Partisipasi Mayarakat dalam Pengelolaan DPL

organisasi masyarakat yang akan mempunyai peran dan fungsi bidang tertentu konservasi, produksi, peningkatan peran dan kemampuan perempuan.

5.5.5. Partisipasi Mayarakat dalam Pengelolaan DPL

Berdasarkan perkembangan isu yang terjadi di Kelurahan Pulau Abang beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pengelolaan DPL Pulau Sekate, terdiri dari : Terlibat dalam monitoring dan evaluais DPL, Terlibat dalam pengawasan DPL, Terlibat dalam kegiatan MPA, Melakukan sosialisasi DPL, Mendukung pengelolaan DPL, Mengikuti pelatihan mengenai DPL dan terumbu karang serta terlibat dalam pembentukan Peraturan Daerah Perda terumbu karang. LPM memiliki persentase tertinggi dibandingkan responden yang lainnya yaitu sebesar 83 menyatakan terlibat dalam pengelolaan DPL, partsipasi kelihatan dalam setiap kegiatan yang di lakukan hal ini dikarenakan kelompok ini merupakan bagaian dari pengelola DPL. Persentase tertinggi kedua adalam dari kelompok LSM, Tokoh Masyarakat dan Swasta yaitu sebesar 46 dimana partisipasi yang tinggi terlihat dari peran serta mengikuti terlibat dalam monitoring dan evaluais DPL dan kegiatan melakukan sosialisasi DPL , peran serta LSM ini tidak terlepas dari fungsinya sebagai LSM pendamping di masyarakat dalam pengelolaan program COREMAP II di Kota Batam. Gambar 33. Persentase Partisipasi pengelolaan DPL Pulau Sekate Rendahnya partisipasi kelompok Pengelola dan Nelayan terlihat dengan persentase sebesar 17, rendahnya keterlibatan ini diakibat oleh rendahnya partisipasi masyarakaat dalam kegiatan sebelumnya yaitu pembentukan DPL. Gambar 34. Persentase kelompok pengelola dan nelayan dalam keterlibatan pengelolaan DPL. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa rendahnya keterlibatan kelompok pengelola dan nelayan dalam partisipasi pembentukan DPL yaitu sebesar 69 mengatakan perna h terlibat. Rendahnya partisipasi ini mengakibatkan kepedulian masyarakat dalam hal keterlibatan dalam pengelolaan DPL setelah di tetapkan menjadi menurun. Keterlibatan awal masyarakat dalam suatu program DPL merupakan hal yang sangat menentukan bagi keberlanjutan program tersebut. Suatu program konservasi akan berhasil dengan baik apabila sejak awal perencanaan program hingga fase pelaksanaan masyarakat setempat berpartisipasi aktif. Pentingnya staf yang memiliki dedikasi merupakan salah satu faktor penting yang paling menentukan KKL akan berhasil dan bermanfaat, dengan adanya orang atau kelompok orang yang berdedikasi untuk menjalankan pengelolaan, yang bukan hanya sekedar komitmen administrasi terhadap KKL dan memiliki kemampuan yang kuat untuk mengelola daerah laut, Argardy 1997. Berdasarkan diskusi yang diadakan di Filipina pada tahun 2000 yang dilakukan oleh 54 praktisi ahli pengelolaan wiliyah pesisir berbasis masyarakat mengatakan bahwa keberhasilan DPL- BM dapat di capai jika rasa memilki masyarakat yang kuat terhadap DPL tersebut sangat penting dan membutuhkan partisipasi yang nyata oleh masyarakat dalam tahap-tahap perencanaan dan pelaksanaan. Pengembangan kapasiatas dan kelompok yang bertugas untuk mengelola DPL haruslah merupakan kegiatan penting dan diberi penekanan utama selama tahap perencanaan DPL dan diteruskan sampai tahap pelaksanaan. Tanpa kapasitas yang cukup bagi pengelolaan, maka kemungkinan untuk mencapai keberhasilan yang lestari dari DPL sulit untuk dijamin Crawford et al. 2000. Tabel 38. Persentase partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL Pulau Sekate No Partisipasi Pengelolaan DPL Pemerintah Kelurahan LPM Kelompok Pengelola dan Nelayan LSM, Tokoh Masyarakat dan Swasta Lembaga institusi Pemerintah Kota 1 Terlibat dalam monitoring dan