Sumber Sejarah yang Timpang
Sumber Sejarah yang Timpang
Rinto Trihasworo Peristiwa G 30 S ibarat sebuah bola peristiwa yang besar. Tiap ahli sejarah hanya tahu sisi bola
bagian depan sem entara bagian belakang ia tidak m engetahuinya. Yang lainnya hanya tahu sisi bola sebelah atas sem entara sisi bola sebelah bawah ia tidak m engetahuinya. J ika dengan ilustrasi seperti ini sebenarnya m udah saja m enyatukan tiap-tiap sisi agar terbentuk sebuah inform asi yang utuh (bulat). Tapi yang m enjadi m asalah adalah ‘dokumen-dokumen hidup’ , yang dapat m em buat bola inform asi yang utuh, dibunuh dan dibuang tanpa lebih dulu diproses secara hukum untuk m em berikan inform asi apa yang sesungguhnya terjadi.
Banyak orang berprasangka terhadap “pengadilan” kilat (eksekusi tanpa proses peradilan) bagi m ereka yang berperan dalam peristiwa G 30 S. Proses pengadilan kilat tanpa proses hukum adalah m anifestasi dari “gregetannya” Angkatan Darat terhadap mereka. Atau prasangka lain yang m engatakan bahwa pengadilan kilat tersebut m erupakan bagian dari skenario besar dalam peristiwa G 30 S, yang m em ang secara sistem atis sengaja m em otong rantai inform asi dari perisiwa tersebut.
Apapun prasangka-prasangka yang m uncul m ungkin diantaranya ada yang benar, tapi yang jelas bahwa dengan dibunuhnya m ereka yang terlibat dan dekat dengan peristiwa G 30 S usaha m encari inform asi yang utuh peristiwa 65 akan m enem ui kesulitan besar (kalau tidak m au dibilang buntu).
Disam ping ham batan dalam m encari sum ber-sum ber inform asi yang valid, nam paknya usaha para sejarawan untuk m engungkap peristiwa G 30 S harus “kejar-kejaran” dengan usaha pem erintah Orde Baru yang selalu berusaha m enutup ruang inform asi seputar peristiwa G 30 S. Salah satu bentuknya adalah pem buatan buku-buku sejarah untuk referensi pendidikan sejarah nasional di tiap-tiap sekolah. Karena yang m em buat adalah pem erintah yang berkuasa, sudah barang tentu isinya pun akan m em ihak kepada pem buatnya. Belum lagi bentuk “pengharaman- pengharam an ” atau pelarangan-pelarangan lewat institusi resmi, baik melalui Ketetapan m aupun Keputusan.
Tiga buku ini m engurai peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan dengan peristiwa G 30 S, baik peristiwa yang terjadi sebelum , saat, m aupun setelah G 30 S. Dari tiga buku ini ham pir sem uanya luput m em bicarakan peran serta atau andil Am erika dan Negara Eropa dalam peristiwa G 30 S. Padahal sangat jelas bahwa pada periode tahun 60 a-an atau setelah perang dunia ke II, perang tidak lagi dalam bentuk konfrontasi secara fisik, m elainkan perang m elalui m em berikan bantuan keuangan dan training sipil m aupun m iliter.
Tiga buku ini m em punyai spesifikasi inform asi yang berbeda. Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Analisa Awal karya Ben Anderson dan Ruth T. Mc Vey lebih banyak m em berikan analisa m engenai peristiwa G 30 S dalam konteks konflik internal Angkatan Darat, serta kem ungkinan- kem ungkinan keterlibatan AURI, Sukarno dan PKI dalam peristiwa tersebut.
Buku Kaum Merah Menjarah karya Am inuddin Kasdi lebih banyak m engurai tentang aksi sepihak kaum tani m iskin/ buruh tani di J awa Tim ur yang diorganisir oleh BTI/ PKI berkaitan dengan pem berlakuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 tahun 1965 dan Undang- undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) No 2 Tahun 1965. Sedangkan buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Herm awan Sulistyo lebih banyak m enyoroti konflik horisontal yang terjadi setelah peristiwa G 30 S antara warga NU di J awa Tim ur dengan anggota BTI/ PKI.
Buku Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Analisis Awal, disebutnya sebagai sebuah analisis awal m ungkin disebabkan oleh kurun waktu pencarian data yang begitu singkat, sehingga sulit untuk m engeksplorasi inform asi yang valid seputar peristiwa G 30 S. Sem entara yang akan diungkap adalah peristiwa yang begitu besar dan terjadi secara sim ultan hingga tahun 1971. Buku ini sendiri m ereka tulis pada tahun 1971 (diterjem ahkan tahun 20 0 1). Merupakan kurun waktu yang sangat singkat untuk m encari sebuah data yang akurat dari sebuah peristiwa yang besar.
Selain kurun waktu yang begitu singkat untuk m encari fakta, sum ber-sum ber inform asi yang dapat dieksplorasi lebih jauh pada um um nya sedang m engalam i penahanan, pem buangan atau dibunuh. Belum lagi situasi politik Indonesia pada saat itu sedang m em asuki m asa peralihan dari Dem okrasi Terpim pin Sukarno m enuju Dem okrasi Pancasila di bawah Suharto. Sangat sulit rasanya m em bayangkan untuk m endapatkan inform asi yang berim bang selain inform asi yang bersum ber dari m ereka yang berkuasa pada saat itu.
