Perimbangan Kepentingan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Divestasi

dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 90 sembilan puluh hari kalender setelah tanggal pernyataan minat atau penetapan pemenang lelang. Apabila divestasi sebagaimana dimaksud pada ayat la tidak tercapai, penawaran saham dilakukan pada tahun berikutnya.

5. Perimbangan Kepentingan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Divestasi

Saham Asing Pada Perusahaan Pertambangan Minerba Pembicaraan tentang divestasi saham khususnya divestasi saham pertambangan mulai ramai didiskusikan oleh para ahli dan juga Pemerintah sejak timbulnya sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara PT. NNT. Permasalahan divestasi saham bidang pertambangan memang merupakan masalah yang cukup mendapat sorotan banyak pihak, karena menyangkut rasa nasionalisme bangsa. Seperti yang diketahui bahwa pertambangan merupakan bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing. Dalam melakukan kegiatan usaha tersebut maka terdapat adanya kewajiban divestasi pada penanaman modal asing sebagai pelengkap modal lokal bagi pembangunan ekonomi Indonesia di mana modal asing tersebut nantinya harus dilepaskan atau diberikan kepada Pemerintah sehingga Pemerintah dapat memiliki saham dengan jumlah yang besar dalam perusahaan pertambangan. Kepemilikan saham dalam perusahaan pertambangan biasanya diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara para pihak yang dimuat dalam perjanjian kontrak karya yang telah disepakati oleh Pemerintah dengan penanam modal asing, di mana kewajiban divestasi ini biasa dilakukan setelah beberapa lama sejak perusahaan pertambangan mulai berproduksi secara aktif. Jangka waktu pelaksanaan divestasipun kemudian diserahkan kepada kesepakatan antara pemerintah dengan pihak penanam modal asing. Perimbangan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait divestasi saham asing pada kegiatan penanaman modal di bidang pertambangan mineral dan batubara sebaiknya dipertimbangkan sebaik-baiknya yaitu pada pihak pemerintah mana yang lebih berhak dan sanggup atas divestasi saham pertambangan mineral dan batubara. Dan dilakukan melalui prosedur yang sudah diatur dalam UU. Divestasi saham dilakukan kepada peserta Indonesia yang terdiri atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah KabupatenKota, BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Swasta Nasional. Dalam hal jika pemerintah tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupatenkota. Apabila pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupatenkota tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada BUMN dan BUMD dilaksanakan dengan cara lelang. Apabila BUMN dan BUMD tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dilaksanakan dengan cara lelang. Adanya loopholes dalam kontrak adalah suatu hal yang wajar sehingga berpotensi menimbulkan perubahan yang substansial substantial changes circumstances rebus sic stantibus dalam pelaksanaan KKPKP2B dalam pelaksanaan kontrak menimbulkan justifikasi para pihak untuk tidak mau atau tidak mampu menjalankan kewajiban tertentu dalam kontrak. Mekanisme check and balance pada KKPKP2B atau IUP sekalipun merupakan granting instrument dari segi hukum. Vested rights masing-masing pihak perlu diakomodasi dan di- secure sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan.Sebagai contoh, bagaimana jika terpaksa terjadi penundaan divestasi wajib dan adanya regulasi baru yang memberikan kelonggaran dalam pelaksanaan divestasi wajib sehingga menjadi legitimate reason untuk adanya renegosiasi kontrak. Isu utama adalah terkait dengan otonomi daerah. Kecenderungan pemerintah untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang ada di daerahnya dikarenakan sebagai suatu cara “instant” untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD. Akibatnya seringkali regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah seringkali tumpang tindih dan tidak jarang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga menjadi persoalan bagi dunia usaha khususnya investor. Hasil kajian Tim Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyatakan dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah dianggap menghambat investasi. Hal ini disebabkan masih banyaknya biaya tambahan dan berbagai pungutan atau retribusi daerah. Sesungguhnya pengelolaan ekses dari terjadinya pergeseran kekuasaan dengan fenomena desentralisasi harusnya dapat diminimalisasi. Hal tersebut juga merupakan ekses dari globalisasi seperti yang dijelaskan oleh Prof. Waelde sebagai berikut: “the globalisation of the world economy is accompanied by a weakening of the power of the nation state. More and more traditionally centralized states e.g. France, Spain, the United Kingkdom, Russia move toward federal structures which are already established in the United States, Germany, Canada, Australia and Brazil, to name the most prominent. Subnational government e.g. U.S. states pursue their own international economic policies. With the weakening of the centralized nation state by its integration into the global economy, these subnational powers, sometimes on the way to autonomy, sometimes toward secession, are much less acessible to disciplining action by the central government” 68 Selanjutnya dalam konteks kasus divestasi saham terdapat kompleksitas tersendiri mengingat adanya kendala alamiah yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk ikut serta secara langsung dalam kegiatan bisnis batubara. Perangkat hukumnya pun belum sepenuhnya untuk pemberdayaan potensi pemerintah daerah sampai sejauh ini. Sepatutnya