1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Adaptasi Perantau Minangkabau
Migrasi penduduk berkontribusi dalam perkembangan pembangunan dan perekonomian Nasional, serta sebagai metode yang efektif dalam penyebaran dan memperkenalkan ragam
kebudayaan suku-suku dan etnis yang ada di Indonesia. Masyarakat etnis Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang memiliki kecendenrungan yang besar dalam bermigrasi, yang
secara khas mereka sebut “merantau”. Naim 2013: 3 menetapkan terdapat enam unsur pokok mengenai konsep merantau dalam kajian sosiologi, adalah sebagai berikut:
1. Meninggalkan kampung halaman.
2. Dengan kemauan sendiri.
3. Untuk jangka waktu lama atau tidak.
4. Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman.
5. Biasanya dengan maksud kembali pulang.
6. Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.
Dari berbagai kajian empirik, mengungkapkan bahwa tradisi merantau dalam masyarakat didasari oleh beberapa faktor, sebagai berikut:
1. Permasalahan dalam hal sumber mata pencarian pada daerah asalnya. Perihal ini terkait dengan
kondisi pembangunan sangat berpengaruh besar terhadap produktivitas masyarakat. Hal ini karena pembangunan sebagai penunjang kelancaran aktivitas dari masyarakat, baik itu dalam
aspek ekonomi dan sosialnya. Kondisi pembangunan yang rendah akan berpengaruh terhadap rendahnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selain itu peningkatan jumlah angkatan kerja
yang tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada di daerah asalanya m enjadikan sebagian masyarakat merantau ke kota-kota besar. Kondisi ini pada umumnya dialami
di daerah pedesaan yang memiliki akses yang jauh dan sulit untuk ke kota besar. Kartasasmita 1995: 391 mengungkapkan, daerah pedesaan umumnya memiliki kondisi yang kurang
Universitas Sumatera Utara
menguntungkan dibandingkan dengan daerah perkotaan. Keterbatasan inilah, yakni dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, lahan usaha, serta saran dan prasarana pelayanan dasar di
pedesaan, yang mendorong terjadinya migrasi ke kota besar. 2.
Involusi pertanian di daerah pedesaan. Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan kurang terkontrol mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk di pedesaan.
Akibatnya, terjadi penyempitan lahan pertanian yang disebabkan oleh budaya pembagian lahan pertanian oleh masyarakat dan juga pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan
pemukiman penduduk. Dengan begitu, pendapatan dari hasil pertanian semakin menurun sehingga mendorong sebagian dari masyarakat desa malakukan urbanisasi untuk bekerja di
perkotaan dan hanya menyisakan masyarakat generasi tua di pedesaan. 3.
Kualitas pendidikan yang rendah. Selain faktor ekonomi, kualitas pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong masyarakat untuk berpindah ke kota. Pendidikan Indonesia banyak
mengalami ketimpangan, khususnya antara desa dan kota. Pemenuhan fasilitas pendidikan seperti kualitas bangunan sekolah, sarana pendidikan, dan tenaga pengajar, jauh lebih baik di
kota dari pada di desa. Pemerintah banyak berfokus pada kualitas pendidikan di kota dan terkesan mengabaikan kualitas pendidikan yang ada di desa. Kondisi tersebut yang menjadi
salah satu pendorong berpindahnya masyarakat ke kota khususnya ke kota besar. 4.
Budaya merantau yang ada didalam masyarakat. Budaya merupakan norma dan nilai yang ditetapkan secara konsensus di dalam masyarakat yang memberikan pengaruh individu dalam
bertindak dan berprilaku dalam masyarakat. Dalam konteks migrasi, budaya memiliki peran dalam membagun dan menciptakan persepsi mengenai wilayah di luar tepat asalnya. Pelly
1998: 293 mengungkapkan bawah, merantau adalah suatu pranata budaya, yang melibatkan keseluruhan kehidupan manusia, tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah tindakan yang sarat
dengan motivasi ekonomi. Oleh karena itu, faktor-faktor budaya seperti nilai yang terkait dalam hubungan antara alam kampung halaman home land dan alam rantau migratory area banyak
berpengaruh dalam membentuk tindakan seseorang untuk pergi merantau atau kembali
Universitas Sumatera Utara
ketempat kelahirannya, memboyong atau tidak hasil usahanya di rantau ke kampung halamannya. Selain itu, Kato 2005: 113 mengungkapkan, kecendrungan laki-laki Minangkabau
untuk pergi merantau, dalam arti meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan, ilmu pengetahuan, dan kemahsyuran, mulai diperhatikan pada permulaan abad ke-20.