Evaluais DPL 11 100 5 67 18 2 Terlibat dalam pengawasan DPL - 83 29 42 18 3 Terlibat dalam kegiatan MPA - 67 22 17 - 4 Melakukan sosialisasi DPL 22 50 6 42 21 5 Mendukung pengelolaan DPL 100 100 36 100 100 6 Mengikuti pelatihan - 100 18 25 - 7 Terlibat dalam Pembentukan Perda TK 44 83 6 33 29 Sumber : Data primer diola h 2009 Keterlib at dalam monitoring dan evaluasi DPL merupakan hal yang penting dalam siklus kebijakan pengelolaan DPL. Karena dengan adanya pemantauan dan evaluasi, maka kita dapat mengamati kemajuan setelah penetapan DPL dan pengelolaan DPL diberlakukan. Dari hasil pemantauan dan evaluasi, kita dapat mengetahui efektifitas dari DPL yang telah kita kembangkan, baik dampak terhadap perbaikan lingkungan maupun dampak sosial-ekonomi masyarakat. Gambar 35. Persentase keterlibatan responden dalam kegiatan Monitoring dan Evaluasi DPL Persentase partisipasi dalam pemantuan dan evaluasi terlihat sangat rendah dari masing- masing stakeholder, kegiatan monitoring tutupan karang di DPL di lakukan oleh tim CRITC Coral Reef Information Training Center Kota Batam. Pelaksanaan monitoring ini rutin di laksanakan sekali setahun oleh bagian CRITC yang anggotanya berasal dari instansi Bappeko Kota Batam. Keterlibatan masyarakat dalam melakukan monitoring terumbu karang ini hanya sebatas memfasilitasi menyediakan kapal untuk menuju lokasi DPL, keterbatasan keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat mempengaruhi pelaksanaan monitoring dapat dilaksanakan. Kegiatan pemantauan dan evaluasi memerlukan informasi yang dikumpulkan secara periodik, seperti informasi tentang dampak ekologis, seperti perubahan tutupan karang dan jumlah kepadatan biota dalam DPL, merupakan hasil dari kegiatan pemantauan dan evaluasi. Melalui pemantauan dan evaluasi, maka program yang telah dibuat dapat terus disesuaikan dengan perubahan permasalahan. Kegiatan yang lain seperti informasi jumlah pertemuan, jumlah partisipasi masyarakat, perubahan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang, jumlah penurunan kegiatan penangkapan ikan yang merusak. Menurut Kasmidi 1999, Suatu rencana pengelolaan tidak bisa dilihat atau diukur tingkat keberhasilan pelaksanaannya jika tidak dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap rencana pengelolaan itu sendiri. Melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi, maka proses belajar secara mandiri dalam pengelolaan DPL pengelolaan adaptif dapat berjalan sesuai dengan perubahan situasi yang berkembang di lokasi. Agar supaya kegiatan pemantauan dan evaluasi dapat dilaksanakan oleh masyarakat, maka diperlukan suatu pola pemantauan dan evaluasi yang sederhana tetapi dapat dipertanggung jawabkan. Mengingat untuk mendapatkan informasi dari kegiatan pemantauan dan evaluasi memerlukan biaya yang cukup mahal, maka perlu diupayakan metode pemantauan dan evaluasi yang mudah dan tidak memberatkan masyarakat. Misalnya, metode pemantauan kondisi terumbu karang dapat menggunakan metode Manta Tow dengan snorkle. Sedang pemantauan dan evaluasi tentang pola pemanfaatan sumberdaya, misalnya tentang frekwensi penggunaan alat-alat yang merusak. Kelompok Pengelola dan LPS-TK diharapkan menjadi motor untuk kegiatan monitoring dan evaluasi, setela h mendapat pelatihan dari para fasilitator lapangan dari COREMAP. Untuk pemantauan kondisi terumbu karang, maka peran dari universitas diperlukan dalam penyiapan para kader untuk pemantauan kondisi tutupan terumbu karang. Kelompok Pengawasan Masyarakat PokWasMas di Kelurahan Pulau Abang telah terbentuk dengan beberapa anggota masyarakat sebagai anggota, untuk LPSTK kelurahan Pulau Abang telah memilki fasilitas pengawasan yang lengkap seperti perahu pengawas dengan