Salah satu data yang dipaparkan dan bersum ber dari pihak Angkatan Darat –yang sebenarnya m erupakan senjata am puh dan kerap digunakan oleh pihak Angkatan Darat untuk m em bakar em osi m assa anti PKI ketika dilakukan penum pasan PKI, dan selam a m asa pem erintahan Orde Baru – adalah keterlibatan Gerwani dalam peristiwa dan dipersenjatainya para anggota Gerwani dengan silet serta pisau untuk secara bergiliran m elukai tubuh para jenderal.
Nam un begitu, para penulis buku ini juga m enam pilkan referensi lain seputar kondisi tubuh para jenderal yang m erujuk pada pidato Presiden Sukarno pada tanggal 12 dan 22 Desem ber yang m engatakan bahwa dalam laporan tim dokter yang m em eriksa kondisi m ayat tidak m enem ukan tanda-tanda pencungkilan m ata dan pem otongan alat kelam in seperti yang disebutkan dalam berita Angkatan Darat.
Selain m enam pilkan referensi yang berbeda, pada tahun 198 7, Ben pernah m enulis sebuah artikel dalam Indonesia No. 43 dengan judul “How Did Generals Die?” Ben menampilkan fakta- fakta baru seputar kondisi jenasah para jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya, dengan referensi hasil otopsi tim dokter yang m em eriksa m ayat para jenderal. Dalam otopsi tersebut disebutkan bahwa alat kelam in para jenderal utuh dan tidak ada luka-luka bekas sayatan benda tajam . Kalaupun ada luka, hanya luka tem bak atau luka akibat benturan dengan dinding sum ur. J adi jelas bahwa tidak ada sayatan pada wajah para jenderal, apalagi pem otongan alat kelam in.
J ika m elihat fenom ena diatas jelas bahwa ada dua inform asi yang berbeda dari satu sum ber yang sam a. Hal ini juga sem akin m enunjukkan pada kita bahwa proses pencarian data baru (fakta lam a yang baru bisa dibuka) terus dilakukan oleh penulisnya. Disam ping juga m enginform asikan kita secara eksplisit bahwa proses pencarian kebenaran sejarah selalu diham bat oleh kekuasaan pem erintah yang berkuasa pada saat itu.
Hal yang m enarik dalam buku ini adalah perincian m engenai operasi penangkapan para jenderal, sam pai pada siapa m enculik siapa dan berapa kekuatannya. Selain itu buku ini juga m em berikan beberapa analisa m engapa Letkol Untung m elibatkan Panglim a Angkatan Udara dan Ketua PKI dalam G 30 S serta “menculik” Presiden dan membawanya ke Pangkalan Halim.
J ika m em baca seluruh rangkaian yang dipaparkan dalam buku ini, nyata sekali bahwa G 3O S m erupakan konflik internal Angkatan Darat yang um um nya terdiri dari perwira-perwira m uda Angkatan Darat. Nam un yang m enjadi pertanyaan adalah apakah benar G 30 S m urni konflik dalam tubuh Angkatan Darat dan tokoh-tokoh PKI tidak terlibat dalam urusan ini? Karena sangat sulit diterim a nalar jika orang sekelas D.N. Aidit m au dim inta datang ke Halim tanpa ia tahu apa yang sedang dan akan terjadi di Halim . Bukankah dengan latar belakangnya sebagai ketua partai kom unis secara sem bunyi-sem bunyi sebenarnya ia terlibat perseteruan dengan Angkatan Darat, terutam a para jenderal yang diculik?
Sekalipun dalam bukunya Ben Anderson m enyebutkan bahwa bukunya m erupakan sebuah analisa awal (A prelim inary Analysis), nam un hingga kini Ben tidak pernah m enulis buku “Edisi Akhir ” tentang Kudeta 1 Oktober 1965. Memang kita belum bisa membuat sebuah pernyataan bahwa Ben tidak m em buat Edisi Akhir tentang Kudeta 1 Oktober, karena Ben m asih hidup hingga sekarang. J ika Ben dapat m em buat analisa akhir paling tidak ia dapat m em berikan koreksi atas analisa awal, m isalnya analisa m engenai latar belakang peristiwa G 30 S. Apakah peristiwa G 30 S m erupakan m urni konflik dalam tubuh Angkatan Darat? Apakah benar bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa tersebut? Atau, sekalipun ada orang-orang PKI terlibat dalam peristiwa tersbut, nam un secara organisasi PKI tidak terlibat?
Dalam buku Ben dan Ruth, m engenai pem bantaian m assal yang terjadi setelah peristiwa G 30 S m em ang tidak terlalu banyak dibicarakan. Nam un dari pem aparan singkat keduanya m enjelaskan bahwa dengan dim ulainya operasi penum pasan PKI yang dim ulai dari Sem arang tanggal 17 dengan m otor penggerak RPKAD adalah dim ulainya gelom bang aksi pem bantaian terhadap anggota dan sim patisan PKI, dan m enggiring terciptanya “perang saudara”. Tentu perang saudara yang tak seim bang, karena para pem uda yang diorganisir oleh RPKAD, yang um um nya adalah Pem uda Nasionalis dan Pem uda Islam , dilatih secara m iliter dan dibekali senjata. Sem entara lawannya adalah kelom pok orang yang tidak m em punyai prediksi apa yang bakal terjadi dan belum pernah m endapatkan latihan pertem puran.
