Besarnya pengaruh faktor kultural terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah yang terkecil diantara enam faktor lainnya yaitu hanya
sebesar 0,08 persen untuk faktor pengeluaran pesta dan upacara , sedangkan untuk tembakau dan sirih pinang sebesar 0,03 persen. Walaupun demikian, faktor
budaya, terutama budaya pesta dan upacara adat harus mendapatkan perhatian serius dan dipertimbangkan dalam setiap strategi penanggulangan kemiskinan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
6.3 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Berdasarkan uraian faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, jumlah penduduk merupakan variabel dengan
nilai elastisitas tertinggi dibandingkan dengan variabel bebas lainnya.
Permasalahan kependudukan yang sampai saat ini masih ada adalah tingginya angka pertumbuhan penduduk dan penyebaran penduduk yang tidak merata di
setiap daerah. Untuk mengatasi tingginya angka pertumbuhan penduduk, pencanangan program Keluarga Berencana KB sangat penting, mengingat
pertumbuhan jumlah penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong tinggi. Berdasarkan UU no 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan
dan pembangunan keluarga sejahtera, Keluarga Berencana adalah suatu upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia
perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan.
Program KB yang selama ini dilakukan oleh pemerintah terutama setelah otonomi
daerah kurang
berhasil. BKKBN
sebagai Instansi
yang bertanggungjawab terhadap Program KB di daerah kurang mendapat perhatian
dalam alokasi anggaran. Apabila Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran yang lebih besar kepada Instansi daerah yang bertanggungjawab terhadap
program KB dengan di fokuskan pada keluarga miskin maka jumlah kelahiran akan dibatasi sehingga akan mengurangi kemiskinan. Keluarga miskin yang
mengikuti program KB dan mempunyai maksimal dua anak, diberikan jaminan kesehatan dan pendidikan gratis bagi kedua anaknya. Dengan cara ini maka
keluarga miskin akan berfikir kembali untuk mempunyai banyak anak.
Terkait dengan sektor pertanian di Nusa Tenggara Timur, hasil estimasi menunjukkan bahwa banyaknya pekerja sektor pertanian berpengaruh pada
peningkatan kemiskinan. Kebijakan yang seharusnya diambil adalah mengembangkan usaha berbasis pertanian agroindustri. Pengembangan usaha agroindustri menjadi
alternatif untuk mengurangi banyaknya pekerja pertanian dan mengatasi
pengangguran. Usaha ini akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat
beralih menjadi pekerja di usaha agroindustri. Dengan berkembangnya usaha tersebut, lapangan pekerjaan akan semakin bertambah dan pengangguran dapat
berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya. Bagi petani, berkembangnya usaha
agroindustri akan memudahkan mereka untuk memasarkan hasil panennya dan memacu semangat mereka untuk menghasilkan output yang lebih baik kuantitas
maupun kualitasnya. Bagi pengusaha, hasil pertanian dan tenaga kerja yang banyak memudahkan
mereka untuk mendapatkan input produksi sehingga akan menghasilkan output yang banyak. Output yang banyak akan menambah keuntungan bagi pengusaha dan
meningkatkan kesejahteraannya. Bagi masyarakat, banyaknya output akan membuka kesempatan kerja yang lebih banyak bagi mereka sehingga penduduk yang tadinya
menganggur dapat memperoleh pekerjaan. Lebih lanjut, output yang banyak akan menjadikan harga barang hasil produksi murah sehingga daya beli masyarakat
meningkat, kesejahteraan meningkat dan kemiskinan menurun. Dalam upaya menurunkan kemiskinan, kualitas sumberdaya manusia menjadi
salah satu penentu keberhasilannya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan keterampilan dan keahlian yang akan mempengaruhi produktivitas seseorang dalam
bekerja. Menurut data BPS NTT 2011, terdapat sekitar 45 persen penduduk di Nusa Tenggara Timur yang tidak tamat SD dan hanya lulus setingkat SD dan 27 persen
penduduk yang lulus SD. Sedangkan sisanya, sekitar 28 persen yang lulus SMP keatas. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk masih sangat
rendah dan jika dikaitkan dengan produktivitas kerja maka rendahnya pendidikan akan menyebabkan produktivitas juga rendah. Produktivitas yang rendah hanya akan
dihargai dengan upah yang rendah sehingga kesejahteraan sulit untuk meningkat dan kemiskinan tidak kunjung berkurang.