mesin 40 PK, alat komunikasi radio, teropong dan lain- lain. Anggota pokwasmas tidak hanya melakukan pengawasan di daerah DPL saja tetapi termaksud wilayah-wilayah yang terumbu karang di sekitar tempat tinggal masyarakt, masyarakat juga turut serta dilibatkan dalam pengawasan dengan melakukan pengawasan pada saat menangkap ikan di laut. Sehingga persentase peran serta masyarakat dalam pengawasan cukup tinggi sebesar 18. Di Kelurahan Pulau Abang juga terdapat pos Anggkatan Laut, berdasarkan wawancara yang di lakukan dengan pihak AL mengatakan tingkat pengerusakan terumbu karang dengan menggunakan bom dan racun hampir dikatakan tidak ada kasus yang pernah di tangani, keterbatasan pengetahuan dari aparat AL mengenai kawasan DPL juga tidak dimiliki, keterbatasan informasi ini diakibatkan oleh waktu penugasan anggota AL di pos-pos yang ada disekitar peraiaran Kota Batam setiap 6 bulan sekali di lakukan perputaran pos. Kawasan DPL yang telah ditetapkan melalaui Perdes perlu diawasi dari kegitan-kegiatan masyarakat yang mungkin belum memahami manfaatnya. Untuk menjamin adanya pengawasan dan penegakan aturan, maka disarankan untuk membuat aturan hukum mengenai DPL. Gambar 36. Persentase keterlibatan responden dalam kegiatan pengawasan DPL Pembuatan aturan perlu dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku yang melanggar aturan DPL, pembuatan aturan yang telah disepakati bersama perlu ditegakkan dan sanksi diberikan kepada pelanggar. Sanksi yang dikenakan haruslah sesuai dengan yang ada dalam Perdes, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika seseorang melanggar aturan beberapa kali, dapat dikatakan pelanggaran tersebut sudah layak untuk diserahkan kepada aparat penegak hukum, beserta barang bukti. Oleh karena itu, PokWasMas perlu dilatih tentang penyidikan dan prosedur penangkapan, serta Standar Operation Procedures SOP tentang mekanisme pelaporan. Konflik dan potensi konflik biasanya umumnya berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Konflik sering terjadi antara nelayan tradisional yang ada di Pulau Abang Kecil dengan para pengebom yang datang dari luar daerah. Menghadapi kegiatan pengeboman ini nelayan lokal sering melakukan pengejaran terhadap pelaku pengeboman namun tidak pernah dapat ditangkap. Hal ini disebabkan para pengebom menggunakan pompongspeed boat yang mempunyai kekuatan mesin mencapai 400 PK, sedangkan nelayan yang mengejar kekuatan mesin pompong dengan kekuatan yang lebih rendah. Namun menurut keterangan masyarakat bahwa belakangan ini kegiatan pengeboman ikan tersebut telah berkurang. Disamping kegiatan pengeboman, pada lokasi penangkapan nelayan setempat tepatnya disekitar Pulau Abang Kecil dan Pulau Petong sering ditemukan beroperasinya trawl terutama pada malam hari. Trawl ini ada yang berasal dari luar wilayah ini dan ada juga yang berasal dari Pulau Abang Kecil dan sekitarnya. Kondisi ini sangat merisaukan nelayan setempat, karena apabila trawl ini telah beroperasi maka menurut nelayan hasil tangkapannya menurun. Pelaksanaan pelatihan perlu diselenggarakan serangkaian pelatihan- pelatihan bagi tokoh-tokoh dan anggota masyarakat yang berpotensi untuk berperan aktif dalam DPL, serta masyarakat luas pada umumnya, untuk meningkatkan kemampuan atau kapasitasnya dalam mengelola pembangunan di tingkat desa pada umumnya, dan dalam mengelola sumberdaya terumbu karang pada khususnya. Rangkaian peltihan-pelatihan untuk masyarakat dapat meliputi paket-paket pelatihan seperti : Pelatihan Motivasi, Pelatihan Lingkungan Hidup, Pelatihan Pengembangan dan Penguatan Kapasitas Masyarakat dan Pelatihan Konservasi Terumbu Karang, Mangrove, Lamun. Gambar 37. Persentase keterlibatan responden dalam kegiatan Pelatihan Pelatihan motivasi bertujuan untuk menyadarkan masyarakat atas problema yang mereka hadapi, potensi yang mereka miliki, dan menumbuhkan motivasi untuk mengoptimalkan potensi mereka demi keberlanjutan mata pencaharian dan meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka sendiri. Pelatihan tentang pengembangan dan penguatan kapasitas masyarakat bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka untuk mengelola pembangunan desa oleh mereka sendiri. Pendidikan tentang lingkungan hidup dan pengelolaan terumbu karang dan operasional DPL bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai lingkungan pesisir, sumberdaya terumbu karang dan pengelolaan DPL, sehingga mereka dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir di desa mereka secara berkelanjutan. Pendidikan lingkumgan hidup adalah upaya penyadaran dan peningkatan masyarakat, peningkatan keterampilan, melalui kegiatan pendidikan, pengajaran, pelatihan, penyuluhan, diskusidiskusi formal dan informal focus group discussion tentang lingkungan hidup yang ada disekitar mereka termasuk pengelolaan sumberdaya alam. Pelatihan dan penyuluhan semasa proyek masih berjalan dilaksanakan oleh COREMAP, sedang nantinya peran para Kader Desa dan Pengelola DPL ataupun Penyuluh Perikanan dapat menggantikan peran sebagai penyuluh tentang pengelolaan lingkungan hidup di desa. Ada tiga hal yang dapat dipakai menjadi prinsip dasar pemahaman masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang, yaitu: • Rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang dan lokasinya • Manfaat ekologis dan ekonomis sumberdaya alam, termasuk terumbu karang • Kemungkinan ancaman dan degradasi sumberdaya alam di sekitar mereka Rangkaian pelatihan-pelatihan tersebut hendaknya diselenggarakan melalui berbagai pendekatan dan metoda, termasuk pengajaran, penyuluhan, diskusi-diskusi formal dan informal focus group discussion. Selain itu, studi banding dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat desa untuk belajar langsung dari masyarakat desa lain yang telah terlebih dahulu memiliki pengalaman dalam mengelola sumberdaya alam laut berbasis masyarakat, khususnya dalam membuat dan mengelola DPL secara operasional. Pelatihan dan penyuluhan semasa proyek masih berjalan dilaksanakan oleh COREMAP, sedang nantinya peran para Kader Desa dan Pengelola DPL ataupun Penyuluh Perikanan dapat menggantikan peran sebagai penyuluh tentang pengelolaan lingkungan hidup di desa. Terdapat tiga hal penting yang dapat dipakai menjadi prinsip dasar pemahaman masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang, yaitu: • Rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang dan lokasinya • Manfaat ekologis dan ekonomis sumberdaya alam, terutama terumbu karang • Kemungkinan ancaman dan degradasi sumberdaya alam di sekitar mereka yang berakibat pada menurunnya atau hilangnya manfaat ekonomis dan ekologis. Keberhasilan upaya Coremap tentulah tidak terlepas dari keberhasilan kegiatan Informasi dan komunikasi. Sebaiknya dalam pelaksanaan proyek Coremap II sejak tahun 2004, informasi tentang apa yang sudah dilaksanakan oleh Proyek Coremap I dan keberhasilannya perlu disebarluaskan kepada masyarakat luas mulai dari tingkat desa, kabupatenkota sampai ke propinsi dan tingkat nasional bahkan termasuk dunia internasional, agar dapat menjadi perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan. Gambar 38. Persentase keterlibatan responden dalam kegiatan Sosialisasi DPL Karena tujuan utama Informasi dan komunikasi adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pemeliharaan, perlindungan dan pengelolaan terumbu karang beserta ekosistemnya, baik di tingkat