Deskripsi Tema HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
                                                                                142
subjek III, AS
“Sikap kesabaran yang selama ini dirasakan oleh Jawa tidak terbendung  lagi  dan  akhirnya  timbul  diskriminasi  dan
kekerasan juga dari beberapa orang Jawa. ” III.no.46-52
b.  Perbedaan Budaya Perbedaan
budaya menjadi
salah satu
faktor yang
mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis di Yogyakarta. Berdasarkan data  yang  didapatkan  dari  subjek  kedua  YD,  perbedaan  pada
kebiasaan berbicara misalnya orang Timur berbicara dengan nada yang tinggi  dan  keras  sementara  pada  orang  Jawa  memiliki  nada  berbicara
yang  halus  dan  sopan.  Perbedaan  pada  gaya  berbicara  antara  dua budaya ini dapat menimbulkan konflik. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut: Subjek II, YD
“…nada berbicara orang papua tinggi dan kasar sedangkan orang jawa halus. Teman-teman saya kadang kaget jika ada
anak papua yang berbicara.” II.no.52-57
Selain  kebiasaan  pada  nada  dan  gaya  berbicara,  konflik  dan kekerasan  dapat  terjadi  karena  kebiasaan  saat  berkumpul  dengan
kerabat  atau  teman-teman.  Saat  berkumpul  dengan  teman-teman  asal satu  daerah,  mahasiswa  asal  Indonesia  Timur  yang  berada  di
Yogyakarta juga mengkonsumsi minuman beralkohol hingga akhirnya menimbulkan kondisi mabuk. Dalam kondisi mabuk, suasana menjadi
143
ramai dan tidak jarang menimbulkan keributan. Hal ini sesuai dengan kutipan pernyataan dari subjek ketiga AS:
Subjek III, AS
“...konflik  dan  kekerasan  di  Yogya  itu  dikarenakan  orang Jawa  dan  orang  Timur  belum  saling  kenal.  Orang  Timur
kalau  berkumpul  atau  menyambut  teman  yang  datang dengan cara minum-minuman beralkohol
.” III.no.218-225
faktor lain yang mengakibatkan  konflik dan kekerasan etnis di Yogyakarta  adalah  kebiasaan  mahasiswa  asal  Indonesia  Timur  yang
tidak terlalu memperhatikan peraturan dalam berlalu lintas. Kebiasaan tidak  mengenakan  helm  atau  melengkapi  atribut  kendaraan  seperti
kaca spion da sebagainya masih dibawa di kota Yogyakarta. Akibatnya mahasiswa yang tidak menaati peraturan lalu lintas akan mendapatkan
pengucilan dari lingkungan masyarakat Yogyakarta. Berikut ini adalah pernyataan  dari  subjek  pertama  mengenai  faktor  ketidaktaatan
mahasiswa  Timur  dalam  berlalu  lintas  yang  dapat  memicu  terjadinya pengucilan:
Subjek I, AT
“...Menurut  saya  karena  hal-hal  kecil  seperti  orang  Papua sering tidak menaati lalu  lintas. Akhirnya pandangan orang
setempat  menganggap  rata-rata  orang  T imur  negatif.”
I.no.81-86
c.  Bentrokan Kepentingan Faktor  lain  yang  mengakibatkan  terjadinya  kekerasan  etnis
adalah  bentrokan  kepentingan.  Bentrokan  kepentingan  dialami  oleh
144
subjek  kedua  kedua,  saat  dosen  di  kampus  mengeluarkan  pernyataan yang  bertujuan  memotivasi  para  mahasiswa  lain  namun  dengan
kalimat  remehan  bagi  mahasiswa  asal  Indonesia  Timur.    Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan wawancara subjek kedua di bawah ini:
Subjek II, YD
“...dosen  pembimbing  saat  itu  melihat  nilai  saya memuaskan  dan  dosen  tersebut  menyatakan  bahwa,
“masa anak  Papua  lebih  bisa  dalam  belajar  dari  anak  Jawa
” II.no.138-144
Selain  itu,  biaya  hidup  yang  lebih  murah  dari  biaya  hidup  di daerah  Indonesia  Timur  mengakibatkan  mahasiswa  asal  Indonesia
Timur  menggunakan  uang  pegangan  untuk  bersenang-senang  dan membeli minuman beralkohol.  Berikut ini adalah kutipan dari subjek
kedua: Subjek II, YD
“...Di  papua  biaya  hidup  mahal,  namun  di  Yogya  biaya hidup  murah.  Kebanyakan  anak-anak  Timur  kaget  dengan
uang  banyak  yang  dikirim  dari  orangtua  dan  menggunakan uangnya  untuk  mabuk-mabukan  di  Yogyakarta.
” II.no.38- 46
Peran  media  massa  dalam  meinformasikan  berita  juga mengakibatkan  terjadinya  konflik  dan  kekerasan  di  Yogyakarta.
Informasi dari media massa biasanya memberi penekanan pada budaya dari  individu  yang  melakukan  kekerasan.  Informasi  menjadi
melenceng  dan  warga  Yogya  pada  akhirnya  menyalahkan  kelompok budaya  dari  Indonesia  Timur  bukan  pada  individunya.  Berikut  ini
145
kutipan mengenai peran media yang mengakibatkan terjadinya konflik pada subjek kedua dan keempat:
Subjek II, YD
“...di  media  memberitakan  bahwa  ada  mahasiswa  asal Indonesia  Timur  yang  mabuk  dan  buat  keributan.  Orang
yang mabuk dan membuat  keributan itu  yang harus diadili, bukan mahasiswa Indonesia Timur yang lainnya yang tidak
tahu  menau  tentang  keributan  yang  mereka  lakukan.  Jadi
media juga harus bersikap adil.” II.no.280-292
Subjek IV, MR
“...Peran  media  juga  terlalu  membesar-besarkan pemberitaan bahwa orang etnis atau suku tertentu dalam hal
ini  Papua,  NTT,  Ambon  dan  sebagainya  menjadi  biang kerok  dari  masalah  kekerasan  etnis  di  Yogya.  Padahal
sebenarnya  yang  harus  diangkat  adalah  orangnya  atau individu  yang  melakukan  kekerasan  bukan  budaya  atau
sukunya.” IV.no.108-123
d.  Persaingan Berdasarkan  data  yang  didapatkan,  faktor  persaingan  juga
menjadi salah satu faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik dan kekerasan etnis di Yogyakarta. Persaingan ini meliputi persaingan
budaya dan persaingan ras. Berikut merupakan pernyataan dari subjek ketiga mengenai persaingan yang terjadi:
Subjek III, AS
“...perasaan  bangga  sebagai  tuan  rumah  sangat  besar, sehingga  yang  dilihat  adalah  perbedaan  bukan  persamaan.
Analoginya seperti “saya orang Jogja misalnya memecahkan kaca  milik  saya  tidak  menjadi  masalah,  namun  jika  kamu
sebagai pendatang memecahkan kaca milik saya adalah suatu
146
masalah  besar”.  Itu  karena  milik  atau  kepunyaan. III.no.274-287
2.  Prasangka dan Diskriminasi Fenomena kekerasan yang sering dilakukan oleh orang-orang yang
berasal  dari  Indonesia  Timur,  mengakibatkan  timbulnya  prasangka  yang digeneralisasikan  kepada  semua  mahasiswa  asal  Indonesia  Timur  di
Yogyakarta.  Prasangka  tersebut  akhirnya  berakibat  pada  tindakan pengucilan  dan  konflik  sosial.  Berdasarkan  hasil  data  wawancara,
didapatkan  bahwa  keempat  subjek  penelitian  mengalami  pengalaman pengucilan  sosial  seperti  tidak  diterima  tinggal  kos-kosan,  tidak  diterima
oleh teman kelompok belajar di kelas, dan mendapatkan pernyataan yang menyepelehkan.  Berikut  merupakan  kutipan  pernyataan  dari  keempat
subjek berkaitan dengan pengalaman pengucilan sosial:
Subjek I, AT
“…Saya punya pengalaman di tolak saat saya mencari kos. Saat saya tidak diterima oleh pemilik kos saya merasa sedih.
Pernah  juga  saya  punya  pengalaman  emosi  saat  di  Jawa Timur dimana pernah ada warga yang mengatakan
“ah wong Papua  saja”.  Sebagai  orang  Papua  saya  merasa  sangat
emosional namun saya berusaha sabar. ” I.no.101-113
Subjek II, YD
“…Jadinya  sekarang  kami  merasa  sulit  untuk  mencari  kos- kosan.  Misalnya  sebuah  kos-kosan  yang  menerima
mahasiswa  baru,  akan  berat  menerima  hingga  menolak mahasiswa  asal  Indonesia  Timur.  Mereka  seperti  kaget
ketika  yang  mencari  kos  adalah  mahasiswa  asal  Indonesia Timur.  Padahal  sudah  sangat  jelas  bahwa  sedang  ada  kamar
kosong di kos tersebut.
” II.no.232-245
147
Subjek III, AS
“…ketika saya mulai kos sendiri, saya merasakan bahwa ada ketidakterimaan  warga  setempat  terhadap  saya
.”  III.no.98- 102
Subjek IV, MR
“…saat itu saya hendak mencari kos. Saat  menemukan kos yang  kosong  kemudian  bernegosiasi  dengan  pemilik  kos.
Saat  bertanya  tentang  kos,  pemilik  kos  mengatakan  bahwa kosnya  telah  penuh.  saya  berusaha  mengklarifikasikan
pemilik  kos  bahwa  di  luar  terpampang  pemberitahuan menerima  kos  putra  namun  kenapa  saya  tidak  diterima.
Pemilik  kos  mengatakan  kebetulan  kamar  tersebut  baru dipesan, dan ada keluarga yang mau tempati dengan berbagai
alasan  agar  saya  tidak  menempati  kamar  tersebut.  Saya seketika menanyakan apa yang membuat saya tidak diterima
di  sini.  Pemilik  kos  menjawab  “mungkin  karena  masalah Cebongan”.” IV.no.63-88
3.  Dampak  Sosio-Psikologis  dari  diskriminasi  dan  Kekerasan  Etnis  di Yogyakarta
Kekerasan etnis  yang terjadi di Yogyakarta antara mahasiswa asal Indonesia  Timur  dengan  warga  setempat,  berakibat  pada  kondisi
psikologis  para  mahasiswa  Timur  yang  tidak  melakukan  kekerasan. Dampak  Psikologis  yang  dialami  ialah  semakin  rendahnya  harga  diri,
timbulnya  perasaan  cemas,  depresi,  stress  pasca  trauma,  malu,  dan  rasa tertekan. Berikut akan dijabarkan dampak-dampak psikologis yang dialami
para subjek:
148
a.  Harga Diri Rendah Perasaan  harga  diri  rendah  menjadi  salah  satu  dampak  yang
diakibatkan  dari  kekerasan  etnis  di  Yogyakarta.  Perasaan  tidak berdaya, terpukul, sedih akibat kekerasan etnis dirasakan oleh keempat
subjek.  Berikut  adalah  kutipan  pernyataan  dari  keempat  subjek berkaitan  dengan  perasaan  rendah  diri  akibat  fenomena  kekerasan  di
Yogya: Subjek I, AT
“…Kalaupun  ada  kekerasan  yang  dilakukan  oleh  orang Timur,  menurut  saya  kekerasan  itu  hanya  dilakukan  oleh
beberapa mahasiswa  Timur saja. Tidak semua orang  Timur membuat  keributan  di  sini.  Namun  warga  Yogya  setempat
menganggap  bahwa  semua  orang  Papua  pembuat  onar
.” I.no.65-75
“…Saya  sebagai  orang  Papua  merasa  terpukul,  sedih, karena  dianggap  sepele  dengan  kalimat  “ah  orang  Papua
saja .” I.no.92-96
“…Perasaan-perasaan sedih, terpukul, dan dianggap sepele masih dirasakan sekarang
.” I.no.324-327
Subjek II, YD
“…Perasaan  saya  sedih  karena  melalui  kekerasan  yang dilakukan oleh beberapa orang Timur, akhirnya kami semua
dipersalahkan.  Padahal  yang  .bersalah  itu  hanya  orang- orang tertentu.
” II.no.221-227
Subjek III, AS
“…Saya mau bagaimana lagi mengubah pandangan  warga Yogya, sudah sangat susah
.” III.no.389-391
149
Subjek IV, MR
“…Saya merasa kecewa dengan sikap dari pemilik kos yang memberikan  stigma  dan  pandangan  negatif  namun  saya
berusaha menerima .” IV.no.97-101
b.  Kecemasan Dampak lain yang dirasakan oleh para subjek akibat kekerasan
yang  terjadi  di  Yogyakarta  adalah  kecemasan.  Dari  hasil  wawancara, keempat subjek merasa cemas pasca terjadi kekerasan antar mahasiswa
asal  Indonesia  Timur  dengan  warga  Yogyakarta.  Kecemasan  tersebut berupa  kecemasan  menjadi  sasaran  amukan  warga,  berpergian  di
malam  hari,  hingga  melaksanakan  kegiatan  lain  di  luar  ruangan. Berikut  kutipan  para  subjek  berkaitan  dengan  perasaan  cemas  yang
mereka rasakan: Subjek I, AT
“…Yang membuat saya takut adalah ketika kami anak-anak Papua  lagi  kumpul-kumpul  atau  bercerita-cerita  di  tempat
umum,  takutnya  ada  orang  yang  mencelakai  kami  dari belakang. Selain di tempat-tempat ramai saya juga takut jika
di  tempat-tempat  sepi.  Lalu  yang  sering  saya  takutkan  jika mengendarai sepeda motor ada yang mecoba melukai saya.
Jadi  selama  ini  saya  sangat  berhati-hati  sekali  saat mengendarai  sepeda  motor.  Setelah  banyak  kasus  terjadi,
saya menjadi takut saat mengendarai sepeda gayung, karena sepeda  gayung  itu  lambat  dan  saya  takutnya  ada  yang
melukai  saya  dari  belakang  saat  mengendarai  sepeda gayung.
” I.no.188-212
Subjek II, YD
“…Dari  pengalaman-pengalaman  tersebut,  saya  mulai merasa  trauma.  Makanya  saya  menyarankan  kepada  adik-
adik saya untuk tidak usah melanjutkan kuliahnya di Yogya.
150
Masalahnya mau keluar malam saya juga trauma dan takut. Kami ini manusia bukan binatang. Jadi merasa kecewa dan
sedih .” II.no.410-421
Subjek III, AS
“…Saya  jadi  takut  harus  keluar,  lewat  jalan  yang  mana, padahal bukan saya pelakunya bentrokan. Intinya saya tidak
mau mencari masalah.” III.no.376-381
c.  Depresi Dampak  lain  yang  dirasakan  subjek  adalah  perasaan  depresi.
Depresi  dirasakan  oleh  subjek  akibat  pengalaman  menjadi  korban langsung  kekerasan.  Pengalaman  depresi  yang  dirasakan  membuat
subjek dirundung perasaan sedih  yang sangat besar,  hingga putus asa. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dari subjek keempat:
Subjek IV, MR
“…Saat itu  saya mendapat dua  luka bacokan di punggung dan  harus  dirawat  dirumah  sakit.  Pengalaman  itu  membuat
saya  trauma  dan  akhirnya  cuti  kuliah  selama  tiga  tahun. Sehingga  saat  ini  baru  bisa  melanjutkan  kuliah  lagi.
” IV.no.156-164
d.  Stress Pasca Trauma Kekerasan  etnis  yang  terjadi  di  Yogyakarta,  mengakibatkan
perasaan  timbulnya  stress  pasca  trauma  yang  dirasakan  oleh  subjek. Stress  pasca  trauma  yang  dirasakan  oleh  para  subjek  mempengaruhi
kehidupan  harian  para  subjek.  para  subjek  merasa  tidak  aman  dan nyaman tinggal di Yogyakarta, kuliah menjadi terganggu dan beberapa
151
hobi  tidak  dapat  tersalurkan  dengan  baik.  Berikut  ini  adalah  kutipan tentang dampak stress pasca trauma yang dirasakan para subjek:
Subjek I, AT
“…Tentunya karena ada masalah-masalah ini, saya menjadi tidak aman dalam belajar dan harus mengurus tempat tinggal
yang  nyaman.  Belum  lagi  susah  mencari  tempat  tinggal  di Yogyakarta.
” I.no.261-268
Subjek II, YD
“…Saya  tinggal  di  Yogya  ini  seperti  ada  sesuatu  yang menggangu  seperti  tertekan,  ada  beban  juga.  Tinggal  di  kos
juga  membuat  saya  merasa  takut  dengan  kejadian-kejadian seperti itu.
” II.no.421-428
Subjek III, AS
“…Dampak yang saya rasakan dalam studi akibat kekerasan di  Yogyakarta  adalah  membuat  saya  lama  kuliah.  Saya
merasa  tidak  begitu  nyaman  kuliah  di  Yogyakarta. ”
III.no.420-426
Subjek IV, MR
“…Pada saat itu saya tidak bebas, tidak dapat menyalurkan hobi bermain bola, atau berorganisasi yang mana sangat saya
gemari  olehnya.  Saya  merasa  stress  karena  tidak  bebas bergerak  dan  beraktifitas  seperti  biasanya.  Dampak
kekerasan memberi dampak  yang sangat berat
.” IV.no.206- 216
e.  Rasa malu Sebagai  mahasiswa  asal  Indonesia  Timur,  keempat  subjek
merasakan  perasaan  malu  karena  kekerasan  etnis  di  Yogyakarta  juga terjadi  karena  ulah  orang-orang  yang  berasal  dari  Indonesia  Timur.
152
Berikut adalah kutipan yang didapatkan dari keempat subjek mengenai perasaan malu berkaitan dengan kekerasan etnis di Yogyakarta:
Subjek II, YD
“…Saya  kan  merasa  malu  karena  teman  saya  sendiri  yang melakukan keributan.II.no.331-333
Subjek III, AS
“…Saya  malu  karena  ada  teman-teman  dari  Timur  yang melakukan  kekerasan,  mabuk.  Perasaan  malu  itu  sangat
besar.    Cuma  saya  prinsip  bahwa  dari  diri  saya  tidak  mau menambah  malu  atau  adik-adik  saya  ikut  membuat  malu
wajah orang Timur.
” III.no.406-415
f.  Tertekan Fenomena  kekerasan  etnis  yang  terjadi  di  Yogyakarta
mengakibatkan  para  subjek  merasakan  perasaan  tertekan.  Perasaan tertekan  dirasakan  karena  mahasiswa  asal  Indonesia  Timur  masih
dianggap  sebagai kaum  “nomordua”,  pengalaman  diskrimininasi  dan
prasangka  dari  warga  membuat  para  subjek  merasa  tidak  bebas. Berikut adalah kutipan dari subjek berkaitan dengan perasaan tertekan
yang dialami: Subjek II, YD
“…Saat  itu  saya  merasa  jengkel  dan  marah,  mengapa  sih orang Papua dianggap tidak mampu dan  harus dianggap jadi
nomor dua. ” II.no.164-169
“…Saya  tinggal  di  Yogya  ini  seperti  ada  sesuatu  yang menggangu  seperti  tertekan,  ada  beban  juga
.”  II.no.421- 425
153
“…Mahasiswa  juga  mau  menghadirkan  Sultan  untuk menghimbau  solidaritas  antar  etnis.  Kami  juga  datang  ke
yogya  untuk  menempuh  pendidikan  dan  studi.”  II.no.437- 443
Subjek III, AS
“….  Kadang  saya  punya  perasaan  sakit  karena  sebagai mahasiswa  Timur  masih  ada  diskriminasi  terhadap  kami
.” III.no.327-331
“…Seperti  disini  ketika  kasus  dan  pandangan  orang  Jawa terhadap orang  Timur buruk, saya sangat sakit dan terpukul,
namun  saya  tidak  boleh  terlena  dengan  perasaan  sakit  itu.” III.no.351-358
4.  Upaya Para Subjek dan Komunitas untuk Mengurangi Kekerasan Etnis di Yogyakarta
Kekerasaan etnis di Yogyakarta mendorong para subjek penelitian asal  Indonesia  Timur  untuk  berupaya  mencegah  terjadinya  kekerasan
melalui  upaya-upaya  positif.  Upaya-upaya  positif  tersebut  dibangun  dari dalam  diri  dan  juga  dari  komunitas  daerah  yang  mereka  ikuti.  Upaya-
upaya  tersebut  tampak  melalui  hasil  wawancara  dengan  para  subjek  di bawah ini:
a.  Upaya Para Subjek Dorongan  agar  dapat  diterima  oleh  warga  Yogyakarta
diupayakan  oleh  mahasiswa  asal  Indonesia  Timur.  Upaya  yang dibangun  melalui  sikap  positif  seperti  ramah,  sopan,  serta  melalui
kegiatan-kegiatan positif seperti mengajar les, kor gereja, pelayanan di kampus  dan  masyarakat.  Berikut adalah kutipan mengenai  upaya  dari
para subjek penelitian:
154
Subjek I, AT
“…memberi  pemahaman  bagi  adik-adik  mahasiswa  baru. Agar  pandangan  orang  setempat  tentang  orang  papua  yang
suka mabuk, sering buat kekerasan, suka senang-senang dan tidak  menaati  lalu  lintas  menjadi  berkurang.  Intinya  saya
meyakinkan warga setempat dengan memberi les matematika di  masyarakat  agar  mereka  tahu  bahwa  orang  Papua  juga
bisa  dan  tidak  semua  orang  Papua  negatif.  Selain  memberi les  saya  juga  memberi  pengetahuan  kepada  teman-teman
tentang  keadaan  di  Papua  karena  mereka  selama  ini  hanya melihat kondisi Papua lewat TV.
” I.no.315-340
Subjek II, YD
“...saya  mengikuti  cara  berbicara,  atau  sikap  orang  Jawa dalam  berelasi  dengan  warga  sekitar.  Saya  juga  banyak
bertanya  dengan  teman-teman  kos  atau  anak  dari  ibu  kos dalam menyesuaikan dengan lingkungan. Saya beranikan diri
menyapa  dan  lebih  murah  senyum  dengan  warga  sekitar. Saya  juga  belajar  bahasa  Jawa  dengan  teman-teman  kos.
Saya  berusaha  menyesuaikan  saja  agar  dapat  diterima.
” II.no.15-30
“…ya memberitahu kepada teman-teman bahwa tidak semua orang  Papua  jahat.  Tapi  ada  teman  yang  bisa  menerima  ada
yang tidak menerimanya. ” II.no.457-462
“…Selain  itu  untuk  adik-adik  mahasiswa  baru,  saya memberikan nasehat kepada mereka untuk meyesuaikan diri
dengan budaya Yogyakarta. ” II.no.478-483
Subjek III, AS
“…Walaupun  demikian  saya  berusaha  untuk  ramah  dan murah  senyum  kepada  mereka.  Walaupun  awalnya  mereka
menganggap  saya  orang  asing,  mereka  akhirnya  bisa menerima  saya.  Hal  itu  menurut  saya  karena  saya  berusaha
untuk murah senyum dan menghargai mereka. Akhirnya saya sering  melakukan  kegiatan  bersama  seperti  main  ping-pong
dan sebagainya.” III.no.107-121
Subjek IV, MR “…membentuk  pemikiran  positif  dan  menjadi  contoh  bagi
adik-adik  mahasiswa  baru  misalnya  melayani  di  komunitas San Egidio. Pelayanan-pelayanan tersebut mungkin di zaman
155
ini  tidak  popular  di  mata  teman-teman  mahasiswa.  Namun melaui  pelayanan  ini  menjadi  suatu  kesaksian  bahwa  saya
peduli  kepada  anak-anak  jalanan,  orang-orang  yang membutuhkan  bantuan,  kaum  marginal  dan  para  lansia.
” IV.no.274-290
b.  Upaya dari Komunitas Selain  upaya  positif  dibentuk  dalam  diri  subjek,
komunitas mahasiswa Papua juga membuat upaya seperti dialog  dengan  pemerintah  Yogyakarta  dan  membuat
aturan-aturan  yang  bertujuan  untuk  mengurangi  tingkat kekerasan  etnis  di  Yogyakarta.  Berikut  merupakan
pernyataan  subjek  pertama  dan  kedua,  berkaitan  dengan upaya dari komunitas mahasiswa Papua:
Subjek I, AT
“…Upaya  yang  kami  buat  di  komunitas  adalah  dengan membuat dialog-dialog dengan warga Yogyakarta maupun
dengan  pemerintah  Yogya.  Sedangkan  berkaitan  dengan peraturan,  kami  di  komunitas  telah  menyepakati  bersama
untuk  tidak  mengonsumsi  minuman  keras.  Jika  ada mahasiswa papua mabuk dan membuat kekerasan di jalan,
kami  akan  membawa  dan  mengadili  mereka.  Kami  dari komunitas memiliki tim keamanan malam sendiri. Tim ini
akan  memantau  siapa  yang  membuat  kekerasan  di  jalan akan diproses. Jika mahasiswa tersebut membuat keributan
dan  mabuk,  maka  dia  akan  di  pulangkan  ke  Papua.  Selain itu  untuk  jam  malam,  kami  di  asrama  di  tentukan  batas
keluar  malam  adalah  pukul  tujuh  malam  agar  tidak  ada korban  kekerasan.  Hal  ini  karena  banyak  kekerasan
dilakukan  di  malam  hari.  Selain  itu  kami  menegaskan aturan  untuk  menggunakan  helm  saat  berpergian.  Selain
untuk  waspada,  keamanan  juga  harus  diperhatikan  karena demi  keselamatan  pengendara.  Selain  itu,  kelengkapan
kendaraan  seperti  kaca  spion,  lampu  sein,  rem  tangan  dan kaki. Semua harus diperhatikan. Dan jangan terlalu banyak
berpergian tanpa tujuan
,…” I.no.344-387
156
Subjek II, YD “…Dalam  komunitas  juga  ada  diskusi-diskusi  yang
dilakukan  dalam  menyesuaikan  diri  dengan  masyarakat sekitar.  Kita  yang  harus  mulai  terlebih  dahulu  dengan
senyum dan sapa .” II.no.483-490
                