Kondisi Megabentos. Kondisi Ekosistem Te rumbu Karang Pulau Sekate 1. Kondisi Terumbu Karang

5.2.3. Kondisi Megabentos.

Komposisi megabenthos berdasarkan data yang diperoleh dari baseline ekologi tahun 2004, monitoring ekologi tahun 2007 dan monitoring terumbu karang tahun 2008 dan stasiun penelitian dibandingkan dengan hasil penelitian RCB disajikan dalam Tabel 31. Tabel 31. Jumlah individu benthos pada peraiaran Kepulauan Sekate dari tahun 2004, 2007, 2008 dan 2009. No. Kelompok Kelimpahan Indvha 2004 2007 2008 2009 1. Coral Mushroom 1.952 762 1.643 1.786 2. Diadema setosum 7.405 2.452 3.452 2.881 3. Drupella sp. 48 119 - 95 4. Large Giant Clam 48 - - 95 5. Small Giant Clam - - - 119 6. Lobster - - - 71 Total 9.452 3.333 5.095 5.048 Sumber : Base line Ekologi Terumbu karang tahun 2004, Monitoring terumbu karang tahun 2007 dan 2008 dan data primer diolah 2009 Seperti yang diuraikan dalam metode penarikan sample dan analisa data, metode RCB yang dilakukan pada lokasi penelitian dalam penelitian ini mencatat hanya beberapa dari jenis mega benthos yang bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang. Beberapa biota mungkin tidak dijumpai pada saat pengamatan berlangsung karena luas pengamatan ya ng dibatasi luasan bidang pengamatan 140 m 2 transek, sehingga tidak menutup kemungkinan akan dijumpai pada lokasi di luar transek. Hasil analisa data megabenthos berdasarkan jumlah yang diperoleh melalui RCB diketahui kelimpahan megabenthos pada masing- masing- masing transek dan dalam luasan hektar. Kelimpahan megabentos menunjukkan kondisi megabenthos berdasarkan jumlah individu yang ditemukan pada masing- masing stasiun penelitian. Dari hasil RCB tersebut diperoleh bahwa kelimpahan Small Giant Clam kima ukuran kecil adalah pada tahun 2009 ditemukan sebanyak 119 indivha, pada T , T 1 dan T 2 tidak ditemukan. Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang tidak ditemukan pada seluruh transek stasiun penelitian. Karang jamur CMR= Coral Mushroom pada tahun 2009 dijumpai dalam jumlah yang cukup besar yaitu 1.786 indivha, CMR terjadi penurunan kelimpahan pada tahun 2007 dan terus meningkat pada tahun 2008 dan 2009. Bulu babi Diadema setosum dijumpai dalam jumlah yang banyak, yaitu; 2.881 indvha pada tahun 2009, kelimpahan ini terlihat terjadi penurunan sejak tahun 2004 ke tahun 2009. Sedangkan Kima large giant clam dijumpai dalam jumlah yang tidak banyak, dimana untuk yang berukuran besar panjang 20 cm kelimpahannya sebesar 95 indivha. Sedangkan untuk tripang holothurian dimana yang berukuran besar diameter 20 dan yang berukuran kecil tidak dijumpai sama sekali selama pengamatan dilakukan. Tingginya biota laut yamg merupakan megabenthos ditemukan pada perairan ini sebagai ind ikasi bahwa kondisi kualitas perairan sudah mengalami penurunan. Implikasi dari akibat tingginya biota megabenthos pada perairan ini adalah ditemukannya sedimentasi yang cukup tinggi pada beberapa stasiun. Seperti dijelaskan Supriharyono 2007 adanya carbonate sediment, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang secara fisik ataupun biologis bioerosion. Bioerosion ini umumnya dilakukan oleh hewan- hewan laut, seperti bulu babi, ikan, binatang laut dan sebagainya. Untuk melihat persentase megabenthos perjenis disajikan pada histogram Gambar 24 sehingga dapat diketahui nilai persentase jumlah megabenthos pada masing- masing stasiun penelitian. Gambar 24. Persentase jumlah megabenthos perjenis pada stasiun penelitian pada tahun 2004, 2007, 2008 dan 2009 di peraiaran kepuluan Sekate. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa di peraiaran kepuluan Sekate. untuk tiap-tiap stasiun di dominasi oleh Diadema setosum. Pada pengamatan ini beberapa jenis megabenthos mempunyai persentase jumlah jenis yang sangat rendah, bahkan ada yang tidak ditemukan sama sekali sehingga tingkat keragaman megabenthos pada stasiun penelitian dapat dikategorikan rendah. 5.3. Produksi Perikanan di Kawasan Perairan Kelurahan Pulau Abang 5.3.1. Keragaman Hasil Tangkapan Ikan Hasil tangkapan nelayan Kelurahan Pulau Abang yang paling dominan adalah cumi- cumi loligo spp dan ikan Dingkis baronang: Siganus canaliculatus, kemudian peringkat berikutnya adalah ikan ekor kuning casio erythrogaster, ikan kerapu merahsunu Plectropomus leopardus, ikan kerapu hitam Epinephelus tauvina, ikan kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus, karapu tikusBebek cromileptes altivelia, kakap Lutjanus sp dan ikan karang lainnya, serta udang Lobster. Produksi jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan tergantung pada musim dan alat tangkap. Kawasan terumbu karang merupakan faktor utama yang sepenuhnya mendorong produksi ikan, produktifitas ikan dari terumbu karang kecil produksinya sedikit dibandingkan terumbu karang besar Polunin, 2004. Ekosistem terumbu karang mempunyai lebih banyak komunitas dan jenis ikan yang lebih berbeda dibandingkan lingkungan lain di bumi ini Sale, 2004. Salah satu dari pertimbangan untuk keaneka-ragaman yang tinggi adalah variasi habitat yang besar yang ada di terumbu karang Anderson, 2002. Kelimpahan dan keaneka-ragaman jenis ikan karang ini tergantung pada tutupan karang hidup, keanegaraman substratum, dan keanekaragaman struktural, disamping itu ditentukan pula oleh besar kecilnya luasan terumbu karang, terumbu karang yang lebih lua s kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan adalah lebih tinggi dibandingkan terumbu karang yang luasnya kecil. Penelitian ini menguji hubungan ikan karang dan terumbu karang, pendapatan hasil tangkapan ikan karang ekonomis oleh nelayan ikan karang, pendapatan terhadap hasil tangkapan ikan karang ekonomis oleh nelayan di kelurahan Pulau Abang menunjukkan adanya keterkaitan tersebut. Ikan karang ekonomis hasil tangkapan cukup beragam terdiri dari 12 suku Lampiran 5 dan 24 jenis Lampiran 6. Berdasarkan pengumpulan data hasil tangkapan ikan selama bulan Mei 2008 sampai dengan Juni 2009 14 bulan yang berasal dari nota penjualan ikan salah satu toke ikan di kelurahan Pulau Abang Lampiran 7 diperoleh data seperti jenis tangkapan ikan. Hasil tangkapan nela yan seperti di tampilkan dalam Gambar 23 dibawah ini menunjukkan bahwa, terdapat 36 suku ikan yang tertangkap, presentasi keragaman suku ikan ekonomis penting tertinggi adalah Loligo sebesar 46 23.137 kg, selanjutnya di ikuti ole h Caesionidae sebesar 15 7.525,4 kg, Siganidae sebesar 12 6.243,9 kg, Carangidae sebesar 6 3.044,9 kg, Labridae sebesar 4 2.164,9 kg dan Serranidae sebesar 3 1.695,1 kg. Gambar 25. Persentas ikan karang hasil tangkapan berdasarkan suku pada bulan Mei 2008 sampai dengan Juni 2009 14 bulan. Keragaman hasil tangkapan tersebut merupakan hasil hubungan positif antara ikan karang dan habitat mereka, yang disebabkan oleh aspek fungsional dari struktur dan komposisi habitat yang menyediakan tempat perlindungan dan makanan untuk ikan karang Bell dan Galzin; Ohman, 1998; Ohman dan rajasuriya, 1998; Anderson, 2002. Keistimewaan habitat tersebut mempengaruhi ikan karang dalam hubungannya dengan proses biologi seperti perekrutan Doherty dan Williams, 1998, kompetisi Robertson dan Gaines, 1996; Jones, 1987, dan predasi Hixon dan Beets, 1993; Eggleston, 1995; Steele, 1998, yang pada akhirnya ini akan ikut pula menentukan biomass stok ikan standing stock karang setempat. Mengacu pada penggolongan ikan terumbu karang menurut Choat dan Bellwood 1991, ikan-ikan yang ditemukan pada terumbu karang diklasifikasikan dalam dua kategori utama, ”jenis ikan karang” reef species dan ”jenis ikan yang dihubungkan dengan terumbu karang” reef-associated species. Untuk ikan- ikan karang hasil tangkapan yang tergolong dalam kategori pertama yaitu famili Acanthuridae surgeonfishe, unicornfishes dan Scaridae parrotfishes. Kedua famili tersebut dan famili Pomacentridae damselfishes merupakan ikan karang utama pemakan bentik alga algivorous Robertson et al. 1979. Sedangkan yang tergolong kategori kedua terdiri dari famili Holocentridae squirrel dan soldierfishes, Lethrinidae emperors, Lutjanidae snappers, Mullidae goatfishes, dan Serranidae rockcods, groupers, basslets, yang merupakan predator invertebrata dan Carangidae jacks dan trevallies pelagis pemakan ikan. Kedua kelompok jenis ikan karang tersebut dalam hubungannya dengan ekosistem terumbu karang dapat disimpulkan sebagai jenis-jenis ikan laut yang memanfaatkan ekosistem terumbu karang sebagai tempat mencari makan. Khusus untuk jenis ikan karang yang tergolong dalam famili Carangidae, meskipun tergolong ikan pelagis, ikan ini digolongkan sebagai reef-associated species. Berdasarkan laporan dari hasil- hasil studi sebelumnya tentang ikan ini, oleh Meyer et al. 2001 memberikan kesimpulan bahwa, sebagai suatu kelompok besar, ikan ini merupakan predator aktif yang di hubungkan dengan terumbu karang, yang memakan ikan, krustasea dan cephalopod. Ceser 1996, dalam studinya tentang Economic Analysis of Indonesian coral reefs, memasukkan ikan ini dalam tipe perikanan karang, dengan pertimbangan ikan ini merupakan pelagis kecil penting yang bergerak di dalam dan di luar area terumbu karang unt uk mencari makan dan berlindung. Indentifikasi dalam hubungan dengan pola pemijahan, ikan- ikan karang ini terbagi dalam dua kelompok tipe pemijahan, yaitu spawns pelagic aggs dan spawns demersal eggs . Jenis-jenis ikan karang ekonomis yang tergolong dalam famili Acanthuridae, Scaridae, Lethrinidae, Holocentridae, Lutjanidae, Mullidae, Serranidae dan Carangidae merupakan kelompok spawns pelagic eggs, sedangkan jenis yang tergolong famili Balistidae merupakan spawns demersal eggs . Dengan pola pemijahan yang demikian, hanya kelompok kedua yang dapat dikaitkan sebagai jenis-jenis ikan yang secara langsung memantapkan terumbu karang sebagai tempat pemijahan. Dengan asumsi bahwa, dalam proses pemijahannya ikan- ikan karang tersebut melakukannnya disekitar subtrat yang ada di sekitar terumbu karang. Hasil indentifikasi terhadap jenis-jenis ikan ini dalam kaitannya dengan habitat, menggunakan petunjuk Peristiwady 2006, tempat hidup untuk jenis- jenis ikan tersebut umumnya berhubungan dengan ekosistem terumbu karang. Mengacu pada apa yang disampaikan oleh Polunin dan Roberts 1993 bahwa, banyak ikan menghabiskan keseluruhan hidupnya di terumbu karang, tetapi terumbu karang juga bertindak sebagai suatu tempat pemeliharaan dan pengasuhan untuk banyak ikan lain. Adapun untuk famili Carangidae, hasil studi Meyer et al. 2002 dilaporkan bahwa, berdasarkan ukuran hasil tangkapan, ikan berukuran kecil 350 mm mayoritas tertangkap di sekitar area terumbu karang dan ukuran besar 500 mm mayoritas tertangkap di luar area terumbu karang, yang disimpulkan bahwa area terumbu karang sebagai tempat pengasuhan untuk ikan-ikan muda. Dengan demikian ini menjadi argumentasi untuk menyatakan fungsi terumbu karang sebagai tempat pengasuhan. Tauke adalah salah satu pihak yang memanfaatkan sumberdaya laut secara berlebih dan cenderung merusak. Tauke yang semula hanya berperan sebagai pembeli ikan dari nelayan yang kemudian memasarkannya ke Kota Batam dan Singapura, telah sekitar 10 tahun terakhir juga melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan armada tangkap kapal pukat trawl. Penggunaan alat tangkap seperti ini membawa dampak buruk terhadap ekosistem terumbu karang. Kerusakan karang di wilayah Kelurahan P. Abang dikatakan penduduk juga akibat kegiatan pendatang pada masa lalu dan sebagian kecil nelayan dalam kelurahan yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. Sebaliknya, hampir semua nelayan yang umumnya menggunakan berbagai alat tangkap sederhana mengatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang mereka lakukan tidak merusak terumbu karang. Pengetahuan mereka tentang kondisi terumbu karang yang dikatakan ‘ada kerusakan, tetapi tidak parah’ tampaknya sejalan dengan hasil penelitian P2O-LIPI pada tahun 2004 yang menemukan bahwa tutupan karang di kebanyakan stasiun penelitian masih berada di atas 60. Lebih lanjut, sebagian besar informan dalam diskusi kelompok terfokus maupun PRA partisipatory rapid appraisal juga memiliki pengetahuan luas tentang penyebaran lokasi terumbu karang hidup dan terumbu karang mati, demikian pula tentang manfaatkegunaannya. Pengetahuan yang sangat baik seperti ini sangat kondusif terhadap pelaksanaan program pengelolaan DPL. Pengoperasian armada pukat trawl, selain dinilai telah merusak terumbu karang, juga telah memunculkan konflik antara nelayan dan tauke. Konflik terjadi karena kapal pukat sering memasuki wilayah penangkapan nelayan tradisional, sehingga hasil tangkapan nelayan menjadi menurun selama beberapa tahun terakhir. Penurunan hasil tangkapan nelayan menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi biofisik sumberdaya laut. Meskipun tidak ditemukan adanya penurunan jenis Sumber Daya Laut SDL, dalam arti hingga kini belum ada jenis SDL yang punah dari perairan wilayah perairan P. Abang, lokasi penangkapan sudah menjadi semakin jauh. Perubahan wilayah tangkap ini tampaknya terkait dengan kerusakan terumbu karang, terutama yang berada di sekitar pulau-pulau yang lokasinya tidak jauh dari permukiman penduduk. Keadaan ini kemungkinan besar terkait dengan berkurangnya luas kawasan mangrove dan terumbu karang di wilayah yang berada tidak jauh dari pantai. Berbagai kegiatan manusia merupakan pengaruhfaktor- faktor internal terjadinya degradasi sumber daya laut di wilayah Kelurahan P. Abang, terutama terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan alat tangkap yang merusak. Walaupun penggunaan bom dan racun sudah jarang dilakukan, dua jenis bahan tangkap ini biasa digunakan oleh pendatang pada masa lalu yang diperkirakan telah berimpilkasi pada kerusakan terumbu karang. Kini, penggunaan pukat harimau makin banyak, sehingga menambah kerusakan terumbu karang. Dari pengaruh eksternal, permintaan ikan dari pasar internasional telah mempengaruhi pengusaha ikan untuk menambah hasil tangkapan, karena pasokan dari nelayan dianggap kurang. Peningkatan kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan cara-cara yang merusak, sehingga menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya laut. Lebih lanjut, meskipun berbagai peraturan beberapa peraturan telah ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun Kota Batam sebagai faktor struktural terkait dengan pengelolaan SDL, penegakkan hukum masih belum diimplementasikan dengan baik. Hal ini berakibat pada pelanggaran-pelanggaran aturan penangkapan ikan yang sulit untuk ditindak dengan tegas, karena pelaku pelanggaran memiliki “backing” aparat keamanan.

5.3.2. Musim Tangkapan Ikan