nasional maupun daerah. Informasi dan komunikasi sendiri mempunyai makna kegiatan yang dilaksanakan secara intensif melalui penyebaran informasi, melaui proses pembelajaran masyarakat atau melalui pendidikan baik formal maupun non- formal untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan terumbu karang beserta ekosistemnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat pesisir dan sekitarnya. Dengan demikian maka keberadaan informasi dan komunikasi adalah merupakan salah satu wahana untuk mendukung sebagian tujuan Coremap II antara lain 1. Meningkatkan upaya perlindungan dan pengelolaan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan, dan 2. Meningkatkan serta mengembangan kesejahteraan masyarakat pesisir. Data dan informasi untuk berbagai potensi laut dan pesisir akan dapat dikelola dengan sendirinya. Pemerintah Pusat dan Daerah hanya menentukan data dan informasi apa yang dibutuhkan dalam penyusunan perencanaan dan kebijakan, semua dapat disajikan melalui pusat pengelolaan informasi sumber daya laut dan pesisir. Pihak pelaku bisnis yang tertarik untuk membangun bisnis dari sumber daya laut dan pesisir di setiap daerah dengan mudah dapat mengakses data dan informasi sesuai kebutuhan bisnisnya karena SDM pengelola siap setiap saat melayani stakeholder dan masyarakat pengguna. Dipihak lain, masyarakat pesisir yang sudah sejak lama tinggal dan membangun kehidupannya dapat diajak bekerjasama untuk membangun usaha-usaha yang relevan dengan potensi sumber daya laut dan pesisir. Disinilah sebenarnya peranan Pusat Informasi untuk dapat menjabarkannya lebih lanjut. Pertumbuhan populasi di masyarakat khususnya masyarakat nelayan yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya alam membuat tekanan terhadap sumberdaya alam meningkat, untuk itu perlu dikembangkan sebuah program pengembangan mata pencaharian alternatif. Memahami konsep mata pencaharian alternatif sangatlah penting, terutama saat bekerja dengan masyarakat yang memiliki ketergantungan pada sumber daya alam. Gambar 39. Persentase keterlibatan responden dalam kegiatan Mata Pencaharian Alternatif MPA. Persentase nelayan yang mendapatkan MPA belum merata masih hal ini sebesar 14, hal ini disebabkan terbatasnya anggaran yang di siapkan oleh pengelola program Coremap yang dibagikan ke kelompok nelayan. Beberapa Usaha alternatif yang pernah dikembangkan di Kelurahan Pulau Abang yaitu: usaha home industri Kerupuk Ikan, usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba, usaha ternak ayam, usaha ternak Itik dan industri pengolahan ikan asin. Usaha home industri Kerupuk Ikan telah berkembang dan menjadi usaha perioritas pertama untuk dikembangkan, usaha ini dikelola oleh kelompok perempuan, usaha ini biasanya dilakukan oleh kaum ibu- ibu dan remaja putri dari keluarga nelayan. Mengingat para istri- istri nelayan di lokasi studi tidak ikut dalam kegiatan menangkap ikan di laut, jadi memiliki waktu luang yang cukup besar. Berkembangnya usaha ini karena disamping dapat dimulai dalam bentuk skala kecil dan hampir tidak punya risiko, juga untuk pengembangannya tidak memerlukan modal yang besar. Usaha pembuatan kerupuk ikan, selain memenuhi kebutuhan masyarakat lokal juga memenuhi permintaan pasar di tingkat kecamatan dan Kota Batam, serta usaha ini juga telah di kembangkan oleh pengusaha keturunan cina yang ada di pulau Abang dengan melakukan ekspor ke luar daerah seperti ke Tanjung Pinang, Singapura dan Malaysia. Untuk kerupuk ikan yang bahan bakunya berasal dari ikan tenggiri dijual di tingkat konsumen lokal sebesar Rp. 45.000 per kilogram, sedangkan untuk kerupuk ikan yang bahan bakunya berasal dari ikan karang ikan yang kurang laku dijual dalam bentuk segar dijual seharga Rp. 35.000 per kilogram. Dilihat dari bentuk dan cita rasa bahwa kerupuk ikan yang dibuat masyarakat di lokasi studi dapat bersaing dengan jenis kerupuk ikan yang sama. Kerupuk ikan juga telah menjadi ciri khas oleh-oleh bagi pengunjung yang datang ke Pulau Abang. Menurut Tulagen 2003, Mata Pencaharian Alternatif MPA merupakan mata pencaharian atau suatu usaha baru yang dikembangkan dalam rangka mengurangi atau menghilangkan tekanan terhadap terumbu karang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Dimana MPA mempunyai tujuan untuk mengisi pendapatan nelayan dan pengguna sumberdaya karang yang lainnya yang terkena dampak akibat pengembangan pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan. Secara tidak langsung mengurangi atau menghilangkan cara-cara penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya laut lainnya yang berakibat pada rusaknya terumbu karang. Darwis 1998, menyatakan bahwa masyarakat nelayan Pulau Abang sebenarnya mempunyai banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan selain usaha penangkapan ikan, karena aktivitas penangkapan ikan yang mereka lakukan sangat tergantung pada musim angin sehingga ada waktu tertentu yang tidak bias dimanfaatkan secara optimal beraktifitas menangkap ikan dilaut. Dengan kondisi yang demikian maka perlu dilakukan upaya untuk mengembangkan usaha alternatif selain usaha penangkapan ikan dalam rangka menstabilkan dan meningkatkan pendapatan nelayan dari satu sisi, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya perikanan dari sisi lainnya. Usaha alternatif tersebut dapat dimulai dengan memanfaatkan waktu luang nelayan dan keluarganya sampai menjadikan usaha alternatif tersebut sebagai mata pencaharian pokok sebahagian dari pada keluarga nelayan. Berdasarkan wawancara mendalam dan observasi langsung di lokasi studi Pulau Abang, diperoleh gambaran bahwa penduduk di lokasi studi ada yang berkeinginanberminat untuk mengembangkan usaha alternatif, namun usaha alternatif tersebut cendrung hanya sebagai usaha sampingan saja. Jadi tidak mengubah mata pencaharian utama mereka. Namun sikap masyarakat tersebut tidak mustahil akan berubah apabila usaha alternative yang dikembangkan tersebut betul-betul memberikan kontribusi yang cukup besar bagi menopang pendapatan mereka. Sistem pengembangan usaha alternatif yang pernah dikembangkan oleh program COREMAP II yaitu dilakukan secara berkelompok dengan sistem tanggung renteng. Pada tahap awal pengembangan usaha alternative tersebut, dilakukan pendampingan oleh LSM. Permasalahan yang muncul yaitu usaha tidak dapat dilakukan secara kontinyu yang dapat dijadikan bagian dari program pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk pendampingan ini sebaiknya menggunakan tenaga pendamping lapangan yang telah bertugas sejak awal program sampai ke bidang pemasaran. Disamping itu perlu melakukan Penyuluhan dan Pelatihan: manajemen usaha dan oraganisasi, serta teknik usaha sesuai dengan usaha alternatif yang dikembangkan. Keterlibatan instansi terkait dalam pengembangan pemasaran dan pendampingan usaha kurang tercapai, yaitu kurangnya dukungan dan fasilitasi dari dinas pemerintah yang terkait dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan, seperti Disperindag, Dinas KP2K, Dinas Peternakan, Dinas Koperasi dan lain sebagainya, permasalahan pemasaran sangat mempengaruhi semangat usaha yang dilakukan oleh masyarakat seperti pada masa pasca panen yang melimpah terbatasnya pasar dan nilai jual yang tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan, sehingga banyak usaha yang tidak berjalan secara berkesinambungan. Hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah adalah perlu upaya untuk membangun pola kemitraan bisnis yang memungkinkan untuk memperoleh penyediaan modal dan akses pasar serta kestabilan harga terhadap usaha alternatif yang akan dikembangkan. Persiapan dalam penyusunan Rancangan Perda tentang Pengelolaan Terumbu Karang telah dimulai semenjak tahun 2004 dengan beberapa kegiatan seperti sumber Dinas KP2K Kota Batam: 1. Workshop Program Pengelolaan Terumbu Karang Daerah 2004 2. Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Terumbu Karang 2005 3. Pelatihan dan Studi Banding Masyarakat dan Pemda ke Daerah Lain Bunaken, Sulawesi Utara. 4. Studi Banding Masyarakat dan Pemda ke Pulau Komodo 2005 5. Penyusunan draf Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Terumbu Karang 2006 6. Konsultasi publik dengan para stakeholders a.l. Instansi lingkup Pemko Batam, Kesatuan terkait, LSM, dan organisasi masyarakat di Kota Batam, dan asistensi dengan Departeman Kelautan dan Perikanan dan Bagian Hukum Pemko Batam 2005-2006. Sampai dengan November 2007, Ranperda tentang Pengelolaan Terumbu Karang masih belum mendapat kesempatan dibahas DPRD Kota Batam, walaupun direncanakan di awal tahun oleh Bagian Hukum Setdako Batam bahwa Ranperda tersebut akan dijadikan prioritas pembahasan DPR TA 2007. Akhirnya setelah tertunda cukup lama, Ranperda Pengelolaan Terumbu Karang Kota Batam, hari Selasa tanggal 25 Agustus 2009 disahkan menjadi Perda. Kendala pengesahaan Ranperda selama ini adalah menunggu pengesahan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Batam yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pengesahan Ranperda Terumbu karang dalam sidang paripurna terakhir anggota DPRD Kota Batam periode 2009-2014, Perda Pengelolaan Terumbu Karang ini terdiri dari 17 BAB dan 33 Pasal. Perda ini merupakan merupakan langkah konkrit Pemerintah Kota Batam dalam menangani pelestarian terumbu karang. Gambar 40. Persentase keterlibatan responden dalam kegiatan Pembuatan RanPerda Terumbu Karang Jika dilihat persentase yang rendah dari keterlibatan masyaarakat dalam penyusunan Perda semenjak awal sampai dengan pengesahan oleh DPRD, memerlukan perhatian yang khusus, karena masyarakat sebagai pelaku pengelola dan yang lebih besar perannya dalam aktivitas pemanfaatan ekosistem sangatlah besar. Berdasarkan responden yang terlibat di masing- masing stakeholder hampir semua kelompok mempunyai perwakilan keterlibatannya, hal ini disebabkan keterbatasannya masyarakat dalam pengetahuan mengenai hukum. Perda merupakan peraturan perundang- undangan tingkat daerah yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsurnya yang berwenang membuat peraturan perundanng- undangan di tingkat tersebut. Meskipun undang- undang menyebutkan bahwa kepala daerah menetapkan Perda dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, tidak berarti bahwa semua kewenangan membuat Perda ada pada kepala daerah saja dan DPRD hanya memberikan persetujuan . Menurut Tulangen 2003, agar suatu peraturan lokal ditaati oleh masyarakat, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: 1. Melibatkan seluas- luasnya peran serta masyarakat secara transparan 2. Membahas permasalahan secara bersama, untuk ditanggulangi bersama antara stakeholders , dan kepentingan dinikmati oleh semua pihak masyarakat, swasta, dan pemerintah. 3. Proses penyusunan RancanganPeraturan Daerah Ranperda, dilaksanakan secara bersama 4. Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas substansi rancangan Perda 5. Memberdayakan masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan lembaga legislatif 6. Dapat ditaati dan dijadikan model untuk mengimplementasikan program pemberdayaan masyarakat

5.6. Strategi Kebijakan Pengelolaan DPL