Lekkerkerker, dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1916, mencoba menjelaskan apa yang menyebabkan gejala ini. Di berpendapat bahwa “penyakit merantau” berhubungan erat dengan
kedudukan laki-laki dalam masyarakat Minangkabau. Ia melihat bahwa merantau adalah sebuah cara bagi kaum laki-laki Minangkabau untuk melarikan diri dari “matriarchy” kekuasaan kaum
wanita. Secara sadar atau tidak, seorang lelaki Minangkabau selalu berusaha mencari sebuah tempat dimana dia dapat menemui ‘kebebasannya’ dan ‘kepribadiannya’.
Budaya merantau bagi masyarakat etnis Minangkabau memiliki makna yang penting bagi perkembangan “alam Minangkabau”. Sebab, masyarakat etnis Minangkabau yang merantau tidak
hanya berorientasi pada kesejahteraan hidup dan peningkatan mobilitas sosialnya, akan tetapi juga sebagai agen perubahan bagi kampung halamannya. Pelly 1998: 10 mengungkapkan perubahan
yang dilakukan oleh perantau etnis Minangkabau dengan membawa harta dan pengetahuan yang dibawa ke kampung halamannya. Mereka menggunakan harta itu untuk membangun atau
memperbaiki rumah-rumah para saudara perempuan atau isteri-isteri mereka atau guna membelikan mereka tanah. Mereka juga mengajarkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru untuk
mengubah dan memajukan negeri dan adat matrilinial mereka. Bahkan diperkenalkannya pengetahuan-pengetahuan baru telah membawa perubahan-perubahan dalam “Dunia” mereka, dan
perubahan-perubahan ini dibawa kembali ke daerah rantau sebagai pedoman bagi para perantau Minang di sana. Berikut siklus merantau etnis Minangkabau pada Gambar 1.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Sisklus Migrasi Minangkabau. Sumber:
Pelly, 1998: 11.
. Penyeba
ran pendud
uk etnis Minangk
abau di Indonesia bagian barat sebagian besar didasari pada aspek ekonomi, oleh sebab itu masyarakat Etnis Minangkabau banyak tersebar di wilayah Indonesia, khususnya kota-kota besar di
Indonesia bagian barat, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Pekanbaru, dan kota-kota besar lainnya yang memiliki memiliki tingkat pembangunan dan perekonomian yang baik. Berdasarkan
perkembangan pola merantau etnis Minangkabau, Kato 2005: 13-14 membedakan tiga jenis cara merantau atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau, yaitu:
1. Merantau untuk pemekaran nagari, yang terjadi pada awal abad ke-19. Merantau untuk
pemekaran nagari merupakan mobilitas geografis untuk membuka perkampungan baru. Biasanya alasan yang paling utama adalah kurangnya tanah untuk digarap dan jumlah penduduk
yang semakin meningkat. Pekerjaan ditempat yang baru pun masih ada hubungannya dengan pertanian.perpindahan dimaksudkan untuk tinggal menetap di tempat yang baru. Hubungan
antara tempat yang lama dan yang baru kadang-kadang dipertahankan. 2.
Merantau keliling, ini terjadi pada akhir abad ke-19. Merantau keliling dilakukan oleh lelaki, baik yang sudah menikah maupun yang bujangan. Selain terbatasnya lahan pertanian yang disebut
Misi Budaya dan Perubahan Budaya Alam Minagkabau
Alam Rantau
Kesejahteraan, Pengetahuan, dan Prestise
Universitas Sumatera Utara
faktor pendorong, mobilitas mereka dipengaruhi oleh adanya kesempatan-kesempatan di tempat lain faktor penarik dan juga oleh hasrat pribadi. Pekerjaan yang dicari bukan alam
bidang pertanian; mereka adalah saudagar, pegawai kantor, guru dan pengrajin. Hubungan dengan kampung asalnya tetap dijaga. Jenis mobilitas ini tidak permanen; perantauan jenis ini
membentuk sebuah pola melingkar antara daerah rantau dengan kampung halamannya. 3.
