D u a Ca ra Me lih a t H AKI

D u a Ca ra Me lih a t H AKI

Hak atas Kekayan Intelektual awalnya m encakup dua konsep besar, yakni hak cipta (copyright) dan hak paten yang diatur secara terpisah. Istilah “intelektual” dalam HAKI berarti hak cipta m elindungi hasil kecerdasan, pikiran dan ungkapan atau renungan m anusia yang m enjelm a dalam bentuk buku, lagu atau film . Sem entara hak paten m encakup tem uan dan teknologi, kerja yang dikerahkan untuk m em buat barang baru, m ulai dari traktor, obat-obatan sam pai alat pem buka kaleng yang m enggunakan listrik. Asum sinya bahwa hak cipta selalu berkenaan dengan uang, karena untung m erancang, m em buat, m em perbanyak dan m em asarkan sebuah karya cipta diperlukan uang dan para pem egang hak cipta tentu m engharapkan uang yang ditanam nya akan kem bali.

Nam un ada pula perspektif berbeda. Ronald Bettig m isalnya m engatakan konsep HAKI baru m ulai dibicarakan setelah ditem ukannya m esin cetak dan m erebaknya kapitalism e dalam dunia tulis-m enulis. Sebelum nya pengetahuan atau cerita m enjadi m ilik um um dan orang tidak tahu siapa yang pertam a m engungkapkannya. Artinya konsep hak cipta lekat dengan kekuasaan m odal dan dalam konteks penerbitan m isalnya m enjadi jelas bahwa yang lebih berkepentingan akan hak itu adalah penerbit yang m engeruk keuntungan ketim bang pengarang yang m encipta.

Di Indonesia pun sekarang m uncul dua cara pandang terhadap HAKI dan keterlibatan Indonesia dalam penegakan hak-hak itu dalam perdagangan global. Di satu sisi adalah pandangan bahwa HAKI m erupakan bagian dari perjanjian internasional yang diikuti Indonesia, sehingga harus ada penyesuaian tanpa peduli adanya ketim pangan posisi dan kesem patan. Anggapannya dengan m em perbanyak jum lah hak cipta dan paten m aka akan ada perlindungan lingkungan alam dan sosial-budaya yang penuh dengan potensi HAKI, seperti keragam an spesies tanam an dan hewan, m aupun warisan benda tradisi. Lebih jauh dipercaya bahwa penyatuan hukum Indonesia dengan aturan internasional – ditandai dengan kembali masuknya Indonesia dalam Konvensi Bern tahun 1997 – adalah upaya bagus untuk menyesuaikan diri dengan standar hukum internasional.

Pandangan kedua sebaliknya m enganggap perjanjian internasional m engenai HAKI – yang disebut TRIPs atau trade related intellectual property rights dan m erupakan bagian dari WTO – akan m enegaskan ketim pangan antarnegara di dunia dan m em buat negara industri m aju m endapat keuntungan lebih dulu. Sem entara penduduk negeri berkem bang harus m em bayar m ahal untuk m enggunakan software atau m enonton VCD yang diproduksi negara m aju, perusahaan transnasional yang berm odal besar dengan m udah m encaplok pengetahuan tradisional di negeri berkem bang dan m enjadikannya m ilik. Sungguh m enyedihkan m elihat kom unitas petani yang berabad-abad m erawat bibit padi sekarang harus m em bayar jika m au m enggunakan bibit itu karena “hak milik intelektual”-nya sudah dibeli oleh perusahaan besar.

Lebih jauh dikatakan bahwa rezim HAKI internasional telah m enciptakan jurang antara negeri m aju dan negeri berkem bang seperti Indonesia. Pandangan ini m enolak kerangka legal-form al karena m enganggap banyak m asalah yang tidak dapat dipecahkan oleh rum usan hukum itu. J ustru sebaliknya hukum m enurut m ereka m encerm inkan tarik-ulur kekuasaan yang m enem patkan negeri berkem bang dalam posisi tidak m enguntungkan. Hal ini nam pak jelas dalam hubungan dagang Indonesia dan AS. Adalah pem erintah AS yang m enilai seberapa taat Indonesia terhadap aturan m ain yang m ereka tetapkan, sem entara Indonesia tidak punya kekuatan (dan kem auan) apa pun untuk berbuat sam a.