Raw water for drinking water management model based on watershed

(1)

MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM

BERBASIS DAERAH ALIRAN SUNGAI

Studi Kasus: DAS BABON SEMARANG

RAYMOND MARPAUNG

P062034064

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengeloaan Air Baku Air Minum Berasis Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus : DAS Babon Semarang) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Raymond Marpaung


(4)

(5)

ABSTRACT

RAYMOND MARPAUNG. Raw Water for Drinking Water Management Model Based on Watershed. Case Study at Babon Semarang Watershed, Central Java Province, supervised by M. YANUAR J.PURWANTO, ASEP SAPEI, SRI HARTOYO and I WAYAN ASTIKA

Growth of population at Babon watershed area has influenced the demand of raw water significantly and it also causes burden to land use. Population growth consequently will rise the demand for housing, for this reason paddy cultivation and forest area were converted to be a housing area. The effect of housing development will escalate the degree of coefficient run off (CRO). Accordingly, infiltrations of rain fall decreases and it affects the lessening of soil water contain. Besides, population growth and housing development contribute significantly to the decease of water quality surrounding Babon watershed area.

Study published by Ministry of Public Work described that in the last 10 years, the damage of watershed is critical and it significantly increase drastically. Data shows that in year of 1995, 20% of watersheds which located in Java island are in critical condition. Extensively in year 2005, the number of critical watershed increase to be 60%. To overcome this situation, conservation of watershed is extremely required, otherwise, in the future population in jawa island will face the lack of raw water.

The Raw Water for Drinking Water Management Model Based on Watershed is created in order to overcome the impact of critical watershed condition which influence lack of water quantity and to increase the quality of water. The Model consists of three sub model such as: sub model of raw water supply, sub model of raw water demand and sub model of water quality which has been validated based on structural validation and performance validation. Hence, this model will relevant to apply at other watersheds.

By designing a “Raw Water for Drinking water Management Model Based on Watershed”, it is identified that conservation will increase the index of Coeffisient Run off (CRO). If CRO increase, it will influence water infiltration. Hence, supply of raw water as base flow will increase accordingly. The increasing of base flow, will reduce debit of surface water. Along with inceasing of debit, conservation will also increase the index of water quality. hence raw water supplied by watershed will be in category of raw water for drinking water which is called ABAM. If water quality getting better, it will minimize the cost of drinking water production. As a result, the profit of PDAM will increase significantly and it will contribute to fund conservation.

In order to ensure that this model can be implemented by stake holders, It also completed by institutional mechanism. By designing institutional mechanism, consequently all stakeholders which are responsible for watershed conservation will work simultaneously.


(6)

(7)

RINGKASAN

RAYMOND MARPAUNG. Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus : DAS Babon Semarang), di bawah bimbingan M. YANUAR J PURWANTO, ASEP SAPEI, SRI HARTOYO dan I WAYAN ASTIKA

Bertambahnya jumlah penduduk setiap tahun menjadi penyebab utama meningkatnya permintaan akan sumberdaya air, dilain pihak yang terjadi justru sebaliknya, yakni air menjadi sumber daya yang keberadaannya semakin tak berketentuan, dimana setiap tahun ketersediaannya semakin menurun. Penurunan ketersediaan air bertolak belakang dengan fenomena peningkatan kebutuhan air. Perubahan fungsi lahan atau konversi lahan telah mengakibatkan terjadinya penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum. Sementara itu, akibat deforestasi dan kerusakan lahan, kemampuan lahan untuk menahan dan menyimpan air makin rendah. Deforestasi dan kerusakan lahan telah meningkatkan koefisien limpasan atau coefficient run off atau CRO, (perbandingan antara volume limpasan dan volume curah hujan), dan menurunkan kemampuan tanah menahan air hujan.

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan pengelolaan air baku yang berbasis DAS. Pengelolaan air baku yang berbasis DAS didasari karena DAS ditentukan oleh hidrologi alami, dimana mewakili basis paling logis untuk mengelola sumber daya air. Disamping itu, DAS merupakan suatu mega sistem yang terdiri dari sub system sub sistem, sehingga penyelesaian dengan pendekatan DAS akan menyentuh permasalahan mendasar yang harus ditangani. Sumber daya air menjadi titik fokus karena permasalahan sumberdaya air adalah permasalahan yang tidak bisa dilepaskan dari masalah lingkungan, ekonomi dan sosial.

Pengelolaan yang berbasis DAS akan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan semua kegiatan yang mempengaruhi ketersediaan air baku suatu DAS dan kualitas air bakunya. Hasil kualitas air menunjukan bahwa air baku yang berasal dari DAS sudah mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya, dimana kualitas air baku kondisi sekarang sudah termasuk dalam kategori tercemar berat dan sangat tidak layak sebagai air baku untuk air minum, sehingga, apabila digunakan sebagai air baku untuk air minum, biaya produksinya menjadi besar. Studi yang dilakukan oleh ADB menjelaskan bahwa dengan kualitas air yang buruk, maka biaya produksi air minum meningkat sebesar 25% s/d 40%/tahun.

Tujuan penelitian ini untuk (1) menetapkan atribut-atribut kunci yang akan dijadikan variabel dalam membangun model pengelolaan ABAM berbasis DAS; (2) membangun model pengelolaan ketersediaan dan kualitas air baku air minum berbasis DAS, khususnya untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel; dan (3) menghasilkan mekanisme kerjasama kelembagaan dalam mengelola DAS.

Penelitian ini dilakukan di DAS Babon Semarang mulai bulan Oktober 2009 dan selesai pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini meninjau tiga dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial dengan menggunakan pendekatan sistem dan dibatasi dalam sistem hidrologi DAS. Model yang dibangun dalam penelitian ini telah divalidasi baik melalui validasi struktur


(8)

maupun validasi kinerja. Disamping itu telah dilakukan analisis sensitivitas dan menghasilkan parameter sensitife terhadap ketersediaan air baku. Selanjutkan dilakukan simulasi dan dilanjutkan dengan membuat skenario penanganan kedepan agar kelestarian DAS terjaga.

Hasil pembahasan menetapkan 5 (lima) atribut kunci untuk dijadikan sebagai variable dalam membangun model. Kelima atribut kunci tersebut adalah: BOD, COD, debit ekstrim pada musim kemarau, perubahan fungsi lahan dan kekurangan biaya konservasi. Hasil membangun model pengelolaan air baku air minum dihasilkan 3 sub model yaitu: submodel kebutuhan air, submodel ketersediaan air dan sub model kualitas air. Untuk mendukung sub model kualitas air yang salah satu tujuannya untuk mendapatkan biaya untuk konservasi, dilakukan analisis WTP untuk mengetahui keinginan membayar masyarakat terhadap tarif air minum sejauh kelestarian DAS terjaga dan ketersediaan air baku air minum terjamin. Selanjutnya dilakukan skenario dengan memakai tiga pendekatan yaitu skenario pesimis, skenario moderat dan skenario optimis.

Hasil simulasi model menunjukkan bahwa pada skenario pesimis, dimana tidak dilakukan kebijakan reuse, reduce dan recycle dalam pemakaian air baku dan juga tidak menekan laju pertumbuhan penduduk, ketersediaan air baku akan terpenuhi sampai dengan tahun 2039. Apabila dilakukan pendekatan dengan skenario moderat dengan melakukan kebijakan reuse, reduce dan recycle dan menekan laju pertumbhan penduduk,maka kebutuhan air baku akan menurun sehingga suplai air baku akan terpenuhi sampai ahun 2052. Skenario optimis dapat diimplementasikan dengan prasyarat bahwa laju pertumbuhan penduduk ditekan menjadi zero growth dan konservasi terhadap air tanah diberlakukan dengan hanya menggunakan 40% dari total kebutuhan air baku. Apabila skenario optimis dilaksanakan, maka ketersediaan air baku untuk kebutuhan domistik, industri dan hotel akan lestari.

Dari hasil simulasi terlihat bahwa skenario optimis adalah yang terbaik, namun sulit untuk diimplementasikan. Oleh sebab, skenario moderat sangat realistis untuk dilaksanakan dimana pertumbuhan penduduk ditekan hanya 1% pertahun disamping itu kebijakan konservasi tetap dilakukan seperti reboisasi untuk kawasan hutan, terasering untuk tegalan, mewajibkan sumur resapan untuk kawasan permukiman dan menggunakan metode SRI untuk persawahan. Dengan demikan ketersediaan air baku tetap terjaga dan kebutuhan air baku terpenuhi. Konservasi akan memperbaiki coeffisien run off (CRO) dan akan meningkatkan ketersediaan air baku.

Dampak positif lain dari konservasi akan meningkatkan kualitas air baku dimana akan berpengaruh terhadap biaya produksi air minum karena air baku yang tersedia berkualitas air baku untuk air minum (ABAM), sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP.82. Tahun 2001. Agar skenario dapat dilaksanakan ada satu prasyarat yang harus dipenuhi yaitu kerjasama para stake holder yang terintegrasi. Dengan membangun mekamisme kerjasama stake holder, maka setiap stakeholder/lembaga mengetahui tugas masing masing dan stakeholders

yang mempunyai driver force besar dan ketergantungan yang rendah dapat berinisitif dan bergerak untuk melakukan konservasi. Agar keakuratan model ini lebih terjamin, perlu menambah jumlah atribut atribut yang akan didiskusikan dan dievaluasi dalam forum group discussion (FGD). Disamping itu, responden yang


(9)

berpartisipasi dalam FGD harus ditambah baik secara keragaman disiplin ilmu maupun jumlah pesertanya. Terlihat dari hasil analisis prospective, dimana atribut logam berat tidak termasuk sebagai atribut kunci, walaupun secara ilmu pengetahuan terbukti bahwa logam berat lebih berbahaya dibandingkan dengan parameter pencemaran yang lain seperti BOD, COD atau kekeruhan.


(10)

(11)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(12)

(13)

MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM

BERBASIS DAERAH ALIRAN SUNGAI

Studi Kasus: DAS BABON SEMARANG

RAYMOND MARPAUNG

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(14)

PELAKSANAAN UJIAN

Ujian Tertutup

Dilaksanakan pada tanggal : 1 Desember 2011

Penguji Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian,

IPB)

: 2. Dr. Ir. Etty Riani, M.S.

(Staf Pengajar Departemen MSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB)

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada tanggal : 5 Januari 2012

Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc. (Direktur Jenderal Sumber Daya Air,

Kementerian Pekerjaan Umum) : 2. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.


(15)

(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus: DAS Babon Semarang)”.

Selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis banyak mendapat bantuan baik moril maupun materil serta bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing dan, Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S., Dr. Ir. Sri Hartoyo M.S., serta Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan serta memberi saran demi kemajuan penulis dan lebih sempurnanya tulisan ini.

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB periode 2010-2015 yang selalu memacu, memberi semangat dan solusi atas setiap permasalahan yang penulis hadapi serta meluangkan waktu, agar penulis cepat selesai dalam studi ini.

3. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan jajaran administrasinya yang telah berkenan menerima dan mengasuh serta selalu mendukung penulis untuk kelancaran dan kesuksesan studi ini. 4. Direktur, serta para pejabat dan staf di lingkungan Direktorat Pengembangan

Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta karya, yang telah berkenan memberi ijin dan kelonggaran waktu serta dukungan untuk penyelesaian dan kesuksesan studi ini.

5. Dr. Etty Riani, M.S. serta para staf Program studi PSL IPB yang terus mendukung dan memberikan semangat penulis untuk terus melanjutkan penyelesaian studi ini.

6. Dinas Sumber Daya Air Propinsi Jawa Tengah Semarang yang memberikan ijin dan data penelitian Tentang DAS Babon serta mengisi kuestioner untuk FGD.

7. Bappedal Propinsi Jawa Tengah yang telah memberikan data tentang DAS Babon serta mengisi kuestioner untuk FGD.

8. PDAM Tirta Moedal Semarang yang telah membantu dalam menyediakan data serta mengisi kuestioner untuk FGD.

9. Teman teman kelompok kerja air minum dan penyehatan lingkungan, Pokja AMPL, yang telah membantu penulis mengisi kuestioner dan melaksanakan FGD

10. Teman-teman tim surveyor dan operator komputer yang membantu survai lapangan dan penyusunan penelitian ini.


(17)

11. Semua pihak yang terlibat dalam proses FGD dan telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, baik moril maupun materiil.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada Isteri tercinta, Daruwati, SE, yang telah membantu dengan penuh kesabaran dan memberi semangat penulis untuk menyelesaikan penelitian ini, serta ibunda tercinta Hj. Nurhana Harahap atas doanya terhadap penulis. Permohonan maaf penulis sampaikan kepada keluarga yaitu isteri dan anak-anakku, Dara Fitriana, Tiara A Sharfina dan Lena Chairani, yang berkurang untuk mendapat perhatian penulis selama menyelesaikan penelitian ini.

Akhir kata, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat berdoa semoga diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah S.W.T. dan dinilai sebagai amal shaleh. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan dengan segala kerendahan hati menerima masukan, kritikan, dan saran agar tulisan ini dapat disempurnakan sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta masyarakat yang berkaitan dengan urusan pengelolaan sumberdaya air, dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2012


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 September 1958, sebagai anak tunggal dari pasangan H.Sutan Marpaung (Alm) dengan Hj. Nurhana Harahap. Pendidikan S1 diselesaikan pada tahun 1987 pada jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Trisakti, Jakarta. Pada tahun 1994, penulis mendapat beasiswa dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Overseas Training Office (OTO) Bappenas untuk melanjutkan studi S2 pada jurusan Public Administration di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat dan menyelesaikan studinya pada tahun 1994 sebagai Master of Public Administation. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1988, penulis bekerja pada Kementerian Pekerjaan Umum dan telah beberapa kali berpindah Unit Kerja atau Direktorat antara lain: Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, Direktorat Pelaksanaan Wilayah dan saat ini pada Direktorat Pengembangan Air Minum. Semua Unit Kerja atau Direktorat tersebut berada dalam naungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum.

Karya ilmiah yang berjudul “Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Air Baku DAS Babon Semarang (Studi Kasus: DAS Babon Semarang)” akan diterbitkan pada jurnal ilmiah Hidrosfir Indonesia, BPPT, pada Vol. 6, No. 3, bulan Desember 2011.


(19)

(20)

xxi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xxvii

DAFTAR GAMBAR ...xxix.

DAFTAR LAMPIRAN ... xxxi

I. PENDAHULUAN ... .. 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Kerangka Pikir Penelitian ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... .. 8

1.6. Kebaruan Penelitian (Novelty) ... .. 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... .. 11

2.1. Sumberdaya Air ... 11

2.1.1. Ketersediaan Air Baku.. ... 13

2.1.2. Kebutuhan Air. ... 15

2.1.2.1. Kebutuhan Air Domestik ... 15

2.1.2.2. Kebutuhan Air Non Domestik ... 20

2.2. Daerah Aliran Sungai ... 21

2.3. Pendekatan dan Pemodelan Sistem ... 25

2.4. Pembangunan Berkelanjutan ... 29

2.5. Kelembagaan ... 32

2.6. Analisis Prospektif ... 35

2.7. Permodelan Sistem Dinamik ... 36

2.8. Validasi dan Analisis Sensitivitas... 40

2.9. Analisis dan Perumusan Kebijakan ... 41


(21)

xxii

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 49

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 49

3.2. Pendekatan Penelitian ... 50

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 52

3.3.1. Data Primer ... 52

3.3.2. Data Sekunder ... 53

3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 53

3.3.4. Jenis dan Sumber Data ... 54

3.4. Analisis Data ... 54

3.4.1. Penetapan Atribut-Atribut Kritis. ... 55

3.4.1.1. Menyusun Atribut dari Aspek Tiga Dimensi ... 55

3.4.1.2. Analisis Atribut Kritis ... 57

3.4.2. Menetapkan Atribut-Atribut Kunci ... 58

3.4.3. Model Sistem Dinamis. ... 60

3.4.3.1. Analisis Kebutuhan ... 60

3.4.3.2. Formulasi Masalah ... 60

3.4.3.3. Identifikasi Sistem... 61

3.4.3.4. Permodelan Sistem ... 61

3.4.3.5. Validasi Model ... 62

3.4.3.6. Analisis Sensitivitas Model ... 62

3.4.3.7. Simulasi Model ... 62

3.4.3.8. Analisis Kebijakan Berdasarkan Skenario ... 62

3.4.4. Analisis Willingness to Pay ... 63

3.4.5. Menetapkan Mekanisme Kelembagaan . ... 63

IV. KONDISI SUMBERDAYA ALAM DAS BABON ... 69

4.1. Letak, Batas, dan Luas ... 69

4.2. Kondisi Iklim, Tanah, dan Hidrologi... 70

4.2.1. Kondisi Iklim ... 70

4.2.2. Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan ... 72

4.2.2.1. Kondisi Tanah ... 72

4.2.2.2. Tata Guna Lahan ... 73


(22)

xxiii

4.2.3.1. Hidrologi Permukaan (Sungai) ... 74 4.2.3.2. Kondisi DAS Babon ... 78 4.2.3.3. Hidrologi Bawah Permukaan (Air Tanah)... 79 4.2.3.4. Kualitas Air... 82 4.2.3.5. Cekungan Air Tanah ... 84 4.2.4. Geologi dan Geomorfologi ... 88 4.2.5. Kondisi dan Permasalahan Lingkungan ... 93 4.2.5.1. DAS Babon Bagian Hulu ... 93 4.2.5.2. DAS Babon Bagian Tengah ... 95 4.2.5.3. DAS Babon Bagian Hilir ... 97 4.3. Kependudukan dan Sosial Ekonomi ... 99 4.3.1. Jumlah Penduduk ... 99 4.3.2. Kepadatan Penduduk ... 99 4.3.3. Mata Pencaharian ... 103 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 105 5.1. Analisis Atribut Kritis Pengelolaan Air Baku DAS Babon ... 105 5.1.1. Atribut Kritis Dimensi Ekologi ... 105 5.1.1.1. Kadar COD ... 106 5.1.1.2. Debit Air Pada Musim Kemarau Selama Lima

Tahun Terakhir ... 107 5.1.1.3. Kandungan Logam Berat ... 108 5.1.1.4. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan DAS Babon

Semarang ... 109 5.1.1.5. Kadar BOD ... 109 5.1.2. Atribut Kritis Dimensi Ekonomi ... 110 5.1.2.1. Pangsa Pasar ... 111 5.1.2.2. Tingkat Keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum . 112 5.1.2.3. Subsidi yang Diterima ... 113 5.1.2.4. Kebutuhan Modal untuk Pengembangan Perusahaan

Air Minum ... 113 5.1.2.5. Ketersediaan Dana untuk Kegiatan Pelestarian

Lingkungan... 114 5.1.3. Atribut Kritis Dimensi Sosial ... 115


(23)

xxiv

5.1.3.1. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap

Sumber Air Minum dari PDAM ... 116 5.1.3.2. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap

Sumber Air Baku dari DAS Babon untuk

Kebutuhan Non Domestik ... 117 5.1.3.3. Pemahaman dan Kepedulian Masyarakat terhadap

Kelestarian Sumberdaya Alam ... 118 5.1.3.4. Tingkat Keluhan Pelanggan Air Minum ... 118 5.1.3.5. Ketergantungan Kelompok Masyarakat terhadap

Tokoh Panutan ... 119 5.2. Strategi Peningkatan Pengelolaan Air Baku DAS Babon ... 120 5.2.1. Penyusunan Skenario ... 121 5.2.1.1. Skenario Konservatif-Pesimistik ... 123 5.2.1.2. Skenario Moderat-Optimistik ... 124 5.2.1.3. Skenario Progresif-Optimistik ... 125 5.3. Permodelan Sistem Dinamik ... 126 5.3.1. Sub Model Kebutuhan Air Baku ... 128 5.3.2. Sub Model Ketersediaan Air Baku ... 134 5.3.3. Sub Model Kualitas Air Baku ... 137 5.4. Validasi Model Pengelolaan Air Baku DAS Babon ... 140 5.4.1. Validasi Struktur Model ... 140 5.4.1.1. Sub Model Kebutuhan Air Baku ... 140 5.4.1.2. Sub Model Ketersediaan Air Baku ... 142 5.4.1.3. Sub Model Kualitas Air Baku ... 143 5.4.2. Validasi Kinerja Model ... 144 5.4.3. Analisis Sensitivitas Model ... 146 5.5. Simulasi Model ... 147 5.5.1. Kondisi Eksisting ... 147 5.5.2. Skenario Kebijakan ... 148 5.5.2.1. Skenario Pesimis ... 149 5.5.2.2. Skenario Moderat ... 150 5.5.2.3. Skenario Optimis ... 151 5.6. Analisis Willingness to Pay (WTP) ... 153


(24)

xxv

5.7. Analisis Kelembagaan yang Terkait dalam Pengelolaan DAS

Babon Semarang ... 158 5.7.1. Mekanisme Kelembagaan Pengelolaan ABAM di DAS

Babon ... 163 5.7.2. Penerapan BMP (Best Management Practise) dalam

Pengelolaan ABAM DAS Babon ... 166 5.7.3. Program Produksi Bersih atau GHK (good house keeping) ... 169 5.7.4. Program Perlindungan dan Konservasi Daerah Bantaran

Sungai ... 169 5.7.5. Program Pembangunan Sarana Pengolahan Limbah Sistem

Sentralisasi`... 170 5.8. Role Sharing (Bagi Peran) Pengelolaan Kualitas Air... 170

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 173 6.1. Kesimpulan ... 173 6.2. Saran ... 174

DAFTAR PUSTAKA ... 175


(25)

(26)

xxvii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Standar kebutuhan air rumah tangga berdasarkan jenis kota dan

jumlah penduduk ... 19 2 Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan ... 22 3 Matriks pembangunan berkelanjutan . ... 30 4 Pedoman penilaian analisis prospektif. ... 36 5 Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek dan

metodologi penelitian model pengelolaan air baku untuk kebutuhan air minum secara berkelanjutan ... 44 6 Pendekatan sistem model pengelolaan sumber air baku DAS Babon ... 52 7 Rincian jumlah responden penelitian ... . 54 8 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ... . 55 9 Contoh matriks SSIM ... . 65 10 Keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM……… 66 11 Wilayah kelurahan yang termasuk DAS Babon... 70 12 Curah hujan rata tahunan DAS Babon. ... 71 13 Jenis tanah di DAS Babon. ... 72 14 Tata guna lahan DAS Babon ... 74 15 Debit rata-rata bulanan efektif Sungai Babon di stasiun Pucang Gading

(m3/dt) ... 78 16 Penggunaan air di DAS Babon ... 79 17 Jenis industri yang potensial mencemari Sungai Babon ... 82 18 Konsentrasi beban pencemar yang masuk ke Sungai Babon (kg/tahun) . 82 19 Perkembangan jumlah sumur dan volume pengambilannya ... 87 20 Luasan kemiringan lereng DAS Babon... 98 21 Distribusi penduduk di DAS Babon ... 101 22 Atribut-atribut yang berpengaruh dalam pengelolaan air baku DAS

Babon ... 120 23 Keadaan masing-masing faktor kunci pengelolaan air baku... 122 24 Hasil analisis skenario strategi pengelolaan air baku DAS Babon ... 123 25 Analisis kebutuhan pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS

Babon Semarang sebagai sumber air baku untuk kebutuhan air minum... 127 26 Validasi kinerja model ... 145


(27)

xxviii

27 Skenario kebijakan ... 149 28 Nilai ekonomi air dalam satu tahun ... 156 29 Nilai ekonomi air dalam satu tahun berdasarkan survey WTP ... 156 30 Stakeholders yang dikaji dalam pengelolaan DAS Babon secara

berkelanjutan ... 158 31 Role sharing pengelolaan ABAM di DAS Babon ... 171


(28)

xxix

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pikir penelitian model pengelolaan air baku untuk

kebutuhan air minum secara berkelanjutan. . ... 8 2 Tahapan kerja dalam pendekatan sistem. ... 39 3 Peta administrasi DAS Babon . ... 50 4 Diagram alir sistematika pendekatan penelitian. ... 51 5 Tahapan analisis pada atribut kritis DAS Babon Semarang untuk

kebutuhan air minum ... 59 6 Matriks tingkat kepentingan faktor . ... 60 7 Diagram alir diskriptif teknik ISM ... 68 8 Peta komposisi tataguna lahan DAS Babon ... 73 9 Peta daerah aliran sungai (DAS) Babon ... 77 10 Peta airan air tanah DAS Babon. . ... 81 11 Peta kualitas air DAS Babon. . ... 83 12 Peta kedudukan DAS Babon terhadap CAT Semarang Demak. ... 85 13 Grafik volume pengambilan air tanah. . ... 87 14 Laju penurunan muka tanah Kota Semarang. ... 88 15 Peta geologi DAS Babon. . ... 92 16 Peta jenis tanah DAS Babon. . ... 94 17 Tingkat bahaya erosi DAS Babon ... 96 18 Peta kemiringan lereng DAS Babon. . ... 98 19 Peta distribusi penduduk di DAS Babon ... 100 20 Peran masing-masing atribut aspek ekologi . ... 106 21 Peran masing masing atribut aspek ekonomi ... 111 22 Peran masing masing atribut aspek sosial ... 116 23 Hasil analisis tingkat kepentngan yang berpengaruh pada sistem yang

dikaji ... 121 24 Diagram input-output (I-O) sistem model pengelolaan air baku air

minum berbasis DAS di DAS Babon ... 129 25 Causal loop. . ... 130 26 Causal loop sub model kebutuhan air baku ... 131 27 Diagram alir sub model kebutuhan air baku . ... 132 28 Causal loop sub model ketersediaan air baku. ... 135


(29)

xxx

29 Diagram alir sub model ketersediaan air baku ... 136 30 Causal loop sub model kualitas air ... 138 31 Diagram alir sub model kualitas air ... 139 32 Validasi struktur sub model kebutuhan air baku ... 141 33 Validasi struktur sub model kebutuhan air baku dengan kebijakan

reduse, reuse, dan recycle ... 141 34 Validasi struktur ketersediaan air baku ... 143 35 Validasi struktur sub model kualitas air baku ... 144 36 Hasil analisis sensitivitas model ... 146 37 Simulasi kondisi existing DAS Babon ... 148 38 Hasil simulasi skenario pesimis ... 150 39 Hasil simulasi skenario moderat ... 151 40 Hasil simulasi skenario optimis ... 152 41 Hasil simulasi kualitas air skenario optimis ... 152 42 Diagram hirarki dari elemen-elemen stakeholders ... 160 43 Matriks DP-D untuk elemen prioritas ... 160


(30)

xxxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Atribut-atribut dan skor Model Pengelolaan Air Baku Air Minum

Berbasis Daerah Aliran Sungai ... 181 2 Source Code: Stella. Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis

DAS.. ... 185 3 Kuisioner Survei Nilai ekonomi air. ... 190 4 Kuisioner Survei Analisis sensivitas model . . ... 194 5 Kuisioner Survei Identifikasi kebutuhan prioritas dalam pengelolaan


(31)

(32)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi. Sejalan dengan pertambahan penduduk serta perkembangan industri, maka kebutuhan terhadap air baku semakin meningkat. Namun peningkatan kebutuhan akan air ini tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah air yang tersedia, karena sumberdaya air di dunia ini tidak akan pernah bertambah jumlahnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya keberadaan sumber-sumber air yang ada perlu dijaga dan dilestarikan.

Bertambahnya jumlah penduduk setiap tahun menjadi penyebab utama meningkatnya permintaan akan sumberdaya air, di lain pihak yang terjadi justru sebaliknya, yakni air menjadi sumberdaya yang keberadaannya semakin berkurang, dimana setiap tahun ketersediaannya semakin menurun. Penurunan ketersediaan air bertolak belakang dengan fenomena peningkatan kebutuhan air. Penurunan ketersediaan air berkaitan erat dengan kesalahan pengelolaan lingkungan sehingga menyebabkan terganggunya suplai air baku di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan terganggunya suplai air antara lain: perubahan tataguna lahan, pencemaran oleh limbah domestik serta eksploitasi sumberdaya air akibat tekanan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi sehingga menyebabkan perubahan siklus hidrologi (Candra Samekto dan Ewin Sofian Winata 2010). Berdasarkan sektor kegiatan kebutuhan air dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, kebutuhan domestik, kebutuhan irigasi pertanian, dan kebutuhan industri. Pada tahun 1990, kebutuhan untuk domestik, irigasi, dan industri berturut-turut adalah: 3.2 x 109 m3/tahun; 74.9 x 109 m3; dan 0.70 x 109 m3/tahun. Pada tahun 2000 kebutuhan air masing masing sektor 3.5 x 109 m3/tahun; 82.4 x 109 m3/tahun; dan 0.79 x 109 m3/tahun (Isnugroho 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun kebutuhan air untuk sektor domestik dan irigasi meningkat sekitar 9%/tahun dan sektor industri meningkat 11%/tahun.

Penurunan ketersedian air dan peningkatan kebutuhan air juga terjadi di Provinsi Jawa Tengah pada umumnya, termasuk juga di daerah aliran sungai


(33)

2

(DAS) Babon yang berlokasi di 3 (tiga) kabupaten kota yaitu: Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Demak. Hal ini diduga disebabkan oleh perubahan fungsi lahan atau konversi lahan yang mengakibatkan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi dan peningkatan aliran permukaan. Konversi lahan tersebut menyebabkan peningkatan aliran permukaan, akibatnya jumlah air yang hilang ke laut akan meningkat pula yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan air.

Perubahan fungsi lahan atau konversi lahan telah mengakibatkan terjadinya penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum. Sementara itu, akibat deforestasi dan kerusakan lahan, kemampuan lahan untuk menahan dan menyimpan air semakin rendah. Deforestasi dan kerusakan lahan telah meningkatkan koefisien limpasan (perbandingan antara volume limpasan dan volume curah hujan), dan menurunkan kemampuan tanah menahan air hujan.

Berdasarkan studi yang dilakukan Departemen Kimpraswil pada tahun 2003, permasalahan air di Indonesia cukup kritis. Untuk menjamin ketersediaan air yang berkesinambungan diperlukan usaha-usaha pengelolaan sumberdaya air yang baik, terpadu, dan handal. Adapun permasalahan pokok mengenai sumberdaya air yang sering dihadapi di Indonesia adalah, antara lain: (1) adanya kelangkaan lokal (local scarcity) dalam alokasi air untuk berbagai sektor akibat dari bertambahnya penduduk dan bertambahnya kebutuhan air minum, khususnya di daerah perkotaan (urban areas). Walaupun ketersediaan air tawar di Indonesia dalam skala global melimpah, yaitu sekitar 13 000x109 m3, tapi kelimpahan tersebut tidak merata di tiap wilayah. Contohnya di Pulau Jawa yang hanya mempunyai 4.5% potensi air tawar nasional, tapi harus menopang 65% jumlah penduduk Indonesia yang seluruhnya berjumlah kurang lebih 230 juta orang. Akibatnya Pulau Jawa mengalami krisis air pada musim-musim kemarau. Padahal, permintaan akan air baku, terutama di Pulau Jawa, tiap tahunnya semakin meningkat. Menurut proyeksi Kimpraswil, pertambahan permintaan air minum ini dari tahun 1990 sampai 2020 mencapai 220%; (2) akses supply air minum dari institusi pengelola (PDAM) tidak memadai, sementara itu prasarana penyedia air minum perkotaan tidak mampu melayani perkembangan permintaan yang pesat.


(34)

3

Dalam dokumen water sector adjustment loan (WATSAL 1999) disebutkan, bahwa pada daerah perkotaan, hanya sebesar 40% dari seluruh penduduk perkotaan yang mendapatkan air minum (piped water). Akibatnya, air tanahlah yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari dan kebutuhan industri. Diperkirakan, 80% kebutuhan air minum masyarakat perkotaan dan perdesaan masih mengandalkan air tanah, sedangkan untuk industri hampir mencapai 90% yang mengandalkan air tanah, dan (3) adanya tekanan terhadap lingkungan, yang disebabkan oleh perencanaan yang tidak memperhatikan pelestarian lingkungan dan faktor budaya setempat. Dengan adanya industrialisasi dan urbanisasi, kedua faktor tersebut menambah tekanan terhadap lingkungan.

Kondisi existing menunjukkan bahwa ketersediaan air baku untuk air minum di kota-kota besar saat ini menjadi permasalahan serius dan perlu mendapat perhatian secara khusus dan terpadu oleh pemerintah. Data menunjukkan bahwa air baku yang berasal dari DAS sudah mengalami penurunan kualitas dan ketersediaannya, sehingga mengakibatkan ketersediaan air minum semakin terbatas dan biaya produksi sesemakin tinggi. Hampir semua air sungai di Indonesia sudah tercemar dimana kualitas air bakunya sudah termasuk dalam kategori tercemar berat.

Daerah aliran sungai yang selanjutnya disingkat DAS merupakan suatu mega sistem yang saling terkait secara keruangan. Daerah aliran sungai merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya tanah, air, vegetasi, dan sumberdaya manusia yang pada konteks ini sebagai pelaku pemanfaat atau pengguna sumberdaya alam tersebut. Menurut Hariadi Kartodihardjo et al. (2004), Daerah aliran sungai dapat dibagi menjadi tiga sistem antara lain: physical system, biological system, dan human system.

Physical system dibagi menjadi tiga sub sistem antara lain: atmospheric sub system, hydrological sub system, dan physiographic sub system. Dalam penelitian ini yang ditekankan adalah keberadaan DAS sebagai hydrological sub system

dimana komponen-komponennya terdiri antara lain: presipitasi, aliran permukaan, pengisian air atau water discharge, air tanah, evapotranspirasi, turbidity atau kelembaban dan salinitas. Begitu bervariasinya komponen-komponen sub sistem


(35)

4

yang ada pada DAS, oleh sebab itu permasalahan air baku perlu dikelola melalui pendekatan yang berbasis DAS dengan pendekatan sistem.

Saat ini kondisi DAS di sebagian besar daerah di Indonesia mulai menurun, kritis, baik ketersediaan maupun kualitasnya. Hal itu terindikasi dengan meningkatnya bencana di sekitar DAS, seperti: tanah longsor, erosi dan sedimentasi, kekeringan, dan kualitas air baku yang buruk. Meningkatnya kepadatan penduduk di sekitar DAS berimplikasi terhadap peningkatan pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam secara intensif dan dapat dipastikan kondisi DAS telah mengalami penurunan. Disamping itu, peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi mengakibatkan permintaan terhadap air baku sesemakin bertambah.

Dalam suatu sistem DAS, hulu, tengah, dan hilir merupakan kesatuan DAS yang mempunyai keterkaitan baik secara biofisik maupun hidrologis. Pemanfaatan lebih besar oleh sumberdaya manusia pada umumnya terjadi di hulu yang kondisi biofisiknya merupakan daerah tangkapan dan daerah resapan air. Status itulah yang menjadikan hulu rawan akan gangguan eksploitasi secara besar-besaran oleh manusia. Kenyataan semacam itu menandakan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh perilaku sosial masyarakat sekitar dan juga pengelolaan DAS itu sendiri secara kelembagaan. Secara kelembagaan di sini, dimaksudkan bahwa DAS sebagai sebuah kesatuan yang utuh mencakup beberapa wilayah yang secara administratif terpisah, dalam pengelolaannya harus ada keterpaduan antar sektor dan wilayah yang tercakup dalam DAS tersebut.

Pengelolaan DAS lintas daerah secara terpadu, sebenarnya diawali dengan perumusan kesepakatan dan pembagian peran antar daerah yang tercakup ke dalamnya. Secara hidrologis, DAS adalah sistem hidrologi alami sehingga dimanapun kita berada pasti berada dalam suatu DAS (Burrell E. Montz 2008). Atas dasar itu, membangun model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS merupakan solusi yang dapat menyelesaikan masalah yang terjadi saat ini, yaitu ketersediaan air baku yang sudah menurun dan kualitas air baku yang tercemar.

Daerah aliran sungai (DAS) Babon merupakan salah satu DAS di Jawa Tengah yang selama ini dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk pertanian, industri, air minum, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Aliran sungai DAS


(36)

5

Babon berasal dari beberapa anak sungai yang berasal dari Gunung Butak, di Kabupaten Ungaran. DAS Babon terdiri atas 3 (tiga) Sub DAS yaitu: di bagian hulu adalah Sub DAS Gung (seluas 4 207 ha) dan Sub DAS Pengkol (seluas 3 438 ha), sedangkan di bagian hilir adalah Sub DAS Babon hilir (seluas 6 712 ha) yang bagian Barat di batasi oleh saluran Banjir Kanal Timur. DAS Babon juga berbatasan dengan DAS Garang di sebelah Barat, dan sebelah Timur berbatasan dengan DAS Tikung.

PDAM Semarang yang selama ini memanfaatkan sumber air baku air minum dari DAS Babon, tidak berkewajiban dalam melakukan pelestarian sumberdaya air baku. Kewajiban yang diamanatkan kepada PDAM hanya sebatas pengolahan air baku menjadi air minum dan mendistribusikannya kepada masyarakat pelanggan air minum. Dengan tidak adanya kewajiban dari PDAM dalam melestarikan DAS, mengakibatkan keberlanjutan ketersediaan air baku air minum menjadi tidak terjamin. Saat ini PDAM dihadapkan pada masalah air baku yang semakin terbatas ketersediaannya dan kualitas yang semakin menurun, sehingga diperlukan biaya yang semakin besar dan permintaan akan kebutuhan masyarakat menjadi tidak dapat dipenuhi. Untuk itu, PDAM perlu dilibatkan dalam pengelolaan DAS secara terpadu dengan pendekatan sistem, agar ketersediaan air baku tetap terjamin.