J ika dibandingkan, inform asi seputar pem bantaian m assal terhadap orang-orang PKI yang dipaparkan oleh Ben dan Herm awan m em punyai benang m erah yang berbeda. Ben dan Ruth m elihat aksi pem bantaian terhadap orang-orang PKI yang dilakukan oleh warga sipil tidak lepas dari peran m iliter, dalam hal ini RPKAD. Sehingga inform asi tersebut dapat m enjelaskan bahwa aksi pem bantaian tersebut m erupakan konflik vertikal. Bukan konflik antar warga sipil atau konflik horisontal. Sedangkan Herm awan Sulistyo dalam bukunya lebih m enyoroti konflik tersebut sebagai konflik Horisontal, warga NU dengan anggota atau sim patisan PKI.
Herm awan Sulistyo ham pir tidak m enyinggung bagaim ana peran m iliter dalam pem bantaian terhadap orang-orang PKI oleh warga NU. Hubungan warga NU dengan orang-orang PKI m em ang seperti api dalam sekam , lebih-lebih sejak m araknya aksi sepihak.
Mem ang tidak bisa diingkari bahwa banyak warga NU yang terlibat dalam pem bantaian terhadap orang-orang PKI. Nam un pem bantaian itu sendiri sebenarnya tidak lepas dari peran serta m iliter baik langsung m aupun tidak langsung. Misalnya dengan m elatih kem iliteran dan m em persenjatai para pem uda NU yang tergabung dalam Banser untuk m enghadapi orang-orang PKI.
Wilayah penelitian antara Ben dan Ruth dengan Herm awan Sulistyo m em ang berbeda. Ben dan Ruth lebih banyak m engangkat inform asi m engenai apa yang terjadi di J awa Tengah, sedangkan Herm awan lebih banyak m engenai inform asi J awa Tim ur. Nam un m esti diingat bahwa setelah m elakukan operasi penum pasan di J awa Tengah, RPKAD m engalihkan operasi penum pasan PKI ke J awa Tim ur. Dengan beralihnya operasi penum pasan PKI ke J awa Tim ur, otom atis terbuka ruang untuk dilakukannya pem bantaian terhadap orang-orang PKI di J awa Tim ur seperti yang dialam i J awa Tengah ketika RPKAD datang.
Sem entara itu, Kaum Merah Menjarah, Am inuddin Kasdi m em aparkan m engenai aksi sepihak yang dijalankan oleh petani/ BTI berkaitan dengan pem berlakuan UUPA dan UUPBH. J ika dikaitkan dengan buku Herm awan Sulistyo, peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam buku Kaum Merah Menjarah ini m erupakan penyebab terjadinya pem bantaian m assal orang-orang PKI oleh warga NU di J awa Tim ur setelah peristiwa G 30 S.
Am inuddin m elihat bahwa pem berlakuan UUPA dan UUPBH tidak lebih dari sekedar m om entum reform asi di bidang agraria yang dim anfaatkan oleh PKI untuk m em peroleh lebih banyak pendukung.
Dalam tulisannya, Am inuddin terkesan hanya m engangkat tentang aksi sepihak yang dilakukan oleh para petani, sem entara alasan m engapa para petani m elakukan aksi sepihak tidak banyak diungkap. Sehingga aksi sepihak yang dilakukan oleh petani tergam bar sebagai sebuah aktivitas yang m engerikan: m enjarah.
Referensi yang ia gunakan m em ang banyak bersum ber dari m edia BTI/ PKI, nam un referensi tersebut um um nya ia gunakan untuk lebih m enegaskan aksi sepihak yang dilakukan oleh para petani/ BTI, bukan sebagai inform asi yang kem udian ia gunakan sebagai pisau analisa untuk m enggali lebih dalam m engapa para petani m elakukan aksi sepihak.
Hal ini dapat dilihat dari tulisan Am inuddin m engenai bagaim ana cara PKI/ BTI m em berikan pendidikan politik pada kaum tani, bagaim ana cara pengerahan m assa, bagaim ana strategi m elakukan aksi sepihak dan lain-lain. Nam un sedikit sekali inform asi yang rinci bagaim ana para tuan tanah m em peroleh tanah yang begitu luas, padahal banyak tuan tanah m em peroleh tanah yang luas dengan cara tidak wajar. Seperti yang diungkapkan oleh Lance Castles bahwa akum ulasi kepem ilikan tanah secara perorangan di J awa Tim ur pada periode 1964-66 sangat tinggi, padahal pada periode itu UUPA No. 5 tahun 1960 sudah berlaku.
J ika buku ini dibuat untuk kepentingan dunia akadem is, sem estinya Am inuddin m enggunakan sum ber inform asi yang berim bang. Tapi faktanya Am inuddin hanya m encari sum ber lisan dari pihak NU/ PNI sem entara ia tidak m engejar inform asi lisan dari para petani yang pernah m elakukan aksi sepihak. Padahal hal ini sangat m ungkin dilakukan oleh Am inuddin karena m asih banyak tokoh-tokoh BTI yang m asih hidup sam pai sekarang.
Sekalipun Am inuddin berulang kali m enyebutkan “sabotase” atau “penyelewengan” terhadap penerapan UUPA dan UUPBH nam un ia tidak m enjelaskan secara detil bagaim ana para tuan tanah m enyabot dan m enyelewengkan UU ini. Beda dengan ketika ia m enjelaskan tentang aksi sepihak yang dilakukan oleh para petani. Am inuddin terkesan m enem patkan posisi m ereka (tuan tanah) yang m enjadi sasaran aksi sepihak dalam kadar kesalahan yang rendah.
J ika m elihat aksi sepihak yang dilakukan oleh petani m iskin/ BTI secara hitam putih, m aka aksi tersebut selaras dengan judul buku ini: Kaum Merah Menjarah. Tapi kalau dilihat lebih kedalam m engenai alasan yang m enjadi dasar dilaksanakannya aksi tersebut, kita juga akan m elihat bahwa para tuan tanah juga sebenarnya m elakukan penjarahan. Sebagai contoh m isalnya, tanah berlebih m erupakan tanah yang harus diserahkan kepada panitia landreform untuk dibagikan kepada kaum tani tak bertanah. Belum lagi kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan oleh tuan tanah baik sebelum m aupun setelah UU ini diberlakukan. Kejahatan-kejahatan tersebut m isalnya pem berian upah yang tidak adil kepada buruh tani, sewa m enyewa tanah yang tidak fair.
Kini, istilah tuan tanah m em ang sudah tidak lagi populer, kini ia berganti nam a m enjadi “Petani Berdasi ”. Sekalipun berdasi, bukan berarti ia lebih santun dari istilah sebelumnya. Karena ia m asih m em punyai sem angat yang sam a untuk m enghisap siapapun juga yang dapat ia hisap.
Kita sem ua tentu tahu, bahwa UU yang dijadikan dasar oleh petani m iskin dalam m elakukan aksi sepihak adalah UU No. 5 tahun 60 yang hingga kini m asih berlaku. Tetapi m engapa setelah
42 tahun keberlakuannya m asalah agraria tetap tidak pernah selesai, dan petani tak bertanah sem akin tinggi populasinya diiringi dengan populasi kaum petani berdasi.
Rinto Trihasworo, Pengajar pada Universitas Sanggar Akar 1 | >>
INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS
Tentang MKB | Email
©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PAUL ROBESON: Mendendangkan Lagu, Mengagungkan Manusia
Ayu Ratih
Setiap seniman, setiap ilmuwan, harus memutuskan sekarang dimana dia berdiri. Ia tak punya pilihan lain. Tak mungkin ia mengawang atasi benturan di puncak Gunung Olympus. Tak ada pengamat imparsial. Dengan terjadinya penghancuran warisan karya seni orang-orang agung di berbagai negeri, dengan maraknya propaganda gagasan-gagasan palsu tentang keunggulan suatu ras dan bangsa, seniman, ilmuwan, penulis ditantang untuk bersikap. Perjuangan ini menyerbu ruang-ruang universitas dan wadah menuntut ilmu lainnya yang dahulu demikian terlindungi. Medan pertempuran itu kini dimana-mana. Tak ada lagi sisi untuk cari selamat. Pidato di tengah demonstrasi mendukung Republik Spanyol, Albert Hall, London, 1937
Dalam sejarah Am erika Serikat (AS) yang sarat dengan cerita peperangan dan penyerbuan ke berbagai negeri tercatat perjalanan seorang penyanyi, aktor, sekaligus aktifis perdam aian yang m encoba m em bangun solidaritas antar bangsa m elalui lagu. Paul Robeson, dengan suara bass- bariton yang em puk, m em bawakan lagu-lagu rakyat dalam sekurangnya 20 bahasa, bukan saja di gedung-gedung konser m egah, tetapi juga di tengah pertem puran m elawan fasism e dan pertem uan serikat-serikat buruh di berbagai belahan dunia. Seperti alunan kisah 6 sungai besar yang m enjalin m uka bum i – Amazon, Gangga, Mississipi, Nil, Volga dan Yangtze – dalam salah satu lagunya yang ternam a Song of the Rivers, suara Paul m enerobos batas ras, kelas dan negara, serta m engajak pendengarnya m em bayangkan dunia baru yang lebih adil, dam ai dan m anusiawi.
Ketika aku m elantunkan m elodi rakyat Am erika di Budapest, Praha, Tiflis, Moskow, Oslo, atau Hebrides, atau bahkan di garis depan m edan perang Spanyol, orang m engerti dan m enangis atau bergem bira oleh sem angat yang terkandung dalam lagu-laguku. Aku m enem ukan bahwa ketika ada kekuatan yang sam a, apakah itu dari orang yang m enenun, m endirikan bangunan, m em etik kapas, atau m enggali tam bang, m ereka m em aham i satu sam a lain lewat bahasa yang serupa, yaitu bahasa kerja, penderitaan dan protes.
