Level Teks Judul: Dakwah dan Kearifan Lokal

ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai” 157 “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.QS. Ash-Shaff: 2-3 ” 158 “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. QS. Al- Kafirun ” 159 “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Kabilah Bani „Auf adalah satu bangsa dengan umat Islam. Bagi orang-orang Yahudi, agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka. HR. Ibnu Hisyam ” 160

6. Judul: Dakwah dan Kearifan Lokal

a. Level Teks

1 Struktur Makro a Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan cara berdakwah yang harus menggunakan pendekatan budaya masyarakat Indonesia, bukan malah memaksakan budaya lain dan melarang budaya lokal yang digunakan. 161 2 Superstruktur a Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Dakwah dan Kearifan Lokal.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Bulan Agusuts 1182, Almarhum Bapak Mr. Sarjana Hukum H. Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota Young Muslim Association in Europe YMAE yang akrab di 157 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 158 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 159 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 160 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 161 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan PPME Persatuan Pemuda Muslim Eropa di Kediaman Bapak H. Hambali Ma‟sum di Den Haag, Negeri Belanda. Pak Roem mengatakan bahwa Buya Hamka pernah ditanya oleh Dr. Syauqi Futaki Ketua Japan Islamic Congress, “Apa penyebab orang Indonesia khususnya orang Jawa begitu mudah masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang banyak tanpa ada konflik sedikit pun?” Menurut Pak Roem, Buya Hamka saat itu menjawab, “Itulah yang sedang saya pelajari.” 162 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan pidatonya H. Muhammad Roem dalam pertemuan PPME. Inti dari tulisan ini berada dalam: “Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke Indonesia, khususnya di Tanah Jawa. Sebagian berpendapat bahwa Islam sudah masuk di Kepulauan Indonesia pada abad pertama Hijriyah sekitar abad ke-7 atau 8 Masehi. Sebagian berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Kendati begitu, para ahli sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia tidak melalui cara-cara kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara yang sangat damai. ” 163 Tulisan ini ditutup dengan ungkapan kekecewaan beliau terhadap sikap dai zaman sekarang yang cenderung tidak memerhatikan kearifan lokal dan cenderung memaksakan budaya Arab kepada masyarakat. Kesimpulan dari tulisan ini adalah menjelaskan alasan mayoritas masyarakat Indonesia dapat menerima Islam karena dahulu para dai dari Arab menyampaikan dakwahnya berdasarkan pendekatan kultural. Story tulisan ini ingin memberikan pelajaran kepada para dai di Indonesia bahwa dakwah seharusnya dilakukan dengan pendekatan kultural atau budaya sesuai dengan kearifan lokal dari suatu objek 162 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 163 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. dakwah. Bukan dengan pemaksaan suatu budaya lain kepada masyarakat Indonesia apalagi sampai melarang budaya asli mereka dengan kekerasan. Dengan demikian, masyarakat Indonesia pun akan mudah menerima ajaran Islam dengan lapang dada. 3 Struktur Mikro a Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari pidato H. Muhammad Roem dalam pertemuan PPME tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menjelaskan bagaimana masuknya Islam ke Indonesia, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa. Kendati mereka banyak berasal dari negeri Arab, namun mereka tidak serta merta mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa. Arsitektur masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Mesjid Agung Demak, Mesjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu.” 164 164 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan alasan para dai menggunakan pendekatan kultural untuk menyebarkan Islam di Indonesia. Terlihat dalam kutipan berikut: “Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budauya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan- pesan keislaman kepada masyakat Jawa.” 165 Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai Indonesia sekarang ini, kurang memerhatikan kearifan lokal rakyat Indonesia. Bahkan ia cenderung memaksakan corak Arab kepada objek dakwahnya. Terlihat dalam kutipan berikut: “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab mela inkan dari gereja Byzantium.” 166 b Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dan imbuhan me- -kan, dapat dilihat dalam kutipan berikut: 165 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 166 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. “Maka dalam rangka dakwah, para dai melakukan pendekatan sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi.” 167 “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas.” 168 Tulisan ini juga menggunakan kalimat pasif dengan imbuhan di- -kan, seperti berikut: “Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural.” 169 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „sehingga‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Para ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural. Sehingga masyarakat khususnya di tanah Jawa tidak merasa terusik sedikitpun dalam masalah sosial budaya, sementara mereka sudah menjadi orang Islam.” 170 Kata „sehingga‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan alasan masyarakat mudah menerima ajaran Islam yang diajarkan oleh para dai kepada mereka. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali dengan budaya- budaya lokal alias budaya Jawa.” 171 167 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 168 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 169 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 170 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 171 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau. c Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Kami mengatakan sekiranya masjid di Bali memasukkan ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan Utara memasukkan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang Dayak akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid karena mereka merasa memasuki rumah adat mereka sendiri.” 172 “Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup manusia.” 173 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata ornamen untuk menjelaskan arsitektur bangunan. Kemudian menggunakan kata tembang untuk menjelaskan syair atau lagu. d Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora ungkapan sehari-hari, terdapat dalam kutipan di bawah ini: “Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu. ” 174 Dan juga menggunakan grafis pada nama-nama tembang karya Sunan Kalijaga, terdapat dalam kutipan di bawah ini: 172 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112-113. 173 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 174 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. “Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Kesenian Jawa di Jogjakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan bahwa para wali khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga dalam mentransformasikan ajaran-ajaran Islam, beliau menciptakan tembang-tembang lagu-lagu seperti tembang Dhandang Gulo dan lain sebagainya. Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup manusia. Tembang-tembang itu antara lain adalah Mijil , yang mengisahkan tentang kelahiran seorang manusia ke dunia, kemudian Sinom yang menceritakan tentang manusia yang muda, kemudian Asmoro Dono yang menceritakan tentang manusia yang sudah menginjak remaja yang sudah mencintai lawan jenisnya, Megatruh putus nyawa yang menceritakan tentang kematian manusia, Pucung alias menjadi pocong yang dibungkus kain kafan dan masuk liang lahat, dan lain- lain.” 175

7. Judul: Keteladanan Buya Hamka