73 banyak hal, berpikir luas, tidak konvensional, minat luas, mudah beradaptasi
dengan situasi baru, mampu menyelami emosi dan perasaan sendiri, mudah menyerap informasi, imajinatif dan kreatif serta memiliki ketertarikan dan
minat yang lebih luas terhadap bidang-bidang tertentu maupun hal-hal baru termasuk perilaku seksual.
Skor tertinggi dari item pernyataan yang diperoleh responden terkait dimensi openness to experience adalah nomor 40 yaitu “saya memiliki
banyak ide”, sehingga dapat disimpulkan bahwa responden dengan dimensi openness to experience adalah mayoritas responden dengan karakteristik
berpikiran terbuka atau luas yaitu responden mampu menemukan gagasan- gagasan terhadap sesuatu hal.
Responden dengan dimensi lainnya dalam penelitian ini adalah dimensi neurocitism dengan jumlah sebanyak 20 orang 24, yaitu
responden yang rata-rata memiliki stabilitas emosional dengan cakupan- cakupan perasaan negatif. Karakteristik individunya cenderung cemas,
gugup, merasa tidak aman, tidak puas dengan diri sendiri, merasa tidak mampu, mudah panik, mudah terpengaruh dan sulit mengontrol diri sendiri
Pervin et al, 2010. Skor tertinggi dari item pernyataan yang diperoleh responden terkait
dimensi neurocitism adalah nomor 12 yaitu “saya mudah khawatir dengan sesuatu hal”, yang berarti bahwa responden dengan dimensi neurocitism
adalah mayoritas responden yang memiliki karakteristik sering merasakan cemas terhadap hal-hal yang sedang dihadapinya.
74 Dimensi selanjutnya adalah dimensi extraversion dengan jumlah 18
orang 21. Responden ini merupakan responden yang banyak mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal, tingkat aktivitas,
kebutuhan akan dorongan, dan kesenangan. Karakteristik respondennya adalah mudah menyesuaikan diri, aktif, banyak bicara, menyenangkan,
ramah, dan suka berinteraksi dengan orang banyak Olson Hargenhahn, 2013. Item pernyataan dengan skor tertinggi pada dimensi ini berada pada
nomor 1 “saya mampu meramaikan suasana”, dengan kesimpulannya bahwa karakteristik responden ini adalah dominan menyenangkan, yang berarti
kehadirannya membuat suasana hidup atau flesksibel. Dimensi terakhir adalah dimensi agreeableness dengan jumlah
responden 11 orang 13, yaitu responden yang banyak menyetujui pandangan orang lain dengan karakteristik individunya lembut, dapat
dipercaya, suka menolong, pemaaf, penurut, ramah, sederhana, rendah hati, simpati, peduli terhadap orang lain, menghindari konflik, tidak agresif, dan
selalu mengalah Olson Hargenhahn, 2013. Item pernyataaan terkait dimensi agreeableness skor tertinggi adalah nomor 33 yaitu “saya
merasakan emosi orang lain”, sehingga responden dengan dimensi agreeableness ini adalah mayoritas responden dengan karakteristik yang
memiliki simpati terhadap perasaan orang lain. Berdasarkan uraian masing-masing dimensi trait kepribadian di atas,
maka terlihat sebaran dan karakteristik kepribadian siswa-siswi yang bersekolah di SMA Triguna Utama.
75
4. Karakteristik Responden Berdasarkan Perilaku Seksual Berisiko
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Objek
seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan ataupun dirinya sendiri Sarwono, 2010. Perilaku seksual remaja merupakan perilaku yang
muncul karena adanya dorongan seksual sehingga mendapatkan kesenangan seksual dan dilakukan oleh remaja laki-laki maupun perempuan sebelum
memiliki ikatan pernikahan Desmita, 2009. Perilaku seksual dibagi atas dua bagian berdasarkan dampak
negatifnya oleh McKinley 1995 dalam Miron Charles, 2006, yaitu perilaku seksual tidak berisiko dan perilaku seksual berisiko. Perilaku
seksual tidak berisiko antara lain yaitu berbicara mengenai seks, berbagi fantasi, ciuman bibir pada pipi, sentuhan, dan oral sex dengan penghalang
lateks, sedangkan perilaku seksual berisiko berupa masturbasi adiktif, oral sex tanpa pengaman lateks, petting, anal sex dan berhubungan seksual baik
menggunakan pengaman lateks maupun tanpa pengaman lateks. Hasil statistik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 31
orang 36.90 responden telah melakukan perilaku seksual berisiko. Angka yang cukup memprihatinkan pada perilaku seksual remaja karena
telah mencapai lebih dari sepertiga responden. Berdasarkan skor yang diperoleh responden pada item pernyataan terkait perilaku seksual, perilaku
yang banyak dilakukan adalah berciuman bibir yaitu sebanyak 29 orang 93.55. Skor perilaku lainnya adalah masturbasi adiktif yang dilakukan
76 oleh 6 orang 19.35, penggunaan pencegah kehamilan saat berhubungan
seksual oleh 1 orang 3.23 dan oral sex juga pada 1 orang 3.23. Bentuk perilaku seksual dapat dilakukan lebih dari satu oleh tiap individu.