Sem entara di dunia internasional sem angat Paul bersam but hangat, di tanah kelahirannya ia berhadapan dengan histeria anti-kom unis yang segera berkem bang m enjadi patriotism e sem pit. Penguasa AS yang sedang m enikm ati kem enangan dalam Perang Dunia II dan bergairah m erancang perang baru m elawan bekas sekutunya, Uni Soviet, terusik oleh seruan perdam aian yang didengungkan Paul lewat lagu dan pidatonya. Kekagum an sang senim an atas Revolusi Bolshevik 1917 dan hubungan baiknya dengan para aktifis organisasi-organisasi kiri, term asuk Partai Kom unis AS, pun m enjadi bahan utam a untuk m em pertanyakan loyalitas Paul Robeson terhadap negerinya.
Berbekal dokum en hasil pengam atan dinas intelijen dalam negeri AS, FBI, pada 1950 Departem en Dalam Negeri AS m encabut paspor Paul Robeson. Kem udian, ia dipanggil dan diinterogasi selam a berjam -jam oleh House Un-Am erican Activities Com m ittee (HUAC) — sebuah kom ite khusus yang didirikan parlem en AS atas usulan Senator J oseph McCarthy untuk m enyelidiki kegiatan yang diduga bersifat “komunis”. HUAC memberondong Paul dengan pertanyaan tentang keterkaitannya dengan gerakan kom unis internasional. Ia juga didesak untuk m engecam Uni Soviet, m enyebutkan nam a tokoh-tokoh kom unis AS, dan m enjawab apakah ia anggota Partai Kom unis. Sang penyanyi dengan tegas m enolak desakan tersebut karena ia m elihat seluruh proses interogasi ini sebagai pelanggaran terhadap hak-hak Konstitutionalnya sebagai warga negara AS.
Dari “pahlawan” penghibur tentara Sekutu sepanjang Perang Dunia II Paul menjadi salah satu m usuh utam a negara, “agen asing” yang melakukan tindakan “anti-Amerika”. Penghilangan hak berperjalanan diikuti dengan pem batalan paling tidak 8 5 konser dalam setahun dan pelenyapan piringan hitam lagu-lagunya dari toko-toko m usik di seantero AS. Nam anya m asuk daftar hitam di Broadway dan Hollywood. Sedangkan m edia m assa utam a tak henti-hentinya m enonjolkan kecintaan Paul terhadap Uni Soviet dan m enyesali bahwa “manusia seperti ini pernah lahir di AS ”. Sebagian bekas pengagumnya di kalangan kulit putih masih berpikir bahwa Paul “terkena pengaruh buruk ” dan berharap ia kembali menjadi seniman, bukan pembicara politik. Penghasilannya sebagai bintang ternam a m enurun drastis dari ratusan ribu dolar per tahun m enjadi $ 30 0 0 . Yang cukup m em buat Paul terpukul justru serangan telak dari pim pinan organisasi m apan yang m em perjuangkan persam aan hak bagi kaum kulit hitam , Asosiasi Nasional untuk Kem ajuan Rakyat Kulit Berwarna (NAACP). Ketakutan m ereka akan tuduhan
“komunis” membuat mereka berusaha mati-matian menunjukkan kesetiaannya pada pem erintah AS dan m enuduh Paul pengkhianat bangsa Negro.
Nam un, troubadour yang dikenal sangat percaya diri ini tidak m enyerah begitu saja. Ia yakin bahwa pim pinan NAACP — “para kacung tuan-tuan kulit putih” — tidak mewakili aspirasi jutaan rakyat Negro yang m engalam i penghinaan dan pem erasan dalam kesehariannya. Ia lancarkan seruan yang lebih tegas bahwa bangsa Negro “tidak seharusnya mati di negeri asing demi kejayaan Wall Street dan orang-orang serakah pendukung fasism e dom estik ”. Solidaritas bagi Paul pun m engalir dari berbagai kelom pok progresif di AS dan di negeri-negeri lain. Untuk m enghadapi ancam an serbuan dari kelom pok kulit putih konservatif, Klu Klux Klan dan Am erican Legion, ia diantar ke Peekskill, New York oleh 25.0 0 0 pendengarnya dan konsernya dijaga oleh 250 0 aktifis serikat buruh serta veteran perang anti-fasis – sebagian besar berbangsa Yahudi. Pada 1952-53 ia berturut-turut diundang tam pil di pertem uan tahunan Serikat Internasional Buruh Tam bang, Penyaring dan Pengelas Logam British Colum bia di Vancouver, Kanada. Sebagai warga negara AS seharusnya ia tak m em erlukan paspor untuk berangkat ke Kanada, tapi Departem en Im igrasi AS tak m engijinkannya m elalui perbatasan. Maka, organisasi pengundangnya m engatur agar Paul bisa m enyanyi di hadapan sekitar 40 .0 0 0 orang yang m enanti di kedua sisi perbatasan AS-Kanada. Di London Kom ite “Biarkan Paul Robeson Menyanyi ” berhasil memanfaatkan jaringan telepon untuk mengudarakan suaranya bagi
60 0 .0 0 0 buruh tam bang Welsh pada 1957. Paul juga m engirim kan pesan perdam aian m elalui telegram ke beberapa pertem uan penting tingkat dunia, seperti Konperensi Sastrawan Rusia (1954), Kongres Tahunan Dewan Perdam aian Dunia, dan Konperensi Asia Afrika di Bandung (1955).
Dengan ketenarannya sebagai penyanyi di dunia internasional sebenarnya Paul punya kesem patan untuk m eninggalkan AS. Tapi, seperti yang terungkap dalam jawabannya di hadapan HUAC, ia m em ilih tetap berada di AS, karena:
… ayahku seorang budak, dan bangsaku mati untuk membangun negeri ini. Maka, aku akan tinggal di sini dan m enikm ati sebagian negeri ini seperti kam u. Dan tak
seorang pun dengan pikiran fasis akan sanggup m engusirku dari sini. Apakah itu jelas?
Paul Leroy Bustill Robeson tidak m engada-ada. Lahir di Princeton, New J ersey pada 9 April
18 98 , sejak kecil ia sudah m engenal cerita perjuangan kaum Negro m elawan perbudakan dan diskrim inasi rasial di AS. Ayahnya, William Drew Robeson, adalah seorang budak yang m elarikan diri dari Virginia pada usia 15 tahun. Ibunya, Maria Louisa Bustill, berasal dari keluarga berdarah cam puran Eropa, Indian Chippewa dan Negro yang berpendidikan tinggi di Philadelphia. Keduanya aktif dalam gerakan pem bebasan budak abad 18 , Underground Railroad. Sebagai buah perjuangan penghapusan perbudakan dan ketekunan belajar, William Robeson berhasil m enyelesaikan studinya di sekolah tinggi teologi khusus untuk kaum Negro dan m enjadi pendeta di gereja African Methodist Episcopal Zion.
Saat Paul Robeson berum ur 6 tahun ibunya m eninggal akibat terbakar kom por gas di dapur rum ahnya. Alhasil ayahnya m enjadi orang terpenting yang m enanam kan nilai-nilai dasar tentang kem anusiaan dan kebanggaan sebagai bangsa Negro dalam kehidupan keluarga Robeson. Hidup di tengah m asyarakat yang tersegregasi secara rasial, Paul m au tak m au berhadapan dengan pem batasan, tekanan dan penghinaan dari m ayoritas kaum kulit putih. Tak jarang ia kehilangan kesabaran dan m elawan perlakuan diskrim inatif ini dengan kekuatan fisik. Tubuhnya yang tinggi besar dan suaranya yang m enggelegar m em ungkinkan hal ini. Kendati dem ikian, ayahnya senantiasa m enekankan bahwa ia harus m enunjukkan kebersahajaan bangsa Negro bukan dengan kekuatan fisik, tetapi dengan kem ahiran di segala bidang kebudayaan, yang didukung kesantunan dalam bersikap, tanpa kehilangan harga diri.
Paul m em atuhi nasehat sang ayah. Dengan prestasi cem erlang di bidang olahraga, kesenian dan ilm u pengetahuan ia lulus SMA sebagai pelajar teladan dan berhasil m em peroleh beasiswa ke salah satu universitas terpandang di New J ersey, Rutgers University. Selam a kurang lebih 10 0 tahun ia m erupakan orang kulit hitam ketiga yang diterim a di universitas tersebut. Dalam 4 tahun m asa kuliahnya ia m em peroleh 15 piagam sebagai bintang olahraga di bidang atletik, bola basket, baseball dan football. Ia juga terpilih untuk m ewakili kam pusnya dalam Tim Nasional Football AS dua tahun berturut-turut. Kem am puan m enyanyi dan berpidato yang diperoleh dari pengalam an m asa kecil di gereja ayahnya m endatangkan kekagum an dan berbagai penghargaan dari kalangan kulit putih. Di bidang akadem is pun pencapaiannya tak kalah gem ilang sehingga Rutgers University bersedia m enganugerahkan gelar kehorm atan ketika ia lulus terbaik pada 1919.
Paul Robeson m elanjutkan kuliahnya di perguruan tinggi terpandang lainnya, yaitu Fakultas Hukum , Colum bia University, New York. Di kam pus ini lah ia bertem u dengan Eslanda Cardozo Goode, m ahasiswi berdarah cam puran Yahudi-Spanyol dan Negro, yang kem udian m enjadi istrinya pada 1921. Ia juga m ulai sesekali terlibat dalam produksi teater am atir, dan m enjadi pem ain pengganti profesional di panggung Broadway untuk m em biayai kuliahnya. Perhatiannya m ulai terpecah antara m enjadi pengacara atau senim an. Seperti kebanyakan kaum Negro terpelajar pada saat itu Paul sem ata-m ata berpikir tentang jalan terbaik bagi dirinya untuk hidup lebih layak. Setelah ia lulus ia sem pat bekerja di sebuah kantor pengacara selam a beberapa bulan. Tapi karena suasana rasis di kantor tersebut ia m em utuskan untuk keluar. Istrinya lah, yang dikenal dengan panggilan Essie, kem udian yang m endorongnya untuk lebih m enekuni karir sebagai senim an.
