Perkembangan Industri Farmasi Indonesia

Pada tahun 1955 jumlah pabrik farmasi di Indonesia tercatat 7 pabrik dan 131 apotik. Tahun 1958 meningkat menjadi 18 pabrik farmasi dan 146 pabrik farmasi. Pada periode antara tahun 1958 dan 1967 jumlah produsen farmasi meningkat menjadi 109 pabrik dan apotik sebanyak 585 Sirait, 2001. Pada tahun 1969 jumlah produsen farmasi di Indonesia tercatat 149 pabrik yang terdiri dari 6 perusahaan PMDN, 1 perusahaan PMA dan 142 perusahaan swasta nasional. Pada awal-awal tahun Orde Baru ini sebagian besar kebutuhan obat Indonesia masih diimpor dari luar negeri. Pada tahun 1983, telah terjadi kemajuan yang cukup signifikan karena 90 kebutuhan obat telah dapat dipenuhi oleh industri farmasi di dalam negeri, meski sebagian besar bahan baku masih harus diimpor. Jumlah produsen farmasi pada tahun 1983 tercatat 286 pabrik yang terdiri dari 37 perusahaan PMDN, 40 perusahaan PMA dan 209 perusahaan swasta nasional. Jumlah perusahaan manufaktur farmasi Indonesia yang ada pada dewasa ini relatif tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun 1983. Pada saat itu jumlah podusen farmasi tercatat sebanyak 202 pabrik yang terdiri dari 4 BUMN, 30 PMA dan 168 perusahaan sasta nasional. Dalam nilai penjualan telah mengalami kenaikan, pada tahun 1980 obat yang beredar di Indonesia bernilai sebesar US 483 juta Sirait, 2001 dan pada tahun 2004 tercatat sekitar US 2 milyar Sampurno, 2005. Pangsa pasar farmasi Indonesia 2004 bila dibandingkan dengan pasar farmasi global relatif sangat kecil yaitu 0, 25. Pangsa pasar dari 60 perusahaan sebanyak 84 sedangkan 139 perusahaan hanya memiliki pangsa pasar 16. Ini berarti sebagian besar perusahaan manufaktur farmasi Indonesia beroperasi pada skala kecil. Meskipun demikian pertumbuhan pasar farmasi Indonesia relatif masih cukup tinggi sekitar 15 tahun 2004 dan merupakan pasar farmasi yang terbesar di ASEAN. Kedepan pasar farmasi Indonesia diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang cukup tinggi mengingat konsumsi obat per kapita Indonesia paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Pada tahun 2001 belanja obat perkapita Indonesia US 4,5, sedangkan Malaysia dan Thailand berturut-turut sebesar US 12, 9 dan US 12,7. Dengan makin membaiknya pendapatan perkapita dan sistem jaminan kesehatan Indonesia dimasa mendatang, maka nilai peredaran obat di Indonesia akan besar. Keadaan ini tentu akan mempunyai korelasi positif dengan pertumbuhan industri farmasi Indonesia dimasa mendatang. Ekspor obat Indonesia dari tahun ketahun menunjukkan peningkatan meskipun nilainya relatif belum besar yaitu sekitar 5 dari total penjualan industri farmasi Indonesia. Dengan diberlakukannya harmonisasi regulasi farmasi ASEAN pada tahun 2008 maka akan tercipta pasar tunggal ASEAN di bidang farmasi, dalam arti tidak ada lagi hambatan tarif maupun non tarif dalam perdagangan farmasi di region ASEAN. Ini berarti terbuka peluang bagi industri farmasi untuk mengembangkan ekspor di pasar ASEAN, tetapi pada saat yang sama pasar domestik Indonesia akan terancam masuknya produk-produk farmasi ASEAN dengan lebih leluasa ke Indonesia. Industri farmasi domestik Indonesia bergerak terutama pada produksi dan pemasaran branded generic obat yang sudah off patent, obat generik dan obat lisensi dari perusahaan farmasi di luar negeri. Industri farmasi domestik Indonesia adalah industri formulasi, bukan research-based company. Kegiatan RD yang dilakukan sangat terbatas dengan dukungan pembiayaan rata-rata dibawah 2 dari total penjualan. Riset yang dilakukan terbatas hanya pada formulasi produk, bukan pengembangan obat molekul baru. Kedepan implikasinya adalah perusahaan farmasi domestik Indonesia tidak akan pernah bersaing pada segmen pasar obat patenobat inovatif. Area persaingan perusahaan farmasi domestik Indonesia adalah pada pasar obat branded generic dan obat generik. Perkembangan pasar obat bebas atau OTC Over The Counter di Indonesia juga cukup tinggi dari tahun ketahun. Pangsa pasar obat OTC ini didominasi oleh perusahaan farmasi domestik. Persaingan pasar farmasi Indonesia sangat ketat, perusahaan yang tidak konsisten dalam menjaga dan meningkatkan daya saingnya akan kehilangan pangsa pasarnya dalam waktu yang relatif singkat.

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian

4.3.1 Struktur Modal Perusahaan Kimia dan Farmasi

Struktur modal adalah kombinasi hutang dan ekuitas dalam struktur keuangan jangka panjang perusahaan. Struktur modal perusahaan kimia dan farmasi yang digunakan dalam penelitian ini yang dihitung dengan persamaan Debt to Equity Ratio dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.1 Struktur Modal DER Perusahaan Kimia dan Farmasi No Perusahaan Debt to Equity Ratio 2006 2007 2008 1 PT. AKR Corporindo Tbk. 0.15 0.32 0.45 2 PT. Budi Acid Jaya Tbk. 1.91 0.65 0.60 3 PT. Colorpak Indonesia Tbk. 0.05 0.06 0.06 4 PT. Eterindo Wahana Tama Tbk. 0.26 0.10 0.14 5 PT. Lautan Luas Tbk. 0.56 0.14 0.83 6 PT. Polysindo Eka Perkasa Tbk. -0.14 -0.12 -0.10 7 PT. Sorini Agro Asia Corporindo Tbk. 0.13 0.13 0.14 8 PT. Unggul Indah Cahaya Tbk. 0.71 0.18 0.50 9 PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk. 0.14 0.11 0.07 10 PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk. 0.14 0.05 0.04 11 PT. Indofarma Persero Tbk. 0.10 0.11 0.12 12 PT. Kalbe Farma Tbk. 0.14 0.11 0.03 13 PT. Kimia Farma Persero Tbk. 0.04 0.05 0.05 14 PT. Merck Tbk. 0.03 0.03 0.03 15 PT. Pyridam Farma Tbk. 0.06 0.06 0.06 16 PT. Schering-Plough Indonesia Tbk. -4.57 4.74 2.29 17 PT. Tempo Scan Pacific Tbk. 0.04 0.05 0.05 rata-rata -0.01 0.40 0.32 Sumber : data diolah lampiran 1 Pada tabel 4.1 diatas terlihat bahwa rata-rata DER Debt to Equity Ratio perusahaan kimia dan farmasi selama tahun penelitian, yang terendah adalah pada tahun 2006 yaitu sebesar -0,01. Perusahaan yang memiliki DER terendah pada tahun 2006 adalah PT. Schering-Plough Indonesia Tbk kelompok industri farmasi sebesar -4,57 dan perusahaan yang memiliki DER tertinggi pada tahun 2006 adalah PT. Budi Acid Jaya Tbk kelompok indutri kimia sebesar 1,91. Pada tahun 2007 perusahaan yang memiliki DER terendah adalah PT. Merck Tbk kelompok industri farmasi sebesar 0,03 dan perusahaan yang memiliki DER

Dokumen yang terkait

Pengaruh Firm Size, Growth Opportunity, Liquidity, Dan Profitability Terhadap Struktur Modal Pada Perusahaan Otomotif Yang Terdaftar Di Bei

1 55 90

Pengaruh Profitability, Firm Size, Business Risk dan Asset Tangibility Terhadap Struktur Modal Pada Sektor Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia Periode 2005-2008

1 71 94

Pengaruh Size Of Firm, Growth Of Firm dan Profitability Terhadap Struktur Modal (Pada Bidang Manufaktur 2010-2012 di BEI).

0 3 14

PENGARUH FIRM SIZE, GROWTH OPPORTUNITY, LIQUIDITY, DAN PROFITABILITY TERHADAP STRUKTUR MODAL PERUSAHAAN

0 2 64

PENGARUH FIRM SIZE, GROWTH OPPORTUNITY, LIQUIDITY dan PROFITABILITY TERHADAP STRUKTUR Pengaruh Firm Size, Growth Opportunity, Liquidity dan Profitability Terhadap Struktur Modal Perusahaan ( Studi Kasus pada Perusahaan Manufaktur "Food and Beverages" di

0 2 14

PENGARUH FIRM SIZE, TANGIBILITY OF ASSET, DAN PROFITABILITY TERHADAP STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN CONSUMERGOOD DI BURSA EFEK INDONESIA.

0 0 103

ANALISIS PENGARUH STRUKTUR MODAL, PROFITABILITY, CAPITAL EXPENDITURE, FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN KIMIA DAN FARMASI DI BEI SKRIPSI

0 0 17

PENGARUH FIRM SIZE, TANGIBILITY OF ASSET, DAN PROFITABILITY TERHADAP STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN CONSUMERGOOD DI BURSA EFEK INDONESIA SKRIPSI

0 0 22

PENGARUH STRUKTUR MODAL, STRUKTUR KEPEMILIKAN, UKURAN PERUSAHAAN, UMUR PERUSAHAAN, DAN CAPITAL EXPENDITURE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI JAKARTA ISLAMIC INDEX SKRIPSI

0 0 28

PENGARUH STRUKTUR MODAL TERHADAP NILAI PERUSAHAAN DENGAN SIZE, PROFITABILITY DAN GROWTH OPPORTUNITY SEBAGAI MODERASI

0 0 16