Merantau Cino, ini di mulai dari tahun 1950-an samapai sekarang. Merantau Cino memiliki tekanan pada mobilitas geografis oleh keluarga-keluarga inti, baik yang sudah terbentuk atau
yang akan dibentuk. Perpindahan ini menuju ke tempat-tempat yang jauh dan ke kota-kota besar, seperti Jakarta. Faktor penarik dan faktor pendorong adalah unsur penting dalam dalam
merantau Cino, sebagaimana halnya dalam merantau keliling. Rantai sirkulasi bolak-balik antara kampung halaman dan kota yang dituju perantau rapuh atau putus sama sekali. Mereka jarang
pulang kampung untuk berkunjung. Mobilitas ini bersifat setengah permanen, ini bukan diniatkan, melainkan akibat dari perantauan itu sendiri.
Pelly menjelaskan bahwa, dalam budaya merantau etnis Minangkabau, mereka mempertahankan hubungan antara “alam Minangkabau” dengan daerah rantau yang merupakan
suatu proses guna menegaskan identitas Minangkabau mereka baik di kampung halaman maupun di daerah rantau, 1998: 11. Pernyataan Pelly tersebut didukung dengan ditemukannya bangunan-
bangunan yang berciri khas etnis Minangkabau serta upacara-upacara adat etnis Minangkabau yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia di luar provinsi Sumatera Barat sebagai bukti bahwa budaya
etnis Minangkabau juga berkembang di luar tanah adatnya. Dalam beradaptasi, para perantau Minang yang baru biasanya dapat menumpangkan dirinya
kepada kerabatnya yang telah lebih dulu maju di pasar-pasar atau ditoko-toko, dan kemudian akan melepaskan diri segera setelah mereka sanggup berusaha sendiri, Naim, 2013: 109. Dan usaha
yang cenderung di pilih oleh masyarakat etnis Minangkabau adalah usaha di sektor informal seperti
Universitas Sumatera Utara
berdagang, penjahit dan usaha rumah makan. Pelly 1994: 150 mengungkapakan, banyak orang Minangkabau berkosentrasi pada pekerjaan-pekerjaan ekonomi pasar misalnya berjualan tekstil,
membuat sepatu, dan menjahit. Pekerjaan-pekerjaan ini cocok dengan tradisi migrasi sirkular mereka dan memiliki tiga ciri penting: 1 pekerjaan-pekerjaan tersebut bersifat mobil; 2 tidak
memerlukan modal besar; dan 3 mudah dibawa pindah atau ditutup untuk sementara ketika mereka harus pulang menengok kampung halaman.
Naim mengungkapkan beberapa tipe pekerjaan masyarakat etnis Minang pada umumnya: 1.
Tipe pertama, pedagang. Baik Usman Pelly dalam bukunya Urbanisasi dan Adaptasi: Peran Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing maupun Naim dalam Merantau; Pola Migrasi Suku
Minangkabau, keduanya sama-sama sepakat bahwa usaha pedagangan merupakan usaha yang paling banyak dipilih masyarakat Minangbau. Kebanyakan orang Minangkabau di rantau
berusaha di dunia perdagangan dikarenakan dengan menjadi pedagang mereka dapat menyalurkan bakat alamiah mereka dan menjadi tuan atas diri sendiri. Bila mereka harus pergi ,
mereka berangkat dengan keinginan untk memperluas perdagangan yang telah mereka miliki dikampung untuk memindahkan kantor pusat perdagangan mereka ke Jakarta atau Surabaya.
Cukup banyak contoh keberhasilan mereka yang tampak melalui sejumlah usaha yang telah mereka bina di kota-kota tersebut di atas. Walaupun demikian, jumlah tersebut masih saja
teralu kecil kalau dibandingkan dengan jumlah totla populasi kelompok etnis mereka, Naim, 2013: 172-173.
2. Tipe kedua, pegawai di instasi pemerintah maupun swasta. Pelajar-pelajar Minagkabau pada
umumnya cenderung untuk menyenangi bidang satra dan sosial daripada disiplin ilmu eksakta dan teknologi. Dengan demikian, hasrat untuk menjadi pegawai merupakan dorongan yang kuat
dalam diri mereka. Ini juga terbukti dalam jawaban kuesioner yang diajukan Rektor Universitas Andalas Padang kepada para mahasiswa tingkat pertama tahun 1970 mengenai profesi apa
Universitas Sumatera Utara
yang disenangi setelah mereka meneyelesaikan kuliah. Rata-rata meneunjukkan preferensi yang tinggi untuk menjadi pegawai lebih 80, Naim, 2013: 175.
3. Tipe ketiga, tenaga profesional. Selama priode kolonial, sangat jarang orang Minangkabau yang
memasuki birikrasi, tetapi setelah kemerdekaan, banyak dari mereka yang berpendidikan Islam menjadi pegawai kantor urusan agama KUA. Sejak 1970 banyak pemuda Minangkabau telah
memilih karir sebagai dosen, dokter, notaris publik, dan wartawan, jadi bukan sebagai usahawan atau pedagang. Mereka mengetahui bahwa situasi perdagangan besar itu sulit untuk
orang Minangkabau dan mereka melihat masih ada peluang-peluang lain diluar dunia perdagangan. Akhirnya perdagangan pasar telah menjadi lapangan pekerjaan untuk mereka
yang kurang terdidik atau drop out. Kareana sebagian besar orang Minagkabau yang cakap menghindari dunia perdagangan maka terjadilah dampak jangka panjang yang negatif terhadap
dominasi orang Minangkabau atas perdagangan di kota, Pelly, 1998: 158-159. 4.
Tipe keempat, tenaga pendidik. Sebagian besar dari mereka yang telah menyelesaikan sekolah Normal tersebut dikirim ke sekolah-sekolah di berbagai daerah yang terpencar di seluruh
Indonesia dan sekaligus menjadikan mereka kelas peantau elite. Tatkala cita-cita kaum pembaru sedang berkembang dalam tahun-tahun 20-an dan 30-an di Indonesia, sesungguhnya
merekalah yang menggerakkannya dan mereka yang menuangkannya di sekolah-sekolah serta organisasi yang mereka dirikan diberbagai tempat, Naim, 2013: 177.
Mengacu pada tipe-tipe pekerjaan masyarakat etnis Minang diatas, kita menemukan beberapa kesimpulan, pertama, meskipun usaha perdagangan merupakan usaha yang mayoritas
digeluti oleh masyarakat Minangkabau namun hanya sedikit sekali dari mereka yang sukses dalam bidang tersebut. Kedua, salah satu faktor merosotnya usaha perdagangan pada etnis Minangkabau
dikarenakan orang Minangkabau yang terdidik sebagian besar bekarja sebagai pegawai dan tenaga profesional, sehingga pada usaha pedagangan banyak digeluti oleh mereka yang pendidikannya
rendah.
Universitas Sumatera Utara
1.5.2
Modal Sosial dalam Pembangunan
Fukuyama secara sederhana mendefenisikan modal sosial adalah sebagai serangkaian nilai dan norma Informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang
memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka dalam Soetomo, 2010: 86. Dan Putnam dalam Garnasih, 2011: 36 berpendapat bahwa modal sosial merupakan unsur utama pembangunan
masyarakat madani civic community. Sebab, modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama organisasi sosial yang dapat meningkatkan efesiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas
tindakan yang terkoordinasi. Dan aspek utama itu adalah sebagai berikut: 7.
Trust kepercayaan. Fukuyama menyakini bahwa kepercayaan adalah by product yang sangat penting dari norma-norma sosial koperatif yang memunculkan modal sosial. Jika masyarakat
bisa diandalkan untuk tetap menjaga komitmen, mengembangkan norma-norma saling menolong yang terhormat, dan menghindari perilaku oportunistik, maka berbagai kelompok
akan terbentuk secara lebih cepat, dan kelompok yang terbentuk itu mampu mencapai tujuan- tujuan bersama secara lebih efesien, dalam Soetomo, 2010: 87 .
8. Norms norma-norma. Norma merupakan bentuk pengendalian hubungan atara manusia di
dalam masyarakat yang terbentuk atas empat aspek; pertama, cara usage. Lebih menekankan pada penilaian sikap antar individu atau kelompok dalam berhubungan. Dan cara usage
sifatnya tidaklah tetap dan dapat berubah. Kedua, kebiasaan folkways. Perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama dan merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai
perbuatan tersebut. Ketiga, tata kelakuan mores. Suatu perbuatan yang sifatnya memaksa anggota masyarakat untuk menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan yang di tetapkan.
Keempat, adat istiadat costum. Tata kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi yang kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, Soekanto: 2009: 174. Peran norma dalam
pembentukan modal sosial adalah sebagai alat kontrol masyarakat yang sekaligus dapat mendorong masyarakat untuk membangun keberaturan dalam sistem sosialnya, sehingga akan
menciptakan integrasi yang sifatnya terus-menerus.
Universitas Sumatera Utara
9. Networks jaringan-jaringan. Parsons mendefenisikan jaringan sosial merupakan suatu jaringan
tipe khusus, dimana “ikatan” yang menghubungkan satu titik ke titk lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung yang
menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia, dalam Agusyanto, 2007: 13. Terbentuknya sebuah jaringan sosial merupakan tahap penting dalam menciptakan tindakan
kolektifitas dalam masyarakat, sehingga tindakan kolektifitas tersebut dapat diarahkan kepada usaha peningkatan kesejahteraan bersama dan pemecahan masalah sosial. Kualitas dan
kuantitas jaringan sosial akan turut mempengaruhi pada efensisensi modal sosial.
Uphoff dalam Soetomo, 2008: 268 berpendapat, modal sosial dapat dibedakan dalam dua kategori; fenomena kognitif dan struktural. Dalam fenomena kognitif, modal sosial tumbuh dari
proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya termasuk nilai dan norma. Pada tingkat yang lebih abstrak perwujudannya dapat berbentuk gagasan ideas. Apabila gagasan
tersebut diterima oleh kalangan luas masyarakat, misalnya karena disadari manfaatnya, maka akan menjadi acuan dalam pola berfikir dan pola tindakan masyarakatnya termasuk dalam merespon
masalah sosial. Bentuk modal sosial ini dapat menjadi pendorong tindakan bersama dan kepedulian sosial bagi sesama warga masyarakat. Dimensi struktural. Fenomena modal sosial terkait dengan
organisasi sosial dan institusi sosial yang didalamnya terkandung peranan, aturan dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas dalam mendorong kerja sama. Dalam banyak hal modal sosial
yang berbentuk fenomena struktural ini dapat berfungsi memfasilitasi ideas dan ideal agar dapat teraktualisasi melalui berbagai bentuk tindakan bersama warga masyarakat.
Aiyar dalam Adi, 2008: 308 mengemukakan tiga macam bentuk modal sosial, yaitu: 1.
Bording capital yang merupakan modal sosial yang mengikat anggota masyarakat dalam satu kelompok tertentu. Modal sosial bentuk ini di contohkan seperti kolektifitas antar individu di
Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan kegiatan kelompok. Modal sosial ini menjadi sangat penting untuk ditumbuhkan dan dikembangkan dalam masyarakat, sebab kekuatan ekonomi nasional sangat
bergantung pada produktivitas masyarakatnya. Dengan modal sosial, potensi-potensi yang ada di dalam masyarakat akan dikelola secara kolektif sehingga dapat menciptakan masyarakat yang
mandiri secara ekonomi. 2.