Pengelolaan air baku yang bersumber dari DAS sebagai sumber air baku dilakukan dengan pendekatan sistem, diawali dengan cara melakukan identifikasi dan evaluasi secara cepat, tepat, objektif, holistik, dan terkuantifikasi tentang pengelolaan DAS yang terjadi selama ini (existing condition) untuk mendapatkan atribut-atribut kritis yang harus segera ditangani agar keberlanjutan air baku tetap terjamin. Selanjutnya dilakukan analisis leverage untuk menentukan atribut-atribut yang sangat sensitif dari masing masing aspek seperti: aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Dengan menggunakan analisis prospektif, atribut-atribut kritis tersebut dianalisis kembali untuk menghasilkan atribut-atribut kunci yang mewakili ketiga aspek tersebut. Atribut-atribut kunci tersebut dijadikan variabel dalam membangun Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS. Selanjutnya, agar model tersebut dapat diimplementasikan,


(37)

6

dirumuskan mekanisme kelembagaan dengan menggunakan analisis interpretative struktural modelling (ISM).

1.2. Rumusan Masalah

Pengelolaan air baku untuk air minum belum dikelola secara terpadu melalui pendekatan sistem. Hal tersebut berakibat pada ketersediaan air baku yang berkurang dan kualitas air baku yang tercemar (berat) sehingga diperlukan biaya produksi yang semakin tinggi untuk pengolahan air baku menjadi air minum. Adapun pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana potensi DAS Babon sebagai sumber air baku air minum pada saat ini?

2. Bagaimana model pengelolaan air baku agar ketersediaan air baku dapat memenuhi kebutuhan jangka panjang dan kualitas air baku dapat memenuhi kategori air baku air minum (ABAM)?

3. Bagaimana mekanisme kerjasama antar lembaga yang terkait agar model pengelolaan ABAM berbasis DAS dapat diimplementasikan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS, studi kasus di DAS Babon Semarang, agar ketersediaan dan kebutuhan air baku dapat memenuhi kebutuhan dan kualitas air baku dapat memenuhi kategori air baku air minum (ABAM). Untuk mencapai tujuan utama tersebut maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus, antara lain:

1. Menetapkan atribut-atribut kunci yang akan dijadikan variabel-variabel dalam membangun model pengelolaan ABAM berbasis DAS.

2. Membangun model pengelolaan ketersediaan dan kualitas air baku air minum berbasis DAS, khususnya untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel.

3. Menghasilkan mekanisme kerjasama kelembagaan dalam mengelola DAS agar masing-masing instansi yang berkepentingan pada DAS Babon, dapat memahami perannya dalam mengimplementasikan model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS.


(38)

7

1.4. Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pendekatan sistem melalui studi kasus pada daerah aliran sungai (DAS) Babon Semarang Provinsi Jawa Tengah. Sebagai suatu sistem yang sangat kompleks, DAS memberikan manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia, terutama sebagai sumber air baku untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia, seperti: untuk keperluan air baku air minum (ABAM), pertanian, peternakan, perikanan, irigasi, transportasi, dan lain-lain. Air baku air minum berdasarkan PP 82/2001 adalah air baku yang termasuk dalam kategori 1 (satu) dan peruntukannya untuk air minum.

Dalam penelitian ini, fokus penelitian diarahkan pada pengelolaan air baku berbasis DAS untuk memenuhi kriteria atau kategori air baku air minum untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel. Agar tercapai tujuan tersebut, pengelolaan air baku harus dilakukan secara holistik/terpadu dengan memperhatikan kaidah/prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satu solusinya adalah dengan membangun model pengelolaan air baku air minum yang dapat meningkatkan ketersediaan air baku serta meningkatkan kualitas air baku yang secara ekologis diperlukan dimana secara ekonomi akan lebih menguntungkan, mengingat biaya produksi untuk mengolah air minum akan lebih efisien. Disamping itu, secara sosial akan bermanfaat karena masyarakat mengkonsumsi air baku yang tidak tercemar. Secara skematis kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(39)

8

Model Pengelolaan ABAM Berbasis DAS

Tekanan Terhadap Kawasan

Intensitas Penggunaan Lahan

Degradasi Lahan dan Air

Fluktuasi Debit Air Baku Tercemar Pertumbuhan

Penduduk

Peningkatan Aktivitas di Kawasan

Peningkatan Kebutuhan Air Baku

Kebutuhan Domestik Kebutuhan Hotel Kebutuhan Industri

Valid ?

Simulasi Dengan Berbagai Skenario

Rekomendasi Tidak

Ya

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian model pengelolaan air baku air minum untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Tersedianya model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan agar kebutuhan air baku terpenuhi untuk jangka panjang.

2. Tersusunnya mekanisme kerjasama antara Pemerintah Daerah sebagai

stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan DAS.

3. Sebagai acuan Pemerintah Daerah Jawa Tengah dalam penentuan kebijakan pengelolaan sumber air baku serta penentuan skenario untuk menentukan prioritas program yang diperlukan agar kebutuhan air baku dalam jangka panjang dapat terpenuhi.


(40)

9

1.6. Kebaruan Penelitian (Novelty)

Penelitian mengenai pengelolaan sumber air baku dari aspek teknis dan operasional telah banyak dilakukan oleh lembaga penelitian maupun institusi yang bergerak dalam bidang tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Bab II Tinjauan Pustaka. Namun penelitian dengan membuat model pengelolaan air baku air minum (ABAM) yang berbasis DAS belum pernah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan tersebut sifatnya masih parsial dan belum terintegrasi. Dengan demikian, nilai kebaruan (novelty) penelitian ini adalah:

1. Model pengelolaan air baku air minum dengan mempertimbangkan:

a. Sub model kebutuhan air baku untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel.

b. Sub model ketersediaan air baku melalui pendekatan konservasi untuk mengurangi air limpasan dengan pendekatan reboisasi untuk hutan, terasering untuk tegalan, SRI untuk sawah, dan sumur resapan untuk perumahan.

c. Sub model kualitas air baku air minum agar kualitas air baku mencapai kualitas air baku air minum.

2. Tersusunnya kerangka kerjasama dan program antara

stakeholders/kelembagaan dalam mengimplemenasikan model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS.

3. Sebagai tools untuk menetapkan kapasitas DAS dalam menyediakan ABAM.


(41)

(42)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumberdaya Air

Sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya, sedangkan air sendiri memiliki pengertian semua air yang terdapat pada, di atas, atau di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaaan, air tanah, dan air hujan. Sebagai suatu sumberdaya, air memiliki fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang harus dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan memanfaatkan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (UU Sumberdaya Air Nomor 7 Tahun 2004). Air baku adalah air yang diambil dari lingkungan, dan kemudian diperlakukan atau dimurnikan untuk menghasilkan air minum. Air baku untuk air minum rumah tangga yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Air baku tidak boleh dianggap aman untuk minum atau mencuci tanpa perawatan lebih lanjut. Air minum adalah air minum rumah tangga yang sudah melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

Potensi ketersediaan sumberdaya air baik yang berasal dari air permukaan maupun potensi air tanah sangat besar. Data menunjukan bahwa potensi air permukaan di Indonesia sebesar 1 789 milyar m3 tersebar di berbagai badan air, sedangkan potensi air tanah sebesar 4.7 x 109 m3 tersebar di 224 cekungan air tanah (Sudodo dan Prastowo 2005). Sampai dengan tahun 1990, potensi air di Indonesia yang dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian (irigasi) sebesar 74.9 x 109 m3/tahun dengan peningkatan 6.7% per tahun; kebutuhan domestik 3.1 x 109 m3/tahun dengan peningkatan 6.7 % per tahun; kebutuhan industri 0.7 x 109 m3/tahun, dengan peningkatan 12.5 % per tahun (Sudodo dan Prastowo 2005).

Ada 3 (tiga) masalah utama yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya air, yaitu:

1. Rusaknya daerah resapan air.


(43)

12

3. Pemenuhan kebutuhan air baku, baik untuk masyarakat maupun industri yang semuanya mengambil dari air tanah dalam jumlah besar dan berakibat turunnya tinggi permukaan tanah dan terjadinya intrusi air laut.

Menurut Sudodo dan Prastowo (2005), beberapa indikator kerusakan sumberdaya air dapat diidentifikasikan sebagai berikut: (1) rasio debit sungai maksimum; (2) koefisien aliran permukaan (limpasan, run off); (3) erosi dan sedimentasi; (4) muka air permukaan; dan (5) muka air tanah.

Sebagai bukti telah terjadi kerusakan daerah resapan air adalah bertambahnya daerah aliran sungai (DAS) yang kritis tiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 24 (dua puluh empat) DAS kritis dan kemudian meningkat menjadi 39 (tiga puluh sembilan) DAS kritis pada tahun 1992, meningkat lagi menjadi 59 (lima puluh sembilan) DAS kritis pada tahun 1998, dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 62 (enam puluh dua) DAS kritis. Dari 62 (enam puluh dua) DAS kritis tersebut sebanyak 26 (dua puluh enam) DAS kritis berada di Pulau Jawa (Sudodo dan Prastowo 2005). Dengan demikian, rehabilitasi daerah hulu sebagai daerah resapan air menjadi faktor penting untuk mencegah banjir di musim hujan dan kelangkaan air pada musim kemarau.

Penggunaan air di kawasan perkotaan antara lain adalah untuk air minum (permukiman), industri, usaha perkotaan (perdagangan/pertokoan), transportasi, dan lainnya. Melihat besarnya peran dan fungsi air serta untuk mengantisipasi semakin tingginya kebutuhan air khususnya air minum di kawasan perkotaan, maka air baku air minum harus mendapat perhatian yang serius. Pada saat ini dipastikan kinerja pelayanan air minum di kawasan perkotaan masih sangat kurang terutama di Kota Metropolitan, Kota Besar, Kota Sedang, dan Kota Kecil. Sebagai contoh pelanggan air minum perkotaan di Indonesia baru mampu dilayani sebanyak 50% kebutuhan air minum penduduk Indonesia (Dirjen Cipta Karya, DPU, 1998). Kota Semarang yang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2008 jumlah penduduk yang terlayani air minum baru sekitar 56% atau sekitar 860 000 jiwa. Jika dicermati ada beberapa permasalahan besar yang terkait dengan perencanaan sistem air minum di kawasan perkotaan, seperti: 1. Sumber air baku untuk air minum di kawasan perkotaan mengalami


(44)

13

2. Kebutuhan air minum yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.

3. Rendahnya cakupan pelayanan air minum di kawasan perkotaan.

4. Kinerja pengelolaan air minum PDAM yang menurun akibat tingginya kebocoran, biaya operasi, dan pemeliharaan yang meningkat.

2.1.1 Ketersediaan Air Baku

Pengertian ketersediaan sumberdaya air adalah air yang dapat dimanfaatkan untuk hidup dan kehidupan manusia dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Ketersediaan air baku dapat berupa air hujan, air sungai, mata air, dan air bumi baik air bumi dangkal (unconfined aquifer), maupun air bumi dalam (confined aquifer). Air hujan diasumsikan sebagai masukan tunggal dalam sistem hidrologi DAS, sedangkan air sungai, mata air, dan air bumi adalah bentuk lain dari air hujan.

Menurut Todd (1980), air merupakan sumberdaya alam yang terpulihkan dan keberadaannya mengikuti suatu kaidah atau sistem yng disebut daur hidrologi. Dalam mempelajari sistem hidrologi, Asdak (2007) mengemukakan bahwa model daerah aliran sungai (DAS) merupakan model yang baik guna menelusuri sumberdaya air, karena DAS merupakan suatu sistem hidrologis sehingga dapat terjadi proses masukan luaran. Dengan demikian pengelolaan DAS secara umum dapat didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam pulih (seperti air, tanah, dan vegetasi) dalam sebuah DAS dengan tujuan adalah untuk memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS agar secara kontinyu meningkatkan hasil air (water yield) untuk keperluan air minum, industri, pertanian, tenaga listrik, dan lain sebagainya.

Tujuan sistem hidrologi DAS umumnya lebih menekankan pada aliran air permukaan, sedangkan untuk air bumi mempunyai pendekatan agak berbeda, dapat dikatakan bahwa wilayah DAS tidak identik dengan cekungan air bumi sehingga pendekatan yang komprehensif diharapkan akan lebih memadai tetapi juga lebih kompleks.

Cekungan air bawah tanah adalah suatu daerah yang dijumpai lapisan mengandung air (aquifer) dengan pasokan air bawah tanah yang memiliki perilaku air bawah tanah yang tertentu dan kualitas yang tertentu pula. Pasokan air


(45)

14

bawah tanah tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor curah hujan, sifat fisik batuan yang berupa kesarangan dan kelulusannya, morfologi, dan struktur geologi.

Pada cekungan air bawah tanah Semarang terdapat 2 (dua) sistem akuifer (Sihwanto dan Sukirno 2000) yaitu:

1. Sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir. Sistem ini dijumpai pada batuan sedimen lepas berupa endapan alluvium (lapisan batuan hasil pelapukan) yang terdiri atas pasir lanau dan lempung, dengan kelulusan sedang sampai tinggi.

2. Sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir dan rekahan. Sistem ini disamping dipengaruhi sifat fisik batuan berupa produk gunung api; batuan sedimen laut juga dipengaruhi oleh adanya struktur geologi yang sangat mempengaruhi aliran dan akumulasi air bawah tanah, terutama pada daerah yang batuannya padu. Struktur patahan memegang peranan yang penting dalam menentukan produktivitas akuifer serta keterdapatan air bawah tanah, terutama pembentukan celah-celah dan rekahan pada batuan yang kompak/padu (Todd 1980). Daerah resapan cekungan Semarang utamanya di Kabupaten Semarang dikontrol oleh sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir dan rekahan ini.

Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut air infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan oleh karenanya mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah. Ada juga bagian dari air hujan yang telah masuk ke dalam tanah, terutama pada tanah yang hampir atau telah jenuh, air tersebut ke luar ke permukaan tanah lagi dan lalu mengalir ke bagian yang lebih rendah. Aliran air permukaan yang disebut terakhir sering juga disebut air larian atau limpasan. Bagian penting dari air larian dalam kaitannya dengan rancang bangun pengendalian air larian adalah besarnya debit puncak, Q (peak flow atau debit air yang tertinggi) dan waktu tercapainya debit puncak, volume, dan penyebaran air larian. Curah hujan yang jatuh terlebih dahulu memenuhi air untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan mengisi cekungan tanah


(46)

15

baru kemudian air larian berlangsung ketika curah hujan melampaui laju infiltrasi ke dalam tanah. Semakin lama dan semakin tinggi intensitas hujan akan menghasilkan air larian semakin besar. Namun intensitas hujan yang terlalu tinggi dapat menghancurkan agregat tanah sehingga akan menutupi pori-pori tanah akibatnya menurunkan kapasitas infiltrasi. Volume air larian akan lebih besar pada hujan yang intensif dan tersebar merata di seluruh wilayah DAS dari pada hujan tidak merata, apalagi kurang intensif. Disamping itu, faktor lain yang mempengaruhi volume air larian adalah bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan tataguna lahan. Kerapatan daerah aliran (drainase) mempengaruhi kecepatan air larian. Kerapatan daerah aliran adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi luas DAS (km2). Makin tinggi kerapatan daerah aliran makin besar kecepatan air larian sehingga debit puncak tercapai dalam waktu yang cepat. Vegetasi dapat menghalangi jalannya run off dan memperbesar jumlah air infiltrasi dan masuk ke dalam tanah (Asdak 2007).

2.1.2. Kebutuhan Air

Kebutuhan air yang dimaksud adalah kebutuhan air yang digunakan untuk menunjang segala kebutuhan manusia meliputi air bersih domestik dan non domestik, air irigasi baik pertanian maupun perikanan, dan air untuk penggelontoran kota. Air bersih digunakan untuk memenuhi kebutuhan:

1. Kebutuhan air domestik, keperluan rumah tangga.

2. Kebutuhan air non domestik, untuk industri, pariwisata, tempat ibadah, tempat sosial, serta tempat-tempat komersil, dan tempat-tempat umum lainnya.

2.1.2.1. Kebutuhan Air Domestik

Kebutuhan air domestik sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan konsumsi per kapita. Kecenderungan populasi dan sejarah populasi dipakai sebagai dasar perhitungan kebutuhan air domestik terutama dalam penentuan kecenderungan laju pertumbuhan (growth rate trends).

Estimasi populasi untuk masa mendatang merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan kebutuhan air domestik. Laju penyambungan juga menjadi parameter yang dipakai untuk analisis. Propensitas untuk penyambungan


(47)

16

perlu diketahui dengan melakukan survei kebutuhan nyata, terutama di wilayah yang sudah ada sistem penyambungan air bersih dari PDAM.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri terdapat pengertian mengenai air bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, didapat beberapa pengertian mengenai:

1. Air baku untuk air minum rumah tangga, yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.

2. Air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

3. Air limbah adalah air buangan yang berasal dari rumah tangga termasuk tinja manusia dari lingkungan permukiman.

4. Penyediaan air minum adalah kegiatan menyediakan air minum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif.

5. Sistem penyediaan air minum yang selanjutnya disebut SPAM merupakan satu kesatuan sistem fisik (teknik) dan non fisik dari prasarana dan sarana air minum.

6. Pengembangan SPAM adalah kegiatan yang bertujuan membangun, memperluas dan/atau meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non fisik (kelembagaan, manajemen, keuangan, peran masyarakat, dan hukum) dalam kesatuan yang utuh untuk melaksanakan penyediaan air minum kepada masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.

7. Penyelenggaraan pengembangan SPAM adalah kegiatan merencanakan, melaksanakan konstruksi, mengelola, memelihara, merehabilitasi, memantau,


(48)

17

dan/atau mengevaluasi sistem fisik (teknik) dan non fisik penyediaan air minum.

8. Penyelenggara pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha swasta, dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.

Berdasarkan petunjuk Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu perihal Pedoman Perencanaan dan Desain Teknis Sektor Air Bersih, disebutkan bahwa sumber air baku yang perlu diolah terlebih dahulu adalah:

1. Mata air, yaitu sumber air yang berada di atas permukaan tanah. Debitnya sulit untuk diduga, kecuali jika dilakukan penelitian dalam jangka beberapa lama.

2. Sumur dangkal (shallow wells), yaitu sumber air hasil penggalian ataupun pengeboran yang kedalamannya kurang dari 40 meter.

3. Sumur dalam (deep wells), yaitu sumber air hasil penggalian ataupun pengeboran yang kedalamannya lebih dari 40 meter.

4. Sungai, yaitu saluran pengaliran air yang terbentuk mulai dari hulu di daerah pegunungan/tinggi sampai bermuara di laut/danau. Secara umum air baku yang didapat dari sungai harus diolah terlebih dahulu, karena kemungkinan untuk tercemar polutan sangat besar.

5. Danau dan penampung air (lake and reservoir), yaitu unit penampung air dalam jumlah tertentu yang airnya berasal dari aliran sungai maupun tampungan dari air hujan.

Air bersifat universal dalam pengertian bahwa air mampu melarutkan zat-zat yang alamiah dan buatan manusia. Untuk menggarap air alam, meningkatkan mutunya sesuai tujuan, pertama kali harus diketahui dahulu kotoran dan kontaminan yang terlarut di dalamnya. Pada umumnya kadar kotoran tersebut tidak begitu besar. Dengan berlakunya baku mutu air untuk badan air, air limbah dan air bersih, maka dapat dilakukan penilaian kualitas air untuk berbagai kebutuhan. Di Indonesia ketentuan mengenai standar kualitas air bersih mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.


(49)

18

Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 mengelompokkan klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas:

1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.

4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Pada hakikatnya, pemantauan kualitas air pada perairan umum memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia, dan biologi.

2. Membandingkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu sesuai dengan peruntukannya menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001.

3. Menilai kelayakan suatu sumberdaya air untuk kepentingan tertentu (Effendie 2003).

Mengingat betapa pentingnya air bersih untuk kebutuhan manusia, maka kualitas air tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu:

1. Syarat fisik, antara lain:

a. Air harus bersih dan tidak keruh. b. Tidak berwarna.

c. Tidak berasa. d. Tidak berbau.


(50)

19

e. Suhu antara 10o-25 o C (sejuk). 2. Syarat kimiawi, antara lain:

a. Tidak mengandung bahan kimiawi yang mengandung racun. b. Tidak mengandung zat-zat kimiawi yang berlebihan.

c. Cukup yodium.

d. pH air antara 6.5 – 9.2.

3. Syarat bakteriologi, antara lain: tidak mengandung kuman-kuman penyakit seperti Disentri, Tipus, Kolera, dan bakteri patogen penyebab penyakit.

Pada umumnya kualitas air baku akan menentukan besar kecilnya investasi instalasi penjernihan air dan biaya operasi serta pemeliharaannya. Sehingga semakin jelek kualitas air semakin berat beban masyarakat untuk membayar harga jual air bersih.

Kebutuhan air domestik dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan, kebutuhan air per kapita dan proyeksi waktu air akan digunakan (Yulistiyanto dan Kironoto 2008). Standar kebutuhan air domestik adalah dari Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Tahun 2003 dan SNI Tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Standar kebutuhan air rumah tangga berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk

Jumlah Penduduk Jenis Kota Jumlah Kebutuhan Air

(l/orang/hari)

>2 000 000 Metropolitan >210

1 000.000 - 2 000 000 Metropolitan 150-210

500 000 - 1 000 000 Besar 120-150

100 000 - 500 000 Besar 100-150

20 000 - 100 000 Sedang 90-100

3 000 - 20 000 Kecil 60-100

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU dalam Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, 2006

Kebutuhan air domestik akan dipengaruhi juga oleh pola konsumsinya seperti penduduk kota menggunakan air lebih banyak dibandingkan penduduk desa. Berdasarkan SNI Tahun 2002 tentang sumberdaya air penduduk kota membutuhkan 150 liter/hari/kapita, sedang penduduk perdesaan memerlukan 60 liter/hari/kapita. Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat diformulasikan kebutuhan air penduduk desa maupun kota (SNI 2002).


(51)

20

2.1.2.2. Kebutuhan Air Non Domestik

Kebutuhan air non domestik meliputi pemanfaatan komersial, kebutuhan institusi, dan kebutuhan industri. Kebutuhan air komersial untuk suatu daerah cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan penduduk dan perubahan tata guna lahan. Kebutuhan ini bisa mencapai 20 sampai 25% dari total suplai (produksi) air.

Kebutuhan institusi antara lain meliputi kebutuhan air untuk sekolah, rumah sakit, gedung-gedung pemerintah, tempat ibadah, dan lain lain. Untuk penentuan kebutuhan tersebut cukup sulit karena sangat tergantung dari perubahan tataguna lahan dan populasi. Pengalaman menyebutkan angka 5% cukup representatif. Kebutuhan untuk industri saat ini dapat diidentifikasikan, namun untuk kebutuhan industri yang akan datang cukup sulit untuk mendapatkan data akurat. Hal ini disebabkan beragamnya jenis dan macam kegiatan. Untuk estimasi angka 2 sampai 5% dari total produksi dapat dipakai sebagai dasar dan acuan perhitungan.

Kebutuhan air untuk industri merupakan kebutuhan untuk kegiatan produksi meliputi bahan baku, pekerja, industry, dan kebutuhan pendukung industri lainnya. Menurut Erwan et al. (1996) dalam SNI Tahun 2002, untuk memperoleh data yang akan digunakan untuk menghitung kebutuhan air industri diperlukan kuesioner dan wawancara langsung, namun jika datanya terbatas maka prediksi penggunaan air dapat menggunakan standar dari Direktorat Teknik Penyehatan, Ditjen Cipta Karya Depertemen Pekerjaan Umum. Besar kebutuhan rata-ratanya adalah 2 000 liter/unit/hari atau 500 liter/hari/karyawan (Nippon Koei 1995 dalam SNI 2002). Proyeksi kebutuhan air industri sangat kompleks dengan segala faktor-faktor yang ikut mendukungnya. Semakin besar suatu industri maka pemanfaatan air akan semakin banyak. Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis industri yang diusahakan misalnya industri sedang minuman ringan lebih kecil kebutuhannya dibandingkan industri besar minuman ringan. Penelitian ini tidak menghitung kebutuhan air untuk kegiatan industrinya, namun hanya untuk kebutuhan pekerja yang ada dalam industri. Oleh sebab itu, tidak dibedakan antara kebutuhan industri besar, menengah, dan kecil.

Air irigasi merupakan air yang diambil dari suatu sungai atau waduk melalui saluran-saluran irigasi yang disalurkan ke lahan pertanian guna menjaga


(52)

21

keseimbangan air dan kepentingan pertanian. Air sangat dibutuhkan untuk produksi pangan, seandainya pasokan air tidak berjalan baik maka hasil pertanian akan terpengaruh. Air irigasi dapat berasal dari air hujan maupun air permukaan atau sungai. Pemanfaatan air irigasi tidak hanya untuk pertanian saja melainkan dapat juga dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang lain seperti perikanan dan peternakan. Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kebutuhan untuk penyiapan lahan (IR), kebutuhan air konsumtif untuk tanaman (Etc), perkolasi (P), kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (RW), curah hujan efektif (ER), efisiensi air irigasi (IE), dan luas lahan irigasi (A) (SNI 2002). 2.2. Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai yang disingkat DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. DAS dibatasi oleh pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh dengan aktivitas daratan. Menurut Rahmadi (2005) DAS adalah suatu daerah yang dibatasi (dikelilingi) oleh garis ketinggian dimana setiap air yang jatuh di permukaan tanah akan dialirkan melalui satu outlet. Komponen yang ada di dalam sistem DAS secara umum dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu (1) komponen masukan yaitu curah hujan, (2) komponen output yaitu debit aliran dan polusi/sedimen, dan (3) komponen proses yaitu manusia, vegetasi, tanah, iklim, dan topografi.

Dengan pengertian tersebut berarti DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang besar dan luas yang di dalamnya terdapat sub sistem-sub sistem yang beragam dan saling ketergantungan membentuk satu fungsi. Sebagai suatu ekosistem, DAS merupakan suatu satuan wilayah pembangunan yang perlu ditata agar pemanfaatannya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti kegiatan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, peternakan, industri, pertambangan, pariwisata, dan permukiman.

Koefisien run off atau air larian (C) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan.


(53)

22

atau

Keterangan: di = Jumlah hari dalam bulan ke-i.

Q = Debit rata-rata bulanan (m3/detik) dan 86 400 = jumlah detik dalam 24 jam.

P = Curah hujan rata-rata setahun (m/tahun). A = Luas DAS (m2).

Misalnya C untuk hutan adalah 0.1 artinya 10% dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka C ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai C yang besar berarti sebagian besar air hujan menjadi air larian, maka ancaman erosi dan banjir akan besar. Besaran nilai C akan berbeda-beda bergantung pada topografi dan penggunaan lahan. Semakin curam kelerengan lahan semakin besar nilai C lahan tersebut. Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan bisa dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan

Kondisi Daerah Nilai C

Pegunungan yang curam 0.75 - 0.90

Pegunungan tersier 0.70 - 0.80

Tanah bergelombang dan hutan 0.50 – 0.75

Tanah dataran yang ditanami 0.45 – 0.60

Persawahan yang diairi 0.70 – 0.80

Sungai di daerah pegunungan 0.75 – 0.85

Sungai kecil di dataran 0.45 – 0.75

Sungai besar di dataran 0.50 – 0.75

Sumber : Dr. Mononobe dalam Suyono S. (1999)

Pengelolaan DAS pada prinsipnya merupakan suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat

dalam suatu DAS Air larian (mm)

C = ––––––––––––––––– Curah hujan (mm)


(54)

23

produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah (Asdak 2007).

Ada beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai tingkat keberhasilan pengelolaan DAS, antara lain:

1. Pengelolaan yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi kepentingan kehidupan (indikator ekonomi).

2. Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan (sosial).

3. Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi (indikator lingkungan).

4. Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung (indikator teknologi).

Menurut Rahmadi (2002), pada pengelolaan DAS indikator yang paling memungkinkan untuk diukur secara objektif adalah melihat kondisi tata airnya, yang meliputi:

1. Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuantitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai.

2. Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dan lain-lain. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.

3. Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit


(55)

24

puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain.

4. Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah di suatu lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya air masukan ke dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang mempengaruhi besarnya air masuk ke dalam tanah adalah vegetasi, kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dan lain-lain. Ketinggian muka air tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer).

5. Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini dipengaruhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya, sehingga apabila terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi.

Ada 5 (lima) indikator biofisik yang dapat dijadikan sebagai ukuran bahwa DAS dikatakan masih baik dan dapat berfungsi secara optimal, yaitu: (1) debit sungai konstan dari tahun ke tahun, (2) kualitas air baik dari tahun ke tahun, (3) fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil, (4) ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun, dan (5) kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu.

Fokus perhatian utama dalam pengelolaan DAS adalah stabilitas sistem DAS, yang berkaitan dengan karakteristik setiap komponen DAS dalam hubungan saling terkait dan saling mempengaruhi. Dengan demikian maka strategi pengelolaan DAS mencakup: (1) penggunaan lahan sesuai kemampuannya, (2) proteksi tanah dari segala faktor perusak, (3) mengurangi banjir dan sedimentasi, (4) meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah, (5) meningkatkan produktivitas tanah, (6) memperbaiki dan mempertahankan fungsi hidrologis DAS, dan (7) meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(56)

25

2.3. Pendekatan dan Pemodelan Sistem

Menurut Manetsch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan. O’Brien (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, tiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Lucas (1993) menyatakan bahwa secara teoritis komponen dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem harus dipandang secara keseluruhan (holistik) dan akan bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking) sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan. Sebuah sistem mempunyai asupan (input) yang akan berproses untuk menghasilkan luaran (output). Pada sebuah sistem ada umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan, dan sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sistem kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu hirarki. Dengan demikian, sistem dapat berfungsi sebagai salah satu pendekatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang kompleks atau merumuskan kebijakan dan strategi untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metode penyelesaian masalah yang dimulai dengan cara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resources) (Eriyatno 1998).

Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama (Eriyatno 2002). Menurut Manetch dan Park (1977), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi sebagai berikut:


(1)

8. Jika pengambilan air dilakukan dengan menggunakan alat-alat tertentu (seperti pompa, ember, pipa,dan sebagainya); berapakah biaya pengadaan, biaya perawatan atau biaya pemeliharaan, biaya operasi, dan umur pakai (umur teknis) alat-alat tersebut ?

9. Adakah usaha-usaha yang dilakukan untuk pembersihan/penjernihan air sebelum dikonsumsi ? (Ada/Tidak Ada). Jika ada, usaha-usaha apa yang dilakukan dan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk usaha tersebut ?

No Jenis Penggunaan Air Upaya Penjernihan Air Biaya Penjernihan Air (Rp)

Jumlah Biaya (Rp)

10. Jika air yang digunakan berasal dari sumber air yang dikelola oleh perusahaan air minum, berapakah rata-rata pengeluaran Anda untuk membayar air itu ?

Pengeluaran bulan terakhir : Rp.____________/bulan Rata-rata pengeluaran 6 bulan terakhir : Rp________/bulan 11. Bagaimana status ketersediaan air yang Anda gunakan ?

a. tersedia dan mencukupi dan mencukupi sepanjang tahun.

b. tersedia sepanjang tahun tapi tidak mencukupi selama musim kemarau. c. tersedia seama musim hujan dan mencukupi kebutuhan

d. tersedia selama musim hujan tetapi tidak mencukupi sepanjang tahun.

12. Jika air yang digunakan berasal selain dari perusahaan air minum (PDAM), berapakah rata-rata pengeluaran Anda untuk membayar air itu ?

Pengeluaran bulan terakhir : Rp.____________/bulan Rata-rata pengeluaran 6 bulan terakhir : Rp________/bulan No Sumber

Air Nama Alat

Biaya Pengadaan (Rp)

Biaya Perawatan/operasi

(Rp)

Umur Pakai (tahun)


(2)

193

13. Jika air yang anda konsumsi dari PDAM bagaimana menurut anda tentang fasilitas PDAM dalam mengelola air baku?

a. Sangat memadai b. Memadai

c. Cukup Memadai d. Tidak memadai

14. Berapakah kesediaan anda untuk membayar agar Pengelolaan air untuk menjamin ketersediaan dan kebutuhan air baku untuk masa yang akan datang tetap terjaga?

a. Rp. 50.000 – Rp.100.000 b. Rp. 100.000 – Rp.500.000 c. Rp. 600.000 – Rp.1.000.000


(3)

127061743 117895743 108729743 99563743 90397743 81231743 72065743

Persentase Pemakaian Air Tanah

100160206 99961385 99762564 99563743 99364923 99166102 98967281 Reduce, Reuse dan Recycle

101707691 100993042 100278392 99563743 98849094 98134445 97419796 Persentase Terasering

100110357 99928152 99745948 99563473 99381539 99199335 99017130 Persentase SRI

100107029 99925934 99744838 99563473 99382648 99201553 99020458 Persentase Reboisasi

101106738 100592406 100078075 99563473 99049412 98535081 98020749 Persentase Sumur Resapan

98841430 99090691 99331375 99563473 99788054 100004556 100213492 Laju Pertumbuhan Penduduk

99468539 99500558 99532292 99563473 99594914 99625807 99656424 Laju pertumbuhan Industri

99563599 99563648 99563696 99563473 99563790 99563836 99563881 Laju pertumbuhan Hotel

95000000 96200000 97400000 98600000 99800000 101000000 102200000 103400000 104600000

-60 -40 -20 0 20 40 60

Persentase Pemakaian Air Tanah Reduce, Reuse dan Recycle Persentase Terasering Pesentase SRI Persentase Reboisasi Persentase Sumur Resapan Laju Pertumbuhan Penduduk Laju Pertumbuhan Industri Laju Pertumbuhan Hotel


(4)

195

Lampiran 5 Kuisioner Survei Identifikasi Kebutuhan Prioritas Dalam Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS

MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM BERBASIS DAS Studi Kasus: DAS BABON SEMARANG

PETUNJUK PENGISIAN

Kuis ini dibuat dalam rangka mendapatkan justifikasi mengenai aspek dan kriteria bagi kelembagaan rencana pengembangan kawasan minapolitan di wilayah Kabupaten Banyumas

Pada kuisioner ini dibutuhkan penilaian Bapak/Ibu, selaku pakar air khususnya yang berkaitan dengan Elemen KELEMBAGAAN dalam pengelolaan air baku di DAS Babon di Kota Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Demak

Atas berkenannya Bapak/Ibu, kami mengucapkan terima kasih. CARA PENGISIAN

Untuk membandingkan antar sub-elemen pada setiap elemen, maka Bapak/Ibu dapat memilih huruf-huruf V, A, X, dan O dimana :

V : Jika sub-elemen yang ke-1 lebih penting atau harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-2

A : Jika sub-elemen yang ke-2 lebih penting ataua harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-1

X : Jika kedua sub-elemen sama pentingnya atau keduanya harus ditangani bersama

O : Jika kedua sub-elemen tidak sama penting atau kedua sub-elemen bukan prioritas yang harus ditangani.


(5)

Tabel 1. Penilaian Pembandingan Antar Sub-ElemenPada Setiap Elemen A. Elemen : Lembaga yang dibutuhkan dalam pengelolaan DAS Babon

Sub-Elemen

1. Pemerintah Pusat

2. Pemerintah Provinsi (Dishut, PU, Bapedda, BLH, Pertanin, PDSA dan ESDM, Perikanan)

3. Pemerintah Kota/Kab (Dishut, PU, Bapedda, BLH, Pertanin, PDSA dan ESDM, Perikanan)

4. Balai Pengelola Sumberdaya Air Wilayah Sungai (BPSAWS) 5. PDAM

6. Perguruan Tinggi 7. Swasta

8 Perguruan Tinggi 9 Pemerintah Desa 10 Masyarakat Tabel 2. Diisi oleh Expert

Sub elemen ke

Sub elemen aktifitas ke

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Mohon diisi Cell atau kotak kecil pada table.2 diatas dgn V atau A atau X atau O dimana pengisian nya tergantung dari pendapat bapak/Ibu terhadap hubungan antara aktifitas pada table 1

ATAU

A. Tingkat Kepentingan lembaga Dibandingkan dengan lembaga Lainnya 1. Bagaimana tingkat pentingnya pemerintah pusat dibandingkan dengan

pemerintah propinsi.

 Pemerintah pusat lebih penting dari pemerintah propinsi  Pemerintah provinsi lebih penting dari pemerintah pusat  Pemerintah pusat sama penting dengan Pemerintah provinsi  Tidak ada kepentingan keberhasilan antara keduanya


(6)

197

2. Bagaimana tingkat pentingnya pemerintah pusat dibandingkan pemerintah kabupaten/kota.

 Pemerintah pusat lebih penting dari pemerintah kabupaten/kota  Pemerintah kabupaten/kota lebih penting dari pemerintah pusat  Pemerintah pusat sama penting dengan pemerintah kabupaten/kota  Tidak ada kepentingan keberhasilan antara keduanya

3. Dan seterusnya Contoh

Sub elemen ke

Sub elemen aktifitas ke

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 V V O A A X V O O 2 O V A X O V A X

3 A X O V A X O

4 O V A X O V

5 A X O V A

6 A X O V

7 O V A

8 V A

9 O