Profil Subjek HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
                                                                                86
2  Gambaran  Umum  Mengenai  Kehidupan  Subjek  1  di  Yogyakarta AT
Selama  tinggal  di  Yogyakarta,  AT  berusaha  untuk  tidak bergantung  pada  oranglain  dan  berusaha  berbaur  dengan  warga
Yogyakarta.  Sikap  yang  ditunjukan  oleh  AT  adalah  sikap  yang ramah,  terbuka  dan  berani  untuk  menyesuaikan  diri  dengan
masyarakat  Yogyakarta.  Sikap  untuk  menyesuaikan  diri  di tempat yang baru dibiasakan sejak kecil agar mandiri dan tidak bergantung
dengan  oranglain.  Hal  ini  yang  membuat  AT  mampu  bergaul  dan menyesuaikan diri pada masyarakat Yogyakarta.
Dalam  relasinya  dengan  teman-teman  maupun  warga setempat,  AT  mengaku  cukup  baik.  Bagi  AT  yang  terpenting
dalam  menjalin  relasi  dengan  teman-teman  maupun  warga  dari budaya  yang  berbeda  adalah  keterbukaan  diri.  Dengan  membuka
diri  maka  seseorang  akan  diterima,  walaupun  dari  budaya  yang berbeda.  Selain itu  dengan  teman-teman yang  berasal  dari  budaya
yang sama, relasi yang dibangun cukup baik. Hal ini karena prinsip AT  dalam  menjalin  relasi  adalah  jika  dalam  relasi  dengan  teman-
teman dari budaya  yang berbeda sudah baik, maka dengan teman- teman  yang  berasal  dari  budaya  yang  sama  secara  otomatis  harus
baik dahulu.
87
Peran  Budaya  dari  suku  Mee  sangat  mempengaruhi  AT dalam melangsungkan hidup maupun dalam berelasi dengan orang
lain. Dalam suku Mee diajarkan tiga unsur penting dalam berelasi seperti  Dou  yaitu  melihat  dengan  mata,  Gai  yang  artinya  berpikir
dengan  otak,  dan  Ekowai  yaitu  bekerja  dengan  tangan  maupun kaki.  Ketiga  pedoman  tersebut  merupakan  dasar  dari  hidup
menurut suku Mee yang dihayati oleh AT.
3  Pandangan  Subjek  1  Mengenai  Kekerasan  Etnis  di  Yogyakarta AT
a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis
Sebagai  mahasiswa  semester  akhir  yang  berasal  dari Papua,  AT  melihat  bahwa  kekerasan  antar  etnis  sering  terjadi
karena  pemahaman  budaya  antara  etnis  satu  dengan  yang  lain berbeda.  Orang  Timur  menganggap  bahwa  orang  Jawa
memiliki watak yang lembut dan sopan, sedangkan orang Jawa menganggap  bahwa  orang  Timur  memiliki  watak  yang  keras
dan  emosional.  Pandangan  ini  yang  kadang  menimbulkan kesalahpahaman  dari  dua  etnis  yang  berbeda.  Padahal  belum
tentu pandangan tersebut berlaku pada semua orang Timur atau orang  Jawa.  Pandangan  ini  yang  mengakibatkan  antara  kedua
88
budaya ini ada salah persepsi. Akibatnya kekerasan  antar etnis timbul di kota Yogyakarta.
b  Tanggapan Subjek Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta Sebagai orang Papua, AT memandang bahwa kekerasan
yang  dilakukan  oleh  orang  yang  berasal  dari  Indonesia  Timur secara  khusus  Papua,  hanya  dilakukan  oleh  segelintir  orang
saja.  Menurut  AT  tidak  adil  jika  semua  mahasiswa  Papua maupun  yang  berasal  dari  Indonesia  Timur  dianggap
“penjahat”  hanya  karena  kesalahan  satu  atau  dua  orang.  AT memberi perumpamaan seperti  suatu rak telur yang
“di dalam rak  tersebut  pasti  ada  telur  yang  busuk  namun  ada  juga  telur
yang masih baik ”. Namun AT juga merasa malu karena pelaku
kejahatan  kadang  orang  yang  berasal  dari  Timur  khususnya Papua.
4  Pengalaman  Diskriminasi  dan  Kekerasan  yang  Dialami  Subjek  1 serta Dampak Psikologis AT
Pengalaman AT mendapat diskriminasi dan stereotype atas kekerasan yang terjadi di Yogya yaitu saat dia hendak mencari kos-
kosan. AT pernah ditolak karena berasal dari Papua dengan ciri-ciri rambut keriting dan warna kulit hitam. Perasaan sedih, jengkel dan
terpukul sangat dirasakan oleh AT ketika ditolak oleh pemiliki kos
89
pada  saat  itu  padahal  ada  kamar  kosong.  Ada  pengalaman emosional  yang  dirasakan  AT  saat  bersepeda  ke  daerah  Jawa
Timur.  Di  sana,  AT  pernah  dianggap  sepele  oleh  orang  Jawa setempat setelah melihat subyek sambil menggunakan bahasa Jawa
“Ahh…wong  Papua  saja”.  Saat  mendengar  kalimat  ejekan  yang dilontakan  tersebut  AT  sangat  emosional  dan  merasa  minder,
namun  AT  berusaha  tenang  kembali.  Perlakukan-perlakukan diskriminasi tersebut masih dialami AT maupun teman-teman yang
juga berasal dari Papua. Pengalaman  lain  yang  dialami  AT  saat  mendapat
diskriminasi  dari  warga  Yogya  yaitu  saat  AT  bersama  keempat adiknya  diracun  oleh  orang  yang  tidak  dikenal.  Pengalaman
tersebut terjadi pada saat AT bersama dua saudara sepupunya yang kebetulan  berasal  dari  suku  yang  sama  hendak  makan  di  warung.
Saat makan, minuman yang dipesan diberi obat. Pada saat itu, AT tidak  menyadarinya  bahwa  minumannya  diberi  obat,  hanya  adik
sepupunya  yang  melihat  bahwa  seseorang  mencampurkan  obat kedalam  minuman  mereka.  Tanpa  berpikir  negatif,  akhirnya
mereka  tetap  meminumnya.  Sepulangnya  dari  warung  tersebut, mereka  muntah-muntah  dan  merasakan  sakit  kepala.  Untungnya
mereka cepat diobati sehingga tidak menimbulkan efek yang parah. Pengalaman  diskriminasi  lain  yaitu  saat  dikos-kosan.  Waktu  itu
90
adik  sepupu  AT  sedang  mengingap  di  kosnya  dan  kebetulan  AT sedang  keluar.  Saat  itu  memang  AT  tinggal  bersama  adik
sepupunya  yang  berstatus  mahasiswa  baru,  tiba-tiba  saudaranya didatangi  oleh  pemilik  kos  dan  disuruh  untuk  membayar  uang
tambahan  karena  menginap.  Saudara  Agus  menerima  pesan pemilik  kos  pada  saat  itu  namun  yang  membuat  AT  sedih  adalah
kata- kata  yang  dilontarkan  selanjutnya  oleh  pemilik  kos  “tinggal
disini  jangan  membuat  saya menjadi  rugi”  dengan  nada  yang
tinggi.  Pernyataan  ini  yang  membuat  saudara  AT  maupun  AT sendiri  sangat  kecewa  dan  tak  berdaya.  Akhirnya  saat  ini  AT
bersama saudaranya memutuskan untuk pindah kos-kosan. Pengalaman  lain  yang  membuat  AT  menjadi  cemas,  takut
dan  tidak  bebas  untuk  tinggal  sebagai  mahasiswa  Papua  di Yogyakarta  adalah  saat  teman  satu  suku  yang  di  pukul  di
kepalanya  hingga  tewas  oleh  orang  tidak  dikenal.  Pada  saat  itu, sepulang  pertemuan  rutin  mahasiswa  Papua,  dua  orang  teman  AT
meminta  ijin  dengan  ketua  asrama  untuk  makan.  Pada  saat  itu sekitar  jam  sebelas  malam  setibanya  di  warung,  kedua  temannya
dipukul menggunakan sebuah benda tumpul oleh orang yang tidak dikenal.  Orang  yang  tidak  dikenal  menggunakan  penutup  muka
sehingga  tidak  diketahui  wajahnya.  Kedua  teman  AT  terkena pukulan  yang  satu  di  daerah  kepala  dan  yang  satu  di  bahunya.
91
Teman  yang  terkena  pukulan  di  daerah  kepala  seketika  itu langsung  meninggal  di  tempat  karena  diperkirakan  benda  tumpul
tersebut  mengenai  otak.  Sedangkan  teman  yang  lain  hanya mendapatkan  memar  di  bahunya.  Atas  pengalaman  tersebut,  AT
merasakan  sedih  karena  dua  teman  tersebut  tidak  pernah melakukan  tindakan  kriminal.  Mereka  adalah  teman-teman  yang
baik dan saat itu mereka masih  berstatus mahasiswa baru. Setelah pengalaman itu, AT merasa takut dan trauma untuk keluar malam.
Perasaan  sedih,  takut,  trauma  dan  tidak  bebas  ini  membuat  AT memutuskan untuk mengurangi waktu untuk berpergian apalagi di
saat malam hari, di keramaian atau tempat sepi. Perasaan takut dan cemas  dirasakan  AT  saat  berkendara  sepeda  gayung  maupun
sepeda  motor.  AT  takut  saat  sedang  membawa  sepeda,  ada  orang yang  tidak  dikenal  yang  melukainya  secara  tiba-tiba.  Maka  ketika
mengendarai  sepeda  motor  helm  dan  kaca  spion  sangat  penting bagi AT. Hal ini karena teman AT pernah di tabrak oleh truk pada
hari  Minggu  tahun  2012.  Setelah  pulang  dari  malam  keakraban Ikatan  Pelajar  Suku  Mee,  teman  tersebut  hendak  beribadah  ke
gereja namun di jalan dia di tabrak truk.
92
5  Upaya  Subjek  I  dalam  Membentuk  Pandangan  Positif  Warga Yogya AT
Tidak  hanya  secara  internal,  dampak  eksternal  dirasakan AT  dalam  berelasi  dengan  orang  Jawa  setempat.  Akibatnya  AT
semakin bertindak lebih sopan baik itu dalam bertutur kata maupun dalam  menjaga  sikap.  Melalui  tindakan-tindakan  yang  positif
seperti  mengajar  les  matematika,  mengikuti  kegiatan-kegiatan kampus  maupun  organisasi  diharapkan  menjadi  sarana  untuk
membuka cara pandang warga Yogya yang menomorduakan orang Timur  secara  khusus  Papua.  Tidak  hanya  itu,  AT  pernah
mendiskusikan  masalah  ini  dengan  kepala  RT  setempat  mengenai hal ini. Pada saat itu, AT menyampaikan bahwa tidak semua orang
Timur maupun Papua adalah orang yang jahat dan tidak seharusnya disisihkan.  Harapannya  melalui  diskusi  tersebut  pandangan  warga
setempat di RT tersebut berada dapat semakin positif. Dampak  lain  yang  dirasakan  oleh  AT  adalah  penghayatan
terhadap  agama  semakin  meningkat.  Selain  beribadah  semakin dihayati,  AT  mengimbanginya  dengan  sikap  yang  ditunjukannya
kepada sesama baik itu kepada orang dari satu daerah maupun dari daerah  lain.  Menurut  AT  yang  pertama  harus  dilakukan  untuk
membuat  warga  Yogya  tidak  memandang  sebelah  mata  orang Timur  adalah  melalui  sikap  positif  dari  dalam  diri terlebih  dahulu
93
yang  ditunjukan.  Misalnya  menaati  peraturan  lalu  lintas, mengenakan  helm,  maupun  bertindak  sopan  di  tanah  rantauan.
Setelah kesadaran dimulai dari dalam diri, baru  hal lain dilakukan agar  menciptakan  cara  pandang  yang  positif  dari  warga
Yogyakarta. Sebagai  mahasiswa  semester  akhir,  AT  juga  sering
menasehati  maupun  memberi  wejangan  kepada  adik-adik mahasiswa Papua yang baru di Yogya untuk menjaga sikap positif.
Sikap  positif  itu  dibangun  dari  dalam  diri  misalnya  tidak mengonsumsi  alkohol,  menaati  peraturan  lalu  lintas,  tidak
membuat kericuhan, dan membuka diri terhadap warga Yogya. Upaya  yang  dilakukan  Komunitas  Mahasiswa  Papua  juga
ikut andil dalam mengurangi kekerasan maupun konflik. Selain itu sering  dilakukan  dialog  intern  antar  mahasiswa  Papua  yang
kemudian  hasil  dialog  tersebut  diberikan  kepada  Pemerintah Yogya untuk disikapi. Dalam komunitas Papua, dibuat suatu aturan
bagi  mahasiswa  agar  tidak  mabuk  dan  membuat  kericuhan  di Yogyakarta.  Komunitas  Mahasiswa  Papua  juga  membuat  tim
keamanan malam. Tim ini bertugas untuk memantau keamanan di jalan,  jika  mahasiswa  Papua  sebagai  pelaku  kekerasan  akan
ditangkap  dan  diproses.  Komunitas  juga  membuat  aturan  untuk dilarang keluar malam karena banyak pembunuhan yang terjadi di
94
malam hari. Aturan untuk mentaati lalu lintas seperti mengenakan helm dan kaca spion.
6  Harapan Subjek I Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AT
Harapan AT sebagai mahasiswa asal Papua yang menjalani kuliah di Yogyakarta adalah agar cara pandang antar etnis semakin
terbuka. Terbuka dalam arti kita semua baik itu orang Papua, Jawa, adalah  sama  warga  Indonesia.  Kita  tetap  harus  saling  menghargai
suku,  budaya,  etnis,  warna  kulit.  Selain  itu,  semoga  tidak  adanya pandangan negatif menomorduakan terhadap orang Timur begitu
pula  sebaliknya.  Kesejahteraan  kiranya  dapat  dirasakan  oleh masyarakat Yogya maupun Papua.
c.  Hasil Observasi AT  seorang  remaja  yang  sopan  dan  murah  senyum,  dengan
kulit berwarna coklat, rambut keriting. AT memiliki postur tubuh yang tidak  terlalu  tinggi,  namun  tegap  dan  agak  gemuk.  AT  dalam
berpenampilan  sangat  sederhana  dan  sopan.  Dalam  aktivitas  sehari- hari AT senang menggunakan baju kaos oblong atau kaos berkerah dan
senang mengenakan celana panjang. Selain itu, AT sering mengenakan sepatu sandal yang agak kusam, sehingga dia tampak sangat sederhana.
95
Sarana yang sering digunakan untuk berpergian adalah sebuah sepeda gayung. Hal ini sesuai dengan hobinya mengendarai sepeda.
Wawancara  dilakukan  sebanyak  dua  kali.  Wawancara  pertama dilakukan  dilakukan  tanggal  15 Juni  2014  di  Kampus  Sanata  Dharma
Paingan  pada  pukul  10.00  WIB  hingga  pukul  11.30  WIB.  Sedangkan wawancara  kedua  dilakukan  tanggal  20  Juni  2014  di  kantin  Kampus
Sanata  Dharma  Mrican  pada  pukul  17.00  hingga  pukul  17.45  WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali karena peneliti merasa masih
ada data-data yang kurang. Saat  wawancara  pertama,  AT  mengenakan  baju  kemeja  hijau,
celana  jeans  dan  sebuah  tas  ransel.  Suasana  kampus  yang  tenang karena  bertepatan  dengan  liburan  semester,  membuat  wawancara
berlangsung  dengan  lancar.  Selama  wawancara  subjek  tampak mengatupkan  kedua  tangannya.  Sesekali  AT  menggerak-gerakan
tangannya.  AT  dan  peneliti  duduk  di  bangku  kampus  lantai  dua fakultas psikologi, diantara meja yang saat itu digunakan peneliti untuk
meletakan alat perekam dan buku catatan. Saat  wawancara  kedua  di  kantin  Mrican,  suasana  kampus
sedang  sepi  karena  para  mahasiswa  lainnya  sedang  menjalani  liburan semester.  AT  mengenakan  baju  kaos  oblong  dengan  celana  jeans
hitam.  AT  dan  peneliti  duduk  berhadapan  dengan  dipisahkan  sebuah
96
meja. Di atas meja itu peneliti meletakan sebuah alat perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat.
Secara  umum  pada  kedua  proses  wawancara  jawaban  AT tampak cukup antusias. Hal ini tampak dari jawaban-jawaban AT yang
lancar  dan  terkesan  bahwa  AT  cukup  terbuka.  AT  menjawab  semua pertanyaan  peneliti  dengan  sangat  seksama.  Selain  itu,  jawaban  yang
diberikan  AT  tampak  serius  dan  sungguh-sungguh  sehingga  tidak tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab
AT tampak tersenyum atau ketawa. Namun secara keseluruhan proses wawancara, AT menjalaninya dengan lancar tampa hambatan.
2.  Subjek 2 YD a.  Identitas
Nama : YD
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Dogiyai, 23 Agustus 1992
Usia : 22 tahun
Pendidikan Terakhir : SMA YPPK Adhi Luhur, Nabire
Urutan Kelahiran : Anak ke-tiga dari delapan bersaudara
Status : Mahasiswa
Hobi : Menyanyi
97
b. Hasil Wawancara
1  Deskripsi Subjek YD Subjek  kedua  berinisial  YD.  YD  dilahirkan  dari  orangtua
yang berasal dari suku  Mee di daerah pegunungan tengah  Dogiai- Papua.  Selain  itu,  keluarga  YD  beragama  Katolik.  Mata
pencaharian  keluarga  YD  adalah  berkebun.  Selain  itu,  status ekonominya termasuk dalam golongan bawah. Dalam keluarganya,
YD  merupakan  anak  ke-tiga  dari  delapan  bersaudara.  Ayah,  ibu dan  ketujuh  saudaranya  tinggal  di  Kota  Nabire.  Saat  ini  YD
menjalani  pendidikan  di  Fakultas  Ekonomi  Akutansi  Universitas Teknologi Yogyakarta UTY.
YD  memiliki  hubungan  yang  cukup  baik  dengan keluarganya.  Pola  asuh  orang  tua  dalam keluarga  YD  demokratis.
Sikap yang sering ditunjukan ayah dan ibunya dalam membimbing yaitu  dengan  memberikan  nasehat  dan  contoh  kepada  anak-anak.
YD  menilai  bahwa  sang  ayah  memiliki  sifat  lebih  pendiam daripada ibu. Dalam mendidik YD dan para saudaranya, peran Ibu
lebih  dominan.  Sang  ibu  lebih  sering  mengarahkan  dan membimbing kedelapan anaknya dibanding sang ayah.  Peran ayah
selain  sebagai  kepala  keluarga,  beliau  juga  mencarikan  nafkah  di kantor desa sebagai karyawan.
98
Sejak  kecil  YD  disekolahkan  di  sekolah  katolik.  Sebagai keluarga  katolik,  orangtua  YD  mempercayakannya  untuk
bersekolah  di  Yayasan  Katolik.  Ilmu  serta  nilai-nilai  yang diajarkan  di  sekolah,  juga  turut  membentuk  watak  serta
kepribadian YD. Setelah Menyelesaikan SMA Sekolah Menengah Atas,  YD  mendapatkan  beasiswa  oleh  SMA  Adhi  Luhur  yang
dikelola  oleh  pastor-pastor  Serikat  Yesus  untuk  melanjutkan Kuliah  di  Yogyakarta.  Pada  saat  itu,  YD  dihadapkan  pada  dua
pilihan  dalam  memilih  tempat  kuliah.  Satu  di  Jakarta,  dan  satu  di Yogyakarta.  Saat  itu,  dua  Kota  ini  dianggap  memiliki  perguruan
tinggi  yang  cukup  baik.  Dengan  mempertimbangkan  biaya  hidup yang  lebih  murah,  maka  YD  memutuskan  untuk  melanjutkan
kuliah di Yogyakarta.
2  Gambaran  Umum  Mengenai  Kehidupan  subjek  2  di  Yogyakarta YD
Dalam  relasinya  dengan  teman-teman  maupun  warga setempat,  YD  mengaku  cukup  baik.  Pada  awal  tinggal  di  kos-
kosan, YD belajar untuk berbaur dengan teman-teman yang berasal juga  dari  beberapa  daerah  seperti  Pekalongan,  Pati,  Purwokerto,
dan  Muntilan.  Teman-teman  kos  YD  semuanya  satu  angkatan dengannya  sehingga  kedekatan  mereka  cukup  erat.  Selain  karena
99
faktor  usia  yang  rata-rata  sama,  teman-temannya  juga  merupakan mahasiswi  yang  merantau  dari  daerahnya  masing-masing.
Kebersamaan  diantara  YD  dan  teman-temannya  terwujud  dalam kegiatan kebersamaan seperti belajar bersama, makan bersama, dan
kegiatan  kebersamaan  lainnya.  Walaupun  demikian,  para  teman- teman  kos  YD  juga  menciptakan  suasana  yang  tenang  ketika
belajar  di  kamarnya  masing-masing.  Kesan  yang  YD  dapatkan setelah  berbaur  dengan  teman-temannya  kosnya  adalah,  pada
umumnya  mereka  baik  dan  memiliki  sikap  disiplin  khususnya dalam  mengatur  waktu.  Hal  ini  yang  membuat  teman-temannya
unggul dalam belajar dan juga sering mendapatkan hasil yang baik dalam  perkuliahan.  Kegiatan  umum  yang  dilakukan  oleh  YD  dan
teman-temannya  adalah  di  kos  dan  kampus.  Di  kampus,  YD  juga sering mengikuti organisasi atau kegiatan kepanitiaan lainnya.
Hubungan  pertemanan  YD  dengan  dengan  teman-teman yang  berasal  dari  Papua  cukup  dekat  walaupun  jarang  berjumpa
dengan  mereka.  YD  mengaku  bahwa  kesehariannya  lebih  banyak dengan  teman-teman  kosnya.  Teman-teman  yang  berasal  dari
Papua juga kadang berkunjung ke kosnya. Selain itu YD mengaku bahwa teman-teman kos yang berasal dari Papua lebih banyak laki-
laki ketimbang perempuan.
100
Pada  awal  YD  menyesuaikan  diri  dengan  Budaya  Yogya, YD merasakan cukup bingung khususnya dalam kebiasaan sehari-
hari orang setempat. Kebingungan yang pernah dialami YD adalah suatu  saat  teman  kosnya  pamit  untuk  makan  dengan  melontarkan
kata “mari makan”. Seketika itu juga YD secara spontan bergabung makan  dengan  temannya  tersebut.  YD  tidak  menyadari  bahwa
pernyataan  “mari  makan”  hanya  sebagai  suatu  tanda  untuk  ijin makan.  Baru  setelah  itu  YD  menyadari  melalui  penyesuaian  diri
dengan  teman-temannya  bahwa  pernyataan  tersebut  hanya  ijin bukan  mengajak  orang  untuk  makan  bersama.  Selama  berbaur
dengan  teman-teman  kosnya,  YD  banyak  belajar  tentang kesopanan dan cara berinteraksi yang ditekankan oleh orang Jawa.
Karena  dekat  juga  dengan  anak  dari  pemilik  kos,  YD  banyak bertanya mengenai kebiasaan-kebiasaan orang setempat khususnya
dalam  bersikap  yang  baik.  Sikap-sikap  baik  yang  telah  dipelajari YD,  diterapkan  dalam  kesehariannya  misalnya  dalam  menyapa
tetangga  dilingkungan  RT  yang  kebetulan  telah  mengenal  YD. Walaupun  YD  kurang  paham  dalam  menanggapi  teman  atau
kerabat  yang  menggunakan  bahasa  Jawa,  namun  YD  tetap memberikan
perhatian kepada
orang tersebut
dengan mendengarkan. Yang terutama dalam berelasi menurut YD adalah
inisiatif  untuk menyesuaikan diri dan berbaur.
101
3  Pandangan  Subjek  2  Mengenai  Kekerasan  Etnis  di  Yogyakarta YD
a  Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis Sebagai  mahasiswi  semester  akhir  yang  berasal  dari
Papua,  YD  melihat  kekerasan  antar  etnis  sering  terjadi  karena kelalaiaan  orang  Timur.  Orang  Timur  yang  tinggal  di  kota
asalnya,  pada  awalnya  sulit  untuk  membeli  minuman  keras karena  biaya  hidup  tinggi.  Sedangkan  ketika  merantau  ke
Yogya,  biaya  hidup  yang  murah  membuat  orang  Timur membeli  banyak  minuman  keras,  senang-senang  dan
dampaknya membuat keributan.  Walaupun demikian bagi YD, tidak  semua  orang  Timur  dikategorisasikan  sebagai  pemabuk
atau  pembuat  keributan  hanya  orang-orang  tertentu  saja. Menurutnya  karena  hal-hal  sepele  ini,  orang  Jawa  membuat
pandangan  bahwa  pada  umumnya  orang  Timur  baik itu  Papua maupun NTT memiliki sikap yang buruk. Akhirnya pandangan
ini  menjadi  pemicu  dalam  suatu  bentuk  konflik-konflik  di Yogyakarta.
Kebiasaan  yang  dibangun  oleh  dua  budaya  baik  itu Papua  dan  Jawa  sangat  berbeda.  Perbedaan  ini  kadang  yang
dijadikan  sumbu  konflik  dan  kekerasan  antar  dua  kelompok. Misalnya  pada  bahasa  dan  intonasi  dalam  berbicara.  Orang
102
Timur  memiliki  intonasi  yang  tinggi,  sedangkan  orang  Jawa intonasi  dalam  berbicara  sangat  halus.  Kadang  ketika  orang
Timur  sedang  berbicara,  orang  Jawa  mengganggap  bahwa orang  Timur  sedang  marah,  padahal  memang  gaya  berbicara
orang  Timur  memiliki  intonasi  yang  tinggi.  Kondisi  emosi orang  Timur  saat  berbicara  juga  dalam  kondisi  yang  normal.
Teman-teman  YD juga  pernah  mengeluhkan  hal  ini  “kamu
ngomong membuat saya kaget” atau “suara temanmu itu besar sekali  loh..menakutkan
”,  “tolong  suaranya  agak  dikurangi”. Perbedaan  yang  sebenarnya  harus  menyatukan,  bagi  YD  hal-
hal ini yang mengakibatkan hancurnya keberagaman dan dapat menimbulkan  konflik.  YD  menekankan  bahwa  intonasi  yang
tinggi  bukan  karena  orang  Timur  marah  atau  kasar  melainkan kebiasaan  dalam  berbicara  orang  Timur.  YD  memberikan
contoh,  romo  paroki  di  Papua  adalah  orang  Jawa,  dan  gaya berbicaranya  sangat  halus.  Orang  Papua  yang  mendengarkan
merasa  lucu.  Menurut  YD  perbedaan  persepsi  mengenai  gaya berbicara  juga  mengakibatkan  timbulnya  konflik.  YD  sudah
dapat  menyesuaikan  dalam  berbicara  dengan  mengurangi intonasi.
103
4  Pengalaman  Diskriminasi  dan  Kekerasan  yang  Dialami  Subjek  2 serta Dampak Psikologis YD
Sebagai  orang  Papua,  YD  merasakan  perasaan  yang  sedih saat orang Jawa memandang bahwa atas kesalahan satu dua orang
Timur,  semua  orang  Timur  jahat  atau  patut  disisihkan.  Misalnya saat  mencari  kos-kosan,  orang  Timur  sangat  susah  di  terima.
Padahal di kos tersebut tertulis menerima kos  putri dan masih ada kamar yang kosong. YD menganggap bahwa keberagaman baik itu
warna kulit, rambut bahasa dan sebagainya yang kita miliki sebagai bentuk  ciri  khas  Indonesia,  namun  apa  salahnya
„kami‟  sebagai orang  Timur  yang  mau  menuntut  kuliah  di  Yogya  dan  dianggap
kalangan  nomor  dua.  Diskriminasi  juga  pernah  dialami  YD  saat kuliah  dimana  saat  YD  menerima  KHS  kartu  hasil  studi,  nilai
yang didapatkan cukup memuaskan. Dosen pembimbing pada saat itu melihat hasil studi YD  yang baik, dan melontarkan pernyataan
kepada  teman-temannya  yang  lain, “masa  orang  Papua  lebih  bisa
dari kalian yang lain ”. Seketika itu, YD mengatakan kepada dosen
tersebut  bahwa  soal  kepintaran  bukan  ditentukan  oleh  orang  suku atau  warna  kulit  melainkan  dari  usaha.  Perasaan  YD  sedih  tidak
terima  dan  kecewa  menerima  perlakuan  orang  Jawa  khusunya Yogyakarta  yang  bersikap  diskriminasi  dan  menganggap  orang
Timur bodoh, dan sering membuat kekerasan.
104
YD  mempunyai  pengalaman  tentang  temannya  yang dibunuh  oleh  orang  tidak  dikenal.  Pada  saat  itu,  sepulang
pertemuan  rutin  mahasiswa  Papua,  dua  orang  teman  YD  meminta ijin  dengan  ketua  asrama  untuk  makan.  Pada  saat  itu  sekitar  jam
sebelas  malam  setibanya  di  salah  satu  warung  di  nol  kilometer Yogya,  kedua  temannya  dipukul  menggunakan  sebuah  benda
tumpul  oleh  orang  yang  tidak  dikenal.  Orang  yang  tidak  dikenal menggunakan  penutup  muka  sehingga  tidak  diketahui  wajahnya.
Kedua  teman  YD  terkena  pukulan  yang  satu  di  area  kepala  dan yang satu di bahunya. Teman yang terkena pukulan di area kepala
seketika  itu  langsung  meninggal  di  tempat  karena  diperkirakan benda tumpul tersebut mengenai otak. Sedangkan teman yang lain
hanya  mendapatkan  memar  di  bahunya.  Masalah  ini  telah diserahkan  ke  tangan  KAPOLDA  untuk  ditindaklanjuti.  Masalah
ini  menurut  YD  sudah  semakin  berdampak  pada  pelanggaran HAM.  Suatu  kasus  lagi  pembunuhan  mahasiswi  Papua  asal  kota
Sorong  yang  dibuang  di  rel  kereta  API.  Berdasarkan  pengalaman dari YD dan teman-temannya hampir setiap tahun ada korban asal
Indonesia Timur yang meninggal akibat konflik etnis. Dari  kejadian-kejadian  diskriminasi  yang  terjadi  kepada
orang Timur khususnya orang Papua, dibentuklah suatu organisasi yang  bertujuan  untuk  membuat  keberadaan  orang  Timur  dapat
105
diterima di Yogyakarta. Organisasi ini bernama Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Papua IPMAPA.
Presiden IPMAPA
telah menyampaikan  kepada  KAPOLDA  dan  Pemerintah  Yogya  untuk
menghimbau  agar  bagi  pelaku  kekerasan  yang  berasal  dari  Papua diadili  dengan  hukum  yang  benar,  namun  tidak  menyamaratakan
pelaku  kekerasan  dengan  mahasiswa-mahasiswi  Papua  lain  yang tidak tahu menahu  soal  kekerasan  itu.  Begitu  pula  sebaliknya  jika
orang  Jawa  yang  melakukan  kekerasan  hingga  melanggar  HAM, sebaiknya ditindaklanjuti dengan adil. Jika dalam media ada berita
mengenai  kekerasan  yang  dilakukan  orang  Papua  maka,  berita tersebut  sebaiknya  memberitakan  tentang  individu  bukan  suku
yang mewakilinya. Pengalaman-pengalaman mengerikan di atas, membuat YD
merasa  trauma  hingga  membuat  YD  takut  untuk  keluar  di  malam hari.  Selain  itu  YD  merasa  kecewa,  sedih  dan  tertekan  tinggal  di
Yogyakarta.  Dengan  jumlah  mahasiswa  Papua  korban  kekerasan yang  semakin  bertambah,  YD  merasakan  perasaan-perasaan
tersebut.  Hampir  setiap  tahun,  asrama  Papua  menerima  jenasah yang dibunuh akibat kekerasan etnis di Yogya. YD berharap Sultan
memiliki peran yang besar untuk menciptakan suasana damai.
106
4. Upaya  Subjek  2  dalam  Membentuk  Pandangan  Positif  Warga
Yogya YD Dari  pengalaman  kekerasan  dan  diskriminasi  yang
dialaminya, YD membuat tindakan-tindakan positif yang bertujuan untuk  mengubah  pola  prasangka  orang  Jawa  terhadap  mahasiswa
Papua. Misalnya mulai dari teman-teman dekat dan teman-teman di kampus,  YD  memberitahukan  bahwa  kami  orang  Papua  tidak
semua jahat. Kami punya hati dan tidak semua adalah sumber dari kekerasan,  maka  diharapkan  kepada  teman-temannya  untuk
menerima orang  Timur khususnya Papua sebagai kaum minoritas. Namun  ada  teman-teman  yang  mengerti  ada  juga  teman-teman
yang  malah  menjauhi.  Contohnya  ketika  pembagian  kelompok, teman-teman  YD  memilih  untuk  berkelompok  dengan  teman-
teman  lain  yang  berasal  dari  Jawa.  Karena  tidak  ada  yang  mau bergabung,  YD  membentuk  kelompok  belajar  yang  anggotanya
berasal  dari  Indonesia  Timur.  Namun  YD  tetap  mau  membaur dengan  teman-temannya  tadi.  Malahan  setelah  teman-temannya
mengenal YD, mereka jadi lebih dekat dengannya.  Selain itu, YD juga  sering  memberi  pesan,  nasehat  kepada  adik-adik  mahasiswa
baru asal Papua untuk bertindak baik dan mau untuk menyesuaikan diri  di  Yogyakarta.  Program  dari  organisasi  juga  dibuat  untuk
memberi pemahaman tentang cara hidup di Yogyakarta.
107
5. Harapan  Subjek  2  Berkaitan  dengan  Kekerasan  Etnis  di
Yogyakarta YD Harapan  YD  kedepan  adalah,  orang  Timur  dapat
menyesuaikan  diri  dengan  kebiasaan  di  Yogya  sehingga  tidak menimbulkan  masalah.  Selain  itu  semoga  warga  Jawa  tidak
menyalahkan  semua  mahasiswa  Timur  khususnya  Papua  yang tinggal  Yogyakarta.  Dan  antara  warga  Jawa  dan  Papua  dalam
saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
c.  Hasil Observasi YD  merupakan  seorang  remaja  putri  asal  Papua  yang  tampak
pendiam  namun  cukup  hangat,  dengan  kulit  berwarna  coklat,  rambut keriting. YD memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, dan agak
gemuk.  YD  dalam  berpenampilan  sangat  sederhana  dan  sopan.  Gadis berkacamata  ini  memiliki  tutur  kata  yang  sopan  dan  halus.  Selama
wawancara, YD mengenakan baju kaos yang dibaluti jaket dan celana jeans. Pada awal berjumpa dengan YD kesan yang penulis lihat adalah,
YD  merupakan  anak  yang  pendiam  namun  pada  kenyataannya  YD cukup terbuka dan ramah.
Wawancara  dilakukan  sebanyak  dua  kali.  Wawancara  pertama dilakukan  dilakukan  pada  tanggal  25  Juni  2014  di  kantin  Kampus
108
Sanata  Dharma  Mrican  pada  pukul  10.00  WIB  hingga  pukul  11.30 WIB.  Sedangkan  wawancara  kedua  juga  dilakukan  tanggal  27  Juni
2014  di  kantin  Kampus  Sanata  Dharma  Mrican  pada  pukul  17.00 hingga  pukul  17.45  WIB.  Wawancara  dilakukan  sebanyak  dua  kali
karena peneliti merasa masih ada data-data yang kurang. Saat  wawancara  pertama,  YD  mengenakan  baju  kaos  putih
yang  ditutupi  jaket  ungu,  dan  mengenakan  celana  jeans.  YD  dan peneliti  duduk  di  bangku  kantin.  Pada  saat  itu  kampus  sedang  sepi
karena para mahasiswa lainnya sedang menjalani liburan semester. YD dan peneliti duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah meja. Di atas
meja  itu  peneliti  meletakan  sebuah  alat  perekam,  sebuah  pulpen  dan kertas untuk mencatat.
Saat wawancara kedua YD mengenakan baju kaos kuning yang ditutupi jaket ungu dan celana jeans hitam. Pada pertemuan kedua YD
tampak  dekat  dengan  peneliti,  sikapnya  sangat  ramah.    Saat  pertama datang,  YD  yang  pertama  berinisiatif  untuk  menjabat  tangan  peneliti.
YD dan peneliti duduk di bangku yang sama saat wawancara pertama berlangsung.  Di  atas  meja  peneliti  tetap  meletakan  sebuah  alat
perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat. Secara  umum  kedua  proses  wawancara  berlangsung  dengan
lancar.  Jawaban-jawaban  YD  saat  pertemuan  kedua lebih  yang  lancar karena  antara  peneliti  dan  YD  semakin  akrab.  Ketika  diberikan
109
pertanyaan-pertanyaan  wawancara,  YD  tampak  menyimak  dengan seksama.  Kadang  tampak  dahinya  di  kerutkan  dan  matanya  semakin
fokus menyimak. Selama proses wawancara tangan dikatupkan di atas meja.  YD    menjawab  semua  pertanyaan  peneliti  dengan  sangat
seksama.  Selain  itu,  jawaban  yang  diberikan  YD  tampak  serius  dan sungguh-sungguh  sehingga  tidak  tampak  kesan  asal-asalan  dalam
menjawab.  Sesekali  dalam  menjawab  YD  tampak  tersenyum  atau ketawa.  Walaupun  saat  wawancara  pertama  YD  tampak  agak  ragu-
ragu  dalam  menjawab  namun  secara  keseluruhan  proses  wawancara berjalan dengan lancar tampa hambatan.
110
3. Subjek 3
a.  Identitas Nama
: AS Jenis Kelamin
: Laki-laki Tempat Tanggal Lahir
: Los Palos, 14 Januari 1991 Usia
: 23 tahun Pendidikan Terakhir
: SMA Urutan Kelahiran
: Anak ke-dua dari kelima bersaudara Status
: Mahasiswa Hobi
: Pelayanan, bermain game, jalan-jalan
b.  Hasil Wawancara 1  Deskripsi Subjek
Subjek  ketiga  bernama  AS.  AS  dilahirkan  dari  orangtua yang  berasal  dari  dua  suku  yang  berbeda.  Ayah  AS  berasal  dari
Flores Manggarai  sedangkan ibu berasal dari Timor Timur.  Selain itu,  keluarga  AS  beragama  Katolik.  pekerjaan  dari  ayah  adalah
sebagai  Polisi  sedangkan  ibu  adalah ibu rumah  tangga.  Selain  itu, status  ekonominya  termasuk  dalam  golongan  menengah.  Dalam
keluarganya,  AS  merupakan  anak  ke-dua  dari  lima  bersaudara. Ayah,  dan  ibu  berada  di  Maumere,  sedangkan  kakak  tertua  serta
ketiga  saudaranya  saat  ini  tinggal  di  Manggarai  bersama  nenek
111
untuk  menjalani  sekolah.  Kakak  pertamanya  telah  bekerja,  dan akan menikah sedangkan adik ketiga kuliah, yang keempat di SMA
dan yang bungsu masih SMP. Saat ini AS menjalani pendidikan di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma USD.
AS  memiliki  hubungan  yang  cukup  baik  dengan keluarganya.  Walaupun  AS  merantau  di  Yogyakarta,  namun  AS
dan  orangtua  sering  berkomunikasi  lewat  telephone.  AS merindukan  orangtua  dan  saudara-saudaranya  di  Flores.  Begitu
pula  orangtua  dan  saudaranya  yang  sering  menanyakan  kapan  AS dapat  pulang  ke  Flores.  Sejak  kecil  sekitar  umur  3  tahun,  AS
bersama kakaknya diasuh oleh nenek dan tantenya di flores. Hal ini yang membuat kedekatan AS dengan kakak pertama sangat dekat.
Sementara  orangtua  AS  dan  ketiga  adiknya  saat  itu  berada  di Timor Timur. Ketika SMA AS bersekolah di asrama Seminari dan
kuliah  di  Yogyakarta  membuat  AS  jarang  berjumpa  dengan orangtua  dan  ketiga  adiknya.  Kurangnya  intensitas  perjumpaan
antara  AS  dan  orangtuanya  sejak  kecil  tidak  menyurutkan kerinduannya  untuk  berjumpa  dengan  orangtua  dan  para
saudaranya. Sikap  yang  sering  ditunjukan  ayah  dan  ibu  dalam
membimbing  AS  yaitu  selain  berperan  sebagai  orangtua  yang mendidik  dan  memberi  teladan,  kedua  orangtuanya  bersikap
112
sebagaimana  teman.  AS  menilai  bahwa  sang  ayah  memiliki  sifat lebih  pendiam  daripada  ibu,  hal  ini  karena  menurut  AS  profesi
ayahnya sebagai seorang polisi. Namun sikap ayah yang pendiam, justru  mengajarkan  banyak  hal  kepada  subjek.  AS  banyak  belajar
dari  sikap  dan  tindakan  ayahnya.  Prinsip  ayah  yang  selalu  diingat dan  tertanam  dalam  diri  AS
adalah  “ketika  dilahirkan  saya menangis dan orang lain tertawa, sedangkan ketika saya meninggal
oranglain  menangis  sedangkan  saya  tertawa”.  Prinsip  ini mengajarkan  agar  dalam  hidup  kita  harus  senantiasa  berbuat  baik
kepada semua orang tanpa memandang latarbelakang suku, budaya dan lain sebagainya. Selain itu sikap ayah yang sangat menghargai
keputusan  dan  perkembangan  anak  membuat  AS  bangga  terhadap ayahnya.  AS  merasa  bangga  dengan  ayahnya  walaupun  jarang
berkomunikasi  dengan  ayahnya.  AS  juga  menilai  sang  ibu  sangat berperan  besar  dalam  keluarganya.  Walaupun  sikap  ibu  cerewet
namun,  rasa  sayang  ibu  sangat  besar.  Sang  ibu  sangat  mengerti kondisi  AS  dalam  kondisi  apapun  dengan  mengarahkan  anak-
anaknya menjadi pribadi yang lebih dewasa.
113
2  Gambaran  Umum  Mengenai  Kehidupan  Subjek  3  di  Yogyakarta AS
Dalam  relasinya  dengan  teman-teman  maupun  warga setempat,  AS  mengaku  cukup  baik.  AS  berusaha  menjalin  relasi
yang  terbuka  dengan  siapapun  tanpa  memandang  suku  tertentu meskipun  kadang  AS  lupa  dengan  nama  teman-temannya.  Sikap
yang  terbuka  dalam  menjalin  relasi menjadi  prinsipnya  walaupun, saat kecil AS sudah merasakan diskriminasi dari teman-temannya.
Saat  berpindah  dari  Timor  Timur  ke  Flores,  AS  menjalin pertemanannya dengan anak-anak Flores. Saat itu teman-temannya
menganggap  AS  sebagai  pendatang  walaupun  AS  memiliki  darah Flores  dari  ayahnya.  AS  merasa  bingung  harus  memiliki  identitas
budaya  yang  mana.  Pernah  AS  menjadi  korban  pengeroyokan teman-temannya  di  Flores  karena  bukan  orang  Flores.  Saat  AS
mempelajari  bahasa    Manggarai  Flores,  AS  dianggap  tidak  pantas karena pendatang orang Timor-timur.
Saat  berada  di  Timor-timur  AS  melihat  bahwa  orang Timor-timur  pada  saat  itu  menganggap  orang  Indonesia  sebagai
penjajah  atau  dalam  sebutan  mereka  “Javanice”.  Ayahnya  yang adalah  orang  Flores,  pada  saat  tinggal  di  Timor-timur  juga
mendapat  perlakuan  diskriminasi  dari  warga  Timor-timur. Pengalaman  diskriminasi  dan  kondisi  diskriminasi  yang  dialami
114
AS  sejak  kecil  membuatnya  belajar  dewasa  dalam  berelasi khususnya dengan budaya yang berbeda.
Pada  awal  tinggal  di  Yogyakarta,  AS  belajar  untuk menyesuaikan  diri  dengan  budaya  setempat.  Pengalaman
diskriminasi yang terjadi di masa lalu, membuat AS belajar untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta. AS melihat, pada awal tinggal di
kos,  warga  setempat  tidak  begitu  dekat  dengannya.  Karena  jarak dari  kos  ke  kampus  cukup  dekat,  AS  setiap  harinya  berjalan  kaki
ke  kampus.  Dalam  keseharian  itu,  AS  berusaha  tersenyum  dan menyapa  warga  sekitar  yang  dijumpainya.  Sesekali  AS  bersama
bapak-bapak  dan  pemuda  setempat  bermain  pimpong  dan  hal  ini membuat mereka semakin akrab. Perjumpaaan yang intens dengan
warga setempat membuatnya akhirnya merasa diterima. Prinsip AS adalah dimana dia berada disitu dia berbaur dan menyesuaikan diri
dengan senyuman. Hubungan  pertemanan  AS  dengan  dengan  teman-teman
yang  berasal  dari  Flores  cukup  dekat.  AS  mengaku  bahwa kesehariannya  lebih  banyak  dengan  teman-teman  komunitas  San
Egidio.  Komunitas  ini  dominan  beranggotakan  mahasiswa  dari Flores.  Namun  bukan  berarti  kedekatan  dengan  teman-teman
Flores  membuatnya  tidak  menjalin  relasi  yang  hangat  dengan orang Jawa.
115
Hubungan  AS  dengan  teman-teman  dari  suku  lain  juga baik.  Di  kampus  banyak  teman-temannya  yang  berasal  dari  suku
dan  daerah  di  luar  pulau  Jawa.  AS  menjaga  kedekatan  diantara pertemanannya  dengan  baik  termasuk  dengan  teman-teman  yang
berasal  dari  Jawa.  Hingga  temannya  yang  dulunya  adalah  musuh, sekarang berteman sangat baik dengannya.
3  Pandangan  Subjek  3  Mengenai  Kekerasan  Etnis  di  Yogyakarta AS
a  Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis AS  melihat  bahwa  kekerasan  antar  etnis  yang  sering
terjadi  karena  kurangnya  pemahaman  orang  Jawa  setempat maupun  orang  Timur  dalam  melihat  kedua  latarbelakang
budaya  yang  berbeda.  Misalnya  orang  Jawa  melihat  bahwa orang  Timur  memiliki  raut  wajah  yang  menunjukan  orang
Timur  sebagai  orang  keras,  emosian,  dan  suka  marah.  Namun pada kenyataannya dibalik wajah  yang  garang, hatinya lembut
dan  baik.  Pada  umumnya  orang  Timur  memiliki  hati  yang lembut karena kedekatan mereka sangat kuat dengan sosok ibu.
Sehingga  sifat  mereka  sebenarnya  berperasaan.  Kelemahan orang  Timur  berada  di  hati  mereka.  Akhirnya  karena  salah
persepsi dari warga setempat, kebiasaan-kebiasaan orang Timur
116
dibawa  ke  Yogyakarta  seperti  mabuk-mabukan  dan  sebainya. Namun  sebenarnya  di  Yogya,  orang  Timurlah  yang  harus
menyesuaikan  diri  terlebih  dahulu  dan  mengikuti  aturan setempat. Bukan menuntut orang Jawa yang harus berubah.
4  Pengalaman  Diskriminasi  dan  Kekerasan  yang  Dialami  Subjek  3 serta Dampak Psikologis AS
Perbedaan antara individu  dapat  menimbulkan  diskriminsi. Diskriminasi  ada  pada  setiap  individu  misalnya  berbeda  rambut,
kulit,  kepribadian  semuanya  dapat  menimbulkan  diskriminasi. Namun  yang  terpenting  melihat  apa  kesamaan  bukan  perbedaan.
Ketika orang melihat perbedaan disitulah diskriminasi. Perasaan  yang  dirasakan  AS  saat  terjadi  diskriminasi  bagi
dirinya  maupun  teman-teman  yang  berasal  dari  Timur  adalah perasaan  sakit,  sedih,  cemas,  tertekan,  tidak  bebas.  Apalagi  saat
timbul kekerasan atau keributan yang dilakukan oleh orang  Timur perasaan-perasaan  tersebut  menghantui.  Perasaan  malu  ketika
orang  Timur  menjadi  pelaku  keributan  juga  dirasakan  oleh  AS. Namun  AS  menyadari  bahwa  orang  Timur  juga  memiliki
kesalahan  dengan  membuat  keributan  di  Yogya.  AS  tidak  ingin perasaan sakit dan sedih mengalahkan dan mengendalikan dirinya.
Sebagai  orang  Timur,  kita  harus  tahu  diri  tinggal  di  tanah  orang.
117
Misalnya  jika  mengonsumsi  minum-minuman  keras,  sebaiknya  di dalam  kamar  bukan  di  luar  rumah  yang  akhirnya  dapat  memicu
timbulnya  kekerasan.  Bila  perlu  kebiasaan  minum-minuman beralkohol  dihilangkan.  AS  tidak  dapat  mengubah  pandangan
karena memang sebagai orang Timur kita juga tidak menyesuaikan diri dengan baik. Sekarang sikap positif itu yang harus dibangun.
Pengaruh  kekerasan  yang  berdampak  pada  kondisi psikologis AS, mempengaruhi dirinya dalam menjalani pendidikan
di  Yogyakarta.  Misalnya  studinya  menjadi  lama.  Karena  perasaan tidak tenang dan bebas di Yogyakarta menghantuinya.
5  Upaya  Subjek  3  dalam  Membentuk  Pandangan  Positif  Warga Yogya AS
Sebagai  orang  Timur,  AS  menunjukan  sikap  yang  positif dalam  berelasi  kepada  warga  Jawa  lewat  tindakan.  Misalnya  AS
memberikan senyuman,
sapaan dan
memulai dalam
berkomunikasi. Kebiasaan yang baik akan dilihat oleh orang Jawa dan  mereka  juga  akan  menilai  secara  positif  sikap  kita.  Sikap  ini
juga sebagai bentuk teladan saat AS bersama dengan teman-teman yang berasal dari Timur.
Dalam  komunitas  San  Egidio,  AS  memberikan  pelayanan kepada  anak-anak  jalanan.  Dari  pelayanan  tersebut,  AS  belajar
118
membuka diri tanpa memandang apapun. Perubahan diri dan upaya untuk melayani anak-anak jalanan sebagai bentuk kesaksian hidup
bahwa AS sebagai orang Timur memiliki semangat untuk melayani anak-anak  yang  berasal  dari  Jawa  tanpa  memandang  perbedaan
yang  ada.  Sikap  tulus  untuk  membuka  diri  dan  membantu  warga dan  anak-anak  jalanan  merupakan  pelayanan  kita  sebagai  satu
saudara. Ketika kita merasa bahwa semua adalah saudara, tidak ada lagi perbedaan dimata kita.
Dari  kejadian-kejadian  diskriminasi  yang  terjadi  kepada orang  Timur,  AS  mengikuti  komunitas  San  Egidio.  Dalam
komunitas  ini,  AS  mencoba  melayani  anak-anak,  para  lansia  dan orang-orang  yang  tidak  diterima  di  masyarakat.  AS  belajar  untuk
mensyukuri  hidup.  Rasa  syukur  itu  timbul  karena  AS  menyadari bahwa  masih  banyak  orang  yang  hidup  dalam  kesusahan  namun
mereka  masih  bisa  berdiri  dan  tersenyum.  Anak-anak  di  jalanan, kakek  nenek  lansia  yang  menerima  AS  sebagai  saudara  tanpa
memandang  perbedaan  membuat  AS  belajar  akan  Kasih.  Hal  ini menguatkan  AS  meskipun  dia  adalah  minoritas.  Bersama  teman-
teman  komunitas,  AS  belajar  arti  kasih,  dan  pluralitas  harus ditegakan.  Agar  Yogyakarta  menjadi  rumah  bagi  siapapun  yang
datang.
119
6  Harapan Subjek 3 Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AS
Harapan  AS  tinggal  di  Yogyakarta  adalah  ingin  agar  kota ini  dapat  menjadi  rumah  bagi  siapapun  yang  datang.  Dengan
menjadi  rumah  kita  dapat  menjadi  saudara.  Sehingga  kemanapun AS berada, perasaan nyaman itu yang dirasakan.
c. Hasil Observasi
AS  merupakan  seorang  remaja  Putra  asal  Flores  yang  tampak ramah dan murah senyum, cukup hangat, dengan kulit berwarna sawo
matang, rambut keriting.  AS memiliki postur tubuh  yang tidak terlalu tinggi, dan kurus. Pada saat dijumpai di rumah komunitas San Egidio,
AS memiliki penampilan sangat sederhana dengan mengenakan celana pendek  dan  kaos  oblong.  Sebelumnya  AS  membersihkan  halaman
sehingga  penampilan  sederhana  yang  tampak.  AS  memiliki  tutur  kata yang  sopan  namun  kadang  intonasinya  tinggi.  Selama  wawancara,
pakaiaan  yang  dikenakan  adalah  pakaiaan  saat  dia  bekerja.  Karena peneliti sudah cukup lama mengenal subjek, kedekatan yang dirasakan
cukup  kental  antara  subjek  dan  peneliti.  Hal  ini  yang  membuat  AS terbuka dan tidak canggung ketika menjawab pertanyaan dari subjek.
Wawancara  dilakukan  selama  dua  kali.  Wawancara  pertama dilakukan  tanggal  4  Juli  2014  pukul  17.30  sampai  pukul  18.30  WIB.
120
Sedangkan  wawancara  kedua  berlangsung  pada  tanggal  8  Juli  2014 pukul  19.00  hingga  19.30  WIB.  Wawancara  dilakukan  sebanyak  dua
kali  karena  peneliti  merasa  masih  ada  data-data  yang  kurang.  Kedua proses  wawancara  dilakukan  di  rumah  komunitas  komunitas  San
Egidio Seturan Wawancara pertama dan kedua dilakukan di  di ruang tamu
rumah  komunitas.  Saat  wawancara  pertama  tampak  suasana  sedang sepi karena anggota komunitas lainnya sedang berada di kos-kosannya
masing-masing. AS dan peneliti duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah meja. Di atas meja itu peneliti meletakan sebuah alat perekam,
sebuah  pulpen  dan  kertas  untuk  mencatat.  Pada  akhir-akhir wawancara,  AS  mengajak  subjek  untuk  melanjutkan  wawancara  di
taman  depan  karena  sekitar  jam  19.00  WIB  akan  diadakan  doa  rutin komunitas. Saat itu sudah menunjukan pukul 18.20 WIB.
Secara  proses  wawancara,  Alo  tampak cukup  antusias.  Hal ini tampak dari jawaban-jawaban AS yang lancar. Namun ketika diberikan
pertanyaan-pertanyaan  wawancara,  yang  berkaitan  dengan  kekerasan AS  tampak  memberikan  jawaban  yang  bertele-tele.  Selain  itu  selama
proses  wawancara  AS  tampak  menyimak  dengan  seksama.  Kadang tampak  dahinya  di  kerutkan  dan  matanya  semakin  fokus  menyimak.
Selama  proses  wawancara  kaki  AS  disilakan  di  atas  bangku.  AS menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat seksama walaupun
121
ada yang diulang-ulang. Selain itu, jawaban yang diberikan AS tampak serius  dan  sungguh-sungguh  sehingga  tidak  tampak  kesan  asal-asalan
dalam  menjawab.  Sesekali  dalam  menjawab  AS  tampak  tersenyum atau  ketawa.  Namun  secara  keseluruhan  proses  wawancara,  Yosi
menjalaninya dengan lancar tampa hambatan.
4. Subjek 4
a.  Identitas Nama
: MR Jenis Kelamin
: Laki-laki Tempat Tanggal Lahir
: Bajawa, 15 Agustus 1991 Usia
: 23 tahun Pendidikan Terakhir
: SMA Urutan Kelahiran
: Anak ke-tiga dari tiga bersaudara Status
: Mahasiswa Hobi
: Bermain sepakbola, berorganisasi
b.  Hasil Wawancara 1  Deskripsi Subjek
Subjek  keempat  berinisial  MR.  MR  dilahirkan  dari orangtua  yang berasal dari suku  Bajawa Flores.  Ayah MR berasal
dari  Flores  Bajawa  dan  ibunya  juga  berasal  dari  Bajawa,  sebuah
122
daerah  yang  berada  di  tengah-tengah  pulau  Flores.  Keluarga  MR beragama  Katolik.  Pekerjaan  dari  ayah  adalah  sebagai  Pegawai
Negeri Swasta  yang sekarang telah pensiun di Bajawa. Sedangkan ibu  adalah  seorang  ibu  rumah  tangga  yang  sekarang  telah
almarhumah.  Selain  itu,  status  ekonominya  termasuk  dalam golongan  menengah.  Dalam  keluarganya,  MR  merupakan  anak
bungsu dari tiga bersaudara. Ayah, dan kedua saudaranya berada di Bajawa. Kedua kakaknya telah berkeluarga dan sedang berkerja di
Bajawa. MR  memiliki  hubungan  yang  cukup  baik  dengan
keluarganya.  Dalam  menjalin  relasi  dengan  keluarganya,  MR berkomunikasi lewat telephone. Saat ini ayahnya merupakan single
parent  karena  sang  ibu  telah  meninggal  dunia.  Kedekatannya dengan  saudara-saudaranya  cukup  dekat  walaupun  saat  ini
saudaranya telah bekerja dan berkeluarga.
2  Gambaran  Umum  Mengenai  Kehidupan  Subjek  3  di  Yogyakarta AS
Relasi  MR  dengan  teman-teman  dari  budaya  Flores  yang tinggal di Yogyakarta cukup dekat, walaupun MR  jarang berjumpa
dengan mereka. Hal ini karena aktifitas MR lebih banyak melayani di komunitas San Egidio.  Kalaupun berjumpa, MR tetap menyapa
123
dan menegur mereka. Karena mereka telah mengetahui bahwa MR dari Flores dan termasuk lama tinggal di Yogyakarta maka, kadang
adik-adik  mahasiswa  baru  datang  berkunjung  padanya  dan menyapa terlebih dahulu. MR jarang berelasi dengan mereka  juga
dikarenakan,  karena  MR  berpikir  bahwa  sudah  saatnya  adik-adik dari  Flores  membangun  relasi  tidak  hanya  dengan  teman-teman
satu  suku  melainkan  berbaur  dengan  warga  maupun  mahasiswa- mahasiswa dari Jawa. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara
lebih  dekat  keberagaman  dimana  sikap  saling  menghargai  itu dirasakan  oleh  adik-adik  dari  Flores.  Namun  bukan  berarti  MR
menutup  diri  terhadap  adik-adik  Flores.  Perjumpaan  dengan saudara-saudara  dari  Flores  sebagai  bentuk  jalinan  relasi  yang
mengingatkannya  akan  tanah  kelahiran  sehingga  membuatnya tidak lupa dengan keluarganya di Flores.
3  Pandangan Subjek 4 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta M a  Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis
Sebagai mahasiswa  yang tinggal di Yogyakarta hampir sebelas  tahun,  membuat  MR  memandang  bahwa  Yogyakarta
adalah kota yang memiliki predikat yang cukup baik dalam hal keberagaman dan Pluralitas. Dengan beraneka budaya dan suku
dari  para  mahasiswa  yang  ada  di  Yogyakarta,  membuatnya
124
memberikan  rasa  salut  terhadap  kota  Yogya.  Setiap  suku, budaya  dan  agama  ada  di  kota  Yogyakarta  dan  setiap  orang
saling menghargai keberagaman tersebut. Namun menurut MR, memang  ada  beberapa  kelompok  yang  menjadi  provokator
dibalik  kekerasan  yang  terjadi.  Pada  tahun-tahun  2012  ke bawah,  ada  kasus-kasus  kekerasan  yang  terjadi  namun  tidak
mencuat  seperti  saat ini.  Misalnya  saja  kasus  di  LP  Cebongan dan
pembunuhan-pembunuhan yang
pemberitaannya mengangkat  etnis,  agama  tertentu  sebagai  biang  kerok.  Tahun
2013  dan  2014  Yogyakarta  tampak  keluar  dari  simbol keberagaman  karena  kasus-kasus  kekerasan  etnis.  Penerimaan
masyarakat  masih  ada,  namun  mereka  tidak  sepenuhnya menerima.
Menurut  MR,  penyebab  timbulnya  konflik  dan kekerasan  adalah  cukup  banyaknya  mahasiswa  Timur  yang
kuliah  di  Yogyakarta.  Bervariatifnya  mahasiswa  Timur, membuat  sulit  dilakukan  kontrol  terhadap  mereka.  Selain  itu
mahasiswa-mahasiswa  Timur  merasa  memiliki  kekuatan tinggal di tempat rantauaannya karena semakin banyak teman-
teman  satu  daerah  yang  kuliah  di  Yogyakarta.  Kadang pandangan  negatif  yang  orang  Jawa  berikan  membuat  MR
merasa  sedih.  Namun  pandangan  itu  harus  kita  terima  sebagai
125
bentuk  bahan  introspeksi  diri  untuk  berubah.  Orang  Timur telah melewati batas-batas toleransi yang diberikan oleh orang-
orang Yogya walaupun tidak semua masalah muncul dari orang Timur, ada juga dilakukan oleh orang setempat.
Secara  budaya  antara  orang  Timur  dan  Jawa  cukup berbeda.  Orang  Timur  tidak  terlalu  suka  diatur  dengan  aturan
yang  ketat  atau  ditegur  secara  berulang-ulang.  Misalnya  ada teman  dari  daerah  yang  datang  kemudian  kami  kumpul  dan
minum-minum. Ini
merupakan budaya
Timur dalam
menyambut  teman  dengan  berkumpul  dan  minum.  Saat lingkungan  warga  setempat  merasa  terusik,  mereka  menegur.
Kami  yang  memiliki  teman  yang  berasal  dari  Timur  merasa tidak  enak  bukan  hanya  kepada  masyarakat,  namun  lebih
kepada teman yang datang berkunjung. Hal ini mengakibatkan konflik  dan  perdebatan  antara  orang  Timur  dan  warga
setempat.  Masalah  yang  mendasari  timbulnya  konflik  ini karena  komunikasi  dimana  orang  Jawa  tidak  mengerti  budaya
dari  Timur,  dan  orang  Timur  merasa  tidak  dihargai  dan  tidak tahu bersikap di budaya Jawa.
MR  pernah  menyatakan  kepada  teman-temannya  yang berasal  dari  Jawa  bahwa,  kami  memang  dibentuk  dari  budaya
yang  berbeda  sehingga  kami  minta  maaf  jika  mengganggu
126
kenyamanan  warga  setempat.  Namun  bukan  karena  masalah perbedaan itu kami dibenci. Orang Timur sebenarnya tidak tahu
bagaimana  caranya  bersikap  di  budaya  Jawa  yang  berbeda. Karena  tidak  baik  juga  jika  yang  menjadi  sasaran  kebencian
orang  Jawa  adalah  mereka  mahasiswa  yang  baru  kuliah  di Yogyakarta dan tidak tahu menahu soal kekerasan dan konflik
di  Yogyakarta.  Mungkin  kebiasaan  di  Timur  masih  melekat dalam diri mereka dan mereka tidak dapat disalahkan. Mungkin
orang Timur butuh waktu dan proses untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta.
Satu-satunya cara
yang harus
dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa dari Timur adalah keluar dari kelompok budaya  eksklusif  dan  membaur  dengan  masyarakat  dan
budaya setempat inklusif. Tujuannya dapat menyesuaikan diri dengan  lingkungan  setempat  tanpa  menghilangkan  budaya
yang telah dianut sejak kecil. Contohnya mahasiswa-mahasiswi asal  Indonesia  Timur  yang  dulu  kakak  dan  om  kuliah  di
Yogya  membuat  banyak  program  dari  organisasinya  yang melibatkan  warga  maupun  orang  Jawa  setempat.  Akhirnya
mahasiswa  Timur  yang  dulu  dapat  memahami  karakter  orang Jawa  setempat  dan  budaya  setempat  yang  dianut.  Selain  itu,
antara senior dari beberapa budaya di Flores, saat itu memiliki
127
kedekatan  yang  erat.  Saat  ini,  antara  senior  kurang  memiliki kedekatan. Sehingga jika ada konflik tidak dibicarakan terlebih
dahulu  dan  kekerasan  menjadi  solusi  akhir.  Sebagai  kakak senior,  MR  berusaha  memberitahukan  kepada  adik-adik  dari
Timur  untuk  membangun  relasi  dengan  teman-teman  dari budaya yang berbeda atau dengan warga masysrakat setempat.
4  Pengalaman  Diskriminasi  dan  Kekerasan  yang  Dialami  Subjek  4 serta Dampak Psikologis MR
Melihat  diskriminasi  dan  kekerasan  yang  terjadi  di Yogyakarta  membuat  MR  tidak  sepenuhnya  menyalahkan
pandangan  warga  setempat.  Yang  pertama  dilakukan  oleh  MR adalah  mengoreksi  diri  bahwa  pandangan  dari  warga  Jawa
sebenarnya  menjadi  bahan  refleksi  bagi  mahasiswa  Timur  yang kuliah  di  Yogyakarta.  Sebenarnya  orang  Timur  harus  berubah.
Sebenarnya konflik dan kekerasan antar etnis terjadi karena orang setempat  tidak  dapat  membendung  lagi  kesabaran  mereka  yang
selama  ini  mereka  tahan.  Mereka  sebenarnya  telah  sabar memaklumi  keributan-keributan  yang  selama  ini  dilakukan  oleh
beberapa  orang  Timur.  Namun  orang-orang  yang  melakukan kekerasan  merasa  bahwa  orang  Jawa  akan  mengerti  dan
memaklumi kekerasan yang orang Timur lakukan. Sehingga orang
128
Timur  merasa  melunjak,  bebas  dan  tidak  berhenti  membuat keributan  di  Yogyakarta.  Misalnya  ada  beberapa  kasus  dimana
orang  Jawa  setempat  menjadi  korban  kekerasan  dan  mereka memakluminya.  Hari  berikutnya  kekerasan  dilakukan  lagi  oleh
orang  Timur  hingga  seterusnya.  Sikap  kesabaran  yang  selama  ini dirasakan  oleh  Jawa  tidak  terbendung  lagi  dan  akhirnya  timbul
diskriminasi  dan  kekerasan  juga  dari  beberapa  orang  Jawa. Pandangan  yang  diberikan  oleh  orang  Jawa  bahwa  orang  Timur
sebagai pembuat keributan adalah wajar. MR  memiliki  beberapa  pengalaman  diskriminasi  pasca
kasus  Cebongan  terjadi.  Pada  saat  itu  MR  hendak  mencari  kos. Saat  menemukan  kos  yang  kosong  MR  bernegosiasi  dengan
pemilik  kos.  Saat  bertanya  tentang  kos,  pemilik  kos  mengatakan bahwa  kosnya  telah  penuh.  MR  berusaha  mengklarifikasikan
pemilik  kos  bahwa  di  luar  terpampang  pemberitahuan  menerima kos  putra  namun  kenapa  dia  tidak  diterima.  Pemilik  kos
mengatakan  kebetulan  kamar  tersebut  baru  dipesan,  dan  ada keluarga yang mau tempati dengan berbagai alasan agar MR tidak
menempati  kamar  tersebut.  MR  seketika  menanyakan  apa  yang membuat  saya  tidak  diterima  di  sini.  Pemilik  kos  menjawab
“mungkin  karena  masalah  Cebongan”.  MR  ingin  menjelaskan, namun  pemilik  kos  langsung  mengatakan  bahwa  tidak  punya
129
waktu.  MR  merasa  kecewa  dengan  sikap  dari  pemilik  kos  yang memberikan  stigma  dan  pandangan  negatif  namun  dia  berusaha
menerima. Peran  media
juga terlalu
membesar-besarkan pemberitaan  bahwa  orang  etnis  atau  suku  tertentu  dalam  hal  ini
Papua,  NTT,  Ambon  dan  sebainya  menjadi  biang  kerok  dari masalah kekerasan etnis di Yogya. Padahal sebenarnya yang harus
diangkat adalah orangnya atau individu yang melakukan kekerasan bukan budaya atau sukunya. Suku dan budaya tidak bersalah yang
bersalah  adalah  individunya.  Sehingga  peran  media  cukup  besar dalam  menimbulkan  konflik  dan  pandangan  negatif  dari  warga
Jawa terhadap masyarakat NTT secara umum. cemas  dan  takut  juga  dirasakan  oleh  MR  tinggal  di
Yogyakarta.  MR  merasa  takut  jika  menjadi  sasaran  amarah  dari masyarakat Yogyakarta. Saat berkendara motor MR takut dihakimi
dan  dipukul  oleh  warga  Yogya.  MR  mengaku  takut  saat  keluar malam.  Apalagi  para  korban  kekerasan  Cebongan  merupakan
kenalan  MR  yang  pernah  berjumpa  dengan  MR.  Perasaan  cemas juga dirasakan MR kepada adik-adik mahasiswa baru yang datang
di Yogyakarta dan menjadi korban kekerasan atau diskriminasi dari orang Jawa setempat. MR berpikir dia saja yang telah lama tinggal
di Yogya memiliki masalah seperti ketakutan dan kecemasan tadi, apalagi adik-adik mahasiswa baru yang tidak tahu apa-apa menjadi
130
korban.  Ada  kepedualian  yang  dirasakan  MR  kepada  adik-adik yang baru kuliah di Yogyakarta. Hal ini terbukti saat adik-adik kos
mau  mencari  kos-kosan  mereka  mendapat  kos-kosan  yang kebetulan  kenalan  dari  teman-teman  mereka.  Untuk  memperoleh
kos-kosan saja sulit bagi mahasiswa NTT. Pada awal-awal masuk kuliah, MR pernah menjadi korban
salah pembacokan oleh enam orang mahasiswa NNT. Saat itu MR ditelephone  oleh  teman-temannya  yang  sedang  berselisih  dengan
warga NTT lain. MR yang ditelephone merasa ingin menenangkan dan  membantu  mereka  yang  ketakutan.  Bukannya  membantu
menenangkan teman-temannya,
malah menjadi
korban pembacokan  yang  sebenarnya  bukan  ditujukan  padanya.  Saat  itu
MR  mendapat  dua  luka  bacokan  di  punggung  dan  harus  dirawat dirumah  sakit.  Pengalaman  itu  membuatnya  trauma  dan  akhirnya
cuti  kuliah  selama  tiga  tahun.  Sehingga  saat  ini  baru  bisa melanjutkan kuliahnya lagi. Hal ini menjadi pelajaran bagi korban
untuk  tidak  terburu-buru  dalam  mengambil  keputusan  dan  juga tidak  sepenuhnya  member  kepercayaan  kepada  teman-teman  dari
satu  daerah.  Karena  antar  daerah  juga  bisa  terjadi  konflik  dan kekerasan. Selain itu, tidak semua masalah bisa dilakukan melalui
kekerasan.  Pada  saat  itu  orangtua  MR  marah  dan  kecewa  dengan musibah  yang  dialaminya.  Untung  sang  ibu  sangat  memahami
131
kondisi yang dialami ibu. “mungkin Tuhan memberi pembelajaran
dalam  hidupmu,  bahwa  tidak  selamanya  hidup  berjalan  mulus. Setelah  kejadian  pembacokan,  sebulan  kemudian  ibu  MR
meninggal  dunia.  MR  merasa  terpukul  sekali  dengan  musibah beruntun  yang  dia  alami  dan  membuatnya  tidak  bisa  menerima.
Pada  saat  itu  MR  tidak  bebas,  tidak  dapat  menyalurkan  hobi bermain bola, atau berorganisasi yang mana hal itu sangat digemari
olehnya.  MR  merasa  stress  karena  tidak  bebas  bergerak  dan beraktifitas  seperti  biasanya.  Dampak  kekerasan  member  dampak
yang sangat berat. Semuanya akhirnya menjadi pembelajaran bagi MR untuk lebih tenang dalam menghadapi segala macam hal, dan
memaafkan  oranglain.  Kasus  ini  pernah  dibawa  hingga  ke pengadilan.  Namun  MR  tidak  melanjutkan  karena  dia  berjanji
untuk  tidak  membalas  kejadian  itu  kepada  pelakunya.  Saat berjumpa  dengan  para  pelaku  kekerasan,  MR  menunjukan  sikap
yang  ramah  dengan  menegur.  Namun  karena  merasa  malu kepadanya,  mereka  akhirnya  menghindar  darinya  hingga  saat  ini.
Bukan  dengan  kekerasan  untuk  membalas  namun  dengan  kasih cara  terbaik  untuk  membalasnya.  Walaupun  orang  menganggap
pengalaman itu
adalah pengalaman
paling sial,
MR mengganggapnya  sebagai  pengalaman  paling  berharga  saat
berhadapan  dengan  kematian.  Semuanya  mengajarkan  banyak  hal
132
positif  hingga  saat  ini  MR  menjadi  sangat  kuat  menerima  semua kondisi  berat  yang  dialami  walaupun  secara  manusiawi  dia  tetap
sedih. Kadang ada rasa kangen dengan almarhum ibunya dan tidak terima dengan pengalaman tersebut. Hingga saat ini MR merasakan
hal itu saat-saat sendiri.
5  Upaya  Subjek  4  dalam  Membentuk  Pandangan  Positif  Warga Yogya MR
Upaya-upaya  yang  dilakukan  oleh  MR  dalam  membentuk pemikiran  positif  dan  menjadi  contoh  bagi  adik-adik  mahasiswa
baru  adalah  melayani  di  komunitas  San  Egidio.  Pelayanan- pelayanan  yang  dilakukan  bersama  komunitas  mungkin  di  zaman
ini tidak popular di mata teman-teman mahasiswa. Namun melaui pelayanan ini sekaligus menjadi kesaksian bagi warga Jawa bahwa
MR  memiliki  kepedulian  kepada  anak-anak  jalanan,  orang-orang yang  membutuhkan  bantuan,  kaum  marginal  dan  para  lansia.
Melalui  pelayanan  tersebut,  MR  merasa  dikuatkan  dengan keberadaan  mereka.  Sudah  tidak  ada  perbedaan  lagi  diantara  MR
dengan  mereka.  Yang  ada  adalah  perasaan  sebagai  satu  saudara. Selain  itu,  pelayanan  ini  menjadi  kesaksian  bagi  adik-adik
mahasiswa  baru  untuk  membangun  sikap  toleransi  diantara siapapun  baik  itu  dari  suku,  budaya,  agama  yang  berbeda.  MR
133
belajar  bahwa  orang  miskin  tidak  hanya  dilihat  dari  harta  dan kekayaan,  namun  miskin  bisa  dalam  bentuk  perhatian,  kasih
sayang,  pelukan  dan  sebagainya.  Hal  ini  yang  membuat  MR melihat  bahwa  setiap  orang  pasti  membutuhkan  oranglain.  Setiap
individu  tidak  dapat  hidup  sendiri  tanpa  individu  lain.  Dengan kesaksian  itu,  orang-orang  yang  dilayani  memberi  kesan  bahwa
orang  Timur  atau  Flores  ternyata  tidak  seperti  yang  dipikirkan. Mereka juga memiliki hati untuk saling membantu dan menolong.
Seorang pemuda jalanan pernah menayakan “mengapa kalian mau m
embantu  kami?”.  MR  menjawab  “karena  saya  melihat  kalian sebagai  saudara”.  MR  sering  menasehati  adik-adik  dari  Timur
bahwa  tinggal  di  Yogya  bukan  sekedar  untuk  kuliah  dan  pandai secara  teori,  namun  juga  harus  pandai  dalam  membangun  relasi
sosial dengan siapapun bukan hanya dari teman-teman satu budaya. Nasehat  yang  diberikan  MR  bukan  sebagai  suatu  paksaan  namun
pilihan. Yang terpenting baginya adalah contoh dan teladan melalui tindakan.
Sebagai  orang  Timur  kita  juga  memiliki  tugas  untuk menjelaskan  lewat  kegiatan-kegiatan  positif  yang  sifatnya
membangun kebersamaan antar budaya, misalnya melakukan bakti sosial,  pentas  budaya  dan  lain-lain.  Kegiatan-kegiatan  positif  ini
sebenarnya  dulu  pernah  dilakukan  para  mahasiswa  dari  Timur,
134
namun  sekarang  telah  pudar.  Kegiatan  ini  bertujuan  untuk membangun  relasi  yang  baik  antara  mahasiswa  Timur  dengan
warga  setempat  agar  Timur  rasa  persaudaraan  yang  erat.  Namun saat ini yang terjadi, suatu masalah diselesaikan dengan kekerasan
bukan  dengan  dialog  atau  diskusi.  Hal  ini  yang  dirasakan  hilang dari mahasiswa-mahasiswa asal Timur.
6  Harapan Subjek 4 Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AS
Harapan MR adalah saudara-saudara dari Timur dapat sadar bahwa  kita  tinggal  di  tanah  orang  harus  menunjukan  sikap  sopan
dan tahu diri ditempat rantauaan. Sikap ini ditunjukan melaui sikap positif  dan  baik  dengan  warga  Yogyakarta  bentuk  bergaul,
menjalin  relasi,  senyum,  menyapa,  menerima  aturan  maupun budaya setempat dan berbaur dengan warga Jawa. Jika sikap positif
kita bangun, orang warga Yogyakarta akan bersikap positif dengan kita.  Selain  itu  prestasi  dalam  kuliah  dan  talenta  yang  dimiliki
harus  harus  tampak  dalam  diri  mahasiswa-mahasiswa  Timur khususnya  NTT.  Tujuannya  agar  kita  dapat  dihargai  oleh  orang
Jawa  setempat  bukan  dengan  kekerasan  namun  lewat  kualitas hidup.  Sehingga  kekeluargaan  antara  mahasiswa  NTT  dan  warga
Yogyakarta dapat erat.
135
c.  Hasil Observasi MR  merupakan  seorang  remaja  Putra  asal  Flores  yang  senang
berbicara,  perawakan  tegas,  namun  cukup  hangat,  dengan  kulit berwarna  gelap,  rambut  keriting.  MR  memiliki  postur  tubuh  yang
sedang, dan sangat kurus. Pada saat dijumpai di rumah komunitas San Egidio,  MR  memiliki  penampilan  yang  santai  dengan  mengenakan
celana  panjang  jeans  dan  kaos  oblong  berwarna  hitam.  Wawancara dengan  MR  dilakukan  setelah  peneliti  melakukan  wawancara  dengan
subjek  ketiga  AS.  Setelah  melakukan  wawancara  dengan  subjek ketiga,  peneliti  menunggu  menunggu  MR  yang  saat  itu  masih  di
tempat  kosnya.  Kira-kira  setengah  jam  kemudian,  Mario  datang diboncengi teman kosnya.
Wawancara  dilakukan  di  rumah  komunitas  San  Egidio. Wawancara dilakukan selama dua kali yaitu tanggal 13 Juli 2014 pada
pukul 19.30 hingga 20.15 WIB dan wawancara kedua dilakukan pada tanggal 19 Juli pada pukul 19.00 WIB hingga 19.30 WIB. Wawancara
dilakukan  sebanyak  dua  kali  karena  peneliti  merasa  masih  ada  data- data yang kurang.
Saat kedua wawancara berlangsung,  MR dan peneliti duduk di taman.  Pada  saat  itu  wawancara  berlangsung  di  malam  hari  dengan
kondisi  taman  cukup  terang  dengan  adanya  lampu  taman.  MR  dan peneliti duduk berhadapan tanpa ada meja. Hal ini karena wawancara
136
dilakukan  di  taman.  Peneliti  memegang  alat  perekam  di  tangan  kiri sambil  memangku  buku  dan  tangan  kanan  memegang  pulpen  untuk
menulis.  Pada  awalnya  peneliti  cukup  berhati-hati  dalam  memberi pertanyaan,  karena  belum  mengenal  subjek  sebelumnya.  Namun
setelah menjalin komunikasi, tampak subjek ramah. Selama proses wawancara, MR tampak cukup antusias. Hal ini
tampak dari jawaban-jawaban MR yang lancar dan bervariatif. Namun kadang  ketika  diberikan  pertanyaan-pertanyaan  wawancara,  MR
menjawabnya  dengan  bertele-tele  dan  sesekali  mengulang  jawaban yang sama. Selama proses wawancara  MR tampak menyimak dengan
seksama. Kadang tampak dahinya di kerutkan, matanya semakin fokus menyimak, dan tangannya diayun-ayunkan. Selama proses wawancara
MR  menjawab  dengan  cepat,  dikarenakan  gaya  berbicaranya  yang cepat.  MR  menjawab  semua  pertanyaan  peneliti  dengan  sangat
seksama  walaupun  ada  yang  diulang-ulang.  Selain  itu,  jawaban  yang diberikan  MR  tampak  serius  dan  sungguh-sungguh  sehingga  tidak
tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab MR  tampak  tersenyum  atau  ketawa.  Secara  keseluruhan  proses
wawancara, MR menjalaninya dengan lancar tanpa hambatan.
137
                