Pola Kediaman Perantau INTERPRETASI DATA PENELITIAN

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang, “hampir semua abangnya bapak merantau kecuali yang nomer empat, dialah yang bantu-bantu ibu bapak betani. Karena dirasa susah hidup dikampung, lagian kasihan kalau harus bergantung sama orang tua bapak, jadi umur 17 tahun bapak coba-coba pergi merantau ke Pekanbaru ikut orang di kampung bapak buat jualan kaki lima, jualan songkok, jilbab, baju.”

4.1.2 Pola Kediaman Perantau

Dalam fase awal merantau, laki-laki Minangkabau yang belum menikah saat merantau ke Medan, lazimnya menumpang di rumah kerabatnya yang memiliki perekonomian yang cukup baik di Medan, dan ada juga sebagian kecil yang mengontrak di rumah bersama dengan teman yang ia kenal. Dan cara ini dibenarkan oleh beberapa informan yang merantau ke Medan dengan status belum menikah, seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan yang bapak Basrial Efendi Tanjung, “waktu pertama kali datang ke Medan pak Bas tinggal di rumah saudara pak Bas yang di Pasar Merah, kalau pas bas manggilnya elok si Er” Hal serupa juga dilakukan oleh bapak Bashar Koto, “kebetulan bapak punya apak di Jalan Ismaliyah. Jadi kurang lebih 3 tahun pertama bapak merantau di Medan tinggalnya di rumah apak bapak. Karena segan bapak numpang di situ lama-lama, terakhir bapak kotrak rumah di jalan Utama sama kawan-kawan yang kerjanya di jalan Pandu juga. ” Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perantau Minangkabau untuk menginap di rumah kerabatnya. Pertama, karena ikatan persaudaraan yang dekat. Perantau Minangkabau akan menumpang di rumah saudaranya apabila dia merasa kalau dia dengan saudaranya tersebut memiliki ikatan sosial yang baik. Biasanya perantau Minangkabau akan memilih menumpang dengan saudara kandunganya atau kerabat yang memiliki ikatan darah yang sangat dekat dengan kedua orang tuanya seperti paman atau bibinya, karena bagianya Universitas Sumatera Utara akan mudah untuk berkomunikasi dan akan memperkecil konflik diantara keduanya yang dapat menganggu kenyamanannya. Sedangkan untuk kerabat yang memiliki ikatan darah ataupun ikatan sosial yang agak sedikit jauh darinya, untuk menumpang maka dia akan mempertimbangkan soal kenyamaan dari dirinya dan juga dari kerabatnya. Apabila menurutnya dia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi deng saudaranya tersebut, dan dapat menimbulkan konflik diantara keduannya apa bila ia menumpang dengan saudaranya tersebut, maka ia akan lebih memilih untuk mengontrak rumah atau kos. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh bapak Bashar Koto, Usman Sikumbang, Akir Sani Mandai yang mana pada awal mereka merantau ke Medan, mereka menumpang dengan saudaranya yang memiliki ikatan darah yang dekat dengan orang tuannya. Lalu pertimbangan kedua, untuk menghemat pengeluaran selama fase awal ia merantau di Medan. Sebelumnnya telah di ungkapkan, bahwa sebagian besar perantau Minangkabau merantau pada usia muda, sekitar umur 20-an, bahkan kurang dari itu. Pada usia tersebut mereka sepenuhnya belum mandiri secara ekonomi, dan hanya memiliki keahlian yang tidak cukup memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Sehingga terkadang mereka terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan yang memiliki pendapatan yang rendah seperti kuli, penarik becak, buruh pabrik, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dengan menginanap di rumah kerabat, sedikit-banyak membantu pengeluarannya selama fase awal ia merantau di Medan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Rizal Mandai, yang merupakan adik kandung dari Akir Sani Mandai, “kalau tinggal di rumah saudara yang pastinya kita enggak perlu cari rumah kontrakan, terus yang paling enaknya