Penelitian ini selanjutnya menunjukkan jumlah perilaku seksual yang dilakukan responden, yaitu Sebanyak 26 orang 83.87 telah melakukan 1
perilaku seksual, 4 orang 12.90 2 perilaku seksual dan 1 orang 3.23 dengan 3 perilaku seksual.
Perilaku seksual berisiko dapat menyebabkan terjadinya penyakit menular seksual terutama HIV AIDS, pernikahan usia muda dan aborsi
BKKBN, 2010. Potter dan Perry 2005 menyatakan perilaku seksual remaja merupakan salah satu masalah kesehatan remaja dalam masa
pertumbuhan dan perkembangannya. Masa pubertas remaja dihubungkan dengan perkembangan dan pematangan fungsi seksualitas remaja. Remaja
mengalami masa pubertas yaitu fase pematangan organ-organ reproduksi yang ditandai dengan menarche menstruasi pertama pada remaja
perempuan dan mimpi basah pada remaja laki-laki. Masa pubertas juga diikuti dengan perubahan hormonal remaja yaitu
progesteron dan estrogen pada remaja perempuan, sedangkan hormon androgen dan testoteron pada remaja laki-laki Sarwono, 2011. Perubahan
hormonal pada remaja menimbulkan hasrat dan dorongan seksual. Remaja yang merasa ragu-ragu menghadapi pubertasnya untuk mengontrol
dorongan seks yang sedang dialaminya, maka ia lebih berisiko untuk melakukan perilaku seksual berisiko dibanding dengan remaja yang tidak
77 tahu sejauh mana keyakinan dia dalam mengontrol dorongan seks. Bila
tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dan keragu-raguan tersebut, remaja berisiko terjadi masalah kesehatan diantaranya perilaku seksual
berisiko Stanhope Lancaster, 2004. Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku seksual
remaja yaitu perkembangan emosi lebih mudah bergejolak dan mulai muncul ketertarikan dengan lawan jenis yang melibatkan emosi Santrock,
2005. Ketertarikan remaja terhadap lawan jenis diapresiasikan melalui aktivitas seksual dengan pasangannya. Duval Miller 1985 dalam
Friedman et al, 2003 mengungkapkan bahwa aktivitas seksual seseorang dengan pasangannya mengikuti suatu rangkaian proses peningkatan, yaitu
mulai dari sentuhan, ciuman, rabaan sampai hubungan seksual. Kondisi ini menyebabkan remaja berperilaku seksual berisiko.
B. Analisis Bivariat 1. Hubungan antara Dimensi Extraversion dengan Perilaku Seksual
Berisiko Remaja di SMA Triguna Utama
Hasil penelitian mengenai hubungan antara dimensi extraversion dengan perilaku seksual berisiko remaja di SMA Triguna Utama
menunjukkan bahwa 18 orang responden yang memiliki kepribadian ini telah melakukan 1 perilaku seksual berisiko sebanyak 3 orang 16.7, 2
perilaku seksual berisiko 2 orang 11.1 dan 3 perilaku seksual berisiko oleh 1 orang 5.6. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0.728
78 dan r -0.039, yang berarti tidak terdapat hubungan antara dimensi
extraversion dengan perilaku seksual berisiko remaja di SMA Triguna Utama.
McCrae Costa 1992 dalam Ghufron Risnawita, 2010 menjelaskan bahwa dimensi extraversion yang dimiliki remaja menyangkut
kemampuan mereka dalam menjalin hubungan dengan dunia luar. Karakteristik kepribadian ini dapat dilihat melalui luasnya hubungan
individu dengan lingkungan sekitar dan sejauh mana kemampuan mereka menjalin hubungan dengan individu yang lain, khususnya ketika berada di
lingkungan yang baru. Berdasarkan karakteristik yang dimiliki responden dengan dimensi
extraversion, hal ini dapat menjadi faktor yang menyebabkan tidak terdapatnya hubungan antara dimensi extraversion dengan perilaku seksual
berisiko remaja, dimana individu hanya memiliki ketertarikan yang tinggi dalam bergaul bukan pada penilaian terhadap sesuatu hal seperti seksual.
Hasil penelitian yang dilakukan Smith, et al 2007 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara dimensi extraversion dengan interaksi seksual,
mereka lebih cenderung memerhatikan situasi sosial secara umum dari pada hubungan seksual.
Menurut Feist Gregory 2010 orientasi individu dengan dimensi extraversion selalu tertuju keluar: pikiran, perasaan, dan tindakannya
terutama ditentukan oleh lingkungan. Sikapnya selalu menunjukkan keakraban bahkan dapat terbawa arus terutama pada orang yang telah ia