commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk memperbaiki kualitas hasil pendidikan yang telah berlangsung selama ini. Dalam hal ini guru menjadi
salah satu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran. Keberhasilan itu akan dapat diraih jika setidak-tidaknya guru mempunyai tiga hal, yaitu
1 Penampilan terbaik The Best Appearance; 2 sikap terbaik The Best Attitude; 3 dan prestasi terbaik The Best Achievement M.Furqon Hidayatulah 2010 : 167.
Menurut Slavin 2009 : 9, seorang guru harus mempunyai keyakinan yang kuat untuk berhasil dengan cara terus-menerus mencoba menemukan strategi yang tepat, mencari
gagasan dari rekan kerja, membaca buku, mengikuti lokakarya dan sumber yang lain untuk memperkokoh keterampilan mengajarnya. Salah satu ukuran keberhasilan guru
adalah bila di dalam proses pembelajaran mencapai hasil yang optimal. Keberhasilan ini tentunya tidak terlepas dari kemampuan guru dalam mengelola proses belajar
mengajar. Komunikasi dua arah secara timbal balik sangat diharapkan dalam proses belajar
mengajar, demi tercapainya interaksi belajar yang optimal, yang pada akhirnya membawa kepada pencapaian sasaran hasil belajar yang maksimal. Untuk mencapai
kondisi yang demikian maka perlu adanya seorang fasilitator sekaligus motivator yaitu guru, yang memiliki kemampuan untuk menciptakan situasi belajar yang melibatkan
siswa aktif, menyenangkan serta dapat menimbulkan motivasi dalam diri siswa, bahkan menurut Soewondo dalam Sobry Sutikno, 2009 : 52 mengatakan seorang guru
commit to user
2
mempunyai multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, komunikator, transformator, innovator, konselor, evaluator, dan administrator. Tugas utama guru
adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya dapat berkembang dengan maksimal.
Selama ini model pembelajaran yang digunakan di sekolah umumnya masih menggunakan metode ceramah. Guru secara aktif menjelaskan materi pelajaran,
memberi contoh soal dan memberikan soal-soal latihan, siswa dianggap seperti mesin, mereka mendengarkan penjelasan guru, mencatat kemudian mengerjakan soal-soal.
Akibatnya interaksi dalam pembelajaran yang muncul hanyalah interaksi satu arah, sehingga mengakibatkan prestasi belajar yang diperoleh selama ini khususnya pada
mata pelajaran matematika sangat rendah. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan- aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Menurut
Muhammad Asrori 2007:27 tekanan utama teori kontruktivisme adalah memberikan tempat kepada siswasubyek dalam proses pembelajaran daripada guru atau instruktur.
Salah satu model pembelajaran yang kini banyak mendapat respon adalah pembelajaran kooperatif cooperative learning. Hal ini sejalan dengan penerapan Kurikulum
Berbasis Kompetensi KBK, yang disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran KTSP dimana guru mempunyai kebebasan dalam menentukan metode
pembelajaran yang akan diterapkan, serta menciptakan pembelajaran yang lebih bervariasi dan dapat meningkatkan peran serta siswa dalam pembelajaran. Dari sini
commit to user
3
harus dirancang dan dibangun suasana kelas sedemikian rupa, sehingga siswa mendapat kesempatan untuk berinteraksi satu dengan yang lain.
Pemberlakuan kurikulum baru yang berorientasi siswa aktif student oriented
bagi keadaan sekarang, bagaimanapun perubahan tersebut membutuhkan penyesuaian semua pihak, terutama guru dan siswa sebagai subyek dan obyek langsung bagi
pembelajaran yang dimaksud. Ini akan banyak memunculkan kasus, salah satunya adalah kegiatan pembelajaran yang dimaksud. Pada sisi lain yang terjadi bahwa
pembelajaran dengan pendekatan konvensional sudah menjadi kebiasaan. Pada pembelajaran dengan pendekatan konvensional, komunikasi siswa masih terbatas hanya
pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Hal ini disebabkan karena pembelajaran terpusat pada guru. Kebiasaan siswa hanya
mendengarkan, mengikuti contoh, dan mengerjakan soal-soal latihan tanpa terlibat dalam mengkonstruksi konsep, prinsip ataupun struktur berdasarkan pemikirannya
sendiri. Satu hal lain pula yaitu kemauan siswa untuk bertanya sangat minim, hal itu terjadi biasanya pada siswa yang mempunyai kemampuan rendah maupun sedang
karena merasa kurang percaya diri. Dari keterkekangan tersebut, dalam setiap kegiatan pembelajaran seperti itu, membuat siswa bersikap tertutup. Akhirnya kebiasaan
tersebut terus terjadi yang menyebabkan siswa tidak terbiasa bersikap aktif dalam berinteraksi dengan guru ataupun dengan temannya, bahkan bersikap acuh tak acuh
terhadap materi yang sedang dipelajarinya. Sekarang ini sudah saatnya siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengembangkan diri. Peran guru sebagai pemberi ilmu, selayaknya berubah menjadi
commit to user
4
fasilitator bagi siswa untuk belajar dan mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Hal ini relevan dengan pandangan konstruktivisme bahwa siswa yang harus aktif membangun
pengetahuan mereka. Arend dan pakar model pembelajaran lain berpendapat bahwa tidak ada salah satu model pembelajaran yang paling baik diantara yang lainnya, karena
masing-masing model pembelajaran dapat dirasakan baik apabila telah diujicobakan untuk mengajarkan materi tertentu Arend dalam Triyanto 2007 : 9. Untuk itu seorang
guru harus bijaksana dalam menentukan model pembelajaran yang sesuai dan dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif sehingga tujuan pembelajaran
dapat tercapai sesuai yang diharapkan. Selama ini yang masih banyak terjadi seorang guru biasanya hanya mengajar
dengan menggunakan model mengajar klasik atau konvensional seperti ceramah misalnya, ada kemungkinan hal ini disebabkan minimnya pengetahuan atau informasi
tentang model-model pembelajaran. Padahal di sisi lain sudah banyak penelitian- penelitian dibidang pendidikan menyatakan bahwa model-model pembelajaran yang
baru misalnya model pembelajaran kooperatif, secara signifikan memberikan hasil belajar matematika yang lebih baik dibandingkan model-model pembelajaran
konvensional seperti ceramah. Penelitian yang telah dilakukan antara lain 1 Ekperimentasi Pembelajaran Matematika dengan Model Kooperatif tipe Teams Games
Tournament TGT Terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari Motivasi Belajar Matematika Siswa Sekolah Dasar Se-Kecamatan Depok Fitria Khasanah:2009. 2
Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD pada Materi Pokok Persamaan Dan Fungsi Kuadrat Ditinjau dari Kemampuan Awal Siswa Kelas X SMA
commit to user
5
Negeri Di Kabupaten Tulungagung Adi Waluyo: 2010. 3 Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Student Teams Achievement Division Terhadap Prestasi Belajar
Matematika Ditinjau dari Aktivitas Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Persamaan Kuadrat dan Fungsi Kuadrat Kelas X di Kota Madiun Ika Krisdiana: 2010. Ironisnya
hingga saat ini model-model yang baru tersebut juga belum banyak digunakan oleh para guru. Hal ini kemungkinan masih minimnya publikasi dari hasil penelitian-penelitian
tersebut. Kemungkinan lainnya adalah belum banyaknya penelitian-penelitian yang membandingkan manakah yang lebih baik diantara model-model pembelajaran yang
baru itu sendiri, sehingga para guru tidak tahu manakah model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran yang akan diberikan.
Permasalahan tersebut menarik minat peneliti untuk mencoba membandingkan manakah yang lebih baik antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan tipe
TGT. Selain model pembelajaran, hal yang tidak kalah pentingnya adalah melihat kemampuan awal yang dimiliki siswa, karena matematika adalah ilmu yang berjenjang
artinya untuk memahami materi yang baru diperlukan pemahaman materi sebelumnya, sehingga kemampuan awal adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan didalam
menentukan hasil belajar yang diharapkan.
B. Identifikasi masalah