BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Pengetahuan Informan tentang HIV AIDS
Dari hasil wawancara peneliti dengan informan diketahui bahwa masih banyak informan yang belum mengetahui apa itu HIV dan AIDS, mereka hanya tahu
kalau HIV AIDS adalah penyakit yang mematikan dan bisa ditularkan kepada orang lain, akan tetapi informan tidak dapat megetahui bahwasanya HIV berbeda dengan
AIDS. Menurut Notaodmojo 2010 seseorang yang tingkat pengetahuannya sampai pada memahami berarti dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan
terhadap objek yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Dalam hal pengetahuan tentang gejala dan penularan HIV AIDS, pada umumnya seluruh
informan sudah tahu dan memahaminya. Hal ini terlihat dari cara informan menjelasakannya. Peneliti melihat informan dapat memahami nya karena informan
telah mengalami gejala gejala HIV tesebut. Gejala yang dialami informan hampir sama seperti demam, mencret diare, batuk, selama berbulan bulan, berat badan
turun secara drastis dan beberapa informan mengalami tumbuh jamur di mulut. Sama halnya dengan pengetahuan informan tentang penularan HIV AIDS,
awalnya mereka tidak tahu, tetapi ketika mereka mendapat konseling dari dokter dan tenaga medis lainnya di Rumah Sakit Adam Malik Medan dan dari pendamping
ODHA, akhirnya mereka jadi mengetahuinya. Seluruhan informan sudah mengetahui cara penularannya dan dari hasil penelitian diketahui seluruh informan laki laki yang
Universitas Sumatera Utara
berjumlah 4 orang tertular HIV dari sex bebas yang mereka lakukan. Dimana masa lalu dari informan laki laki seluruhnya adalah suka melakukan sex bebas dengan
banyak wanita di kafe ataupun diskotik. Selama melakukan hubungan sex, informan tidak ada menggunakan kondom, hal ini dikarenakan pada saat itu informan belum
mengetahui pentingnya memakai kondom dalam pencegahan penularan HIV. Padahal mereka sangat beresiko terutular HIV, karena tidak ada yang bisa memastikan wanita
pekerja sex tesebut bebas dari HIV. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hounton et al 2005 dan Nwokoji and Ajuwon 2004 dalam Laksana 2010 menunjukkan
bahwa partner seks yang banyak dan tidak memakai kondom dalam melakukan aktivitas seksual yang berisiko merupakan faktor risiko utama penularan HIVAIDS.
Basuki E dkk 2002 dalam penelitannya yang berjudul “berbagai alasan wanita pekerja sex di Indonesia tidak menggunakan kondom” menyatakan dari sisi klien
bahwa penggunaan kondom akan mengurangi kenikmatan dan keyakinan bahwa pelanggan yang sudah dikenal tidak perlu mengguankan kondom untuk menghindari
penyakit menular seksual atau AIDS dan alasan wanita pekerja sex tidak menggunakan kondom adalah keyakinan bahwa pacar dan pelanggan yang kelihatan
sehat dan tidak dapat menularkan penyakit menular seksual. Hal ini tentulah tidak baik dan sangat berbahaya bagi penularan HIV baik bagi wanita penjajah sex dan
juga bagi pria yang menjadi kliennya. Terdapat 2 informan wanita Cika dan Rani yang tertular dari suami.
Pengetahuan informan tertang cara penularan HIV AIDS tidak ada kaitannya dengan tertularnya informan terhadap HIV AIDS. Cika Dan Rani tidak pernah mengetahui
Universitas Sumatera Utara
kalau suami mereka terinfeksi HIV, sehingga mereka tidak pernah melakukan pencegahan penularan HIV tersebut. Hal ini disebabkan suami mereka tidak pernah
memberitahukan kondisi kesehatan mereka dan ketika suami sakit sudah pada stadium tinggi dan tidak lama kemudian meniggal dunia. Hal ini sejalan dengan
pernyatan pada jurnal perempuan 2013 yang menyatakan sebab terinfeksinya perempuan kerap bukan karena kurangnya pemahaman tentang penyakit tersebut, tapi
lebih dikarenakan perempuan tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi serta posisi tawar yang memadai untuk melindungi diri mereka. Contohnya adalah kasus
yang sering terjadi terhadap perempuan Papua. Mereka terinfeksi dari suami yang sering pergi ke tempat prostitusi lalu menularkan kembali kepada anak mereka. Kaum
perempuan sering kali baru memeriksakan diri setelah sangat terlambat, ketika sudah dalam kondisi sakit dan sudah pada fase AIDS. Demikian juga terkait akses
informasi, ketika ada sosialisasi HIVAIDS kerap kali yang diprioritaskan mendapatkan informasinya hanya kaum pria. Menyikapi hal ini perempuan
diharapkan lebih waspada, sadar, serta berhak mendapatkan informasi kesehatan secara seimbang. Perempuan juga harus sensitif membaca keadaan lingkungan
termasuk perilaku suami mereka di luar Jurnal Perempuan, 2013. Terdapat 1 informan wanita Dina tertular lewat transfusi darah yang pernah
diterimanya pada tahun 2008. Kepada peneliti, Dina menyatakan kekecewaannya terhadap Rumah Sakit yang mentransfusi nya dengan darah yang tercemar HIV,
tetapi Dina tidak bisa berbuat apa-apa karena Dina juga kurang mengerti proses penerimaan darah tersebut dan kejadiannya sudah 5 tahun berlalu. Hal ini sangatlah
Universitas Sumatera Utara
merugikan pasien, seharusnya pasien mengalami kesembuhan setelah transfusi, bukan sebaliknya menambah penyakit baru. Seharusnya Palang Merah Indonesia PMI
dapat memberikan jaminan terhadap darah yang bebas dari HIV sehingga pasien tidak takut ketika menerima transfusi darah. Risiko tertular HIV melalui darah yang
terkontaminasi HIV lebih dari 90 persen. Oleh sebab itu setiap orang yang menerima transfusi darah berhak mendapatkan darah yang bebas dari HIV. Pedoman
internasional dan Resolusi IPU Inter-Parliamentary Union Tahun 1998 juga menghargai undang-undang tentang kesehatan masyarakat yang mengharuskan darah
untuk transfusi bebas dari HIV dan penyakit-penyakit yang dibawa darah. Probabilitas penularan HIV melalui darah sangat tinggi. Tidak ada pilihan bagi UTD
Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia PMI selain menskrining darah melakukan uji saring darah yang akan ditransfusikan. PMI yang sudah ada sejak
tahun 1969 berdasarkan Keppres No 2461969 mulai melakukan uji saring darah donor dalam upaya penanggulangan AIDS sejak 1992 berdasarkan Kepmenkes No
622VII1992 Harahap S, 2012. Keseluruhan informan sudah mengetahui bahwa HIV AIDS tidak dapat
ditularkan dengan menggunakan kamar mandi bersama, gigitan nyamuk, salaman, pelukan, penggunaan alat makan bersama dan keringat yang mana banyak ditakutkan
orang lain ketika bertemu ODHA. Pengetahuan ini mereka dapatkan dari pendamping ODHA, dokter dan sesama ODHA di Rumah Singgah. Hal ini terlihat dari ungkapan
informan Ijul sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
”Kalau kita pelukan, bareng kita mandi, bareng minum satu gelas, bareng makan satu piring, nggak menular itu kubilang”
Informan ODHA yang ada di Rumah Singgah Moderamen GBKP sudah