tempat tinggalnya gratis, enggak perlu keluar biaya banyak buat makan. Terus kalau lagi enggak punya uang, kita masih bisa makan” Kemudian yang ketiga, sebagai cara untuk meningkatkan skillnya untuk dapat beradaptasi dalam aspek ekonomi pada fase awal ia merantau. Sebagian besar perantau Universitas Sumatera Utara Minangkabau yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, bertumpu pada pekerjaan di sektor perdagangan dan sebagai penjahit. Dan untuk survive, mereka memerlukan keterampilan yang memadai. Namun, yang sering menjadi permasalahan umum bagi perantau Minangkabau di kota Medan, hampir sebagian besar dari mereka hanya memilki keterampilan yang seadanya, terlebih lagi mereka yang berasal dari wilayah pedesaan. Untuk itu, pada fase awal merantau mereka memerlukan semacam pembimbing atau yang dapat mengajarkannya beberapa keterampilan yang dapat mereka manfaatkan dalam mendapatkan penghasilan. Oleh sebab itu, sangat jarang sekali didapati perantau Minangkabau yang mau menumpang di rumah kerabatnya yang bekerja pada sektor yang produktivitasnya rendah, seperti penarik becak, kuli, buruh, pegawai toko di pasar, dan sebagainya. Mereka lebih cenderung menumpang di rumah kerabatnya yang memiliki usaha yang memiliki produktivitas menengah-keatas, seperti pedang tekstil, toko emas, konvesksi pakaian, dan sebagainya. Dengan begitu, mereka dapat belajar beberapa hal dari kerabatnya, sehingga kedepannya ia memiliki skillyang dapat membantunya dalam beradaptasi dalam aspek ekonominya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Akir Sani Mandai, “waktu bapak tinggal sama pak Aris, bapak di suruh jualan songkok ke pajak- pajak. Karena disuruh kesana-kesini jadi bapak tau gimana cara jualan, tau dimana tempat-tempat ngambil barang, mengolah barang. Setelah itu bapak di suruh buat barang sendiri sama pak Aris, modalnya sebagian di tambahin pak Aris“ Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang, “waktu bapak tinggal sama mak Katik, disitulah bapak mulai belajar cara menempah emas. Awal-awal belajar bapak disuruh ngebentukin tembaga dulu, lalu setelah kira-kira bisa, baru lah bapak mulai terima tempahan dari orang lain. Kira-kira cuma lima tahun bapak kerja sama mak Katik, setelah itu bapak buka toko emas di Karo” Namun, berbeda cara adapatasi fase awal merantau bagi orang Minangkabau yang sudah menikah. Pria Minangkabau yang sudah menikah umumnya pergi merantau tanpa Universitas Sumatera Utara membawa keluarganya. Mereka meninggalkan keluarganya di kampung, dan pergi merantau untuk mencari daerah rantau mana yang menurut mereka cocok untuk mereka jadikan sebagai tempat mereka bermukim yang kemudian mereka akan membawa keluarganya ke daerah tersebut. Dalam mencari perantauan yang sesuai untuk ia bermukim, umumnya laki-laki Minangkabau akan merantau ke beberapa kota-kota besar yang menurutnya memiliki potensi ekonomi yang baik. Namun, jangka waktu mereka merantau tidak lama, mereka akan merantau ke suatu kota, lalu kemudian dalam jangka waktu beberapa bulan mereka kembali ke kampung, dan jika menurutnya daerah perantaunnya sesuai, maka ia akan membawa keluarganya untuk bermukim di daerah perantau tersebut. Hal ini sebagaimana yang terungkap dari hasil wawancara dengan bapak Eryatman Tanjung, “waktu itu ibu Istrinya masih di Padang, bapak merantau ke Medan perginya sendirian, soalnya kurang enak kalau numpang bawa istri di rumah saudara, lagian bapak di Medan waktu itu masih belum pasti mau kerja apa, masih bingung. Setelah dapat gambaran usaha apa yang mau di buat, terus rumah yang mau dikontrakin juga udah dapat, barulah bapak balek ke Padang jemput ibu. Sebelum bapak bawa ibu ke Medan sekitar hapir tiga bulan juga waktu itu bapak di Medan”

4.1.3 Sumber Pendapatan