Level Teks Judul: Dai Berbulu Musang

“Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban.” 113 Juga menggunakan grafis pada arti dari hadis seperti dalam kutipan berikut: “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar dalam api neraka. HR. Ibnu Majah ” 114 “Perbedaan antara surban kita dari surban orang musyrikin adalah memakai kopiah lebih dahulu.HR. Imam Abu Dawud dan Al- Tirmidzi” 115

3. Judul: Dai Berbulu Musang

a. Level Teks

1 Struktur Makro a Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum dai yang bertarif menurut kajian fikih. 116 2 Superstruktur a Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Dai Berbulu Musang.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Pada akhir tahun 1180-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berjudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku 113 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 114 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 115 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 116 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia sampaikan.” 117 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim dalam koran nasional. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballighin, sebuah organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional Munas ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi objek dakwah. ” 118 Tulisan ini ditutup dengan wasiat dan nasihat kepada para dai, agar menjadi orang yang memecahkan masalah umat, bukan menambah masalah umat dengan memasang tarif tinggi ketika di undang berdakwah oleh umat. Kesimpulan dari tulisan ini menjelaskan semakin maraknya fenomena dai yang bertarif. Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang bahwa zaman sekarang ini sedang marak muncul fenomena dai bertarif yang menyusahkan masyarakat sebagai objek dakwah mereka. Seharusnya dai itu adalah orang yang menenangkan masyarakat dengan nasihat-nasihatnya, bukan malah meresahkan mereka dengan tarifnya. Sudah seharusnya para dai kembali bertaubat untuk tidak memasang tarif lagi dalam dakwahnya, jika pun nanti diberi hadiah 117 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 118 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. atau bahkan uang oleh masyarakat yang mengundang, hal itu tidak mengapa asalkan tidak ada perjanjian dari awalnya. 3 Struktur Mikro a Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim tahun 1980-an dan Musyawarah Nasional ke-4 tanggal 25-28 Juni 1996 yang menjelaskan fenomena dai bertarif. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menceritakan secara naratif tentang tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim tahun 1980-an dan hasil Musyawarah Nasional ke-4, juga tentang hukum dai bertarif, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Pada akhir tahun 1180-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah swt telah memberikan pahala kepada beliau. Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu jual ayat kejar duit. Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, sebuah organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional Munas ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi objek dakwah. Apa yang dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin itu mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu Bapak Dr. H. Tarmizi Taher. Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah, karena berkembangnya dai-dai yang memasang tarif dalam berdakwah.” 119 Maksud dalam tulisan ini ialah menjelaskan hukum dai bertarif, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang sebesar itu kepada dari bertarif. Dalam kajian fikih memang ada tiga pendapat yang berkembang: pertama, pendapat yang mengharamkannya secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnya maupun tidak. Pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat, baik dari Al- Qur‟an maupun Hadis. Pendapat kedua, yang membolehkan berdakwah dengan memungut imbalan. ” “Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh Munas ke-4 Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ada perjanjian sebelumnya, bahwa seorang dai akan menerima upah dalam dakwahnya, maka hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang saku maka hal itu dibolehkan.” 120 Praanggapan dalam tulisan ini ialah menyamakan kewajiban dakwah dengan salat dan puasa, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya salat dan puasa, kendati ia tidak menjadi rukun Islam.” 121 b Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang .” 122 119 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98-99. 120 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 121 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. “Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang dai.” 123 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam berdakwah adalah seratus juta rupiah satu kali ceramah satu titik dan yang paling murah adalah sepuluh juta rupiah. Maka wajar saja apabila masyarakat mengeluh dan protes terhadap fenomena pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan adalah uang sumbangan dari orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras keringat tapi kemudian dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang itu. ” 124 Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan karena dai memasang tarif, wargapun menjadi mengeluh dan resah. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia karena dia masih punya kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah dai ketika aibnya dibuka oleh Allah swt. di akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk bertaubat. ” 125 Kata „ia‟ dalam kalimat ini menjelaskan tentang dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia. Kemudian kata „dia‟ menunjukkan jarak antara beliau dengan dai yang tidak dibuka aibnya oleh Allah swt. Hal ini menunjukkan beliau tidaklah memiliki hubungan apapun terhadap dai tersebut. 122 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 123 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 124 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 125 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 101. c Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah dari pada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tariff dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu jual ayat kejar duit. ” 126 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata „dai b erbulu musang‟ dan „walakedu‟ jual ayat kejar duit untuk menjelaskan dai yang bertarif. d Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan grafis terutama pada arti dari ayat Al- Qur‟an dan hadis seperti dalam kutipan berikut: “Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah dari pada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu jual ayat kejar duit. ” 127 “Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah Al- Qur‟an. HR. Al-Bukhari” 128 “Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilanati Allah dan dilanati pula oleh semua mahluk yang dapat melanati.QS. Al- Baqarah: 129” 129 Kemudian menggunakan bentuk ekspresi berupa nasihat kepada para dai, yang terdapat dalam kutipan berikut: “Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah umat bukan orang yang membuat masalah umat. Dai adalah orang yang meringankan masalah umat bukan orang yang membuat masalah 126 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 127 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 128 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 129 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. umat. Dai adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang yang membebani umat.” 130

4. Judul: Dai-dai Sesat