Hubungan antara perantau Minangkabau dengan Nilai-nilai Adat Istiadat

Begitu pula dengan orang Minangkabau yang bekerja non-perdagangan, seperti tenaga pendidik, profesional, buruh pabrik, dan pegawai swastanegeri, mereka juga cenderung membentuk kelompok mereka sendiri yang berdasarkan kesamaan profesi mereka. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan orang Minangkabau yang beprofesi dalam sektor perdagangan, antara orang Minangkabau yang berada di strata ekonomi kelas atas dengan orang Minangkabau strata ekonomi kelas bawah memiliki jarak hubungan yang jauh. Disini perbedaan kelas terlihat antara kelas bawah dangan kelas atas, sedangkan mereka yang kelas menengah merupakan kelas yang sedikit lebih fleksibel ke kelas atas maupun masyarakat Minangkabau kelas bawah.

4.3 Hubungan antara perantau Minangkabau dengan Nilai-nilai Adat Istiadat

Minangkabau Hakikat dari merantau bagi orang Minangkabau adalah bertujuan untuk memperkaya dan memperkokoh adat Minangkabau dengan cara menunjukkan eksisitensi budaya dan sosialnya di “alam rantau” serta membawa ide, nilai-nilai dan harta yang berasal dari rantau yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan keberlangsungan adat Minangkabau. Hal ini menunjukkan bahwa orang Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang masyarakatnya mau menerima perubahan-perubahan yang datangnya dari luar adatnya, selama perubahan-perubahan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dan adat Minangkabau yang sudah ada dan mengakar dalam masyarakatnya. Dan meskipun orang Minangkabau telah merantau dan jauh dari kampungan halamannya, namun adat Minangkabau masih memiliki relevansi dengan kehidupan orang Minangkabau yang berada di perantauaan. Akan tetapi, keterikatan antara adat Minangkabau dengan perantau tidak terlalu kuat, ikatan antara adat Minangkabau denga perantau Minangkabau cenderung hanya sebatas pada deologi kesukuan saja, sedangkan dalam hidup Universitas Sumatera Utara bermasyarakat, perantau Minangkabau cenderung lebih menyesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Selain itu, tidak banyak perantau Minangkabau yang melakukan prosesi-prosesi adat Minangkabau sebagaimana yang ada di lakukan masyarakat di kampung halamannya, seperti contohnya dalam prosesi pernikahan. Sebagian besar orang Minangkabau di kota Medan pada prosesi pernikahan hanya sebatas memakai pakaian adat saja untuk menunjukkan identitas kesuku mereka, seperti yang dilakukan oleh masyarakat umum lainnya, sedangkan hakikat prosesi pernikahan tersebut tidak sama seperti prosesi pernikahan yang sesuai dengan ketentuan adat Minangkabau yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto, “model acara pernikahan yang ada kayak biasanya itu enggak sama kayak di kampung Itu kalo di Pariaman kalau ada orang nikah, pengantinnya diarak keliling kampung, baru malamnya acara manjalangnnya si perempuang ke tempat si laki-laki. Karena panjang prosesnya terus banyak ini itunya makanya orang pariaman yang ada di Medan mana ada yang buat kaya gitu, kita kan pastinya nyari praktis aja” Lemahnya ikatan adat Minangkabau dengan perantau Minangkabau dikota Medan salah satunya disebabkan oleh amalgamasi. Pernikahan antar suku yang berbeda atau amalgamasi sangat umum terjadi di kota-kota besar, termaksud juga di Medan. Di sisi lain amalgamasi merupakan sebagai bentuk kemajemukan yang terjalin baik di kota tersebut, namun dari aspek budaya, amalgamasi juga akan mengikis budaya dan nilai adat dari etnis yang melakukan amalgamasi tersebut, bahkan menghilangkan identitas kesukuannya. Kondisi ini di karenakan beberapa orang Minangkabau yang melakukan amalgamsi tidak memperkenalkan budaya dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Minangkabau kepada anak-anaknya, sehingga bisa jadi budaya Minangkabau bagi anak tersebut menjadi asing baginya. Sehingga banyak kita jumpai, orang Minangkabau “generasi kedua” atau anak dari perantau Minangkabau yang dibesarkan di perantauan, banyak yang tidak mengetahui nilai- Universitas Sumatera Utara nilai dan adat istiadat yang ada pada masyarakat Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto, “kalau soal budaya, orang Minang di kota Medan ini bapak lihat semakin hilang identitas budaya nya, udah enggak kenal lagi sama budayanya sendiri. Buktinya, berapa banyak anak-anak yang orang tuanya orang Minang pandai bahasa Minang, sedikit sekali. Itu juga karena salah orang tuanya juga yang malas pakai bahasa Minang di rumahnya, jadi wajar aja anak-anaknya enggak ada yang bisa bicara bahasa Minang. Dari bahasa aja banyak yang enggak bisa apalagi soal adat Minang yang lainnya” Meskipun hubungannya dengan adat Minangkabau cenderung lemah, namun perantau Minangkabau di Medan memilki hubungan emosional yang cukup kuat dengan sesamanya, hal ini ditunjukkan orang Minangkabau dengan kerap mengunakan ungkapan “urang awak” kepada orang-orang yang sama berasal dari suku Minangkabau, yang atinya ”orang kita”. Ungkapan tersebut menunjukkan rasa primordialisme bagi orang Miangkabau di kota Medan. Selain itu, orang Minangkabau di kota Medan juga cenderung hidup bekelompok dengan sesama orang Minangkabau baik dalam pola pemukiman, yang banyak bermukim di kawasan kecamatan Aur, kecamatan Medan Area dan kecamatan Medan Perjuangan, maupun dengan membentuk kelompok persatuan, seperti contohnya PKDP Persatuan Keluarga Daerah Piaman, IKGS Ikatan Keluarga Gasan Saiyo, BASIS Batu Basa Saiyo Sakato, KBTK Keluarga Besar Tujuh Koto, dan sebagainya. 4.4 Revitalisasi Kelompok ArisanMinangkabau dan Implikasinya Terhadap Perekonomian dan Sosial dari Perantau Minangkabau.

4.4.1 Eksistensi Kelompok Arisan Sungai Sarik.