Kepandaian Paul m em bawa diri, didukung dengan kecekatan Essie m em bangun jaringan, m em buat m ereka segera diterim a di lingkaran senim an, intelektual dan aktifis liberal kota New York. Pengakuan atas kem am puan berakting Paul Robeson dim ulai sejak ia bergabung dalam kelom pok pertunjukan berpengaruh Provincetown Players, di bawah pim pinan sutradara ternam a AS, Eugene O ’Neill. Sedangkan karirnya sebagai penyanyi justru berawal dari sebuah pertunjukan kecil yang diselenggarakan oleh salah satu sahabatnya, fotografer Carl van Vechten, untuk m em beri kesem patan Paul m endendangkan lagu-lagu spiritual Negro. Ternyata cara Paul m enghayati lagu-lagu tradisional ini sangat m engesankan kaum kulit putih. Secara teknis suara Paul dianggap “kasar” tanpa polesan, tapi bagi pendengarnya “keaslian” ini lah yang berharga. Paul dilihat sudah m em bawakan lagu-lagu tersebut dengan bersetia pada “kepedihan dan keriangan tak terbatas ” yang terkandung dalam kehidupan kaum budak Negro. Kritikus seni pertunjukan kulit putih kem udian m enobatkan Paul sebagai “penafsir musik spiritual” yang terbaik di jam annya.
Menariknya kecam an pedas m uncul justru dari kalangan senim an kulit hitam . Kelom pok yang berorientasi ke tradisi Eropa m enganggap Paul sudah m erendahkan kaum nya dengan m enyanyikan “tembang perbudakan” tanpa teknik bernyanyi yang canggih. Sementara kelompok yang bergerak di tingkat akar rum put m elihat resital m usik spiritual yang diantar oleh penyanyi tunggal sudah m enghilangkan spirit kolektif yang m elahirkan karya seni tersebut. Resital serupa ini hanya m erupakan hiburan bagi publik kulit putih. Paul sendiri saat itu percaya bahwa seni m erupakan alat utam a untuk m enyelesaikan m asalah rasialism e. Gagasan ini sangat dipengaruhi tradisi intelektual Harlem Renaissance: bahwa kem ajuan ras yang tertindas ditentukan oleh pencapaian artistik tertinggi sang senim an sebagai individual, bukan oleh gerak kolektif, bukan pula oleh kegiatan politik.
Dalam waktu kurang dari 10 tahun Paul m enjadi “mutiara hitam” kesayangan kaum kulit putih AS. Kesantunan dalam bersikap dan kelem butan suara Paul di atas dan di luar panggung m em buat penggem arnya percaya bahwa Paul Robeson m erupakan hasil terbaik sistem segregasi rasial yang sudah m elahirkan “makhluk biadab yang terhomat”. Pintu dunia film pun terbuka bagi si hitam . Sepanjang paruh akhir 1930 an sam pai awal 1940 an ia berm ain dalam paling tidak
11 film kom ersial yang diproduksi di AS dan Inggris. Publik Eropa m ulai tertarik padanya dan Paul diundang untuk m engadakan konser di seantero benua tersebut. Tak dinyana perjalanannya ke Eropa, kem udian ke Uni Soviet, m enjadi titik balik pandangan Paul tentang seni dan politik.
Di Eropa, terutam a di Inggris, Paul m em peroleh sam butan luar biasa hangat. Yang m engejutkan ia bisa m akan di restoran, m enginap di hotel m ana pun tanpa direndahkan sebagai Negro. Publik yang m enghadiri pertunjukannya pun berasal dari beragam ras dan bangsa. Di luar panggung Paul bertem u, lalu m enjalin persahabatan dengan aktifis, intelektual dan senim an progresif seperti tokoh anarkis Em m a Goldm an, penulis Ernest Hem ingway dan J am es J oyce, fem inis Gertrude Stein, dan penyair J am aica Claude McKay. Tapi yang m enjadi pem icu utam a ketertarikannya pada dunia politik adalah perkawanannya dengan para aktifis m ahasiswa Afrika, seperti J om o Kenyatta dan Kwam e Nkrum ah – kelak mereka menjadi pemimpin Kenya dan Ghana – dan pemikir Karibia, C.L.R. J ames. Paul menghabiskan separuh waktu senggangnya untuk berdiskusi dan m em pelajari sejarah kebudayaan dan bahasa-bahasa Afrika di Universitas London. London m enjadi rum ah kedua bagi Paul. Di kota itu “Aku ‘menemukan’ Afrika”, demikian ujarnya. Afrika baginya bukan lagi sekedar tem pat yang tertera nam anya di peta, tapi akar budaya kaum kulit hitam dim ana pun m ereka berada. Lebih dari itu, ia m elihat kaitan antara perjuangan kem erdekaan rakyat Afrika dengan perjuangan anti-diskrim inasi rasial kaum Negro di AS. Bersam a beberapa aktifis Negro di AS, Robeson kem udian m endirikan organisasi solidaritas Dewan Urusan Afrika (CAA), yang berfungsi m enyebarkan inform asi tentang perjuangan rakyat Afrika dan m elobi pem erintah AS dan PBB untuk m endorong proses dekolonisasi di benua tersebut.
Ketertarikan Paul pada dunia politik sem akin m endalam dan m eluas seiring dengan sem angatnya m enyanyi di bagian dunia yang berbeda. Atas undangan sutradara Rusia, Sergei Eisenstein, ia berkunjung ke Uni Soviet pada 1934. Sejum lah pertunjukan yang diselenggarakan di gedung konser, rum ah sakit, pabrik, sam pai tem pat penitipan anak m em peroleh sam butan yang bersahabat. Robeson begitu kagum dengan perkem bangan kebudayaan rakyat di negeri ini sehingga ia m enyatakan, “Di sinilah, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku berjalan dengan m artabat kem anusiaan yang seutuhnya ”. Ia berkesimpulan bahwa bangsa Negro dan buruh Rusia m em iliki kesam aan budaya karena keduanya m erupakan keturunan budak.