paham cara penularan HIV sehingga mereka tidak mau menularkan HIV tesebut kepada orang lain, informan sangat menjaganya dengan cara tidak melakukan
hubungan sex bebas lagi dengan orang lain, kalau ada luka terbuka langsung melapnya dan menjauhkan nya dari orang lain, seperti pernyataan informan sebagai
berikut: “Dan saya juga sangat menjaga, bila saya luka saya sangat menajaga diri
saya agar mereka jangan sampai terkena. Bila luka saya terkena besi, segera saya bersihkan dan saya buang bekas elapnya. Saya sangat menjaga jangan
sampai orang lain tertular” Ucok Informan sudah memiliki pemahaman yang baik untuk tidak menularkan HIV
kepada orang lain. Mereka tidak ingin ada lagi orang yang tertular sehingga ketika ada kesempatan untuk menyampaikan kepada orang lain, mereka akan
memberitahukan nya walau mereka tidak membuka status mereka. “Kalo aku ke posko seringnya aku apa, sama anak-anak muda itu, janganlah
pergaulan bebas, jarum suntik” Dina “Jadi teman saya ditempat bekerja, bercerita kalau dia suka datang ke cafe;
saya ingatkan dia akan bahaya penyakit HIV, walau saya tidak cerita kalau saya sudah terkena; saya ingatkan bahwa bila dia sudah terkena istri dan
anaknya juga bisa tertular...Misalnya ada juga anak muda yang belum menikah karena ada masalah dengan pacarnya pergi ke cafe, lalu saya
ingatkan agar dia jangan berhubungan sex. Saya coba ingatkan tentang penyakit HIV di tanah karo ini, dari situlah bisa kena lalu dari jarum suntik
juga bisa, saya peringatkan.” Ucok “Kalau kam berhubungan sex bebas kubilang, sama perempuan yang udah
kena HIV kubilang, kam belum, pasti kam tertular kubilang. Cuman dari situ jalannya tertular kubilang. Atau sakit kam, transfusi darah kam, tambah
Universitas Sumatera Utara
darah, mungkin darah itu tertular HIV disitu, masuk ke kam tertular kubilang...Sama kawan saya yang supir-supir di Medan udah pernah juga
saya cerita gitu, kau jagalah itu kubilang” Ijul Menurut teori S-O-R Skinner dalam Notoadmojo 2003, perilaku merupakan
respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Dalam hal ini Informan menerima stimulus cara penularan HIV dari pendamping ODHA dan team komisi
HIV lainnya, sehingga muncul reaksi untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain dan menjadi sebuah tindakan dimana informan menyampaikan cara penularan HIV
kepada orang lain dan menghimbaumengajak agar orang lain agar tidak tertular HIV. Hal ini dilakukan informan untuk mencegah penularan HIV lebih luas juga.
Menurut Resentock 1982 dalam Notoadmojo 2007 dalam teori Health Belief Model disebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
melakukan perilaku pencegahan karena adanya persepsi individu tentang besarnya kegawatan suatu penyakit yang menyerangnya. Informan mengetahui bahwa
terinfeksi HIV itu sangat lah menyengsarakan mereka baik fisik maupun batin mereka karena ancaman kematian yang selalu datang dikarenakan belum adanya obat yang
bisa menyembuhkan mereka. Seperti pernyataan informan sebagai berikut: “Nggak sanggup awak menjalani kek gini, karena yakinnya awak sama
Tuhan itu. Kalau nggak kan udah banyak orang balik lagi, toksho dan mati…Iyalah, udah cukuplah awak aja, jangan lagi orang lain. Soalnya pun
ini penyakit ini kan, udah badan awak sakit, pikiran awak pun sakit kan, ibaratnya lahir batin dia sakitnya” Aldo
Mereka menyadari betapa menederitanya mereka ketika terinfeksi HIV, sehingga berupaya untuk tidak menularkan kepada orang lain dan mereka berharap tidak ada
Universitas Sumatera Utara
lagi orang yang terinfeksi HIV. Perilaku ini sangat lah baik dan dapat menjadi salah satu cara dalam mencegah penularan HIV.
5.2. Sikap Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV