Pengeluaran Tembakau dan Sirih Pinang

Sumber: BPS Prov. NTT Gambar 19. Persentas total peng tahun 2005 da Berdasarkan pengeluaran tembaka berkisar antara 0.51 pe tahun 2010, berkisar a pengeluaran tembakau 2010, Gambar 19. Pe perubahan pemahama memudar. Selain itu, penampilan seperti gig Masyarakat pe dan sirih pinang lebih terlepas dari terkikisnn yang lebih selektif d tentang tradisi dan bud masyarakat pedesaan. Pengeluaran m yang dilakukan tanpa 3,4 2,6 3,8 1,3 1,9 2,1 - 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 K ab .S u m b a B ar at K ab .S u m b a T im u r K ab .K u p an g Persen TT diolah ntase jumlah pengeluaran tembakau dan sirih p pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa T hun 2005 dan tahun 2010. n data susenas 2005 hingga 2010, perse bakau dan sirih pinang terhadap total pengel 0.51 persen hingga 8,93 persen pada tahun 2005, sar antara 0,29 persen dan 3,80 persen. Secara ke kau dan sirih pinang menurun dari tahun ke tahun . Penurunan konsumsi sirih-pinang tersebut dise man budaya sirih pinang oleh kalangan generasi itu, kebiasaan mengkonsumsi sirih pinang gigi kotor dan merusak penampilan. perkotaan juga memiliki persentase pengelua bih kecil dibandingkan dengan daerah pedesaa kisnnya nilai-nilai tradisi dan budaya di masya f dalam menjalankan tradisi dan budaya terse n budaya yang merugikan belum dimiliki se an. n masyarakat untuk menjalankan tradisi atau npa mempertimbangkan pendapatan masyara 3,8 4,0 2,9 3,5 2,5 0,8 0,9 2,1 1,7 2,0 8,9 2,1 3,7 2,7 2,1 2,8 1,1 0,9 0,6 1,3 1,1 0,9 1 K ab .T T S K ab .T T U K ab .B el u K ab .A lo r K ab .L em b at a K ab .F lo ti m K ab .S ik a K ab .En d e K ab .N g ad a K ab .M an g g ar ai K ab .R o te N d ao h pinang terhadap Tenggara Timur persentase jumlah ngeluaran makanan 2005, sedangkan pada keseluruhan trend ahun hingga tahun disebabkan karena rasi muda semakin ng dapat merusak eluaran tembakau saan. Hal ini tidak syarakat perkotaan rsebut. Kesadaran sepenuhnya oleh u adat sering kali arakat itu sendiri. 8,9 0,6 0,5 1,6 0,4 0,3 K ab .R o te N d ao K ab .M ab ar K o ta K u p an g 2005 2010 K a b k o ta 33,50 44,43 43,27 40,06 37,68 35,26 18,24 15,69 15,18 17,01 18,36 18,19 8,49 2,78 9,13 9,79 10,28 7,67 - 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Karbohidrat Protein Hewani Tembakau dan Sirihpinang Tahun Persen kontradiksi antara kondi penghasilan yang terb Hal ini khususnya untuk kebutuhan mer kebutuhan hidupyang uang belanja sehari-h pencari nafkah dari Indonesia, termasuh pencari nafkah, yang dimaklumi oleh angg untuk rokok tersebut keluarga secara kese sehari-hari. Gambar 20 m pinang terhadap tota persen 2006 dan me padi-padian cenderun sekitar hanya 35,26 pe sumber protein ikan, tahun terakhir ini. Sumber: Susenas 2005-201 Gambar 21. Persentase sirih pinang 2010 5,32 2,33 1,30 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 2005 2 Persen kondisi kemiskinan dari suatu keluarga dan terbatas untuk belanja tembakau atau rokok da a sangat relevan dengan melihat besarnya erokok dibandingkan biaya pengeluaran unt ng paling esensial, khususnya makanan. Meny ri-hari untuk tembakau dan rokok seringkali ari keluarga miskin di negara sedang berke suh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Kecende ng umumnya bekerja sebagai buruh kasar atau nggota rumahtangga lainnya meskipun uang but semestinya sangat berarti untuk meningkatka keseluruhan, paling tidak untuk pemenuhan ke mengungkapkan bahwa proporsi belanja tem otal nilai pengeluaran konsumsi makanan pada mencapai 10,28 persen 2010. Sebaliknya, share ung turun dari sekitar 44,43 persen pada tahun 35,26 persen pada tahun 2010, dan proporsi belanja kan, daging, telur susu relatif tidak beruba 2010, diolah ntase jumlah pengeluaran pendidikan, kesehatan, t nang terhadap total pengeluaran di Provinsi NT 4,81 6,30 6,41 6,49 4,52 2,41 2,12 1,96 3,14 2,78 1,42 1,35 1,35 1,52 1,44 2006 2007 2008 2009 2010 n pengalihan dari okok dan sirih pinang. nya nilai belanja untuk memenuhi nyisikan sebagian li dilakukan oleh rkembang seperti cenderungan oleh au pedagang kecil, ng yang disisikan tkan kesejahteraan kebutuhan pokok embakau dan sirih pada kisaran 2,78 share untuk belanja hun 2006 menjadi nja untuk makanan ubah selama enam tan, tembakau dan NTT tahun 2005- Tembakau dan Sirihpinang pendidikan kesehatan Tahun Gambar 21 menunjukan perbandingan antara pengeluaran rumahtangga untuk penggunaan tembakau dan sirih pinang dengan kebutuhan esensial yang berkaitan dengan pendidikan dan perbaikan kesehatan keluarga terhadap total pengeluaran rumahtangga. Hasilnya menunjukan bahwa belanja tembakau dan sirih pinang melampaui share untuk biaya pendidikan dan kesehatan yaitu secara rata-rata sebesar 5,15 persen sedangkan untuk biaya pendidikan hanya sebesar 2,47 persen dan biaya kesehatan hanya sebesar 1,40 persen.

5.3 Pengeluaran Pesta dan Upacara

Nusa Tenggara Timur adalah salah satu daerah yang kaya akan tradisi atau budaya karena masyarakat NTT lahir dari kebhinekaan suku bangsa, yang berasal dari banyak pulau dan bahasa daerah yang berbeda-beda. Budaya Nusa Tenggara Timur yang masih mengekang kemajuan dan menjadi salah satu pemicu kemiskinan adalah budaya “belis” atau mahar perkawinan. Belis atau mahar perkawinan adalah sejumlah uang atau barang, biasanya berupa hewan seperti Kuda, Sapi dan Kerbau di Pulau Sumba, Gading Gajah di Flores, “Tam Oko” uang dan kain tenun di Timor, dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah budaya perkawinan di Pulau Sumba. seorang laki-laki wajib memberikan sejumlah hewan sebagai “belis”mahar, yang akan di bayar secara tunai atau mencicil sampai pada generasi berikutnya. “Belis” yang sudah disepakati, minimal 15-100 ekor disesuaikan dengan prestise, prestasi atau pendidikan perempuan. Jika diasumsikan minimum 15 ekor untuk seorang gadis dengan harga Rp. 4.000.000 maka total “belis”mahar yang harus dibayarkan adalah Rp. 60.000.000. Mahar atau “belis” akan sangat memberatkan bagi keluarga miskin. Belis atau mahar perkawinan dilaksanakan oleh seluruh kabupatenkota di Nusa Tenggara Timur dengan nilai yang bervariasi. Upacara atau pesta kematian di seluruh kabupatenkota dapat berlangsung selama antara 3 sampai 7 hari bahkan lebih yang menelan biaya ratusan juta rupiah. Berbeda dengan belismahar perkawinan, upacara kematian dilakukan dengan menyembelih puluhan ekor hewan berupa sapi dan babi untuk melayani tamu yang berkunjung pada saat kematian. Banyaknya hewan sangat tergantung kepada kemampuan dan prestise dari masyarakat yang meninggal tersebut. Substansi persoalan kemiskinan dan mental masyarakat Nusa Tenggara Timur berakar pada pola hidup. Pola hidup berfoya–foya, pesta pora dan budaya atau adat masih melekat kuat. Contoh pesta yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah pesta baptis dan sidi baru bagi masyarakat beragama Kristen Protestan, pesta penerimaan komuni pertama bagi masyarakat beragama khatolik, pesta perkawinan nikah adat, pesta masuk rumah baru, pesta wisuda, pesta kematian dan lain sebagainya. Intinya di Nusa Tenggara Timur terdapat banyak pesta dan upacara adat yang digunakan untuk konsumsi sehingga menggerogoti pendapatan masyarakat yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sisi positif dari budaya Nusa Tenggara Timur adalah saling membantu satu sama lain yang dikenal dengan istilah “kumpul keluarga”. Tradisi “kumpul keluarga” tersebut adalah seluruh keluarga yang diundang, berkumpul untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat lainnya yang mengadakan pesta. Acara “kumpul keluarga” atau semacam arisan tersebut berlaku bagi setiap keluarga yang akan mengadakan pesta. Sumbangan yang dikumpulkan berupa uang tunai maupun hewan yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah. Tradisi kumpul keluarga tersebut sesungguhnya adalah modal bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur untuk melakukan pembaruan, inovasi atau rekayasa budaya menjadi kekuatan ekonomi yang berbasiskan budaya yang lebih menyentuh masyarakat miskin. Adat istiadat butuh pembaruan. Pembaruan kebudayaan itulah yang menjadi satu dari sekian banyak hal yang semestinya dipertimbangkan dalam pembangunan ke depan. Pembaruan bukan berarti meninggalkan apa yang menjadi pusaka kultural kita, melainkan memformatnya secara baru tanpa melepaskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pembangunan tidak harus mengubah budaya lokal tetapi format budaya lokal yang tidak menguntungkan harus dicarikan bentuk yang lebih relevan. Solusi pertama adalah perlunya intervensi urusan adat masyarakat. Dalam arti bahwa hal itu dimasukkan dalam pertimbangan penanggulangan kemiskinan. Misalnya, program ‘duduk bersama’ atau diskusi dengan para pemuka adat dan tokoh masyarakat, mulai dari tingkat dusun, desa dan kelurahan sampai level daerahkabupaten. Tujuannya semata-mata untuk mengajak dan membantu