model inkuiri laboratorium dapat meningkatan penguasaan konsep fisika siswa kelas X pada materi listrik dinamis lebih baik dibanding model pembelajaran
inkuiri terbimbing. Namun, perbedaan peningkatan penguasaan konsep diantara kedua perlakuan tersebut tidak terlalu signifikan seperti yang ditunjukkan dalam
lampiran 24, dan lampiran 25. Keefektifan penggunaan simulasi PhET dalam model pembelajaran inkuiri
laboratorium terhadap peningkatan penguasaan konsep siswa sesuai dengan hasil penelitian Usman 2008: 50, yang menunjukan bahwa penguasaan konsep siswa
dapat meningkat secara signifikan pada model inkuiri laboratorium jika dibandingkan dengan model laboratorium verifikasi. Hasil penelitian Mursalin
2013: 6, juga menunjukan bahwa penggunaan simulasi PhET dapat digunakan untuk meremediasi dan meminimalkan miskonsepsi mahasiswa calon guru fisika
pada topik rangkaian listrik mulai dari responden yang berstatus menebak konsep, kurang paham konsep, hingga yang miskonsepsi. Selain itu, hasil penelitian
Stephen Fraser 2007: 337 menunjukan bahwa: “the small-scale inquiry
laboratory activities appear to have benefited students in terms of developing a stronger support system within the class. Students in the inquiry class were not
confined to specific directions and were often found to explore interactions in greater detail than did students in the non-inquiry group.
”
4.3 Analisis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Uji t-test pihak kanan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi
Berdasarkan perhitungan uji t-test pihak kanan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa terhadap nilai postes diperoleh nilai t
hitung
= 3.10 sedangkan
t
tabel
= 1.67. Karena nilai t
hitung
t
tabel
maka � ditolak, artinya hasil tes
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa pada pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET lebih baik dibandingkan pembelajaran inkuiri terbimbing.
Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 22.
Peningkatan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Uji peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi dilakukan terhadap nilai pretes dan postes siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Perhitungan selengkapnya analisis pretes dan postes terdapat pada lampiran 26. Hasil analisis terhadap nilai pretes dan postes dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Analisis nilai pretes dan postes untuk keterampilan berpikir tingkat tinggi
No Statistik Deskriptif
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Pretes Postes
Pretes Postes
1 2
3 Nilai Tertinggi
Nilai Terendah Rata-rata
66 35
48.03 95
61 74.14
62 35
47.94 83
58 68.86
Berdasarkan Tabel 4.3, hasil uji gain diperoleh nilai g=0.503 pada kelas eksperimen. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang. Sedangakan, hasil uji gain pada
kelas kontrol diperoleh nilai g=0.402. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa pada model
pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 20. Untuk lebih detailnya, dibawah ini ditampilkan gambar
grafik perbandingan peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa antara kelas eksperimen, dan kelas kontrol pada tiap indikator.
Gambar 4.3 Grafik nilai HOTS pada kelas eksperimen dan kontrol
Gambar 4.4 Grafik hasil uji gain HOTS pada kelas eksperimen dan kontrol Berdasarkan gambar 4.3, dan gambar 4.4, hasil uji gain pada indikator 1
membagi atau menstrukturkan informasi menjadi lebih sederhana untuk mengenali pola atau hubungannya diperoleh nilai g=0.406 pada kelas
Pretes Postes
Pretes Postes
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Indikator 1 16.06
21.72 15.03
19 Indikator 2
16.56 22.28
15.03 19.72
Indikator 3 7.17
13.47 8.28
12.83 Indikator 4
8.25 16.67
9.61 17.31
5 10
15 20
25
Nila i
Grafik peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi per indikator
Indikator 1 Indikator 2
Indikator 3 Indikator 4
Kelas Eksperimen Gain 0.406
0.426 0.491
0.717 Kelas Kontrol Gain
0.265 0.313
0.388 0.741
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
Ga in
Grafik peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi per indikator
eksperimen, dan nilai g=0.265 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 1 pada model
pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang, sedangkan peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 1 pada model
pembelajaran inkuiri terbimbing adalah rendah. Selanjutnya, hasil uji gain pada indikator 2 mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari
skenario yang rumit diperoleh nilai g=0.426 pada kelas eksperimen, dan nilai g=0.313 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata
keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 2 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang, sedangkan peningkatan rata-rata
keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 2 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Selanjutnya, hasil uji gain pada indikator 3 membuat
hipotesis, mengkritik, dan melakukan pengujian diperoleh nilai g=0.491 pada kelas eksperimen, dan nilai g=0.388 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria,
maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 3 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang,
sedangkan peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 3 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Terakhir, hasil uji
gain pada indikator 4 merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah diperoleh nilai g=0.717 pada kelas eksperimen, dan nilai g=0.741 pada kelas
kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 4 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium
berbantuan PhET adalah tinggi, sedangkan peningkatan rata-rata keterampilan
berpikir tingkat tinggi indikator 4 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah tinggi. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 27.
Dalam penelitian ini, peserta didik diberikan soal- soal selevel PISA SBMPTN untuk melatih dan menilai hasil kemampuan berpikir tingkat tinggi
peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Thorne 2005 yang menyatakan bahwa:
“higher Order Thinking is thinking on higher level that memorizing facts or telling something back to sameone exactly the way it was told
to you. Not only when a person memorizies and gives back the information without having to think about it
”. Jadi kemampan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan.
Pada model pembelajaran inkuiri, materi tidak diberikan secara langsung. Akan tetapi, materi diberikan dalam bentuk pertanyaan yang disampaikan secara
lisan maupun tulisan. Dengan demikian, pada pembelajaran ini siswa dituntut untuk berpikir luas agar dapat menemukan sendiri jawaban yang ingin dipecahkan
melalui kegiatan laboratorium dan diskusi namun tetap dalam bimbingan guru. Berdasarkan hal tersebut, menurut Sanjaya 2007: 197, model pembelajaran
inkuiri dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis dan sistematis kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Berdasarkan hasil uji gain, peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik dari pretes ke postes mencapai kriteria sedang, baik
dalam kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Perbedaannya hanya pada tingkat signifikansi peningkatannya pada masing- masing kelas, yaitu 50.3 pada kelas
eksperimen, dan 40.2 pada kelas kontrol. Menurut Stephen Fraser
2007:325, hal ini disebabkan karena pada pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam menggunakan
konsep ilmiah untuk melakukan prediksi dan menjelaskan konsep sains, mampu mengenali pertanyaan yang dapat dijawab dengan penyelidikan ilmiah, serta
mampu memilih informasi yang relevan dari sekian banyak data atau argumen yang digunakannya untuk menarik kesimpulan dari suatu fenomena sains.
Ketika ditinjau dari peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi per indikator, pada indikator 1, yaitu membagi atau menstrukturkan informasi menjadi
lebih sederhana untuk mengenali pola atau hubungannya, prosentase peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik dari kelas eksperimen sebesar
40.6, sedangkan kelas kontrol sebesar 26.5. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan simulasi PhET, siswa dapat lebih detail merancang sendiri suatu
percobaan yang berhubungan dengan apa yang ingin dipelajarinya, sehingga siswa mampu mengolah bahkan mengimprovisasi suatu informasi sehingga mampu
menyusunnya menjadi struktur yang lebih sederhana dan memahami pola hubungannya. Pada indikator 2, yaitu mengenali serta membedakan faktor
penyebab dan akibat dari skenario yang rumit, prosentase peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik dari kelas eksperimen sebesar
42.6, sedangkan kelas kontrol sebesar 31.3. Pada indikator 2, ada perbedaan gain yang cukup mencolok antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, hal ini
dikarenakan pada model pembelajaran inkuiri laboratorium, siswa selalu dibiasakan secara mandiri menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya.
Sedangkan pada model inkuiri terbimbing siswa juga dibiasakan secara mandiri
menyelesaikan masalahnya namun masih dalam bimbingan guru. Bedanya terletak pada keikut sertaan guru dalam membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi
siswa, yaitu keikut sertaaan pendidik dalam menyelesaikan masalah siswa dalam model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih besar dibanding model inkuiri
pembelajaran laboratorium. Pada indikator 3, yaitu membuat hipotesis, mengkritik, dan melakukan pengujian, prosentase peningkatan keterampilan
berpikir tingkat tinggi peserta didik dari kelas eksperimen sebesar 49.1, sedangkan kelas kontrol sebesar 38.8. Hal ini disebabkan karena dengan
menggunakan simulasi PhET, siswa dapat dengan mudah membuktikan kebenaran teori- teori yang ada pada listrik dinamis tanpa banyak kendala yang
didapat praktikum dapat dilakukan pada kondisi ideal. Sedangkan pada alat- alat lab yang tersedia di sekolah banyak faktor- faktor luar yang mempengaruhi,
seperti yang dihadapi oleh peneliti adalah kerusakan alat praktikum. Pada indikator 4, yaitu merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah, prosentase
peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dari kelas eksperimen sebesar 71.7, sedangkan kelas kontrol sebesar 74.1. Diluar dugaan peneliti,
peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi pada kelas kontrol lebih besar dibanding kelas eksperimen untuk indikator 4, meskipun perbendaannya tidak
terlalu mencolok. Hal ini terjadi karena permasalahan yang dihadapi oleh kelas kontrol lebih banyak dibanding kelas eksperimen, misalnya dalam menyusun alat,
pada kelas kontrol alat tidak bisa langsung dirangkai dan diambil datanya, melainkan siswa harus mengecek dulu dan memastikan alat tersebut bisa
digunakan, sehingga siswa harus memutar otak atau mensiasati keterbatasan alat
praktikum agar tetap bisa mengambil data. Hal ini, berbeda dengan simulasi PhET yang ada di kelas eksperimen yang memang dirancang ideal dan siap untuk
digunakan dalam praktikum. Pada penelitian ini, lab virtual digunakan untuk membantu memahami
suatu pokok bahasan, khususnya listrik dinamis dalam fisika. Selain itu, media ini juga dapat dijadikan solusi dari keterbatasan ketiadaan perangkat laboratorium.
Menurut Oetomo sebagaimana dikutip oleh Pakhrur 2013: 120, ada beberapa manfaat dari laboratorium virtual, diantaranya:
1 Tidak memerlukan ruang, peralatan- peralatan laboratorium, dan bahan- bahan praktikum fisik.
2 Dapat menggantikan peralatan-peralatan praktikum yang harganya mahal atau yang tidak dimiliki pada laboratorium fisik.
3 Lebih efisien, dan lebih ekonomis karena tidak memerlukan biaya yang besar.
4 Dapat diakses dimana saja, kapan saja, baik online ataupun offline. 5 Interaktif, karena siswa dapat melakukan praktikum sebagaimana yang
dilakukan pada laboratorium fisik dengan visual yang menarik. Dengan laboratorium virtual, siswa bisa lebih leluasa dan secara mandiri
melakukan praktikum tanpa bimbingan guru secara langsung. Praktikum juga dapat dilaksanakan walau alat-alat di laboratorium fisik tidak tersedia atau kurang
memadai. Kadang guru beranggapan jika tidak ada alat yang tersedia maka praktikum lebih baik tidak dilaksanakan. Namun sekarang dengan adanya
laboratorium virtual tidak ada alasan bagi guru untuk tidak melaksanakan kegiatan
praktikum, sehingga kompetensi ilmiah siswa dapat tercapai, termasuk keterampilan berpikir tingkat tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Putra 2013:
105 yang menyatakan pada pembelajaran inkuiri, siswa dituntut aktif dalam melakukan percobaan untuk membuktikan konsep yang sedang dipelajari dalam
penelitian ini adalah listrik dinamis. Dengan melakukan parktik langsung maka siswa akan lebih memahami konsep yang dipelajari. Berdasarkan hal tersebut,
maka semakin besar keterlibatan siswa pada proses pembelajaran, semakin besar pula penguasaan konsep, dan keterampilan berpikir siswa tersebut.
Menurut Popham dan Baker 2005: 7, proses belajar mengajar dikatakan efektif atau berhasil apabila tujuan intruksional dapat tercapai. Berdasarkan
penjelasan pada paragraf-paragraf sebelumnya, maka model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan simulasi PhET, dan model pembelajaran inkuiri
terbimbing berhasil meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Hal ini ditunjukan dengan naiknya kemampuan keterampilan berpikir tingkat tinggi
peserta didik pada kelas eksperimen, dan kelas kontrol. Meskipun perbedaanya tidak signifikan, namun tingkat peningkatan kelompok dengan model inkuiri
laboratorium berbantuan PhET lebih baik dibanding model inkuiri terbimbing. Keberhasilan tersebut sesuai dengan penelitian Zohar 2004: 298-299,
yang menunjukan bahwa: “the main goal of the computer simulation, was to teach the control of variables thinking strategy for higher order thingking skills. We
assume that, for many students, a temporary stage of cognitive dissonance may contribute to meaningful learning
.”. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Sanjaya Putu 2012: 9, yang menunjukan bahwa Model pembelajaran inkuiri
laboratorium lebih unggul dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains yang merupakan dari keterampilan berpikir tingkat
tinggi dari pada model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran inkuiri laboratorium tersebut memberikan kebebasan bagi siswa untuk mendesain proses
pembelajaran yang mereka inginkan, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang tertera dalam permasalahan. Selain itu, hasil penelitian Aisyah 2013: 31 juga
menunjukan bahwa dari hasil wawancara peneliti dengan siswa diketahui bahwa soal tipe PISA SBMPTN yang dikembangkan dapat memicu siswa untuk
mengeksplor kemampuan matematis dengan memberikan jawaban beserta penjelasan, langkah- langkah penyelesaian, dan kesimpulan dari soal yang
dikerjakan.
4.4 Keterlaksanaan Model Pembelajaran Inkuiri laboratorium