal ini.

Akhirnya penaklukan Aceh m enjadi ujian berat bagi hipotesa Snouck untuk m em basm i kaum ulam a dan bekerjasam a dengan hulubalang yang disebutnya sebagai pem uka adat. Tam paknya Snouck keliru m em aham i dialektika adat dan agam a; dialektika antara hulubalang dan ulam a. Ulam a di Aceh bukanlah sem ata-m ata pem buat legitim asi kekuasaan hulubalang, seringkali ulam a m enjadi penentang terhadap praktek adat yang betentangan dengan ajaran Islam .

Snouck luput m em perhatikan peran ulam a sebagai kekuatan dinam is yang sekali waktu m enggerakkan m asyarakat untuk m enetang ataupun m engim bangi kebijakan hulubalang. Peran inilah yang m enem patkan posisi ulam a sangat penting dalam m enggerakkan perlawanan rakyat Aceh, khususnya dengan m em ainkan doktrin sahid dan kebahagian akhirat.

Di lain pihak rakyat Aceh telah lam a m engenal sikap Belanda yang ingkar terhadap janji dan hasrat m ereka m enguasai jalur perdagangan di selat Malaka. Karena itu sejak pertengahan abad ke-19, pedagang dan penguasa di Aceh sengaja m em berikan peluang kepada pedagang Am erika untuk m endirikan kantor dagang di Meulaboh, Aceh Barat sebagai upaya untuk m engim bangi rongrongan Belanda dari arah selatan Aceh yang berlangsung sejak tahun 18 30 -an.

Sum ber:

C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften.

E. Gobee dan C. Adriaanse (eds). Nasihat-nasihat Snouck Hurgronje sem asa kepegawaiannya kepada pem erintah Hindia-Belanda, 18 8 9-1939. J akarta, 1990 P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam . J akarta, 198 9 W.F. Wertheim , “Counter-insurgency research at the turn of century: Snouck Hurgronje and the Aceh War ”, Sociologische Gids, 1972

Arif Rusli, peneliti dan kontributor MKB

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS

Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited