Gerhard Richter, perupa lambang paska Perang Dingin. Cerminan bangun kapitalisme terkini?
Gerhard Richter, perupa lambang paska Perang Dingin. Cerminan bangun kapitalisme terkini?
M. Firm an Ichsan Di abad 21 ini dunia seni rupa diawali dengan kehadiran seorang perupa kontroversial asal
J erm an. Lewat karya trans lukis dan fotografi, trans orisinalitas dan otentitas ia dianggap sebagai perupa yang m ewakili jam an serba m ungkin dan sah dewasa ini. Kritikus, kurator, m useum dan patron – jaringan pengabsah karya seni negeri kapitalis – pun memasukkannya dalam kanon utam a Tahun 20 0 2 dinyatakan sebagai tahun Richter. Di sem ua m useum negeri industri m aju karya Richter dipam erkan dan m enjadi koleksi perm anen. Uniknya ia tidak saja berada di ruang lukis Museum of Modern Art (MoMA) tetapi juga di ruang koleksi fotografi prestisius LAC Swiss.
Gerhard Richter lahir pada 1932 di J erm an yang m iskin dan sedang m enuju kekuasaan fasism e Hitler, kem udian tum buh besar di J erm an Tim ur dalam genggam an tangan besi kaum Stalinis. Latar belakang itu berpengaruh besar dalam pem ikiran dan karyanya, dan m enjadi pertim bangan penting bagi penerim aan m asyarakat seni rupa dunia di kem udian hari. Richter belajar di Kunsterakadem ie Dresden, J erm an Tim ur jurusan seni visual dan pernah m enjadi asisten laboratorium foto. Sem enjak awal ia sudah sering berkarya dan bereksperim en m elalui fotografi — dunia yang kelak dicampur adukkan dengan dispilin seni yang dipelajarinya secara akadem is. Sayangnya karya-karya awal sebelum kepindahannya ke J erm an Barat sedikit sekali m em peroleh publikasi, sehingga kita tidak bisa m enikm ati, paling tidak m em bandingkannya dengan yang m utakhir.
Kehidupan yang m engharuskannya patuh pada realism e sosialis dan politik isolasi yang dijalankan J erm an Tim ur m em batasi pengetahuan Richter tentang perkem bangan senirupa di belahan dunia Barat. Ia tidak pernah bersinggungan dengan Abstrak Ekspresionis, Pop Art m aupun gerakan Fluxus yang sedang berkem bang di Eropa sejak paska PDII hingga kunjungannya ke Kassel, J erm an Barat pada 1959. Saat itulah untuk pertam a kalinya Richter tahu bahwa ada bentuk seni rupa m odern yang berbeda dari apa yang dipelajarinya di Dresden. Ketika m elihat karya J ackson Pollock, perupa Am erika Serikat, dan Lucio Fontana, perupa Italia, ia berpendapat bahwa karya-karya itu lebih berbicara dari karya-karyanya selam a ini. Dalam abstraksi m ereka tam pil lebih realistis. Belakangan ia m engakui bahwa Pollock dan Fontana (God is dead, gbr .1) berpengaruh terhadap pandangannya tentang kebudayaan, serta kepindahannya ke J erm an Barat dua tahun kem udian.
Dua bulan sebelum Tem bok Berlin dibangun, Richter pindah ke Dusseldorf, J erm an Barat. Di tem pat barunya dia m ulai berkarya dalam gaya yang cenderung avant-garde, dengan tujuan pem bebasan diri dari kerangkeng realism e sosialis ala J erm an Tim ur. Pada 1961-1963 Richter m elanjutkan studi ke Staatlichte Kunstakadem ie, Dusseldorf dan bekerja dengan perupa Karl Otto Gotz. Ia sem pat bertem u J oseph Beuys, perupa yang berkarya m engenai peristiwa Holocaust (Instalasi ruang kam p, gbr.2). Pem ikiran Beuys dan pengalam an di J erm an Barat m elahirkan dasar filsafat baru dari Richter : “Senirupa seharusnya bisa dipisahkan dari sejarah seni; suatu karya lukis seharusnya fokus pada im agi (wujud representasi), bukan pada referensi; m engacu pada visual, bukan pada pernyataan ”.
Lukisan foto Richter yang pertam a dikenal didasarkan atas foto Brigitte Bardot. Nam un dem ikian pem unculan pertam anya di khalayak um um justru terjadi di sebuah kom pleks pertokoan Dusseldorf 1963 dalam bentuk happening art. Ia m em buat suasana panggung yang m enggiring penonton m enikm ati karya sam bil berjalan, selanjutnya gerakan para penonton m enjadi bagian dari karya itu sendiri.
Selam a perjalanan tiga tahun Richter m engalam i kebim bangan akibat dua pengaruh yang bertentangan dalam dirinya: antara aliran seni realistis-figuratif yang diperoleh di J erm an Tim ur dengan aliran abstrak-ekspresif yang diraih di Barat. Ia m ulai tertarik pada pendekatan Andy Warhol yang m enggunakan silkscreen untuk m enghadirkan im ej yang telah ada, kerapkali diam bil dari selebriti, figur politik, atau orang terkenal lainnya. Richter dan Warhol bekerja pada periode yang sam a, tetapi tidak banyak yang tahu bahwa Richter lebih dulu m enggunakan im ej Mao Tse Tung dari Warhol.
Richter kerap m enganggap dirinya bekerja tanpa latar ideologi dan tidak tertarik untuk m encari esensi dari kesenian. Pengalam an hidup di Eropa Tim ur m em buatnya pesim is pada pem ikiran- pem ikiran seni yang filosofis dan ideologis. Ia bahkan nam pak lebih skeptis daripada Kelly dan Donald J udd, dua perupa AS yang m asih berusaha m encari pem benaran teori bagi karya-karya m ereka.
Sejak 1971 Richter m engajar di akadem i seni rupa Dusseldorf, sekolah yang m enjadi alm am aternya. Di sini ia m ulai m endapat kritik dari kalangan kiri atas ketidakpekaannya yang m ereka anggap sebagai pelarian dan ketidakm engertiannya akan situasi sosial politik. Pada 1976 Richter m ulai m enyajikan lukisan yang disebutnya sebagai lukisan abstrak sepenuhnya: tanpa judul, tanpa keterangan apalagi penjelasan, dan m em biarkan sem ua karyanya tum buh sendiri tanpa batasan m aupun arahan interpretasi dari dirinya. Sepanjang karirnya, Richter m enolak m em beri definisi, tujuan ataupun spesifikasi pada karya- karyanya m aupun seni rupa pada um um nya. Nam un ia m enegaskan bahwa karya-karyanya lahir dari lingkungan tanpa isolasi, pandangan yang berlatar belakang pada pendidikan J erm an Tim ur. Di lain sisi dia tetap m enolak keberadaan ideologi: “Saya tidak percaya apa pun”, yang bisa juga berarti saya percaya apa pun. Pandangan Richter ini seakan m ewakili ciri pem ikiran yang dikenal sebagai “postmodernisme”.
Klasifikasi Karya, Teknis dan Apresiasi Karya Richter secara sederhana (m eski tidak m utlak) dapat digolongkan dalam tiga kategori atau
periode: figuratif, yaitu karya lukisan yang terinspirasi oleh fotografi atau alam ; konstruktif, karya-karya yang lebih teoretik seperti bagan warna, abu-abu, kaca dan panel; dan, karya-karya abstrak yang digiatkannya sejak 1976 (disam ping dia tetap m eneruskan karya yang berdasarkan benda dan alam ). Lukisan figuratif Richter beranjak dari pem besaran foto hitam putih yang diam bil dari reproduksi koran atau m ajalah dan rendah ketajam annya (pure object). Tingkat keburam annya ditentukan ketika foto itu dipantulkan ke kanvas, lalu diberi outline dan diwarnai tanpa proyeksi lagi. Tahap terakhir adalah m ereproduksi karya itu m elalui fotografi. Metode ini dia gunakan juga dalam m em presentasikan kem bali lukisan-lukisan abstraknya. Proses m elahirkan satu adegan yang seolah nyata bagi kem am puan penonton untuk m engenali obyek, tapi pada saat bersam aan juga m em beri kesan berjarak dengan tingkat ketajam an yang kabur. Pem irsa tidak bisa m endapatkan fokus yang tepat. Richter m enyebutnya sebagai “pure image.”
Sulit dipungkiri bahwa kebebasan Richter untuk berkarya begitu luas, tidak terbatas oleh disiplin ilm u dan teori yang ada sebelum nya. Beberapa kurator dan ahli m em beri alasan m engapa karya Richter dianggap unik dan m enjadi besar. Auping dari MoMA Fort Worth AS m engem ukakan bahwa ketika bicara tentang seni dan eskpresi seni, kita berpikir perupa m encoba berkom unikasi langsung dengan pem irsa. Tapi karya Richter justru m enciptakan jarak. Inilah yang m enjadi kekuatan karya tsb. Kurator Dieter Schwarzs dari Swiss m engagum i karya Richter pada periode lukisan hitam putih dengan alasan karya itu lebih personal dan arbitrer, m eski pada karya-karya selanjutnya sem akin berbobot dan signifikan. Nam un kerja Richter yang trans fotografi dan lukis, trans otentitas (dapat di cetak ulang) serta orisinalitas (dibuat atas repro karya orang lain) m em buatnya m elam paui Ducham p dengan ready-m ade nya. Ia dapat dianggap m ewakili bentuk pem ikiran tanpa batasan yang populer dewasa ini.
Schwars dan Robert Storr, panitia pam eran Retrospective Richter 20 0 2, m enganggap “Oktober
18 , 1977 ” sebagai master piece. Seri dari 15 karya ini dibuat pada 1988 tentang kelompok gerilya kota Baader-Meinhof yang aktif antara akhir 1960 -an dan awal 70 -an. Pada tanggal tersebut tiga pim pinan Baader-Meinhof ditem ukan m ati di tahanan. Kem atian m ereka dianggap kontroversial karena m eskipun secara resm i dinyatakan sebagai akibat bunuh diri, ada kecurigaan m ereka dibunuh. Richter seolah-olah m enam pilkan penguraian naratif dari sebuah peristiwa. Tapi ternyata tidak. Tak ada urutan bahkan relasi kejadian dari satu panel ke panel lainnya, dan penggam barannya pun tak lengkap. Misalnya, pada satu panel ada seorang tokoh perem puan gantung diri di penjara, panel yang lain ada tubuh telentang dengan luka tem bak.
Bagi Richter tidaklah esensial bagi satu karya untuk m em beri jawaban. Ia m enam pilkan am biguitas, dan tanda tanya yang m enjadi esensi pada seluruh karyanya. Karya Richter nam pak berdiri di antara naratif dan berdiri sendiri.
Antara Politis atau Tidak Karya Richter kini m ewarnai perkem bangan seni rupa Eropa, baik dari segi pendekatan teknis
m aupun filsafat (yang tidak diakui sebagai filsafat) yang m ultidisiplin dan liberal. Ia m engaku apolitis tetapi juga m enyatakan bahwa “tidak ada yang terisolasi,” dan bahwa senirupa berasal dari lingkungannya. Di sisi lain bentuk lebih utam a dari isi. Pernyataan pernyataan saling-silang ini m em buat m ereka yang berdiri di “kiri” mempertanyakan kepekaan serta maksud keseniannya.
Bagi m ereka Eropa paruh 60 an hingga pertengahan 70 -an, saat Richter m em bentuk keseniannya, m erupakan tahun yang bergejolak: m ulai dari Gerakan Situasionist ’68 di Paris sam pai gerakan m ahasiswa dan buruh yang m endukung gerakan pem bebasan di dunia ketiga (Vietnam , Palestina, Chili dll.) sam pai Revolusi Anyelir di Spanyol. Kita bisa m em bandingkan karya pawai Richter dengan sketsa-sketsa S. Kaboel, pelukis Indonesia yang tinggal di Berlin pada saat itu (Dem onstran, gbr 3, satu dari seri 5 gam bar). Pada karya Richter para dem onstran tam pak jauh dan kecil oleh jarak pengam bilan foto. Sedangkan sketsa karya Kaboel, m eski dibelah kaca (Kaboel agaknya m elihat dari café- yang seolah m enyatakan bahwa ia tidak ikut serta) para dem onstran tam pak sentral dan dekat.
Rifki Effendi di Kom pas pernah m enulis tentang Richter, Ironi seni dalam Era reproduksi Mekanik bagi Richter, “kita tak bisa melihat satu kedalaman intrinsik sang subyek lewat karya- karyanya, karena Ricter adalah m esin itu sendiri seperti Andy Warhol. Tiap citranya m erupakan ironi dunia seni dalam era reproduksi m ekanis ”. Tampaknya Rifki Effendy mengacu pada pem ikiran Walter Benjam in m engenai perkem bangan dunia seni rupa ketika m encapai era reproduksi m ekanis (fotografi, cetak, dan kini teknik digital, m etode penggandaan karya yang canggih, serta hubungannya dengan ekspresi perupa dan pem ilikan seperti hak cipta, hak m ilik serta penikm atan karya seni itu sendiri). Tulisan ini m em bahas pula ihwal keabsahan, orisinalitas, otentitas dan seni sebagai ritual yang tidak lagi sakral dim ata Richter. Hal yang m enarik adalah terpam pangnya foto CHE yang dibuat Alberto Korda dalam karya dem onstran Richter (Guerillos Heroico, gbr. 4). Karya ini dinyatakan sebagai foto yang paling dikenal dan banyak direproduksi di dunia tanpa m eninggalkan sem angat intrinsik foto itu sendiri. Pada karya Richter yang non intrinsik ini gam bar Che lah yang m enjadi titik perhatian, tetapi pengam bilan yang sangat jauh m enyebabkan gam bar itu seolah dalam tanda tanya.
Reproduksi dan Otentisitas Richter juga m enjadi penting bagi perkem bangan fotografi. Tetapi bagaim ana tepatnya?
Bukankah pada penyajian karya-karya fotografinya (terutam a pada karya figuratif), foto ditam pilkan dalam sudut pandang yang relatif sederhana dibanding representasi keseluruhannya (teknis dan proses)? Seberapa jauh peran fotografi dalam karya Richter dibanding peran seni lukis sentuhan pada karya dasar? Tidaklah sederhana untuk m enjawab soal-soal ini.
Pilihan foto dasarnya kebanyakan berasal dari koran atau karya fotografi am atir bukan dari foto yang m em perlihatkan keunggulan fotografi itu sendiri. Ia seolah m enghindari pendekatan konstruktivis Rodchenko di 1920 yang m enegaskan fotografi sebagai m edia seni yang tercanggih dan terkini. Rodchenko m enganggap bahwa kem am puan fotografi m enghadirkan realita lebih lengkap dengan sudut pengam bilan, kedekatan dengan obyek (m akro-m ikro), m ontase, dan hal lain yang tidak ada sebelum hadirnya fotografi. Sedang Richter justru m enjauhi visualisasi realism e sosialis yang baru dan m odern. Hal lain ialah bahwa foto dasar lukisan yang bukan hasil bidikannya itu tidak lagi dianggap sebagai m asalah, karena apa yang ia reproduksi pernah m uncul di m edia m assa dan dianggap telah m enjadi m ilik um um . Saat ia m endapat bentuk baru, ia lepas dari etiket-fungsi pencipta sem ula (yang m engingatkan kita pada ready-m ade nya Ducham p). Mem ang dalam dunia fotografi an sich m asalah ini belum tuntas sepenuhnya, terutam a sam pai seberapa jauh hak otentitas (cipta) seorang jurufoto-perupa fotografi berlaku. Kendati dem ikian secara teoretis, fotografi telah sam pai tahap “after art photography”, setelah pendekatan Stieglitz yang m enyajikan seni yang sangat utuh. Perupa seperti Barbara Kruger, Victor Burgin telah m elahirkan banyak karyanya lewat proses reproduksi dan pem berian arti baru sehingga m asalah otentisitas dapat dianggap selesai.
Toh, Richter lebih dari itu, ketika pada pam eran koleksi LAC Contem porary, Richter m enam pilkan “Triple Self Potraits” yang dianggap memberi nuansa baru dalam periode “after art ”(gbr.5). Ia tidak lagi mempermasalahkan teori fotografi yang kita kenal sebelumnya dari Stieglitz, Rodchenko dan Bresson; tidak pula m enggunakan reproduksi yang telah selesai seperti pada karya Kruger. Richter m em buat foto dirinya pada kaca tem bus (bayangan) kem udian diproyeksikan dan dilukis (proses pertam a). Kem udian difoto ulang lagi, dicetak dan dibubuhi gores kuas warna m erah (proses kedua), dan kem udian direproduksi (proses akhir). Karya ini dianggap sebagai pem bebasan dari konsep-konsep lam a yang m em batasi senirupa (lukis) dan fotografi dengan m enisbikan yang ada dan m elahirkan yang sam a sekali baru.
Penutup Banyak kritik dilontarkan terhadap pendekatan dan pernyataan Richter yang berlawanan, seolah
tanpa pijakan yang pasti. Nam un, bagi pendukung Richter karya-karyanya dianggap m ewakili satu zam an dim ana relativism e sangat dom inan, ketika kem am puan m em baca bobot karya sangat terkait dengan am unisi teori pem irsa. Richter dianggap sangat kontekstual untuk jam annya. Ia m erepresentasikan realita dalam bentuk baru. Analoginya, ibarat tetesan-tetesan cat Pollock yang bagi pencintanya m erupakan tetesan-tetesan diri dan jiwa Pollock.
Dem ikian pula pendekatannya pada fotografi yang telah m elebur batas antara fotografi dan seni rupa, khususnya seni lukis. Tentu saja ini layak m enjadi bahan perdebatan. Tetapi suka atau tidak suka, m engerti atau tidak m engerti, karya Richter (dan Richter sendiri) telah m enjadi ikon dari seni rupa J erm an yang baru. Ia m ewujudkan satu nilai yang m erupakan penerjem ahan dari sistem sosial dan produksi J erm an, Eropa, bahkan dunia sekarang ini. Karya Richter sesungguhnya seperti bentuk kesenian yang lain adalah m anifestasi supra struktur dari relasi infra struktur sistem sosial ekonom i yang dom inan. Ia m erupakan visualisasi dari logika budaya kapitalism e tahap terkini.
M. Firman Ichsan, Ketua Jurusan Fotografi, Institut Kesenian Jakarta. 1 | >>
INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS
Tentang MKB | Email
©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited