Sikap Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV Stigma dan Diskriminasi yang Dialami Informan

lagi orang yang terinfeksi HIV. Perilaku ini sangat lah baik dan dapat menjadi salah satu cara dalam mencegah penularan HIV.

5.2. Sikap Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV

HIV adalah adalah virus yang menyebabkan penyakit dengan merusak sisitem kekebalan tubuh kita Djoerban 2000. Ketika virus ini merusak kekebalan tubuh, maka timbullah penyakit seperti TB, Hepatitis dan berbagai jenis penyakit lain yang disebut dengan infeksi oportunistik IO. Setiap orang tidak ingin menderita sakit penyakit apalagi terinfeksi HIV. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa keseluruhan Informan ODHA merasa sedih, ingin matibunuh diri, depresi, putus asa dan merasa bersalah ketika mengetahui diri mereka terinfeksi HIV, seperti ungkapan salah satu informan sebagai berikut: “Ketika saya mengetahui hal itu, lima hari kemudian saya meminta agar saya dibawa ke RS Adam Malik agar saya bisa meninggal dengan tenang. Namun saya tetap belum dibawa juga karena uang belum ada, sampai-sampai saya ingin gantung diri… Seluruh pasien dengan HIV yang dirawat, hidup dalam tekanan dan putus asa, saya juga sangat tertekan dan pernah berusaha menjatuhkan kepala ke lantai agar meninggal” Ijul Hal ini sejalan dengan penelitian Thompson et al 1997 dalam Siste K 2010 menyatakan pada kenyataannya orang yang hidup dengan HIVAIDS ODHA tidak hanya memiliki masalah dari segi fisik saja namun juga banyak studi telah memperlihatkan bahwa mereka mengalami peningkatan kerentanan gejala putus asa dan rasa bersalah. Wibowo 2004 menemukan data di RSCM menunjukkan dari 100 ODHA terdapat 68 dengan gangguan depresi, 41 dengan gangguan cemas menyeluruh, 7 dengan gangguan panik dan 6 dengan gangguan psikotik. Kurang Universitas Sumatera Utara lebih 5-10 masyarakat umum mengalami depresi. Namun angka depresi pada ODHA dapat mencapai 60. Perempuan terinfeksi HIV dua kali lebih mungkin mengalami depresi dibandingkan laki-laki Yayasan spiritia, 2013.

5.3. Tindakan Informan ODHA Setelah Dinyatakan Positif HIV

Dari hasil penelitian, peneliti menemukan beberapa tindakan yang dilakukan informan utama ODHA untuk sembuh dari HIV antara lain : 1. Berupaya untuk patuh dalam minum obat ARV. 2. Berupaya untuk menjaga menjaga kesehatan lewat makanan dan minuman yang dianggap dapat menaikkan CD4. 3. Mencari tempat dan orang yang dapat menerima dan mendukung kesembuhan mereka. 4. Melakukan aktivitas yang bermakna dan punya harapan akan masa depan.

5.3.1 Kepatuhan Informan Minum Obat ARV

Dari hasil wawancara dan observasi, peneliti menyimpulkan kalau seluruh informan sudah mengetahui aturan minum obat ARV. Mereka mengetahui akibat yang timbul jika mereka tidak teratur minum obat ARV tersebut hal ini terlihat dari jawaban informan sebagai berikut: “Kadang ditempat kerja, kalau misalnya saya lupa bawa, saya segera pulang ke rumah singgah, biar tetap teratur. Belum pernah bolong, paling terlambat setengah jam. Dosis 1 kali sehari, yah kalau sering-sering bolong bisa dipanggil Tuhan, tapi kalau cuma sekali ya belum” Ucok Universitas Sumatera Utara “Teratur, nggak pernah bolong, cuman kalau telat-telat 5, 10 menit kalo suka bolong, bisa resisten, begitu kita makan obat itu, virus itu tidak mempan lagi” Budi Menurut informan untuk obat ARV yang dosis tunggal dosis 1x1 biasanya mereka minum pada pukul 8 malam setelah selesai makan malam. Peneliti juga sudah beberapa kali melihat secara langsung bagaimana mereka saling mengingatkan untuk minum obat jika sudah pukul 8 malam. Ada 4 orang informan yang minum obat dosis tunggal dan 3 informan lain minum obat dosis 2x sehari. Untuk obat yang dosis 2 x sehari, biasnya informan minum pukul 8 pagi dan 8 malam. Sehingga pada pukul 8 malam, seluruh informan serentak minum obat. Peneliti juga melihat kalau informan pergi jalan jalan, maka mereka akan selalu membawa obat. Informan sangat takut jika tidak minum obat ARV, karena menurut mereka jika tidak minum obat maka virus akan terus berkembang dan akan mengakibatkan munculnya berbagai penyakit infeksi oportunistik yang dapat mengancam kematian bagi mereka. Mereka juga berupaya agar teratur minum obat, dan kalaupun telat biasnya hanya 10 sampai 30 menit, hal ini dilakukan supaya mereka tidak resisten terhadap obat ARV tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan dr Fonny J Silfanus, Deputi Program Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang menyatakan terapi ARV ini harus diberikan kepada orang yang tepat karena jika tidak patuh minum obat justru akan resisten Kompas, 2013. HIV dianggap resisten kebal terhadap obat antiretroviral ARV tertentu bila virus itu terus menggandakan diri bereplikasi walaupun kita memakai obat tersebut. Cara terbaik untuk mencegah resistansi adalah untuk mengendalikan Universitas Sumatera Utara HIV dengan memakai ARV yang manjur. Bila kita melupakan dosis obat, HIV akan lebih mudah bereplikasi. Resistansi klinis dapat dilihat dalam peningkatan pada viral load, penurunan jumlah CD4, berat badan menurun, dan kejadian baru atau kambuhan infeksi oportunistik. Pakai semua dosis Informan berupaya untuk patuh dalam minum obat ARV, mereka takut jika tidak patuh minum obat ARV maka mereka akan drop dan bisa mengalami kematian, sehingga mereka akan selalu saling mengingatkan agar tepat waktu saat minum obat. Hal ini sesuai dengan pernyataan informan pendukung Bang Primus yang menyatakan kalau ODHA di Rumah Singgah Moderamen GBKP Berastagi selalu saling mengingatkan minum obat pada jam yang sama setiap hari nya. Bang Primus juga memberitahukan informan ODHA untuk bisa saling menolong sesama ODHA ketika efek samping obat muncul sehingga tidak takut dan panik menghadapinya. ARV persis sesuai dengan anjuran, ini mengurangi risiko resistensi Yayasan Spiritia, 2014. Adanya dukungan dari sesama ODHA dan pendamping ODHA dan keinginan sembuh membuat informan tetap teratur menjalani terapi ARV. Hal ini sejalan dengan penelitian Yuyun dkk 2014 hasil analisis mengungkapkan bahwa faktor faktor pendukung kepatuhan minum ARV yang berasal dari dalam diri sendiri yaitu motivasi untuk hidup, keinginan sembuhsehat, menganggap obat sebagai vitamin dan keyakinan terhadap agama. Selain itu faktor ketersediaan obat ARV dan dukungan sosial juga mendukung kepatuhan ODHA. Faktor dukungan sosial yaitu dukungan keluarga, rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap anak, keinginan menikah, dukungan teman-teman di KDS Kelompok Dukungan Sebaya, LSM dan Universitas Sumatera Utara dari tokoh agama serta hubungan baik dengan tenaga kesehatan. Faktor internal perlu ditingkatkan dengan memotivasi ODHA. Faktor eksternal ditingkatkan dengan melibatkan peran keluarga, KDS, LSM dan tenaga kesehatan serta memperbaiki akses, keterjangkauan dan edukasi kepada masyarakat.

5.3.2. Upaya Informan Menjaga Kesehatan

Dari hasil observasi, peneliti melihat kondisi kesehatan mereka sudah membaik setelah mereka tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya upaya informan menjaga kesehatan hanya pada memakan makanan sehat yang bisa menaikkan CD4 mereka. Jawaban seluruh informan pada umumnya sama yaitu dalam menjaga kesehatan mereka harus makan telur dan minum susu minimal 2 kali sehari, minum sop dan makan buah, tidak memakan makanan yang dipantangkan seperti mie instan, makanan lalapan, makanan yang tidak matang dan buah durian dan tidak bergadang di malam hari. Hal ini sejalan dengan Ahyari 2011 yang menyatakan penting harus diperhatikan adalah agar ODHA mengurangi kontaminasi dari bahan makanan dan minuman yang berisiko keracunan atau tertular infeksi, seperti tidak makan makanan kaleng kadaluarsa, hindari daging, ikan dan telur mentah, daging ayam termasuk unggas setengah matang. Hindari konsumsi sayur mentahlalapan, dan sedapat mungkin hindari jajan. Dari hasil observasi selama penelitian, peneliti melihat seluruh informan ODHA sudah bisa beraktivitas dan melakukan kegiatannya sendiri. Hal ini Universitas Sumatera Utara menunjukkan kondisi kesehatan mereksa sudah membaik sehingga dapat beraktivitas secara mendiri. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari yayasan Spiritia 2014 mereka sebaiknya merawat diri sendiri sebisa mungkin dan selama mungkin. Dia harus menjadi dan merasa mandiri. ODHA perlu mengatur rencananya sendiri, membuat keputusan sendiri, dan melakukan apa yang diinginkan semampunya. Dari pengamatan peneliti tidak melihat ada informan yang merencanakan waktu khusus untuk berolah raga, mereka hanya sekedar melakukan aktivitas sehari hari dalam mengisi waktunya. Padahal olahraga sangat lah penting buat kesehatan mereka. Menurut Yayasan Spiritia 2014 olah raga bahkan dapat dilakukan ditempat tidur. ODHA dapat melakukan olahraga tangan, lengan dan kaki yang sederhana. Ini biasanya disebut sebagai olahraga “latihan pergerakan.” Olahraga ini membantu mencegah persendian menjadi kaku, sakit sendi dan memperlancar peredaran darah. Program olahraga dapat membantu menjaga berat badan dan kekuatan otot serta dapat membuat Odha merasa lebih sehat jika disesuaikan dengan apa yang dia bisa lakukan. Lebih baik jika orang yang terinfeksi HIV tidak minum minuman beralkohol, merokok, atau memakai narkoba Bagi informan yang dahulunya adalah perokok berusaha untuk tidak merokok dan memakai narkoba lagi. Akan tetapi peneliti masih melihat ada 2 informan yang masih merokok, dengan alasan merokok untuk membuang suntuk. Kedua informan tersebut mengetahui kalau merokok tidak baik bagi kesehatan mereka dan mereka berkata kalau mereka hanya merokok jika suntuk dan jumlahnya hanya 2-5 batang Yayasan Spiritia, 2014. Universitas Sumatera Utara saja. Padahal ini tidak lah baik bagi kesehatan paru mereka, apalagi mereka sudah pernah terkena TB. Hal ini sejalan dengan pernyataan yayasan spiritia 2014 lebih baik jika orang yang terinfeksi HIV tidak merokok atau memakai narkoba lagi Kebersihan tempat tinggal juga menjadi pendukung untuk menjaga kesehatan kita, jika tempat tinggal kita kotor maka akan manjadi tempat yang baik bagi kuman penyebab penyakit. Dari hasil observasi selama penelitian, peneliti melihat suasana Rumah Singgah yang masih jauh dari kebersihan, sampah bertumpuk di dapur membuat lalat dan semut hinggap didapur. Lantai rumah juga kotor, padahal mereka menyapu nya, menurut peneliti lantai kotor disebabkan setiap orang yang masuk rumah bebas memakai sandal dan sepatu, padahal sepatu dan sandal tersebut kotor karena baru dipakai dari luar rumah dan berpotensi membawa banyak kuman penyakit. Hal ini tentulah tidak baik bagi kesehatan ODHA yang tinggal di rumah singgah tersebut. Selain itu peneliti juga melihat air tergenang di lantai kamar mandi, lantai licin dan beraroma bau. Pakaian juga banyak tergantung di kamar mandi dan kamar tidur. Tempat seperti ini akan menjadi tempat berkembang biaknya vektor penyebab penyakit seperti nyamuk, lalat dan kecoa. Ketika peneliti menanyakan tentang siapa yang bertanggung jawab membersihkan rumah, informan mengatakan sudah ada jadwal yang bertugas tetapi tidak semua informan mau mengerjakan tugasnya seperti yang diungkapkan informan Budi sebagai berikut: . “Konflik antara ya kebersihan gitulah. Ya kami berjalan aja terus kak, tapi ya sebagian ada juga ya tidak mau kami diam aja, kalau orang jorok ngapain kita ikutin jorok kan gitu, kalu saya ya ingin hidup sehat, ya berarti ingin bekerja kan gitu. Kalau soal ngepel, nyapu, kami hanya Aldo ama Dina yang Universitas Sumatera Utara mau. Jadwal dibuat kak, tapi terkadang ada pun jadwalnya tidak dilaksanakan kerjanya. Ya namanya serperti kita bilang kak masih bersyukur masih ada yang mau menampung seperti ini tapi kita kenapa tidak mau merawat” Beberapa informan mengetahui pentingnya menjaga kesehatan rumah akan tetapi karena ada juga informan yang tidak mau mengerjakan tugasnya menjadi masalah untuk menjaga kebersihan rumah. Selain itu kondisi fisik ODHA yang tidak selalu prima juga menjadi hambatan dalam mengerjakan tugas kebersihan rumah tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan pendukung Bang Primus yang menyatakan rumah singgah tersebut tidak akan bisa bersih seperti yang kita harapkan kalau hanya mengandalkan mereka, karena kondisi kesehatan mereka yang belum tentu prima setiap waktu dan efek obat yang muncul yang menggnggu aktivitas mereka untuk membersihkan rumah singgah tersebut, jadi sangat dibutuhkan adanya orang lain selain ODHA yang bisa membantu dalam kebersihan rumah tersebut. Selain itu peneliti juga melihat ada banyak kucing yang berkeliaran bebas disekitar rumah singgah tersebut. Hal ini tidak lah baik bagi kesehatan ODHA. Yayasan Spiritia 2014 menyatakan seseorang yang kondisi kesehatannya kurang baik kadang tidak boleh memelihara binatang. Resikonya adalah tertular virus, bakteri atau parasit yang mungkin hidup pada binatang tersebut.

5.3.3. Alasan Tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP

Informan sangat membutuhkan dukungan sosial ataupun bantuan dari orang lain. Sarafino 2011 dalam Diatmi dan Fridari 2014 menyatakan dengan adanya dukungan sosial ini maka seseorang akan merasa dihargai, dicintai, dan merasa Universitas Sumatera Utara menjadi bagian dari masyarakat, sehingga ODHA tidak merasa didiskriminasi yang nantinya dapat berdampak positif bagi kesehatannya. Dalam penelitian Diatmi dan Fridari 2014 yang berjudul “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada Orang Dengan HIV dan AIDS ODHA Di Yayasan Spirit Paramacitta” menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pada orang dengan HIV dan AIDS ODHA di Yayasan Spirit Paramacitta. Dukungan Sosial yang diberikan Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP adalah dengan adanya Rumah Singgah Moderamen GBKP. Informan mengetahui keberadaan Rumah Singgah Moderamen GBKP sebagai rumah sementara untuk ODHA dari keluarga dan dari pendamping ODHA yang merupakan staf dari Komisi HIV dan Napza GBKP yaitu Prisma Tarigan yang akrab dipanggil bunda atau bang primus. Bang Primus sering mengunjungi informan pada saat opname di RS Adam Malik Medan. Hal inilah yang membuat beberapa informan mengenal bang Primus. Menurut informan Cika, ketika dia drop dan mengalami efek dari obat, tidak ada keluarga yang tahu cara menanganinya, tetapi ketika dia berada di Rumah Singgah, ada banyak teman teman sesama ODHA yang tahu cara mengatasinya dan membantunya, sehingga ia bisa melewatinya dan sekarang kondisnya sudah lebih baik walau masih ada TB yang dideritanya dan sedang dalam pengobatan. Keseluruhan informan menyatakan bahwa sejak mereka menjalani perawatan di Rumah Singgah Moderaemn GBKP, kondisi mereka semakin baik, CD4 naik dan Universitas Sumatera Utara beberapa informan sudah sembuh dari infeksi Oportunistik seperti TB, jamur di mulut, dan diare dan mereka sudah bisa beraktivitas lagi. Peneliti menyimpulkan ada beberapa alasan informan memutuskan untuk tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP selama perawatan adalah: 1. Ingin mengalami pemulihan total 2. Berlomba- lomba hidup sehat adanya motivasi untuk cepat sembuh 3. Adanya dukungan sesama ODHA dukungan kelompok sebaya 4. Mendapat arahan bimbingan dalam menjalani masa perawatan 5. Takut ditolak keluarga dikampung 6. Mendapat bantuan makanan dan susu Setiap orang sakit akan mencari tempatlayanan kesehatan yang bisa membantu mereka dlam mempercepat proses pemulihanpenyembuhan dari sakit yang mereka alami. Tindakan individu intuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakitnya akan didorong pula oleh persepsi keseriusan penyakit tersebut Notoadmojo, 2010. Dalam hal ini informan mengetahui bahwa mereka sedang mengalami penyakit yang serius dan belum ada obatnya sehingga mereka harus bertindak untuk mendapatkan tempat dan orang orang yang bisa menolong mereka agar bisa cepat sembuh. Mereka mengetahui bahwa Rumah Singgah Moderamen GBKP ini adalah tempat yang tepat bagi mereka untuk sementara sampai kesehatan mereka mulai membaik. Hal ini juga diungkapkan sekretaris Komisi HIV dan Napza GBKP ibu Monalisa Ginting sebagai berikut; Universitas Sumatera Utara “Dimana bahwa Rumah Singgah itu sebagai rumah pemulihan, jadi secara umum kegiatannya itu adalah bagaimana agar mereka itu sehat. Khususnya setelah mereka opname dari rumah sakit, mereka kan butuh istirahat yang cukup, mereka terhindar dari setres mungkin akibat masalah-masalah dikeluarga dan sebagainya. Jadi untuk sementara di Rumah Singgah kita membuat mereka tenang dulu tanpa terbebani dengan masalah-masalah lain. Ini tujuan pertama. Yang kedua, GBKP menyediakan kebutuhan namun tidak 100 artinya GBKP hanya sebatas membantu, tidak menyediakan sepenuhnya jadi makanan, minuma, obat, susu, lauk-pauk, sayur-sayuran kita hanya membantu. Walau ekonomi mereka terbatas, dengan bantuan ini diharapkan dapat mengurangi beban mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari” Bantuan yang diberikan Komisi HIV dan Napza GBKP ini sangat bermanfaat bagi kesehatan ODHA. Setelah mereka keluar dari Rumah Sakit Adam Malik Medan, mereka harus menjalani terapi ARV dan berobat jalan. Ada banyak hal penanganan HIV ini yang tidak diketahui keluarga, ditambah ada keluarga yang takut mereka ditolak lingkungan menjadikan penanganan HIV menjadi masalah yang kompleks bagi keluarga dan ODHA itu sendiri. Ketika Rumah Singgah Moderaemn GBKP ini ada dan membantu ODHA dalam perawatan dan pendampingan membuat ODHA punya semangat dalam menjalani pengobatannya.

5.3.4. Memiliki Aktivitas yang Bermakna dan Harapan akan Masa Depan

Pendekatan psikologis pada ODHA sangat penting agar ODHA tidak jatuh dalam kondisi stress, cemas, depresi, putus harapan yang pada gilirannya akan menurunkan imunitasnya kekebalan tubuh yang amat penting dalam kehidupannya. Pendekatan psikologis dapat dilakukan oleh pendamping ODHA, pendeta, ustad, keluarga dan orang orang yang aktif dalam dukungan ODHA di LSM maupun pemerintah. Di Rumah Singgah Moderamen GBKP ada kegiatan konseling dan Universitas Sumatera Utara kebaktian yang dilakukan 1 kali seminggu. Dalam konseling dan kebaktian biasanya informan mendapat motivasi secara spiritual untuk tetap punya harapan di masa depan. Mereka biasanya berupaya untuk memotivasi agar ODHA semangat dan tetap punya harapan dalam menjalani kehidupannnya sehingga kehidupannya bermakna. Dengan kehidupan yang bermakna akan menampilkan pribadi yang bersemangat, tidak merasa bosan, tidak merasa hampa dan mempunyai tujuan hidup yang diketahui baik jangka pendek atau jangka panjang sehingga kegiatan yang dilakukan terarah dan juga dengan adanya tujuan hidup maka seseorang akan lebih mampu mempertahankan hidupnya pada berbagai kondisi. Kehendak untuk hidup secara bermakna merupakan motivasi utama pada diri manusia. Hasrat inilah yang memotivasi orang untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan penting yang lain dengan tujuan agar hidupnya menjadi berharga dan dihayati secara bermakna Bastaman, 2007. Sama halnya dengan ODHA yang ada di Rumah Singgah Moderamen GBKP, mereka ingin beraktivitas dan bekerja untuk mengisi hari harinya dengan aktivitas yang bermanfaat. Mereka merasa bosan jika tidak memiliki aktivitas. Seperti pernyataan informan Budi sebagai berikut: “Paling tidak kami bekerjalah untuk ada kegiatan sehari-hari gitu suaya tidak jenuh kali gitu kan. Tidak ada lagi lahan yang mau dikerjakan. Kemaren kami sempat mau membuat sabun cuci apa gitu, tapi bahannya nggak ada gitu. Berhenti karena bahannya nggak ada gitu kan. Kalau seandainya ada itu ya, itu aja yang diurus setiap hari, uang belanja pun lepas gitu kan kak ya” Adapun aktivitas keseharian informan di Rumah Singgah Moderamen hampir sama yaitu: menanan selada, daun sop dan bunga mawar; membuat sabun cair; Universitas Sumatera Utara kebaktian khusus yang beragama Kristen, membersihkan rumah dan masak. Hanya saja kegiatan bertanam dan membuat sabun cair terhenti karena kurang nya lahan bertanam, polibag, bibit selada dan bahan pembuatan sabun cair sudah habis. Akibatnya ODHA merasa jenuh, karena aktivitasnya hanya masak, makan, mandi dan tidur. Kepada peneliti, informan menyatakan sangat senang jika ada aktivitas yang menghasilkan, ketika mereka menanan selada, dan hasil panen mereka bisa jual ke pasar, mereka merasa aktivitas mereka bermanfaat. Hal yang sama juga ketika mereka membuat sabun cair, hasilnya di jual dan mereka mendapat penghasilan dari penjualannya, walau sedikit tapi mereka merasa puas. Seluruh informan berharap agar Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP memberikan aktivitas yang bisa menghasilkan bagi mereka dan menindaklanjuti setiap kegiatan yang sudah ada. Adanya harapan akan masa depan membuat ODHA di Rumah Singgah Moderamen GBKP bersemangat bekerja dan menjalani pengobatan. Ada berbagai harapan yang disampaikan oleh ketujuh informan kepada peneliti yaitu Aldo dan Ucok ingin jadi penginjil, Ijul ingin menikah lagi dan kembali bekerja sebagai supir, Budi ingin menikah dan kembali bekerja sementara Cika, Rani dan Dina ingin mengurus dan menyekolahkan anak mereka dan dapat bekerja kembali dan belum ada keingina untuk menikah lagi. Mereka masih optimis menjalani hidup dan meraih setiap harapan dimasa depan walau mereka mengetahui bahwa tidak ada obat bagi penyakit mereka. Hal sejalan dengan penelitian Mardhiati R 2014 yang menunjukkan sebagian besar ODHA memiliki rencana untuk menikah 66,7, walaupun ODHA tersebut memiliki status janda atau duda. Kegiatan positif Universitas Sumatera Utara merupakan hal yang juga menjadi bagian dari mutu hidup ODHA. Ada 56,3 ODHA yang memiliki aktifitas. ODHA yang masih menjalani hobi setelah mengetahui status HIV ada 39,5. Ditemukan juga ada sebagian ODHA yang melanjutkan sekolah setelah mengetahui status 33,9. ODHA yang merencanakan mengikuti kursus juga ada 15,7. Rueda S dkk 2011 dalam Mardhiati 2014 mengevaluasi hubungan antara status pekerjaan dan kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan pada orang dengan HIVAIDS. Mereka menemukan bahwa status bekerja memiliki dampak yang lebih terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental. Hal ini sejalan dengan penelitian Mirzawati 2013 hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek yaitu ODHA di Bukit Tinggi mampu menghayati hidup penuh makna. Individu yang menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan penuh semangat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketiga subjek menjalani hidup dengan lebih semangat. Ketika individu memiliki serta mengetahui sebuah tujuan hidup atau untuk apa dia hidup, ia akan sanggup dan tangguh didalam menghadapi hampir semua yang terjadi atas dirinya serta kesulitan hidup sebesar apapun Koeswara, 1992 .

5.4. Stigma dan Diskriminasi yang Dialami Informan

Sampai hari ini ODHA masih mengalami stigma dan diskriminasi dari keluarga dan lingkungan masyarakat. Informan memyatakan sikapnya saat mengalami stigma seperti benci, kesal, marah dan dendam terhadap orang yang memberikan stigma dan diskriminasi pada mereka. Tapi mereka tidak berdaya Universitas Sumatera Utara melawan stigma dan diskriminasi tersebut. Stigma dan diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA. Stigma dan diskriminasi yang informan alami membuat mereka takut untuk open status kepada lingkungan seperti yang diungkapkan Aldo sebagai berikut: “Kubilang jangan ada lagi yang tahu, kalian aja, malu nanti , keluarga jadi malu, sementara itu kesalahan awak sendiri, biarlah awak yang nanggung sendiri, abang dan kakak ipar, kubilang jangan ada lagi yang tahu, nanti dikucilkan keluarga kita, nanti dikucilkan keluarga awak di pesta pesta adat, gara gara awak” Aldo sangat takut jika orang lain mengetahui status HIV nya. Serovic 2001 dalam Mardhiati R 2014 membuka status HIV akan dilakukan oleh ODHA, jika ada jaminan keselamatan dan keamanan ketika membuka status HIV. Kemungkinan lain yang juga mempengaruhi hal itu adalah adanya rasa ketakutan untuk ditolak oleh keluarga dan tidak lagi dihormati di lingkungannya. Orang dengan HIV cenderung untuk memberitahukan orang terdekatnya jika mereka merasa bahwa manfaat dari membuka status HIV lebih besar daripada kerugian yang akan dialami. Hal ini membuat Aldo menarik diri dari lingkungan sosial, tidak bergaul dengan teman teman ditempat ia bekerja dan tidak mau pergi ke gereja karena takut orang lain akan bertanya tentang penyakitnya dan mengetahuinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Rachmawati 2013 yang menunjukkan bahwa ODHA kurang mengembangkan hubungan sosial dan kehidupan spiritualnya serta kurang memperoleh dukungan sosial baik dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya yang Universitas Sumatera Utara menggambarkan bahwa stigma dan diskriminasi masih banyak yang dialami oleh ODHA. Menurut Herek dan Capitanio 1999 dalam Siregar N 2012 stigma yang dialami ODHA dibagi atas 3 kategori yaitu stigma instrumental, stigma simbolis dan stigma kesopanan. Beberapa bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA yang ada di Rumah Singgah Moderamen GBKP adalah dijauhi, ditolak dari lingkungan dan keluarga, tidak mau disalam, tidak diijinkan menggunakan angkutan umum, dianggap menjijikkan dan dipecat dalam pekerjaan. Herek dan Capitiano 1999 dalam Paryati dkk 2013 mengatakan bahwa timbulnya stigma dan diskminasi terhadap ODHA disebabkan oleh faktor resiko penyakit ini yang terkait dengan perilaku seksual yang menyimpang dan penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya atau narkoba. Padahal tidak semua ODHA itu adalah pelaku seksual menyimpang dan pengguna napza, beberapa diantaranya adalah istri yang baik yang tertular dari suami, anak yang tertular dari seorang ibu dan orang orang yang tertular dari transfusi darah. Berdasarkan jawaban informan terkait stigma yang mereka alami seperti yang dialami Ijul yang diungkapkan sebagai berikut: “Tidak ada satupun orang yang mau menjenguk saya. Bahkan mama saya, waktu dia pergi ke kamar mandi umum dikampung, bekas langkah mama saya disiram dengan air panas oleh tetangga kami. Saya benar-benar dendam, kalau saya sehat bahkan saya mau membacok orang itu. Mama saya sendiri yang cerita, dia bahkan sampai berkelahi dengan tetangga itu. Perlakuan orang benar-benar sadis kepada saya…tapi jangankan saya, mama saya juga ikut dijauhi, ketika dia ke kamar mandi umum ataupun ke warung; kakak saya juga mendapat imbasnya semua orang jadi menjauh.” Universitas Sumatera Utara “Pada waktu itu saya juga dibawa dengan ambulance dari kampung karena tidak ada satu angkutan umum pun yang mau membawa saya. Karena istri saya waktu itu memberitahukannya kepada salah satu warga kampung dan berita itu langsung menyebar” Pada saat orang lain tahu bahwa Ijul positif terinfeksi HIV maka tidak ada orang yang mau menjenguknya bahkan mamanya pun ikut mengalami perlakuan diskriminatif, bekas langkah kaki mamanya disiram tetangga dengan air panas. Selain itu tak ada satu angkutan umum yang berani membawanya ke RS Adam malik Medan. Tetangga Ijul takut kalau Ijul dan keluarga akan menularkan HIV kepada mereka karena mereka menganggap penyakit HIV adalah penyakit yang mematikan. Ini adalah bentuk stigma instrumental yang dihadapi Ijul dimana menurut Herek dan Capitanio 1999 dalam Siregar N 2012 stigma instrumental ODHA adalah refleksi ketakutan atas hal hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular. Ketakutan yang berlebihan dari masyarakat adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang cara penularan HIV AIDS. Tetangga Ijul berpikir dengan bersentuhan, kena injak bekas langkah kaki dan menggunakan angkutan umum bersama dapat menularkan HIV kepada mereka. Selain stigma instrumental, terdapat juga stigma kesopanan yang dialami informan antara lain dijauhin, dianggap menjijikkan, tidak boleh dekat dengan keluarga, tidak boleh bersalaman, diusir dari lingkungan bahkan ada yang dipecat dari pekerjaan. Menurut Herek dan Capitanio 1999 dalm Siregar N 2012 stigma kesopanan ODHA adalah hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan issu HIV AIDS atau orang yang positif HIV. Hukuman sosial ini sangat lah merugikan Universitas Sumatera Utara ODHA, hal ini membuat ODHA takut open status karena tidak siap dengan stigma yang akan mereka alami. Ada ODHA yang tidak mengalami stigma dan diskriminasi dari keluarga maupun lingkungan nya seperti yang dialami Rani yang diungkapkannya sebagi berikut: “Gak ada aku dijauhin kelurgaku, semua mendukungku, bahkan mereka yang biayain semua pengobatanku, kakak kakakku dan abangu semua nya membantu aku, lingkungan rumah kami keluarga kami semua,waktu aku datang pun aku ke kampung malah dipelukin pun diciumin, berarti gak takut dia kan” Rani menyatakan kalau dia tidak mengalami stigma dan diskriminasi dari keluarga dan lingkungannya. Menurut peneliti hal ini disebabkan keluarga Rani dan lingkungannya sudah sering mendapat penyuluhan HIV AIDS dari Moderamen GBKP di gereja maupun di lingkungan. Jadi keluarga sudah tahu bagaimana penularan HIV tersebut seperti pernyataan Rani sebagai berikut: “Waktu itu kekampung saya ke rumah mamak saya kan sama anak saya, datang abang saya itu; kalau tenang kam dikampung, dikampung pun kam nggak papa dek, dimana kam tenang disitu kam katanya. Terus penyakit ndu itu nggaknya sembarangan menular katanya, melalui darahnya baru bisa menular katanya. Oh berarti orang ini udah bisa menerima saya pikir saya, ya udah semenjak itu udah mau saya ke rumahnya” Ketika masyarakat sudah tahu cara penularan HIV AIDS tersebut, maka masyarakat tidak takut lagi untuk bersalaman, berpelukan bahkan tinggal serumah. Siregar N 2012 dalam penelitiannya yang dilakukan pada masyarakat Desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung Morawa menyatakan bahwa masyarakat masih ada Universitas Sumatera Utara berstigma instrumental tinggi, hal ini disebabkan masyarakat masih ada yang menganggap HIVAIDS merupakan penyakit yang menakutkan dan menjijikkan sehingga harus dijauhi dari masyarakat, ada anggapan bahwa menular jika kita berbincang-bincang atau dekat dengan mereka bisa menularkan penyakitnya dengan berjabat tangan atau makan bersama serta tidak layak tinggal berdekatan atau serumah dengan orang lain karena menderita penyakit yang menjijikkan. Terkait dengan stigma kesopanan, Siregar N 2012 juga menyatan bahwa pandangan masyarakat Desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung Morawa terhadap ODHA bahwa ODHA adalah orang yang harus mendapat hukuman sosial setelah diketahui positif HIV sehingga harus diasingkan dari kehidupan bermasyarakat dan aib bagi masyarakat tersebut. Dari keterangan informan, peneliti tidak menemukan stigma simbolis yang dialami ODHA sperti dijauhi oleh karena penyakit yang dikaitkan dengan gaya hidup atau perilaku yang menyimpang seperti sex bebas dan pecandu narkoba. Informan hanya mendapat stigma instrumental dan kesopanan seperti yang diuraikan sebelumnya. Dalam menghapus stigma dan diskriminasi ODHA memanglah tidak mudah, Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP terus berupaya melakukan sosialisasi, edukasi kepada masyarakat walau meangalami beberapa kendala seperti yang diungkapkan oleh Pdt Monalisa Gintining sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara “ Selama ini yang kita lakukan, masih sosialisasi. Ternyata sosialisasi ini, memang harus dianalisa. Karena masalah masyarakat cukup kompleks. Setelah menajalani, saya merenung kembali saya pikir begini, walaupun kita melakukan sosialisasi ke gereja-gereja; toh yang mendengar hanya segelintir orang karena selesai kebaktian saja, untuk suruh tunggu untuk sosialisasi mereka tidak mau. Itu sudah salah satu masalahnya, bagaimana kita maksimal kalau kondisinya sudah seperti itu. Yang kedua kebanyakan yang mendengar sosialisai adalah orang yang aktif di gereja saja, sedangkan masyarakat umum tidak, jadi tidak tersentuh juga. Terus selanjutnya, pemerintah; Program pemerintah saja tidak ada untuk itu, jadi ketika ingin melibatkan seluruh masyarakat, tapi pemerintah ogah-ogahan untuk mendukung. Jadi sangat kompleks masalahnya. Masyarakat mau mendengar mau konsentrasi untuk masalah HIVAIDS ketika orang terdekatnya terinfeksi bila tidak, dia merasa itu bukan bagiannya. Itu kelemahan dalam hal mengurangi stigma tadi.” Akan tetapi Komisi HIV AIDS dan Napza terus mencari jalan keluar agar ada cara utuk mengurangi stigma dan diskriminasi ODHA. Kegiatan yang dilakukan dengan mengadakan pelatihan pelatihan di sekolah, gereja dan di masyarakat dengan mencari orang orang yang sunguh sungguh peduli dengan masalah HIV AIDS. “Melalui pelatihan-pelatihan, jadi melalui pelatihan ini kan lebih maksimal artinya waktunya lebih lama, orangnya lebih konsentrasi. tapi kita mencari orang yang betul-betul care atau komitmen dengan masalah ini; jadi kita manfaatkan orang-orang yang sungguh-sungguh punya hati, kita latih mereka kita berharap informasi tidak berhenti dimereka, minimal dikeluarga mereka, mereka bisa sampaikan itu. Itu yang kemungkinan akan kami perbanyak ke depannya. Kalau pendekatan ke pemerintah, untuk kesekian kalinya kami harus bilang kami memang kecewa dengan pemerintah, karena kita sudah datangi Bupati, datangi yang lain tapi nihil. Hanya saja terakhir kita bekerja sama dengan BNN dan baru itu yang kita bisa kerja sama” Pdt Monalisa Ginting Universitas Sumatera Utara Informan ODHA juga merasaka hasil dari kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP, dimana sudah banyak orang yang mengetahui tentang HIV AIDS sehingga sudah banyak masyarakat yang mulai berani bersalaman dan bergaul dengan informan. Universitas Sumatera Utara BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan