The Effects of Cultural Factor on Poverty in Nusa Tenggara Timur Province

(1)

(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Demarce M.Sabuna NRP. H151104384


(4)

(5)

ABSTRACT

DEMARCE M.SABUNA. The Effects of Cultural Factor on Poverty in Nusa Tenggara Timur Province under supervisor SRI MULATSIH and YETI LIS PURNAMADEWI

Nusa Tenggara Timur (NTT) is one of the Indonesia provinces with high poverty rate (23%) in 2010, although poverty alleviation programs in NTT have been carried out. The question is whether cultural factors affecting poverty or not. Purpose of this study is to analyze the factors that affect poverty in NTT, and to analyze the magnitude of the cultural factors cause poverty in NTT. The results showed that the factors that significantly have positif effect to the number of the poor, are the number of agricultural workers, the number of open unemployment, the spending for cultural (tobacco consumtion, betel nut and the ceremony), while the GDP per capita and the development expenditure budget tend to reduce poverty. The number of total spending for tobacco consumption and betel nut effect the number of poor people, not significant. Average number of year of school, reducing the number of poor but no significant effect on poverty. Cultural is the weakest factors among six other poverty factors.


(6)

(7)

RINGKASAN

DEMARCE M. SABUNA Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan YETI LIS PURNAMADEWI.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menunjukkan tingkat kemiskinan masih tergolong tinggi walaupun penanganan kemiskinan terus diupayakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Tingkat kemiskinan di Provinsi NTT pada tahun 2002 sebesar 30,74 persen dan sampai dengan tahun 2010 menurun menjadi 23,01 persen. Indikator lainnya yang menunjukan ketertinggalan di daerah ini adalah tingkat PDRB perkapita NTT. Sepanjang Tahun 2002 hingga Tahun 2010, PDRB Perkapita NTT mengalami peningkatan dalam nominalnya yaitu Rp 2.306.000 pada tahun 2005 mencapai Rp 2.676.000 pada tahun 2010. Meskipun demikian, PDRB perkapita tersebut masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Kondisi tersebut yang menyebabkan provinsi-provinsi NTT selalu tertinggal, sehingga termasuk dalam 2 provinsi dengan PDRB perkapita terendah di tingkat nasional, bahkan pada Tahun 2010 menjadi provinsi dengan pendapatan perkapita terendah di Indonesia.

Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah banyak dilakukan. Dana yang telah dikeluarkan kucurkan oleh pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai trilyun rupiah, tetapi persentase masyarakat miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Program-program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan cenderung bersifat homogen untuk semua daerah di Indonesia tanpa memperhatikan kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah. Menurut Wold Bank (2004), aspek sosial budaya atau kultural dan aspek ekonomi perlu diperhatikan dalam setiap strategi penanggulangan kemiskinan. Nusa Tenggara Timur memiliki kultur yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, sehingga pertimbangan untuk memperhatikan faktor kultural dan faktor–faktor lainnya dalam setiap rancangan strategi penanggulangan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur menjadi menarik untuk diteliti. Harapannya program-program yang lebih tepat sasaran dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan sehingga kemiskinan secara efektif diturunkan.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur: (2) mengkaji kaitan antara budaya masyarakat dengan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur: (3) menganalis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur: (4) menganalis besarnya pengaruh faktor kultural terhadap terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Cakupan penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten yang mengalami pemekaran setelah tahun 2005 digabungkan ke kabupaten induknya. Periode analisis tahun 2005-2010. Data yang digunakan berupa data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber-sumber lainnya.


(8)

Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama dan kedua adalah analisis deskriptif, sedangkan untuk menjawab tujuan ketiga dan keempat digunakan regresi data panel. Sementara itu, model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari model yang dikembangkan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007). Variabel lain juga disertakan dalam penelitian ini yaitu variabel pengeluaran keperluan pesta dan upacara serta pengeluaran tembakau dan sirih pinang.

Berdasarkan kajian dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur diperoleh hasil bahwa pada tahun 2005 hingga tahun 2010 persentase kemiskinan di sebagian besar kabupaten/kota mengalami penurunan, kecuali Kabupaten Ende, Kabupaten Rote Ndao dan Kota Kupang. Apabila dilihat dari sisi keparahan dan kedalaman kemiskinan juga memberikan hasil kajian yang sama yaitu sebagian besar kabupaten/kota mengalami penururan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan, kecuali Kabupaten Ende, Kabupaten Rote Ndao dan Kota Kupang yang cenderung tetap. Hasil kajian juga menunjukan bahwa kabupaten/kota yang masih memegang teguh budaya dan adat istiadat memiliki persentase kemiskinan, indeks kedalaman dan keparahan lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang.

Hasil kajian kaitan antara budaya dan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukan bahwa proporsi pengeluaran untuk makanan terutama sumber karbohidrat cenderung menurun, dan sumber protein stabil sedangkan untuk tembakau dan sirih pinang mengalami fruktuasi. Hal ini menunjukan bahwa alokasi pengeluaran rumahtangga lebih mengutamakan pengeluaran lain dibandingkan dengan kebutuhan gizi anggota rumahtangga masyarakat. Hasil kajian juga menunjukan bahwa proporsi pengeluaran untuk kebutuhan esensial lainnya yaitu pengeluaran pendidikan dan kesehatan rumahtangga lebih kecil dibandingkan dengan proporsi pengeluaran untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang. Hal ini berarti bahwa kecenderungan masyarakat untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan anggota rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Hasil analisis data panel statis dengan Random Effect Model (REM) menunjukan bahwa jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, jumlah pengangguran terbuka, jumlah pengeluaran pesta dan upacara berpengaruh nyata (signifikan) dan berhubungan positif terhadap jumlah penduduk miskin. Besarnya realisasi pengeluaran APBD perkapita dan pengeluaran pembangunan APBD berpengaruh nyata (signifikan) dan berhubungan negatif terhadap jumlah penduduk miskin.

Besarnya pengaruh faktor kultural terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah yang terkecil diantara enam faktor lainnya yaitu faktor pengeluaran pesta dan upacara hanya sebesar 0,08 persen dan berpengaruh nyata (signifikan), sedangkan untuk tembakau dan sirih pinang sebesar 0,03 persen dan tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian, implikasi kebijakan yang dapat disarankan, adalah sebagai berikut: (1) Mengingat faktor peningkatan jumlah penduduk sangat berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur


(9)

maka program Keluarga Berencana (KB) perlu ditingkatkan untuk membatasi angka kelahiran, terutama pada kelompok masyarakat miskin; (2) Peningkatan pendapatan masyarakat melalui berbagai upaya penyediaan lapangan kerja diluar sektor pertanian dan pengembangan usaha agroindustri menjadi alternatif untuk mengurangi banyaknya pekerja pertanian dan mengatasi pengangguran; (3) Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, mewajibkan masyarakat usia sekolah untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan yang lebih tinggi dan pemberian beasiswa kepada masyarakat miskin; (4) Memperbesar alokasi dana pengeluaran pembangunan APBD serta mengusahakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan. Program-program pengurangan kemiskinan diprioritaskan ke kabupaten/kota yang tingkat kemiskinannya relatif besar seperti Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang.


(10)

(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(12)

(13)

ANALISIS PENGARUH FAKTOR KULTURAL TERHADAP

KEMISKINAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DEMARCE M. SABUNA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(14)

(15)

Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Nama : DEMARCE M. SABUNA

NRP : H151104384

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr Ketua

Dr. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. Agr Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(16)

(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

dapat diselesaikan.

Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr.Ir. M.Parulian Hutagaol, M.S. selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada isteriku tersayang Sartji N.I. Banu, A.Md Keb, Anak-anakku tercinta Devendy Sabuna dan Dede Praja Sabuna serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan do’a dan dukungan yang tak terkira sejak awal perkuliahan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Tuhan yang Maha Kuasa. Tuhan yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan di Indonesia, terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Bogor, Agustus 2012 DEMARCE M. SABUNA


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Pene Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur) pada tanggal 18 Maret 1974 sebagai sulung dari empat bersaudara pasangan Bapak Thobias Sabuna (alm.) dan Ibu Yakobah Nenotek. Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SDN I Pene Selatan, kemudian pada tahun 1989 menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMPN IV Kupang. Pada tahun 1992, penulis lulus dari SMA Beringin Kupang.

Pada tahun 1994, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan Sebagai Koordinator Statistik Kecamatan (KSK). Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa Tugas Belajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta dan menyelesaikan pendidikan D-IV tersebut pada tahun 2005. Setelah lulus D-IV, penulis ditugaskan kembali pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2008, penulis diberi kepercayaan untuk menjadi Kepala Seksi Integrasi, Pengolahan dan Deseminasi Statistik (IPDS) BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada tahun 2009, penulis dipindahtugaskan menjadi Kepala Seksi Statistik Distribusi BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB yang merupakan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik, setelah sebelumnya menyelesaikan Program Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekomoni dan Manajemen IPB.


(20)

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Definisi Kemiskinan ... 9

2.2 Penyebab Kemiskinan ... 11

2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan ... 13

2.3.1 Jumlah Penduduk ... 14

2.3.2 Produk Domestik Regional Bruto per Kapita ... 15

2.3.3 Pengeluaran Pembangunan APBD... 16

2.3.4 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian... 17

2.3.5 Pengangguran... 19

2.3.6 Tingkat Pendidikan ... 19

2.3.7 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara serta Tembakau dan Sirih Pinang... 20

2.4 Kerangka Pemikiran ... 22

2.5 Hipotesis Penelitian ... 23

III. METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 25

3.2 Metode Analisis ... 25

3.2.1 Analisis Deskriptif ... 25

3.2.2 Metode Regresi Data Panel ... 25


(22)

3.2.2.2 Uji Asumsi ... 31 3.2.2.3 Evaluasi Model... 32 3.2.2.4 Spesifikasi Model Penelitian ... 33 3.3 Definisi Operasional ... 34 IV. GAMBARAN UMUM DAN DINAMIKA KEMISKINAN ... 37 4.1 Gambaran Umum ... 37 4.1.1 Kondisi Geografis dan Wilayah Administratif ... 37 4.1.2 Kependudukan ... 37 4.1.3 Produk Domestik Regional Bruto... 40 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita... 40 Produk Domestik Regional Bruto Sektoral ... 41 4.1.4 Pengeluaran Pembangunan APBD ... 43 4.1.5 Pekerja Sektor Pertanian... 44 4.1.6 Pengangguran ... 46 4.1.7 Pendidikan ... 47 4.2 Dinamika Kemiskinan ... 49 4.2.1 Jumlah Penduduk Miskin ... 49 4.2.2 Kedalaman Kemiskinan... 53 4.2.3 Keparahan Kemiskinan... 55 V. KAITAN BUDAYA DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA ... 57 5.1 Gambaran Umum Budaya NTT ... 57 5.2 Pengeluaran Tembakau dan Sirih Pinang ... 58 5.3 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara... 62 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN ... 67 6.1 Uji Model Regresi Data Panel ... 67 6.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan ... 69 6.2.1 Jumlah Penduduk... 70 6.2.2 Produk Domestik Regional Bruto... 71 6.2.3 Pengeluaran Pembangunan APBD ... 71 6.2.4 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian ... 73 6.2.5 Pengangguran ... 75 6.2.6 Pendidikan ... 76 xix


(23)

6.2.7 Pengeluaran Konsumsi Tembakau dan Sirih Pinang ... 79 6.2.8 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara... 79 6.3 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di NTT ... 80 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85 6.1 Kesimpulan ... 85 6.2 Saran ... 86 6.3 Saran Penelitian Lanjutan ... 86 DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN ... 89


(24)

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2002 - 2010... 2 2 PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 di Provinsi Nusa

Tenggara Timur tahun 2002 - 2010... 3 3 Kerangka identifikasi autokorelasi ... 31 4 Model acuan dan model penelitian ... 33 5 Jumlah penduduk dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa

Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 ... 38 6 Jumlah penduduk miskin dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi

Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 ... 50 7 Persentase penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan

Indonesia dirinci menurut kota dan desa tahun 2007 - 2010... 51 8 Hasil regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di


(26)

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran ... 5 2 Pengujian pemilihan model dalam pengolahan data panel... 30 3 Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur

tahun 2005 - 2010 ... 39 4 Piramida penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 ... 40 5 PDRB per Kapita Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut

kabupaten/kota tahun 2005 dan tahun 2010 ... 41 6 PDRB Sektoral Provinsi Nusa Tenggara Timur Menurut Lapangan

Usaha tahun 2010 ... 42 7 PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut subsektor pertanian

tahun 2010 ... 43 8 Realisasi Pengeluaran Pembangunan APBD di Provinsi Nusa Tenggara

Timur tahun 2005 dan tahun 2010... 44 9 Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja di

sektor pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ... 45 10 Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja

menurut lapangan pekerjaan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 ... 45 11 Persentase tingkat pengangguran menurut kabupaten/kota di Provinsi

Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ... 46 12 Persentase jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Provinsi

Nusa Tenggara Timur tahun 2010 ... 48 13 Rata-rata lama sekolah penduduk 10 tahun ke atas di Provinsi Nusa

Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ... 49 14 Persentase penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa

Tenggara Timur Tahun 2005 dan tahun 2010 ... 52 15 Indeks kedalaman kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun


(28)

16 Indeks kedalaman kemiskinan menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ... 54 17 Indeks keparahan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun

2005 - 2010 ... 55 18 Indeks keparahan kemiskinan menurut kabupaten/kota di Provinsi

Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010... 56 19 Persentase jumlah pengeluaran tembakau dan sirih pinang terhadap

total pengeluaran rumahtangga menurut kab/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ... 59 20 Persentase pengeluaran sumber makanan karbohidrat, sumber makanan

protein dan pengeluaran tembakau serta sirih pinang terhadap total pengeluaran makanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ... 60 21 Persentase jumlah pengeluaran pendidikan, kesehatan dan pengeluaran

tembakau dan sirih pinang terhadap total pengeluaran bukan makanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010... 61 22 Persentase jumlah pengeluaran pesta dan upacara terhadap total

pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ... 65 23 Persentase jumlah pengeluaran pendidikan, kesehatan dan pengeluaran

keperluan pesta dan upacara di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 ... 66 24 Hasil uji error term faktor faktor yang memengaruhi kemiskinan di


(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil uji pooled least square faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ... 89 2 Hasil Pengujian fixed effect faktor-faktor yang memengaruhi

kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ... 90 3 Hasil uji Chow faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi

Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ... 91 4 Hasil ujirandom effect faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di

Provinsi Nusa Tenggara Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ... 93 5 Hasil uji Hausman faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di

Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ... 94 6 Hasil uji normalitas error term faktor-faktor yang memengaruhi


(30)

(31)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi isu dunia yang banyak diminati oleh para peneliti karena jumlahnya yang besar dan dampak yang ditimbulkannya sangat buruk bagi kehidupan masyarakat. Wold Bank (2004) melaporkan bahwa seperempat penduduk tergolong miskin. Sementara di Indonesia bisa dihitung dengan standar hidup minimum per kapita per hari US$ 2, maka penduduk yang tergolong miskin mencapai 59,99 persen (Wold Bank, 2007). Menurut Yudhoyono dan Harniati (2007), kemiskinan berdampak negatif atau dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia dan menurunkan ketertiban umum.

Kemiskinan juga merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan dan kesenjangan antar golongan penduduk. Kesenjangan dan pelebaran jurang kaya miskin tidak mungkin untuk terus dibiarkan karena akan menimbulkan berbagai persoalan baik persoalan sosial maupun politik di masa yang akan datang.

Sejak dilaksanakan pembangunan di Indonesia, jumlah penduduk miskin selama periode (1976-1996) telah mengalami penurunan secara drastis. Sebagai ilustrasi: periode (1976-1981) turun dari 54,2 juta jiwa (40,1%) menjadi 40,6 juta jiwa (26,9%); pada tahun 1990 turun lagi menjadi 27,2 juta jiwa (15,1%); pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin tinggal 22,5 juta jiwa atau 11,2 persen. Sebelum masa krisis pada tahun 1997, Indonesia menjadi salah satu model pembangunan yang diakui karena berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan jumlah penduduk miskin melonjak kembali, tahun 1998 jumlah penduduk miskin tercatat menjadi 49,5 juta jiwa (24,23 %) dan sedikit menurun pada tahun 1999 menjadi 47,9 juta jiwa atau mencapai 23,4 persen dari total jumlah penduduk. Menurut BPS(2010) jumlah penduduk miskin yang berada di


(32)

bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 %).

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menunjukkan tingkat kemiskinan masih tergolong tinggi walaupun penanganan kemiskinan terus diupayakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat. Tingkat kemiskinan di Provinsi NTT pada tahun 2002 sebesar 30,74 persen dan sampai dengan tahun 2010 menurun menjadi 23,01 persen. Penurunan tersebut masih tergolong tinggi apabila dibandingkan secara nasional yaitu berada peringkat 4 setelah 3 provinsi lainnya seperti Tabel 1.

Tabel 1. Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2002-2010

Tahun Jumlah

(ribu orang)

Persentase terhadap populasi

Peringkat termiskin Nasional*)

2002 1.206,5 30,74 4

2003 1.166,0 28,63 5

2004 1.152,1 27,86 5

2005 1.171,2 28,19 4

2006 1.273,9 29,34 4

2007 1.163,6 27,51 4

2008 1.098,3 25,65 4

2009 1.021,8 23,31 3

2010 1.020,6 23,01 3

*)dibandingkan dengan 33 Provinsi di Indonesia Sumber: BPS, 2003-2010(diolah)

Sepanjang tahun 2002 hingga tahun 2010 PDRB Perkapita Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan dalam nominalnya. Peningkatan PDRB perkapita tersebut masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Kondisi tersebut yang menyebabkan Provinsi Nusa Tenggara Timur selalu tertinggal dari daerah lain di Indonesia. Pada tahun 2002 hingga tahun 2007 Provinsi Nusa Tenggara Timur termasuk dalam 2 provinsi dengan PDRB perkapita terendah di tingkat nasional, bahkan pada tahun 2008 hingga tahun 2010 menjadi provinsi dengan pendapatan perkapita terendah di Indonesia seperti pada Tabel 2.


(33)

Angka kemiskinan yang tinggi dan Pendapatan Domestik Regional Bruto(PDRB) per kapita yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai persoalan mendasar yang belum diupayakan secara maksimal. Persoalan mendasar tersebut berupa kondisi sosial ekonomi, kultur atau budaya masyarakat dan program-program penanggulangan kemiskinan masih bersifat homogen untuk setiap daerah. Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, sehingga program-program penanggulangan kemiskinan kurang efektif menurunkan angka kemiskinan dan tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Rancangan strategi penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada beragamnya akar permasalahan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan, termasuk faktor kultural yang dihadapi di Nusa Tenggara Timur menjadi penting untuk diteliti.

1.2 Perumusan Masalah

Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah banyak dilakukan. Program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan adalah berbagai Instruksi Presiden (Inpres), seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan lain sebagainya. Selain Inpres, program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan

Tabel 2. PDRB per kapita dasar harga konstan tahun 2000 Provinsi Nusa Tengara Timur tahun 2002-2010

Tahun Jumlah

(ribuan rupiah)

Pertumbuhan (%)

Peringkat Nasional*)

2002 2.185,4 3,25 32

2003 2.202,5 0,78 32

2004 2.294,9 4,19 32

2005 2.305,7 0,47 32

2006 2.376,0 3,04 32

2007 2.450,6 3,14 32

2008 2.520,0 2,83 33

2009 2.592,0 2,86 33

2010 2.676,0 3,24 33

*)dibandingkan dengan 33 provinsi di Indonesia Sumber : BPS 2003-2011 (diolah)


(34)

Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dan lain sebagainya.

Hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah tetapi masyarakat Nusa Tenggara Timur masih saja miskin dengan pendapatan perkapita terendah di Indonesia. Dengan kondisi demikian, maka beberapa aspek perlu diperhatikan dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Aspek-aspek tersebut mencakup Aspek-aspek sosial budaya, Aspek-aspek ekonomi, Aspek-aspek politik dan aspek-aspek lain seperti aspek waktu dan tata ruang. Menurut Wold Bank (2004), faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat berupa karakter makro, sektor, komunitas, rumahtangga dan individu.

Sehubungan dengan aspek sosial budaya, Lewis (1969) mengemukakan bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor kultural dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Kemiskinan kultural adalah kondisi yang diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sebuah komunitas. Faktor-faktor kultural yang menonjol di Nusa Tenggara Timur adalah budaya makan sirih pinang dan budaya pesta serta upacara adat. Faktor-faktor kultural tersebut menyebabkan alokasi pengeluaran rumahtangga yang tidak tepat sasaran dan mengurangi pendapatan yang digunakan untuk tabungan dan investasi.

Mengkonsumsi sirih pinang termasuk tembakau bagi seluruh suku yang berada di Nusa Tenggara Timur adalah tradisi atau adat yang telah ada turun temurun bahkan menjadi bagian penting dalam upacara-upacara adat suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Sirih pinang dalam budaya ketimuran pada umumnya dan Nusa Tenggara Timur khususnya memiliki nilai sosial yang tinggi. Sirih pinang berfungsi sebagai penghormatan dan penghargaan kepada tamu yang berkunjung. Sirih pinang juga biasa dipakai sebagai “snack”pembuka dalam setiap pertemuan atau dipakai sebagai simbol atau pelengkap ritual adat. Intinya bahwa sirih pinang


(35)

merupakan alat perekat persaudaraan dalam kehidupan masyarakat yang akan terus dicari untuk melengkapi kehidupan masyarakat (Nakmofa, 2010).

Kaitannya dengan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, penggunaan tembakau dan sirih pinang dapat meningkatkan kemiskinan. Sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang. Kebutuhan pokok lainnya, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga menjadi prioritas kedua.

Diketahui bahwa PDRB per kapita Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 mencapai Rp 2.676.000. Apabila 10 persen dari pendapatan tersebut dibelanjakan untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang maka akan mencapai Rp 267.600. Keadaan ini bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur yang persentase kemiskinannya masih tinggi adalah suatu kondisi yang perlu mendapat perhatian serius dari seluruh komponen masyarakat. Studi empiris menunjukkan bahwa penduduk miskin cenderung lebih banyak menggunakan tembakau daripada penduduk yang lebih kaya (World Bank, 1999). Penduduk dengan status sosial-ekonomi lebih rendah (tingkat pendidikan dan status pekerjaan) cenderung punya prevalensi merokok lebih tinggi daripada penduduk dengan status sosial-ekonomi yang lebih baik.

Selain konsumsi tembakau dan sirih pinang, budaya pesta dan upacara adat juga yang seringkali dilakukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Benu (2006) dan Nakmofa (2010), menyatakan bahwa kondisi budaya di Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu penyebab kemiskinan. Hal ini ternyata menimbulkan berbagai sikap dan pendapat, baik yang pro maupun yang kontra. Salah satu pendapat yang paling banyak dikemukakan oleh masyarakat adalah menyangkut pengaruh“belis”(mahar) perkawinan terhadap kondisi kemiskinan.

Pada umumnya masyarakat, terutama dari generasi muda, merasa “belis” sebagai suatu beban yang harus dipenuhi terutama pada saat perkawinan dan kematian. Beban ini dirasakan memberatkan perekonomian keluarga, terutama bagi keluarga miskin, karena terbatasnya aset yang mereka miliki untuk melunasi “belis”. Aset yang sering dijadikan alat pembayaran belis adalah hewan ternak, seperti kuda, sapi maupun babi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat memilih


(36)

menyimpan asetnya atau menabung dalam bentuk hewan ternak daripada bentuk tabungan lainnya (seperti uang) agar dapat segera digunakan sewaktu-waktu jika ada keperluan adat (belis). Jumlah ternak yang harus diberikan sebagai “belis” kepada pihak perempuan seringkali melebihi jumlah aset yang dimiliki oleh pihak laki-laki.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, rancangan strategi kemiskinan yang didasarkan pada beragamnya akar permasalahan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan, termasuk faktor kultural yang dihadapi di Nusa Tenggara Timur menjadi menarik untuk diteliti. Harapannya program-program yang lebih tepat sasaran dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah, terutama Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur dalam mengatasi masalah kemiskinan sehingga kemiskinan secara efektif diturunkan. Lebih lanjut pemerintah lebih selektif dalam mengalokasikan anggaran pembangunan di Nusa Tenggara Timur.

Berdasarkan uraian diatas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 2. Bagaimanakah kaitan antara budaya masyarakat dengan pengeluaran

rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur?

3. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tengggara Timur?

4. Seberapa besar pengaruh faktor kultural terhadap terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka penelitian ini bertujuan:

1. Mengkaji dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

2. Mengkaji kaitan antara budaya masyarakat dengan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur

3. Menganalis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tengggara Timur.


(37)

4. Menganalis besarnya pengaruh faktor kultural terhadap terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi mengenai dinamika kemiskinan, kaitan antara budaya masyarakat dan pengeluaran rumahtangga serta faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tengggara Timur.

2. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah dalam mengambil kebijakan agar upaya penanggulangan kemiskinan menjadi lebih efektif.

1.5 Cakupan dan Keterbatasan Penelitian

Cakupan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten yang mengalami pemekaran setelah tahun 2002 digabungkan pada kabupaten induknya. Kabupaten Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah digabungkan dengan Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Nagakeo digabungkan dengan Kabupaten Ngada, Kabupaten Manggarai Timur di gabungkan dengan Kabupaten Manggarai.

Analisis dilakukan pada setiap kabupaten/kota dengan periode analisis 2000-2010. Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, rata-rata lama sekolah, PDRB per kapita, pengangguran, realiasi pengeluaran pembangunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pengeluaran pesta dan upacara, pengeluaran konsumsi tembakau dan sirih pinang serta data-data pendukung yang relevan dengan penelitian. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan sumber-sumber lainnya.


(38)

(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Definisi Kemiskinan

Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.

Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki maupun perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk menpertahankan dan mengembangakan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak- hak yang dipahami oleh masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang lebih bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum ini meliputi hak akan kebutuhan pangan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik (Kuncoro, 2006).

Menurut Damanhuri (2010), terdapat empat macam bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan relatif, kemiskinan absolut dan kemiskinan struktural serta kemiskinan kultural.Pertama, kemiskinan relatif adalah kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.Kedua, kemiskinan absolut merupakan kondisi miskin yang ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Ukuran yang dipakai adalah dengan menghitung jumlah penduduk miskin yang berada dibawah “garis kemiskinan” (poverty line).

Ketiga, Kemiskinan Stuktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan misalnya kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi. Keadaan ini akan diperparah dengan struktur yang menghambat misalnya kalangan UMKM yang


(40)

sulit akses kepada permodalan perbankan, sehingga tetap miskin bahkan makin terpuruk karena daya beli yang menurun akibat inflasi, sementara usaha tak berkembang disebabkan kesulitan modal dimana akses kepada perbankan sangat sulit. Selain itu juga, petani dan pertanian terkorbankan oleh kebijakan industrialisasi yang mengorbankan tanah mereka, alokasi APBN, APBD, tata ruang, perbankan dan seterusnya lebih menyalurkan alokasinya kepada pembangunan industri manufaktur.

Keempat, kemiskinan Kultural adalah kondisi yang diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sebuah komunitas. Misalnya sikap malas, etos kerja rendah, tak siap berkompetisi, sikap menerabas, mengambil jalan pintas, jika perlu dengan melanggar hokum/korupsi, dan lain sebagainya.

Friedman (1979), mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya kesempatan untuk mengakumulasikan aset-aset produktif, organisasi sosial dan politik yang mampu mewujudkan kepentingan umum, sosialisasi yang dapat memberikan kesempatan untuk bekerja, informasi dan pendidikan serta teknologi yang menjadi tuntutan hidup.

Scott (1979), mengartikan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri. Scott mengemukakan tiga definisi kemiskinan. Pertama, kemiskinan merupakan buruknya kondisi seseorang karena kurangnya pendidikan, kesehatan dan transportasi. Hal ini mengakibatkan kemampuan dan produktivitas kerja menurun sehingga pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, definisi miskin yang disebabkan karena kurangnya aset produktif seseorang, seperti uang, tanah, rumah dan fasilitas lainnya. Ketiga, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kehidupan seseorang atau masyarakat yang tidak dipenuhi kebutuhan nonmaterinya, seperti hak kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk merdeka dan kebutuhan nonmateri lainnya. Berdasarkan urain tersebut kemiskinan bisa dipandang sebagai suatu keadaan yang kompleks, tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya.


(41)

Menurut Badan Pusat Statistik (2010), penduduk miskin yaitu penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kilo kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan kebutuhan individu yang mendasar lainnya.

2.2 Penyebab Kemiskinan

Jhingan (2004), mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan.

Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yangketigaadalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian.

Suryawati (2005), menyebutkan ciri-ciri kelompok atau masyarakat miskin adalah (1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja dan ketrampilan, (2) Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, (3) Sebagian besar berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil, dan setengah menganggur, (4) Kebanyakan berada di pedesaan, (5) Kurang kesempatan untuk memperoleh bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi dan kesejahteraan sosial lainnya.

Ciri-ciri kemiskinan berbeda antar wilayah, dimana perbedaan ini terkait pada kemiskinan sumber daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan setempat. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka dalam upaya penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah perlu terlebih dahulu di gali penyebab dan cirri-ciri dari kemiskinan masing-masing daerah sehingga program yang diluncurkan tepat sasaran.


(42)

Mawardi (2004), menyebutkan ada enam kategori yang menyebabkan kemiskinan, antara lain:

1. Ketidakberdayaan

Faktor ketidakberdayaan merupakan faktor di luar kendali masyarakat miskin, yang mencakup aspek ketersediaan lapangan pekerjaan, tingkat biaya/harga (baik barang konsumsi, sarana produksi, maupun harga jual produksi), kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan, dan takdir/kodrat. Aspek takdir ini merupakan bentuk kepasrahan dari masyarakat miskin karena kondisi kemiskinan yang mereka alami sudah sedemikian rupa sehingga timbullah sikap apatis dan mereka menganggap bahwa hanya mukjizat Tuhan yang bisa mengubah keadaan.

2. Kekurangan materi

Kategori kekurangan materi adalah kepemilikan atau tidak memiliki berbagai macam aset, seperti rumah, tanah, modal kerja, warisan, serta rendahnya penghasilan karena upah atau hasil panen yang rendah. Faktor kekurangan materi merupakan faktor penyebab kemiskinan yang dominan selain faktor ketidakberdayaan.

3. Keterkucilan

Faktor keterkucilan terkait dengan hambatan fisik dan nonfisik dalam mengakses kesempatan meningkatkan kesejahteraan, antara lain karena lokasi yang terpencil, prasarana transportasi yang buruk, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses terhadap kredit, pendidikan, kesehatan, irigasi dan air bersih tidak ada/kurang memadai.

4. Kelemahan fisik

Faktor kelemahan fisik antara lain: kondisi kesehatan, kemampuan kerja, kurang makan dan gizi, dan masalah sanitasi. Pada umumnya kondisi kesehatan yang buruk dianggap lebih penting sebagai penyebab kemiskinan dibandingkan faktor ketidakmampuan bekerja.

5. Kerentanan

Faktor kerentanan mencerminkan kondisi ketidakstabilan atau guncangan yang dapat menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan. Kerentanan juga mencakup


(43)

aspek pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerjaan tidak tetap, masalah dalam produksi, bencana alam dan musibah dalam keluarga.

6. Sikap dan perilaku

Kebiasaan buruk atau sikap yang cenderung menghambat kemajuan masuk dalam kategori ini. Didalamnya mencakup kurangnya upaya untuk bekerja, tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah ketidakharmonisan keluarga, serta kebiasaan berjudi/mabuk.

Smeru (2001), menyampaikan delapan penyebab dasar kemiskinan, antara lain: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal, (2) keterbatasan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana, (3) adanya kecenderungan kebijakan yang diambil pemerintah bias perkotaan dan bias sektor, (4) sistem yang kurang mendukung dan perbedaan kesempatan antar masyarakat, (5) perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi (tradisional versus modern), (6) produktivitas dan tingkat pembentukan modal yang rendah, (7) budaya hidup yang cenderung dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, dan (8) tata kelola pemerintahan yang belum baik.

Suryawati (2005), menyampaikan beberapa penyebab kemiskinan pedesaan, antara lain:

1. Natural assets, mencakup tanah dan air. Sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang relatif kecil sebagai mata pencahariannya.

2. Human assets, yakni kualitas sumberdaya manusia di perdesaan masih rendah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.

3. Physical assets, masih rendahnya akses masyarakat ke infrastruktur dan pelayanan umum antara lain jalan, listrik dan telekomunikasi.

4. Financial assets, yakni tabungan yang masih kecil dan keterbatasan akses untuk memperoleh modal usaha.

5. Social assets,lebih kepada pengaruh politik.

Papilaya (2006), meneliti tentang akar dan strategi pengentasan kemiskinan di tiga kabupaten/kota yang terletak di Provinsi Gorontalo. Dari hasil penelitian mereka dinyatakan bahwa akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan yaitu kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin dan kurang


(44)

normatifnya perilaku elit. Secara kualitatif, kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin terlihat dari perilaku seperti perilaku hedonis, konsumtif, ketergantungan, suka berhutang, apatis dan fatalis. Sementara itu, kurang normatifnya perilaku elit dapat terlihat pada perilaku mencari keuntungan (rent seeking behavior) pelaksana program kemiskinan seperti yang diungkapkan oleh rumahtangga miskin pada waktu diskusi kelompok terfokus (FGD). Disamping itu, perilaku mengutamakan keluarga dekat (nepotisme) dan perilaku pilih kasih (favoritisme).

2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan 2.3.1 Jumlah Penduduk

Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja, tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara berkembang. Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan jumlah penduduk. Sekalipun output meningkat sebagai hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, peningkatan ini akan ditelan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak. Alhasil, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata perekonomian (Jhingan, 2003).

Jhingan (2003) mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) ia memperberat beban penduduk pada lahan; 2) ia menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat.

Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih


(45)

besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendapatan per kapita menjadi rendah. Siregar dan Wahyuniarti (2007), dalam penelitiannya tentang“Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin” menghasilkan temuan bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk sebesar 1000 orang akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 249 orang. Penemuan yang sama diperoleh Suparno (2010) yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk terbukti meningkatkan jumlah kemiskinan di Indonesia.

2.3.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita

Pro poor growth menurut Kakwani, et al. (2004) yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih memberikan keuntungan atau manfaat bagi penduduk miskin dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Jika ini terjadi maka akan berdampak semakin banyak penduduk miskin yang mengalami peningkatan pendapatan dan mampu keluar dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pro poor akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak dihasilkan dari partisipasi ekonomi penduduk miskin. Hal ini berdampak pada tingkat kemiskinan yang semakin mengecil.

Beberapa pendapat mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan seperti diuraikan Todaro dan Smith (2006).

Pendapat pertama, pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin. Hal ini terjadi karena kaum miskin akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Pendapatkedua, di kalangan pembuat kebijakan, pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat ketiga, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bukan memperlambat laju pertumbuhan, dengan argumen sebagai berikut:

1. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita.

2. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berinvestasi di negara mereka sendiri.


(46)

3. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas.

4. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor.

5. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan.

Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi.

2.3.3 Realisasi Pengeluaran Pembangunan APBD

Menurut Tambunan (2006), pengeluaran pembangunan pemerintah yang direalisasikan dalam rancangan APBN atau APBD merupakan instrument kelembagaan pemerintah yang memiliki peran strategis dalam pengurangan kemiskinan, melalui penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur fisik terutama jalan dan irigasi. Peningkatan kesehatan dan pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas yang selanjutnya meningkatkan pendapatan penduduk miskin seperti petani dan buruh tani dalam arti luas. Infrastruktur yang baik sangat membantu peningkatan produksi, pertumbuhan kegiatan bisnis, termasuk di sektor informal, dan pemasaran produk-produk dari penduduk miskin seperti petani dan usaha mikro kecil.

Besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan sektor publik dapat diproksi dengan besarnya realisasi pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Nilai realisasi pengeluaran APBD digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam segi pendanaan dalam rangka dalam pembangunan daerah termasuk untuk mengatasi masalah kemiskinan. Semakin


(47)

besar nilai realisasi pengeluaran APBD menunjukkan semakin besar pula peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin.

Menurut Fan, et al, (1999), pengeluaran pemerintah dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kemiskinan. Dampak langsung pengeluaran pemerintah adalah manfaat yang diterima penduduk miskin dari berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk, yang secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya harga kebutuhan pokok. Pengeluaran pemerintah juga diperlukan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi untuk membantu mendayagunakan sumber daya secara berkelanjutan bagi pengeluaran pemerintah di masa depan.

Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama penyediaan solusi yang permanen dalam mengatasi masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. Besarnya pengeluaran pemerintah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan di berbagai negara, disamping juga dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB riil perkapita, perubahan ketidakmerataan dan tingkat ketidakmerataan awal. Besarnya pengeluaran pemerintah dalam APBN atau APBD memiliki hubungan yang signifikan dengan pengurangan jumlah penduduk miskin. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.

2.3.4 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian

Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas tinggal di perdesaan. Dari tahun 2000 hingga 2008, sekitar 40 persen angkatan kerja nasional melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian (BPS 2008). Seiring dengan maraknya isu


(48)

industrialisasi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan menyebabkan lahan pertanian mengalami pengurangan, bahkan semakin banyak pula penduduk yang tidak mempunyai lahan sama sekali. Semakin berkurang lahan pertanian maka produktivitas pertanian turun sehingga output pertanian juga turun, dan dampaknya adalah terjadinya penurunan pendapatan petani. Jika pendapatan petani berkurang maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kemiskinan bertambah.

Menurut Arsyad (2010), satu faktor penyebab kemiskinan di sektor pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan hal ini salah satunya disebabkan oleh distribusi lahan pertanian yang semakin timpang. Ketimpangan penguasaan lahan pertanian terjadi di Indonesia sudah sejak lama. Program land reform dilaksanakan pada pertengahan tahun 1960-an oleh pemerintahan pada masa itu, namun program ini tidak berhasil mengatasi masalah ketimpangan penguasaan lahan ini seiring dengan perubahan sistem politik dan ekonomi pada masa rezim orde baru.

Sebuah realita menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh petani kecil (petani gurem). Petani gurem adalah petani dengan luas lahan garapan kurag dari 0,5 ha. Pada tahun 1983, jumlah petani gurem sekitar 46,2 persen dari keseluruhan petani. Duapuluh tahun kemudian, yaitu tahun 2003, jumlah petani gurem meningkat menjadi 56,4 persen.

Salah satu sebab rendahnya produktivitas pertanian adalah rendahnya tingkat pendidikan petani dan buruh tani relatif rendah. Menurut teori pertumbuhan endogen, pendidikan merupakan pendorong meningkatnya output melalui peningkatan produktivitas pekerja karena sumberdaya manusia yang berkualitas. Pada tahun 2003, sekitar 31,62 persen petani di Indonesia tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dan sebagian besar tinggal di perdesaan. Petani yang berpendidikan dasar sekitar 44,98 persen, dan hanya sekitar 1,69 persen petani yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi (BPS 2003). Nurkse dalam Arsyad (2010) dalam satu konsepnya mengenai lingkaran kemiskinan, menyebutkan bahwa timbulnya lingkaran setan kemiskinan disebabkan kurangnya akses dalam pembentukan modal. Lembaga perbankan yang ada di Indonesia masih kurang menjangkau petani kecil. Petani yang paling


(49)

sering mendapatkan kredit adalah petani pemilik lahan, misalnya pemilik lahan kelapa sawit. Kurangnya modal menyebabkan petani kecil sulit untuk mengembangkan usahanya, sehingga pendapatan yang diterimanya sulit untuk meningkat. Akibatnya, kemiskinan di sektor pertanian cenderung persistent dan sulit untuk diturunkan.

2.3.5 Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut The National Anti-Poverty Strategy (1999), berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya di Ireland menyatakan bahwa pengangguran merupakan penyebab terbesar terjadinya kemiskinan. Keterkaitan antara pengangguran dengan kemiskinan sangat kuat. Pada tahun 1994, lebih dari setengah dari total keluarga di Ireland dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan.

Sukirno (2004), menyatakan bahwa efek buruk dari pengangguran adalah berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran/kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat yang turun karena menganggur akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, maka akan timbul kekacauan politik dan sosial. Hal ini mempunyai efek yang buruk pada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Suparno (2010) menemukan bahwa banyaknya pengangguran akan berdampak pada peningkatan kemiskinan di Indonesia.

2.3.6 Tingkat Pendidikan

Pendidikan berfungsi sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Pendidikan membantu menurunan kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang penting bagi bangsa (World Bank 2005). Pendidikan sebagai sarana untuk memperoleh wawasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan agar peluang kerja lebih terbuka dan upah yang didapat juga lebih tinggi. Rahman


(50)

(2006) menemukan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan upah/gaji yang diterima oleh pekerja.

Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Lucas dan Romer (1996), pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Anderssonet.al(2005) dalam penelitiannya yang berjudulDeterminants of Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan mengurangi kemiskinan.

2.3.7 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara serta Tembakau dan Sirih Pinang

Menurut teori lingkaran setan kemiskinan yang dikemukana oleh Nurske dalam Damanhuri (2010) menyatakan bahwa terdapat suatu rangkaian kekuatan yang saling memengaruhi sehingga menimbulkan keadaam dimana suatu negara/daerah akan tetap miskin. Bagi Nurske, hal terpenting dalam lingkaran setan kemiskinan adalah segala keadaan yang menimbulkan adanya hambatan dalam pembentukan modal yang tinggi. Di mana, di satu pihak pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan, dan di pihak yang lain oleh perangsang untuk menanam modal.

Menurut Keynes dalam Mankiw (2008), Pendapatan dapat digunakan untuk konsumsi dan tabugan atau (Y= C+S). Dimana Y= pendapatan, C= konsumsi dan S= saving/tabungan. Jika diasumsikan bahwa tingkat pendapatan tetap dan konsumsi meningkat maka bagian dari pendapatan yang akan digunakan untuk tabungan semakin menurun atau kecil. Tingkat tabungan yang kecil tersebut


(51)

akan menyebabkan pembentukan modal yang kecil. Dengan kata lain, tingkat tabungan akan semakin besar jika pendapatan yang digunakan untuk konsumsi dapat diperkecil.

Badan Pusat Statistik menggunakan konsep pendekatan pengeluaran untuk menghitung besarnya konsumsi masyarakat. Pengeluaran dibagi dalam dua bagian yaitu pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Pengeluaran untuk makanan terdiri dari sumber karbohidrat, sumber protein, sayur-mayur, buah-buah, minuman, tembakau dan sirih pinang, dan lain sebagainya. Sedangkan pengeluaran untuk non makanan meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya, termasuk pengeluaran untuk keperluan pesta dan upacara.

Mengkonsumsi sirih pinang termasuk tembakau bagi seluruh suku yang berada di Nusa Tenggara Timur adalah tradisi atau adat yang telah ada turun temurun bahkan menjadi bagian penting dalam upacara-upacara adat suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Sirih pinang dalam budaya ketimuran pada umumnya dan Nusa Tenggara Timur khususnya memiliki nilai sosial yang tinggi yang berfungsi sebagai penghormatan dan penghargaan kepada tamu yang berkunjung ke rumah. Sirih pinang juga biasa dipakai sebagai“snack”pembuka dalam setiap pertemuan atau dipakai sebagai simbol atau pelengkap ritual adat. Intinya bahwa sirih pinang merupakan alat perekat persaudaraan dalam kehidupan masyarakat yang akan terus dicari untuk melengkapi kehidupan masyarakat (Nakmofa, 2010). Dengan kondisi budaya seperti ini maka pengeluaran untuk tembakau dan sirih pinang yang besar akan mengurangi tabungan sehingga memperkecil pembentukan modal dan pada akhirnya lingkaran setan kemiskinan tidak akan terputus.

Budaya pesta dan upacara adat juga yang seringkali dilakukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Benu (2006) dan Nakmofa (2010), menyatakan bahwa kondisi budaya pesta dan upacara adat di Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu penyebab kemiskinan. Salah satu pendapat yang paling banyak dikemukakan oleh masyarakat adalah menyangkut pengaruh “belis” (mahar) perkawinan terhadap kondisi kesejahteraan keluarga. Mahar atau “belis


(52)

perkawinan yang besar akan mengurangi bagian untuk tabungan dan memperkecil pembentukan modal.

2.4 Kerangka Pemikiran

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang memiliki pendapatan perkapita terendah di Indonesia. Persentase kemiskinan juga masih tergolong tinggi yaitu pada peringkat ketiga setelah Provinsi Papua dan Papua Barat. Program penanggulangan kemiskinan yang berasal dari pemerintah pusat masih bersifat homogen untuk setiap daerah.

Gambar 1. Kerangka pemikiran. Banyak program penanggulangan kemiskinan

telah dilakukan tetapi pendapatan perkapita rendah dan tingkat kemiskinan masih tinggi

Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Implementasi kebijakan di Provinsi NTT

Regresi Data Panel Analisis faktor-faktor yang

memengaruhi kemiskinan

Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan

Deskripsi kimiskinan di Provinsi NTT


(53)

Kondisi sosial ekonomi masyarakat Nusa Tenggara Timur berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, sehingga program penanggulangan kemiskinan kurang efektif dan mengakibatkan persentase kemiskinan di Nusa Tenggara Timur masih tergolong tinggi. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat baik secara ekonomi maupun kultural. Kondisi ekonomi dan kultural yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia menyebabkan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Nusa Tenggara Timur juga berbeda. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi umum dan dinamika kemiskinan serta kaitan antara budaya masyarakat dan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Lebih lanjut, merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menanggulangi kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini sajikan dalam Gambar 1.

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:

a) Jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja sektor pertanian, jumlah pengangguran, pengeluaran keperluan pesta dan upacara, pengeluaran tembakau dan sirih pinang akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kemiskinan atau peningkatan pada variabel-variabel akan berdampak menambah kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

b) Pengeluaran pembangunan APBD, PDRB perkapita, rata-rata lama sekolah akan mempunyai pengaruh negatif pada peningkatan kemiskinan atau penurunan pada variabel-variabel tersebut akan berdampak mengurangi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.


(54)

(55)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai instansi pemerintah terutama Badan Pusat Statistik. Data yang digunakan antara lain angka kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, tingkat pendidikan, pengeluaran pembangunan APBD, PBRB perkapita, pengangguran, serta data-data lainnya yang relevan dengan penelitian. Periode yang diteliti mulai tahun 2005 sampai dengan 2010.

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan Software Excel dan

Eviews 6.Software Exceldigunakan untuk membuat tabel dan grafik demi menunjang

analisis deskriptif. ProgramEviews 6 digunakan untuk membuat analisis regresi data

panel mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan.

3.2 Metode Analisis 3.2.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk memudahkan pemahaman dan penafsiran. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran kondisi sosial budaya dan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan ulasan rumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3.2.2 Metode Analisis Data Panel

Penelitian ini mengkombinasikan teori ekonomi dan statistik (ekonometrika), khususnya untuk membuktikan hubungan dan pengaruh antara variabel-variabel sosial budaya dan ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam ruang lingkup penelitian telah disebutkan bahwa penelitian ini hanya mengambil beberapa variabel utama yang menjadi penentu terhadap kemiskinan yang kemudian direpresentasikan dalam sebuah model ekonometrika. Untuk memperoleh taksiran masing-masing variabel maupun parameter, data statistik dan model diolah dengan menggunakan paket program e-views. Untuk mengetahui apakah hasil statistik masing-masing variabel dan variabel secara keseluruhan sudah sesuai dengan hipotesa-hipotesa yang disusun dan berpengaruh significan dilakukan uji statistik.


(56)

Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati, 2004). Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section

maka disebutunbalanced panel.

Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar

peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.

3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.

4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam datacross sectionsaja atau datatime seriessaja.

Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan diantaranya adalah:

1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors

umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.

3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:

a. Self-selectivity: permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada.

b. Nonresponse: permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga).


(57)

c. Attrition: jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi

4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.

5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan

cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference).

Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak mengandung variabel lag dependent-nya. Penelitian ini menggunakan analisis data panel statis sehingga pembahasannya dibatasi untuk analisis statis saja.

Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu

Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya

dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponenerror dengan peubah bebas.

Struktur datanya sebagai berikut.

                                             KNT NT NT KN N N KN N N T K T T K K T K T T K K it x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x X ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2 1 1 2 22 12 22 222 122 21 221 121 1 21 11 12 212 112 11 211 111

Misalkan diberikan persamaan regresi data panel sebagai berikut: individu ke-1 individu ke-2 individu ke-N periode 1 periode 2 periode T


(58)

it it i it a X

y   β ε

dimana: yit : nilaidependent variabeluntuk setiap unit individu i pada periode t dimana i = 1, …, n dan t = 1, …, T

i

a :unobserved heterogenity

it

X : nilai independent variabel yang terdiri dari sejumlah K variabel. Padaone way,komponenerrordispesifikasikan dalam bentuk:

it i it λ u

ε

dimana: λi : efek individu (time invariant)

it

u : disturbanceyang besifat acak (uit ~ N(0,σu2))

Untuktwo way, komponenerrordispesifikasikan dalam bentuk:

it t i

it λ µ u

ε

dimana: µt : efek waktu (individual invariant)

Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen

error yang merupakan efek dari individu (λi). Pada two way telah memasukkan efek dari waktu (µt) ke dalam komponen error, uit diasumsikan tidak berkorelasi dangan X .it Jadi perbedaan antaraFEMdanREMterletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λidan µtdengan X .it

3.2.2.1 Pengujian Model Terbaik

a. Fixed Effect Model(FEM)

FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat

komponenerrordari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dariintecept. Untukone waykomponenerror:

it it i i

it a X u

y  λ  β 

Sedangkan untuktwo waykomponenerror:

it it t i i

it a X u


(59)

Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square(PLS), Within Group(WG), Least Square Dummy Variabel (LSDV), dan

Two Way Error Component Fixed Effect Model.

b. Random Effect Model(REM)

REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponenerrordari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalamerror. Untukone waykomponenerror:

i it it i

it a X u

y   β  λ

Untuktwo waykomponenerror:

t i it it i

it a X u

y   β  λ µ

Asumsi yang digunakan dalam REM adalah

uit | i

0

E τ

2

2

| i u

it

u

E τ σ

i |xit

0

Eτ untuk semua i dan t

2

2

| στ τi xit

E untuk semua i dan t

uit j

0

E τ untuk semua i, t, dan j

uitujs

0

E untuk ij dan ts

i j

0

Eτ τ untuk ij

Dimana untuk:

One way error componenti λi

Two way error component: τi λi µt

Dari semua asumsi di atas, yang paling penting adalah E

τi |xit

0. Pengujian asumsi ini menggunakanHAUSMAN test. Uji hipotesis yang digunakan adalah:

H0: E

τi |xit

0Tidak ada korelasi antara komponenerrordengan peubah bebas

H1: E

τi |xit

0Ada korelasi antara komponenerrordengan peubah bebas

M M

 

k

H REM FEM FEM REM REM FEM

2 1

'

~ ˆ ˆ

ˆ

ˆ β β β χ

β   

 

dimana M : matriks kovarians untuk parameter β k : derajat bebas


(60)

2 tabel


(61)

Jika nilai χ2statistik hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.

3.2.2. 2 Uji Asumsi

Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM), maka kita dapat melakukan uji asumsi.

a. Uji Homoskedastisitas

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua

residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metodeGeneral Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics.

Jikasum square residpadaWeighted Statisticslebih kecil darisum square resid unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.

b. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antarerrormasa yang lalu denganerrormasa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Tata cara untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson(DW). Cara untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3. Korelasi serial ditemukan jika

error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat polarandom errordari hasil regresi.


(62)

Tabel 3. Kerangka identifikasi autokorelasi

Nilai DW Hasil

4–dl < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif 4–du < DW < 4- dl Hasil tidak dapat ditentukan

2 < DW < 4–du Tidak ada korelasi serial Du < DW < 2 Tidak ada korelasi serial dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan

0 < DW < dl Terdapat korelasi serial positif Sumber: Gujarati, 2004

3.2.2.3 Evaluasi Model a. Uji-F

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara bersamaan. Jika nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka tolak H0 dan itu artinya minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya.

b. Uji-t

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah :

H0:βi= 0

H1:βi≠ 0

Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak yang berarti peubah bebas secara statistik nyata pada taraf nyata yang telah ditetapkan dalam penelitian dan berlaku hal yang sebaliknya. Jika nilai probabilitas t-statistik < taraf nyata, maka tolak H0 dan berarti bahwa peubah bebas nyata secara statistik.

c. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model


(1)

Lampiran 4: Hasil uji Random Effect faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Dependent Variable: LOG(MISKIN)

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Sample: 2005 2010 (6 tahun)

Cross-sections included: 16 kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4.688701 1.425015 3.290282 0.0015

LOG(PDDK) 0.669347 0.129218 5.179978 0.0000

LOG(PDRB_KPT) -0.585134 0.140523 -4.163969 0.0001

LOG(PP) -0.090785 0.038141 -2.380261 0.0195

LOG(TANI) 0.113003 0.093561 1.207810 0.1304

LOG(NGANGGUR) 0.121762 0.067953 1.791861 0.0767

LOG(SEKOLAH) -0.527694 0.286118 -1.844324 0.2686

LOG(PESTA) 0.079364 0.060929 1.302560 0.1962

LOG(TSP) 0.030768 0.068419 0.449707 0.6541

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.278787 0.7304

Idiosyncratic random 0.169368 0.2696

Weighted Statistics

R-squared 0.735503 Mean dependent var 0.983945

Adjusted R-squared 0.710898 S.D. dependent var 0.309207 S.E. of regression 0.167260 Sum squared resid 2.405932

F-statistic 29.89314 Durbin-Watson stat 1.483541

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.738588 Mean dependent var 4.071308


(2)

Lampiran 5: Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

H0 : modelRandom Effectlebih baik daripadaFixed Effect H1 : modelFixed Effectlebih baik daripadaRandom Effect

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: UJI HAUSMAN

Test cross-section random effects Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 5.873197 8 0.6614

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

LOG(PDDK) 0.612714 0.669347 0.001691 0.1684

LOG(PDRB_KPT) -0.625381 -0.585134 0.002551 0.4255

LOG(PP) -0.089257 -0.090785 0.000083 0.8666

LOG(TANI) 0.126318 0.113003 0.001236 0.7048

LOG(NGANGGUR) 0.125128 0.121762 0.000164 0.7928

LOG(SEKOLAH) -0.416085 -0.527694 0.004968 0.1133

LOG(PESTA) 0.038271 0.079364 0.001268 0.2485

LOG(TSP) 0.031620 0.030768 0.000247 0.9568

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel Least Squares

Sample: 2005 2010 (6 tahun)

Cross-sections included: 16 kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 5.364335 1.514052 3.543033 0.0007

LOG(PDDK) 0.612714 0.135603 4.518448 0.0000

LOG(PDRB_KPT) -0.625381 0.149323 -4.188103 0.0001

LOG(PP) -0.089257 0.039211 -2.276326 0.0258

LOG(TANI) 0.126318 0.099946 1.263870 0.2104

LOG(NGANGGUR) 0.125128 0.069151 1.809487 0.0746

LOG(SEKOLAH) -0.416085 0.294672 -1.412027 0.1623

LOG(PESTA) 0.038271 0.070571 0.542298 0.5893


(3)

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.933828 Mean dependent var 4.071308

Adjusted R-squared 0.912392 S.D. dependent var 0.572215 S.E. of regression 0.169368 Akaike info criterion -0.499416 Sum squared resid 2.036680 Schwarz criterion 0.145774 Log likelihood 47.72225 Hannan-Quinn criter. -0.238711

F-statistic 43.56336 Durbin-Watson stat 1.754828

Prob(F-statistic) 0.000000

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

LOG(PDDK) 0.612714 0.669347 0.001691 0.1684

LOG(PDRB_KPT) -0.625381 -0.585134 0.002551 0.4255

LOG(PP) -0.089257 -0.090785 0.000083 0.8666

LOG(TANI) 0.126318 0.113003 0.001236 0.7048

LOG(NGANGGUR) 0.125128 0.121762 0.000164 0.7928

LOG(SEKOLAH) -0.416085 -0.527694 0.004968 0.1133

LOG(PESTA) 0.038271 0.079364 0.001268 0.2485

LOG(TSP) 0.031620 0.030768 0.000247 0.9568

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel Least Squares

Sample: 2005 2010 (6 tahun)

Cross-sections included: 16 kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 5.364335 1.514052 3.543033 0.0007

LOG(PDDK) 0.612714 0.135603 4.518448 0.0000

LOG(PDRB_KPT) -0.625381 0.149323 -4.188103 0.0001

LOG(PP) -0.089257 0.039211 -2.276326 0.0258

LOG(TANI) 0.126318 0.099946 1.263870 0.2104

LOG(NGANGGUR) 0.125128 0.069151 1.809487 0.0746

LOG(SEKOLAH) -0.416085 0.294672 -1.412027 0.1623

LOG(PESTA) 0.038271 0.070571 0.542298 0.5893

LOG(TSP) 0.031620 0.070197 0.450441 0.6538


(4)

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.933828 Mean dependent var 4.071308

Adjusted R-squared 0.912392 S.D. dependent var 0.572215 S.E. of regression 0.169368 Akaike info criterion -0.499416 Sum squared resid 2.036680 Schwarz criterion 0.145774 Log likelihood 47.72225 Hannan-Quinn criter. -0.238711

F-statistic 43.56336 Durbin-Watson stat 1.754828

Prob(F-statistic) 0.000000

Karena nilai probabilitas Chi-Square berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.6614 yang berarti tidak cukup bukti untuk tolak H0.

Kesimpulan :


(5)

Lampiran 6:Hasil Uji Normalitaserror termfaktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Gambar 24.Uji Normalitaserror termpada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Berdasarkan nilai probabilitasJarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwaerror termterdistribusi dengan normal.


(6)