Bridging capital yang merupakan salah satu bentuk modal sosial yang menghubungkan warga masyarakat dari kelompok sosial yang berbeda. Modal sosial ini terdapat pada kelmpok-
kelompok yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat, seperti LSM Lembaga Swadaya Masyarakat. Bentuk modal sosial ini sudah mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat, hal ini
karena minimnya dukungan pemerintah dan keterbatasan finansial. Selain itu, adanya indikasi politik dalam kelompok pemerdayaan, membuat simpati dan kepercayaan masyarakat akan
kelompok pemberdaayaan tersebut menurun. Untuk itu pemerintah yang memilki kewenangan yang tinggi diharapkan bisa menumbuhkan kembali bentuk modal sosial Bridging capital di
dalam masyarakat agar terwujudnya pembangunan yang bersifat merakyat. 3.
Linking capital yang merupakan suatu ikatan antar kelompok warga masyarakat yang lemah dan kurang berdaya, dengan kelompok warga masyarakat yang lebih berdaya powerful people,
misalnya bank, polisi, dinas pertanian, dan sebagainya. Khusus di Indonesia modal sosial ini hampir sedikit kita jumpai, terlebih lagi pada instasi pemerintahan. Marjinalisasi kaum miskin
tak hanya dilakukan oleh masyarakat kelas atas namun juga oleh instasi pemerintahan. Sulitnya akses masyarakat kelas bawah ke pemerintahan adalah salah satu bentuk marginalisasi yang
dilakukan oleh instasi pemerintahan kepada masyarakat kelas bawah, akibatnya berkembangnya sinisme didalam masyarakat khusunya masyarakat kelas bawah kepada
pemerintahan. Dalam kasus ini perlu adanya pembenahan sistem didalam pemerintahan yang dapat bersinergi dan berintegrasi dengan masyarakat kelas bawah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perspektif pembangunan, mengembangkan dan meperkuat modal sosial di dalam masyarakat berdampak pada peningkatan proses pembangunan dan dapat meminimalisir tingkat
kemiskinan dalam masyarakat. Soetomo 2010: 89 menemukan bahwa dewasa ini orang tidak lagi melihat modal hanya dari segi modal finansial dan modal fisik saja, melainkan juga human capital.
Berdasarkan pendapat Coleman, human capital tidak terbatas berasal dari pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga berasal dari kemampuan untuk bekerja sama guna mencapai tujuan
bersama yang kemudian disebut sebagai modal sosial.sama halnya apabila akan dimanfaatkan untuk kepentingan tranksaksi ekonomis pada umumnya dan keuntungan ekonomi pada khususnya, jika
mdal sosial ini dimanfaatkan untuk usaha dan tindakan bagi kesejahteraan bersama juga perlu digali, diidentifikasi dan kemudian dimanfaatkan untuk mendukung berbagai usaha pembangunan untuk
kepentingan warga masyarakat. Dalam hal ini peranan dan kontribusinya juga sejalan dengan bidang ekonomi yaitu meringankan beban pemerintah dalam usaha mewujudkan kesejahteraan sosial
warganya. Dalam perkembangannya, modal sosial di indonesia sebagai salah satu metode
pembangunan ekonomi masyarakat merupakan konsep yang baru, ini terlihat dari masih awamnya program pemerintah yang menggunakan konsep modal sosial, seperti PNPM program nasional
pemberdayaan masyarakat mandiri. Akan tetapi, pada dasarnya konsep modal sosial itu sendiri sudah ada pada masyarakat Indonesia sejak lama, hal ini di tandai dengan berbagai upacara adat di
Indonesia yang terdapat modal sosial didalamnya, seperti upacara merdang merdem pada etnis Batak Karo, upacara rambu solo di Tana Toraja, tradisi mengangkat rumah di Sulawesi dan tradisi
gotong-royong yang khas dalam masyarakat Indonesia. Modal sosial dan prinsip gotong-royong pada dasarnya merupakan konsep yang sama, ini karena keduanya sama-sama mengkaji tentang tindakan
kolektif antar individu atau kelompok yang dasari oleh rasa saling percaya dan kesamaan norma dan nilai untuk mencapai tujuan bersama. Namun, selama ini prinsip gotong royong dimaknai sebagai
suatu kegiatan bersama yang dilakukan oleh masyarakat dalam satu momentum acara. Padahal bila prinsip ini dikembangkan secara continue maka akan memberikan manfaat nilai ekonomis kepada
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, sehingga dapat berpengaruh dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat, dan pengembangan prinsip gotong royong tersebut yang membentuk modal sosial. Artinya, potensi
mengembangkan dan memperkuat modal sosial dalam masyarakat Indonesia sangatlah besar, sebab pada masyarakat Indonesia sedikit-banyaknya sudah memiliki pondasi terbentuknya modal sosial.