Dengan m eningkatnya kekuatan fasism e di Eropa, terutam a di J erm an dan Spanyol, Paul terdorong untuk terlibat dalam barisan anti-fasis baik di Eropa m aupun di AS. Di tengah kecam uk Perang Saudara Spanyol pada 1938 ia berangkat ke Madrid untuk m enghibur pasukan sukarelawan Brigade Internasional Abraham Lincoln yang m em bantu kelom pok Republikan m elawan kekuatan J endral Franco. Sekem balinya ke AS bersam a dengan tokoh-tokoh publik seperti Albert Einstein dan Helen Keller, ia m elakukan penggalangan dana untuk bantuan m edis bagi kelom pok Republikan dan berkam panye m enentang dukungan persenjataan dari perusahaan-perusahaan besar AS terhadap J endral Franco. Sepanjang perjalanan ini Paul m enyaksikan bahwa negara-negara yang konon m enjunjung tinggi dem okrasi, seperti AS, Inggris dan Perancis, ternyata tidak berbuat apa-apa untuk m encegah serbuan kekuatan fasis yang dipim pin Hitler. Bahkan ketika Uni Soviet harus berhadapan dengan pasukan Nazi dan kehilangan jutaan rakyatnya di m edan perang. Kepercayaan Paul terhadap “demokrasi barat” m ulai luntur dan m elihat bahwa fasism e hanya bisa dilawan dengan sosialism e.
Kesibukan Paul Robeson dalam kegiatan politik tidak m enghalanginya untuk m engem bangkan kem am puannya bernyanyi. Kunjungannya ke berbagai negeri m em buatnya sadar bahwa ada kem iripan ritm e, m elodi, m aupun lirik antara lagu-lagu rakyat di negeri setem pat dengan tem bang spiritual Negro. Ia juga berusaha m eningkatkan teknik vokalnya. Tapi ia tetap percaya bahwa penghayatan terhadap lagu lebih penting untuk m enggugah rasa m anusia. Keyakinan ini bukannya tak berdasar. Sekali waktu salah satu lagunya yang terkenal, Water Boy, diperdengarkan di sebuah desa terpencil di Angola oleh sekelom pok m ahasiswa Antropologi. Tiba-tiba si kepala desa m engam bil kapak keram at m ilik sukunya, m eletakkannya di sisi gram ofon yang sedang berbunyi, dan m em inta kelom pok m ahasiswa itu untuk m em berikan kapak tersebut ke Paul Robeson dengan pesan “untuk saudaraku yang hebat di seberang sungai”.
Setelah m elalui tiga dekade di tengah dunia yang bergolak, perjalanan penyanyi ini m encapai akhir yang m em ilukan. Tekanan yang dilancarkan pem erintah AS terhadapnya lam bat laun m em isahkan Paul dari kawan-kawan terdekatnya dan m engancam kelangsungan hidup organisasi-organisasi tem patnya bekerja. Sejak 1941 hingga 1967 FBI m engutus agen khusus untuk m engam ati dan m elaporkan setiap langkah Paul. Orang-orang yang berhubungan dengan sang penyanyi dengan segera diberi label “subversif” atau “komunis”, dan namanya tercatat dalam dokum en rahasia tentang Paul dan Essie setebal 2.68 0 halam an. Kendati dukungan internasional terhadap Paul tetap kuat, situasi pengasingan berkelanjutan di dalam negeri tam paknya m enghantam ketahanan m ental penyanyi yang dikenal ram ah dan periang ini. Ia m encoba bunuh diri dua kali dan harus dirawat di rum ah sakit psikiatri selam a berbulan-bulan. Pada 1958 ia m em enangkan gugatan untuk m em peroleh kem bali paspornya dan sem pat m elakukan perjalanan keliling ke Eropa, Australia dan Uni Soviet. Sebenarnya ia diundang untuk tam pil di India, Cina dan Afrika, tapi kondisi kesehatannya sedem ikian buruk sehingga ia m em batalkan perjalanan tersebut. Ia m engundurkan diri dari publik pada 1966 dan m eninggal akibat serangan stroke dalam usia 77 tahun.
“Raksasa Negro” itu akhirnya tumbang. Namun, semangat yang pernah menghidupinya terus m engalir lewat alunan suara hangatnya. Setiap tahun hari kelahirannya diperingati dengan
khidm at oleh pejuang perdam aian dan kesetaraan hak di AS dan di negeri-negeri yang pernah ia kunjungi. Ia m em ang tak pernah m enginjakkan kaki di Afrika, tapi sejarah benua itu m encatat sum bangan tak ternilai yang ia berikan dem i kem erdekaan rakyat Afrika. Penolakan penguasa AS terhadap keberadaan Paul Robeson hanya m em pertegas posisi tradisional m ereka: anti- dem okrasi dan hak-hak asasi m anusia.
AYU RATIH, aktif di Jaringan Kerja Budaya. 1 | >>
INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS
Tentang MKB | Email
©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited