murah dan lahan kering yang ditanam dengan sayuran biasanya untuk konsumsi sendiri, begitu juga untuk pertanian lahan kering campur
Pertanian lahan kering campuran
Pertanian lahan kering campuran adalah semua jenis pertanian di lahan kering yang berselang seling atau bercampur dengan semak, belukar, dan bekas
tebangan. Pada kebun campuran apabila semak, belukar dan bekas tebangan lebih mendominasi maka dimasukkan dalam kelas pertanian lahan kering bercampur
semak. Berdasarkan kenampakan warnanya nampak dengan campuran warna hijau dan merah pada Citra Landsat dengan kombinasi band 5-4-2. Warna hijau
menunjukan tanaman tahunan, merah berupa tanaman semusim. Pertanian lahan kering campuran dapat dibedakan dengan vegetasi
semakbelukar. Gambar tutupan lahan pertanian lahan kering campuran dapat dilihat pada Gambar 31 di bawah ini.
Gambar 31. Tutupan lahan pertanian lahan kering campuran Berdasarkan hasil interpretasi citra, luasan pertanian lahan kering
campuran di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 1.680,94 hektar 40,77. Luas tersebut menjadi 310,99 hektar pada Tahun 2009 atau
terjadi pengurangan luas kawasan pertanian lahan kering campuran. Secara jelas tutupan lahan pertanian lahan kering campuran disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Luas tutupan lahan pertanian lahan kering campur.
DAS
Tahun ha
2002 2009
Perubahan
Wai Ruhu 568,08
159,19 -408,89
Wai Batu Merah 311,26
14,76 -296,50
Wai Tomu 215,93
24,31 -191,62
Wai Batu Gajah 203,54
63,29 -140,25
Wai Batu Gantung 376,49
48,08 -328,41
Jumlah 1675,29
309,63 -1365,66
Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan luas lahan pertanian lahan kering campur yang disebabkan oleh bekas perubahan
penutupan lahantutupan lahan menjadi penggunaan lain dan karena kerusakan dari DAS sendiri. Luas kawasan pertanian lahan kering campuran dikelima DAS
Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan pertanian lahan kering campur terluas Tahun 2002 pada DAS Wai Ruhu seluas 568,08 hektar, dan terkecil pada
DAS Batu Merah Tahun 2009 seluas 14,76 hektar. Perubahan penutupan lahantutupan lahan pertanian lahan kering campuran yang terjadi pada masing-
masing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan yang cenderung berkurang.
Permukiman
Permukiman adalah kenampakan kawasan permukiman, baik perkotaan atau pedesaan yang masih mungkin untuk dipisahkan, Lapangan golf dan
kawasan 85lluvial masuk ke dalam kelas permukiman. Pada citra landsat dengan kombinasi band 5-4-2, jalan raya dan permukiman 85lluvi dengan warna merah
jambu, Kenampakan dari permukiman dengan ukuran yang cukup luas dapat diidentifikasi sebagai daerah perkotaan. Gambar 32 menunjukan tutupan lahan
permukiman, dapat dilihat dibawah ini.
Gambar 32. Tutupn lahan permukiman
Berdasarkan hasil interpretasi citra, luas daerah permukiman di kelima DAS Kota Ambon Tahun 2002 seluas 479,06 hektar 11,62. Luas tersebut
menjadi 498,12 hektar Tahun 2009 atau terjadi peningkatan luas kawasan permukiman. Secara rinci liat tutupan lahan permukiman disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Luas tutupan lahan permukiman.
DAS Tahun ha
2002 2009
Perubahan
Wai Ruhu 13,94
60,60 +46,66
Wai Batu Merah 136,48
139,69 +3,20
Wai Tomu 83,06
34,34 -48,73
Wai Batu Gajah 49,07
56,39 +7,33
Wai Batu Gantung 36,05
38,43 +2,38
Jumlah 318,60
329,44 +10,84
Berdasarkan Tabel 15 nampak secara keseluruhan terjadi kenaikan luas
lahan permukiman disebabkan karena kebutuhan lahan seiring pertambahan penduduk serta adanya konflik kemanusiaan yang terjadi Tahun 1999 sehingga
menyebabkan munculnya permukiman-permukiman baru di DAS Kota Ambon. Luas kawasan permukiman di kelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan
lahan permukiman terluas Tahun 2009 pada DAS Batu Merah seluas 139,69 hektar, dan terkecil pada DAS Wai Ruhu Tahun 2002 seluas 13,94 hektar.
Perubahan penutupan lahantutupan lahan permukiman yang terjadi pada masing- masing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan yang cenderung bertambah.
Lahan terbuka
Lahan terbukakosong adalah seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir
pantai dan lahan terbuka bekas kebakaran. Pada Citra Landsat dengan kombinasi band 5-4-2, lahan terbuka nampak dengan warna merah sampai merah tua.
Kenampakan yang cukup jelas dan mudah diidentifikasi pada bekas kebakaran, atau areal yang dibuka masyarakat. Gambar 33 menunjukan penutupan
lahantutupan lahan tanah terbukakosong, dapat dilihat dibawah ini. Berdasarkan hasil interpretasi citra, luas daerah tanah kosong di ke lima
DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 42,13 hektar 1,03. Luas tersebut menjadi 66,60 hektar pada Tahun 2009 atau diperkirakan terjadi
peningkatan luas kawasan tanah terbukakosong. Tutupan lahan tanah terbukakosong disajikan pada Tabel 16.
Gambar 33. Tutupan lahan tanah terbukakosong Tabel 16. Luas tutupan tanah terbuka.
DAS
Tahun ha
2002 2009
Selisih
Wai Ruhu 0,00
4,08 +4,08
Wai Batu Merah 0,00
13,93 +13,93
Wai Tomu 0,00
16,09 +16,09
Wai Batu Gajah 0,00
18,01 +18,01
Wai Batu Gantung 15,15
11,44 -3,71
Jumlah 15,15
63,55 +48,40
Berdasarkan Tabel 16 nampak bahwa secara keseluruhan terjadi kenaikan luas tanah terbukakosong yang disebabkan oleh faktor kebakaran atau
pembukaan lahan oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas pertanian dan kemudian ditinggalkan begitu saja. Luas tanah terbukakosong di kelima DAS
Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan tanah terbukakosong terluas Tahun 2009 pada DAS Wai Tomu seluas 16,06 hektar, dan terkecil pada DAS Batu
Gajah, Batu Merah, Wai Ruhu, Wai Tomu Tahun 2002 seluas 0 hektar. Perubahan tutupan lahan tanah terbukakosong yang terjadi pada masing-masing
DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan luasannya cenderung bertambah, kecuali pada DAS Batu Gantung yang menjadi menurun.
5.2. Karakteristik Hidrologi dan Debit Andalan
Proses hidrologi suatu DAS secara sederhana digambarkan dengan adanya hubungan antara unsur masukan yakni hujan, proses dan keluaran yaitu berupa
aliran. Adanya hujan tertentu akan menghasilkan aliran tertentu pula. Aliran ini dipengaruhi oleh karakteristik DAS meliputi topografi, geologi, tanah, penutup
lahanvegetasi, dan pengelolaan lahan serta morfometri DAS. Hujan yang jatuh tidak semuanya akan menjadi limpasan. Sebagian air
hujan akan mengalami infiltrasi ke dalam tanah, sebagian terintersepsi oleh tanaman dan evapotranspirasi ke udara. Dengan demikian jelas bahwa persentase
hujan yang menjadi limpasan tergantung pada berbagai faktor dalam suatu siklus hidrologi mulai dari terjadinya hujan sampai air kembali ke udara dalam bentuk
evapotranspirasi. Perubahan lahan dengan pembangunan kota tentunya tidak terhindarkan,
mulai dari penggundulan hutan digantikan dengan permukaan kedap berupa atap perumahan, jalan-jalan, tempat parkit, bandara, dan sebagainya. Dampaknya
secara nyata telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir. Hal ini terjadi juga pada DAS di Kota Ambon yang meliputi DAS Wai Ruhu, DAS Batu Merah,
DAS Wai Tomu, DAS Batu Gajah, DAS Batu Gantung. Kelima DAS ini mengalami perubahan yang sangat pesat sehingga mempengaruhi respon hidrologi
dari DAS itu sendiri. Karakteristik dari DAS di Kota Ambon yang dianalisis dalam penelitian
ini antara lain curah hujan, kelerengan, jenis tanah, kondisi tutupan lahan, luas dan bentuk dari DAS, panjang sungai dan debit sungai.
5.2.1. Deliniasi DAS
Pemanfaatan model MWSWAT untuk deliniasi DAS Kota Ambon dilakukan secara otomatis. Dalam proses deliniasi ini, data yang dibutuhkan
berupa peta jaringan sungai, peta DEM, lokasi DAS dan outlet DAS. Hasil yang diperoleh dari proses deliniasi berupa peta jaringan sungai, batas DAS dan Sub
DAS dan perhitungan topografi lengkap. Proses deliniasi tersebut menggunakan ambang batas threshold yang
digunakan adalah 50 ha, sehingga membentuk 5 DAS dengan total luasan
3.933,29 ha, masing-masing luasnya disajikan Tabel 17. Hasil deliniasi batas DAS dan sub DAS Kota Ambon dapat dilihat pada Gambar 34 sampai Gambar 38.
Tabel 17. Luas DAS Kota Ambon hasil deliniasi No
DAS Luas DAS Ha
luas DAS 1
Wai Ruhu 1.524,97
38,77 2
Batu Merah 578,13
14,70 3
Wai Tomu 414,59
10,54 4
Batu Gajah 550,53
14,00 5
Batu Gantung 865,07
21,99
Luas Total
3.933,29 100,00
Gambar 34. Hasil deliniasi DAS Wai Ruhu dengan model MWSWAT
Gambar 35. Hasil deliniasi DAS Batu Merah dengan model MWSWAT
Gambar 36. Hasil deliniasi DAS Wai Tomu dengan model MWSWAT
Gambar 37. Hasil deliniasi DAS Batu Gajah dengan model MWSWAT
Gambar 38. Hasil deliniasi DAS Batu Gantung dengan model MWSWAT
5.2.1.1. Pembentukan HRUs pada DAS Kota Ambon Hulu
Unit lahan yang terbentuk oleh model SWAT merupakan tumpang tindih dari jenis tanah, penutupan lahan dan kemiringan lereng yang terdapat pada DAS
Kota Ambon Hulu. HRUs yang terbentuk oleh model dengan menggunakan metode threshold by percentage dimana untuk jenis lahan menggunakan
threshold 5 , jenis tanah menggunakan threshold sebesar 5 dan kemiringan lereng menggunakan threshold 5. HRUs yang terbentuk pada proses simulasi
adalah 615 Tahun 2002 dan 789 Tahun 2009 unit dengan 141 Subbassin. Perubahan HRUs yang terjadi sebesar 174 HRUs, hasil analisis HRUs dapat
dilihat pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18. Hasil Analisis HRUs DAS Kota Ambon
No. DAS
Luas ha
Jumlah Subbasin
Jumlah HRUs Tahun 2002
2009 Perubahan
1. Wai Ruhu
1.524,97 55
215 286
71 2.
Batu Merah 578,13
21 87
108 21
3. Wai Tomu
414,59 13
63 88
25 4.
Batu Gajah 550.53
19 96
109 13
5. Batu Gantung
865.07 33
154 198
44 Total
3.933,08 141
615 789
174
5.2.1.2. Kelerengan di DAS Kota Ambon
Kelima DAS di Kota Ambon mempunyai kelerengan terbagi dalam 6 enam kelas kelerengan yaitu 0-3, 3-8, 8-15, 15-35, 35-45, dan 45
Arsyad, 2006. Berdasarkan hasil pembentukan hidrology respons unit yang dibentuk maka kondisi kelerengan pada lokasi penelitian tergolong datar sampai
curam karena mewakili kelerengan 0-3 sampai dengan 45. Namun hasil analisis SWAT menunjukan bahwa tidak ditemukan area yang masuk dalam tipe
kelerengan 3-8 dan 8-15. Kelerengan lereng kelima DAS didominasi oleh kelerengan curam 45
dengan luasan 3.206,22 ha, kelerengan datar 0-3 dengan luasan 623,95 ha, kelerengan agak curam 30-45 dengan luasan 17,27 ha dan terakhir kelerengan
bergelombang sampai agak curam 15-30 dengan luasan 26,08 ha. Dapat dikatakan bahwa kelima DAS di Kota Ambon ini terletak pada kawasan dengan
kelerengan bergelombang-curam bergunung. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Kondisi kelerengan pada DAS di Kota Ambon
No. DAS
Kelerengan – 3
3 – 8
8 – 15
15 – 30
30 – 45
45 Total
1. Wai Ruhu
263.05 0.00
0.00 8.67
28.45 1224.80
1.524,97 2.
Batu Merah 118.51
0.00 0.00
4.05 13.28
442.29 578,13
3. Wai Tomu
57.19 0.00
0.00 2.07
8.38 346.95
414,59 4.
Batu Gajah 94.05
0.00 0.00
6.49 9.99
439.55 550.53
5. Batu Gantung
91.15 0.00
0.00 4.80
17.27 752.63
865.07 Total
623.95 0.00
0.00 26.08
77.37 3206.22
3.933.29
Gambar 39. Peta kelerengan DAS Kota Ambon
5.2.2. Pembangkit Data Iklim WGN
Data WGN dibangun oleh data curah hujan, 93lluvial93re, kecepatan 93lluvi, radiasi matahari dalam kurun waktu 23 tahun 1986-2008. Data iklim ini
digunakan untuk membangun generator cuaca dapat dilihat pada Lampiran 4.
5.2.3. Karakteristik Tanah hasil Simulasi Model SWAT
Hasil analisis jenis tanah menggunakan MSSWAT menghasilkan jenis tanah yang domiman pada kelima DAS adalah jenis tanah Podsolik dengan luas
1.738,98 ha 44,21 kemudian jenis tanah alluvial dengan luas 1085,33 ha
27,59 diikuti oleh jenis tanah kambisol seluas 859,24 21,85 dan yang terakhir jenis tanah litosol dengan luas 249,74 4,97.
Jenis tanah latosol sangat sedikit penyebarannya pada lokasi penelitian karena pada DAS Batu Merah, DAS Wai Tomu dan DAS Batu Gajah jenis tanah
litosol tidak terdapat sama sekali. Selain itu juga jenis tanah litosol mempunyai sebaran luasan yang sangat sedikit pada DAS Wai Ruhu dan DAS Batu Gantung,
untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini. Tabel 20. Jenis tanah pada kelima DAS di Kota Ambon
No. DAS
LUAS DAS
ha TANAH
Podsolik Aluvial
Litosol Kambisol
1 Wai Ruhu
1.524,97 639,27
41,92 545,34
35,76 152,42
9,99 166,46
10,92 2
Batu Merah 578,13
391,42 67,70
114,74 19,85
71,97 12,45
3 Wai Tomu
414,49 137,25
33,11 81,58
19,68 0.00
195,76 47,23
4 Batu Gajah
550,53 177,01
32,15 81,49
14,80 0.00
288,26 52,36
5 Batu
Gantung 865,07
373,42 43,17
228,44 26,41
92,88 10,74
115,49 13,35
T o t a l 1.738,98
44,21 1.085,33
27,59 249,74
6,35 859,24
21,85
Gambar 40. Peta jenis tanah DAS Kota Ambon
5.2.4. Karakteristik Landcover untuk Model SWAT
SWAT membutuhkan banyak input data yang sebagian besar masih belum terpenuhi karena terbatasnya data yang tersedia pada DAS Kota Ambon Hulu.
Oleh karena itu, input data jenis landcover lokal disesuaikan dengan dengan input data landcover global yang diperkirakan mendekati jenis landcover global yang
telah tersedia pada database SWAT dalam bentuk Microsoft access mwswat.mdb yang telah terintegrasi dalam software SWAT. Penyesuaian input
data landcover lokal dengan landcover global dapat dilihat pada Tabel 21 . Tabel 21. Penyesuaian jenis landcover lokal dengan landcover
global database SWAT TanamanLandcover
crop Data Kode SWAT
LANDCOVER_ID Keterangan Jenis Tanaman
Landcover dalam SWAT Hutan Sekunder
FOEB Evergreen Broadleaf Forest
Kebun Campuran CRDY
Dry Cropland and Pasture Perkebunan
CRWO CroplandWoodland Mosaik
Permukiman URMG
Urban residential medium dencity Semak Belukar
SHRB Shrubland
Tanah Terbuka GRAS
Grassland
Gambar 41. Peta tutupan lahan DAS Kota Ambon Tahun 2002
Gambar 42. Peta tutupan lahan DAS Kota Ambon Tahun 2009
5.2.5. Output SWAT
Output MWSWAT yang merupaka hasil proses simulasi MWSWAT pada tahap 4 dapat dilihat pada Gambar 48. Visualisasi output antara lain batas DAS,
jaringan sungai, banyaknya HRUs, bentuk sungai, dan banyaknya subDAS. Karakteristik dari DAS Kota Ambon hasil simulasi menggunakan program
MWSWAT menghasilkan karakteristik hidrologi sebagaimana tertera pada Tabel 22 di bawah ini.
Tabel 22. Karakteristik hidrologi DAS Kota Ambon
No. DAS
Luas DAS ha
Jlh SubDAS
Jlh HRUs Tahun
Pjg Sungai
km Bentuk
DAS 2002
2009 1.
Wai Ruhu 1.524,97
55 215
286 11,8 Memanjang
2. Batu Merah
578,13 21
87 108
6,8 Melebar
3. Wai Tomu
414,49 13
63 88
6,2 Memanjang 4.
Batu Gajah 550,53
19 96
109 6,6 Memanjang
5. Batu Gantung
865,07 33
154 198
5,6 Melebar
Gambar 43. Deliniasi kelima DAS di Kota Ambon
Gambar 44. Grafik perbandingan debit observasi, debit simulasi DAS Wai Tomu
5.2.6. Kalibrasi Model SWAT
Kalibrasi model dilakukan dengan membandingkan debit hasil simulasi flow out pada file RCH dengan debit hasil pengukuran lapang pada SPAS Wai
Tomu saja karena data yang ada hanya pada DAS Wai Tomu, sedangkan untuk keempat DAS yang lain tidak dilakukan karena tidak ada data. Kalibrasi
dilakukan menggunakan data hujan dan debit Tahun 2010, dan tutupan lahan Tahun 2009 dengan periode harian. Simulasi dilakukan dengan metode statistik.
Kalibrasi dilakukan menggunakan SWAT CUP secara berulang-ulang sebanyak 700 kali untuk 1 satu kali iterasi dan iterasi dilakukan sebanyak 3 kali,
menghasilkan nilai p_factor sebesar 0,65; nilai NSI sebesar 0,06; nilai R
2
sebesar 0,50. Dalam kalibrasi menggunakan SWAT CUP maka parameter yang sering
dipakai adalah p_faktor dan R
2
Kamus SWAT di Toolbar Help pada MWSWAT sehingga lewat kedua parameter ini dapat ditarik kesimpulan tentang hasil debit
yang dapat mewakili. Nilai p_faktor menerangkan luasan dari 95PPU 95 prediction
uncertaintyluasan dari parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi artinya himpitan antara garis grafik observasi dengan grafik simulasi. Semakin berimpit
maka nilai p-faktor akan semakin besar. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat keakuratan debit kalibrasi dapat melakukan prediksi
debit di lapangan secara akurat. Nilai R
2
adalah koefisien determinasi yang menggambarkan seberapa besar kemampuan semua variabel bebas menjelaskan
model yang dihasilkan. Parameter yang disarankan untuk di ubah-ubah atau dilakukan simulasi untuk keadaan tertentu adalah terlihat pada Lampiran 6.
Gambar 45. Grafik debit DAS Wai Tomu Hasil Kalibrasi Hasil kalibrasi debit dari SWAT CUP dibandingkan dengan debit
observasi dan debit model yang ada untuk melihat bagaimana trend dan kecenderungan persamaan grafik tersebut.
Debit yang dihasilkan merupakan hasil simulasi mengunakan parameter hasil kalibrasi SWAT CUP Lampiran 6, kemudian dimasukkan nilai 32
parameter tersebut pada SWAT Editor, sehingga mendapatkan nilai debit dari masing-masing DAS yang lain. Simulasi dilakukan untuk tahun 1986-2008. Debit
ini di anggap dapat merepresentasikan kondisi yang ada di lapangan dengan beranggapan bahwa nilai debit ini 50 sama dengan kondisi real di lapangan.
Fluktuasi Debit
Fluktuasi debit kelima sungai dari Tahun 1986 –2008 menunjukkan bahwa
debit sungai tinggi terjadi pada Tahun 2000, sedangkan debit sungai terrendah pada Tahun 1986. Bulan Juli merupakan puncak dari debit puncak tertinggi. DAS
yang mempunyai debit sungai terbanyak adalah DAS Wai Ruhu sedangkan DAS Batu Merah adalah DAS dengan debit sungai yang terkecil. Gambar fluktuasi
debit bulanan dari kelima DAS di Kota Ambon dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 46. Fluktuasi debit sungai kelima DAS di Kota Ambon
Debit Andalan
Debit andalan adalah debit yang dirancang berdasarkan konsep peluang probability, dan digunakan untuk mengetahui ketersediaan air dengan resiko
sekian persen Soemarto, 1989. Debit andalan adalah suatu nilai debit yang dapat diandalkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan air yang dijadikan sebagai dasar
dalam menetapkan besarnya debit rencana untuk mendukung perencanaan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air.