Langkah merevitalisasi kembali kegiatan-kegiatan masyarakat indonesia yang beracuan pada pengembangan modal sosial dalam masyarakat perlu menjadi perhatian, khususnya pemerintah dan
akademisi. Dalam aspek ekonomi, modal sosial menjadi hal penting di samping dengan modal finansial, sumber daya manusia, dan sumber daya alam. Modal sosial mememiliki fungsi sebagai nilai
ekonomi, yaitu sebagai berikut: 1.
Fungsi pertama. Menurut Sumarto 2010: 32 modal sosial berfungsi dalam hal efesiensi sistem pasar, birokrasi dan negara. Modal sosial yang kuat akan mampu mengurangi biaya transaksi
dalam berbagai tahap proses dan kegiatan ekonomi maupun kebijakan negara. Bila dalam suatu komunitas masyarakat mempunyai modal sosial yang tinggi maka proses transaksi dan birokrasi
tidak memerlukan tahap-tahap dan prosedur yang rumit dan panjang. Hal ini karena didalam komunitas tersebut sudah ada kepercayaan dan jalinan ketergantungan yang tinggi sehingga
proses-proses bisnis berjalan atas asas kekeluargaan. 2.
Fungsi kedua. Menurut Vina Salviana DS, modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan proyek pembangunan, terutama terlihat dari kemampuan komunitas dalam merajut institusi
atau pranata crafting institution, dalam Lendriyono, 2007: 81. Putnam menjelaskan bahwa, kerjasama mudah terjadi di suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang
substansial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan antar warga, dalam Garnasih, 2011: 36. Institusi yang memiliki modal sosial yang kuat mempunyai kapasitas
untuk membangun kekuatan ekonomi masyarakat dengan potensi yang ada, melalui proses dinamika interaksi dan jaringan sosialnya, sehingga keterbatasan potensi yang ada di dalam
masyarakat masih bisa di optimalkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salman dalam Badaruddin, 2005: 50 mengemukakan bahwa upaya reduksi kemiskinan melalui potensi
Universitas Sumatera Utara
modal sosial dapat dilakukan dengan cara, pertama, upaya reduksi kemiskinan hendaknya diarahkan pada pencapaian di tingkat rakyat miskin yang tidak hanya bermakna keluarnya
mereka dari situasi kemiskinan secara temporer, melainkan juga bermakna pada penciptaan kemampuan bagi mereka untuk secara mandiri mengatasi masalah dan keluar dari krisis ketika
terjadi perubahan kondisi yang mengiringnya kembali pada situasi miskin. Kedua, dalam upaya reduksi kemiskinan, persiapan sosial dan penambahan sumber daya sama pentingnya.
Dalam aspek sosial, fungsi modal sosial untuk menciptakan ikatan yang kuat didalam masyarakat Indonesia. Dan sebagaimana kita ketahui, Indonesia adalah negara dengan keberagaman
budaya, setiap budaya memiliki ide, nilai, dan norma-norma yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang budaya tersebut bisa menimbulkan disintergrasi antar kelompok masyarakat yang dapat
memicu timbulnya konflik karena adanya sikap entnosentrisme dalam masyarakat. Kondisi ini dipahami benar oleh para founding father negara Indonesia dengan merumuskan sila ketiga didalam
pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pada sila ketiga menegaskan “persatuan Indonesia”, dimaknai agar bangsa Indonesia senantiasa mengaplikasikan prinsip gotong-royong atau modal
sosial dalam hidup bermasyarakat dan bernegara agar terciptanya kerukunan dan solidaritas antar budaya yang ada di Indonesia.
1.5.3 Pengembangan Masyarakat Dalam Kelompok Arisan