pemerintah daerah tidak dengan serta merta berusaha mengusai fisik wilayah kerja pertambangan tetapi lebih kepada memikirkan mekanisme perolehan manfaat yang lebih optimal dari keberadaan industri tertentu di wilayahnya. Government are unlikely to target directly the property rights of the investor. Rather, they will focus on the regulatory and Artinya adalah “Globalisasi ekonomi dunia yang disertai dengan melemahnya kekuatan negara bangsa. Semakin banyak tradisional negara terpusat misalnya Perancis, Spanyol, Inggris, Rusia bergerak ke arah struktur federal yang yang sudah ditetapkan di Amerika Serikat, Jerman, Kanada, Australia dan Brasil, untuk nama yang paling menonjol. Pemerintah subnasional misalnya negara bagian AS mengejar kebijakan ekonomi internasional mereka sendiri. Dengan melemahnya negara bangsa terpusat oleh integrasinya ke dalam ekonomi global, kekuatan-kekuatan subnasional, kadang-kadang dalam perjalanan ke otonomi, kadang-kadang ke arah pemisahan diri, jauh lebih mampu untuk mendisiplinkan tindakan oleh pemerintah pusat . 68 https:www.google.co.idsearch?newwindow=1client=firefox- arls=org.mozilla3Aid3Aofficialchannel=fflbbiw=1280bih=673q=pengaturan+divesta si+saham+di+indonesia+kaitannya+dengan+PP+no+20+tahun+1994oq=pengaturan+divestasi+s aham+di+indonesia+kaitannya+dengan+PP+no+20+tahun+1994gs_l=serp.3...12956.31306.0.31 700.45.40.0.0.0.0.629.6161.0j6j10j2j2j2.22.0....0...1c.1.51.serp..39.6.2145.EFtvXX3RB4E diakses pada 23 Juli 2014 pukul 12:12 WIB. contractual environment which is an essential condition of the project’s commercial survival . Selanjutnya mengapa pendekatan di atas perlu dipertimbangkan? Hal itu dikarenakan kebijakan investasi modern menganut prinsip seperti diuraikan sebagai berikut: “Modern investmen-understood as a commitmen of risk capital and managerial efforts in producing ventures-can take the form of classic property or equity joint ventures. Increasingly, though,it involves the utilization of long-term contracts. A modern foreign investment’s proprietary assets consist typically of a bundle of contractual rights and rights obtained from the state e.g. licenses, permits, concessions combined with forms of classic property. A modern “taking” therefore rarely operated by direct transfer to government, but rather by regulation affecting the commercial functioning of the investment project and thereby their asset value .” Artinya adalah “Modern investasi dipahami sebagai komitmen modal risiko dan upaya manajerial dalam memproduksi usaha-dapat mengambil bentuk properti klasik atau ekuitas perusahaan patungan. Semakin, meskipun, melibatkan pemanfaatan kontrak jangka panjang. Aset milik A investasi asing modern terdiri biasanya dari seikat hak kontrak dan hak-hak yang diperoleh dari negara misalnya lisensi, izin, konsesi dikombinasikan dengan bentuk properti klasik. Modern taking karena itu jarang dioperasikan oleh transfer langsung kepada pemerintah, melainkan oleh peraturan yang mempengaruhi fungsi komersial dari proyek investasi dan dengan demikian nilai aset mereka”. Akhir-akhir ini, persoalan divestasi saham usaha pertambangan asing menjadi persoalan hangat kembali setelah munculnya ‘perebutan’ pembelian saham antara pemerintah pusat Menteri Keuangan dengan pemerintah daerah Sumbawa Barat. Masih hangat di ingatan kita, ketika persoalan sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara PT NNT mengenai kewajiban divestasi saham yang belum juga dilakukan oleh PT NNT hingga tahun 2008 padahal pada Kontrak Karya Contract of Work Between The Government of The Republic of Indonesia and PT Newmont Nusa Tenggara tanggal 2 Desember 1986 diperjanjikan bahwa PT NNT harus mendivestasikan sahamnya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Persoalan sengketa tersebut, harus berakhir di arbitrase internasional yang dilaksanakan dibawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law UNCITRAL. Akhirnya, pada 31 Maret 2009 Majelis Arbitrase Arbitral Tribunal mengeluarkan putusan akhir final award, yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia dan memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan pasal 24 ayat 3 Kontrak Karya KK yaitu melakukan divestasi 17 saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 dan tahun 2007 sebesar 7 kepada pemerintah daerah, sedang untuk tahun 2008 sebesar 7, kepada Pemerintah Republik Indonesia. Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan sebagai sejumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia dalam Pasal 24 KK disepakati bahwa PT NNT berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada akhir tahun ke-5 sekurang-sekurangnya 15, pada akhir tahun ke-6 sekurang-kurangnya 23, pada akhir tahun ke-7 sekurang- kurangnya 30, pada akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37, pada akhir tahun ke-9 sekurang-kurangnya 44, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya 51. Semua kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat 4 KK akan dianggap dilaksanakan segera sesudah tidak kurang dari 51 yang diterbitkan dan yang ada pada waktu ditawarkan kepada dan dibeli oleh peserta Indonesia. Persoalan divestasi dan ‘jalan panjang’ perjuangan Pemerintah Indonesia untuk ‘memaksa’ PT NNT melakukan kewajiban divestasi hingga harus berakhir di arbitrase Internasional ternyata bukanlah akhir dari sekelumit persoalan divestasi saham usaha pertambangan asing di Indonesia. Kepemilikan sisa penawaran saham terakhir untuk tahun 2010 sebesar 7 yang ditawarkan oleh PT NNT, diperebutkan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah kabupetan Sumbawa Barat. Perebutan kepemilikan saham tersebut tidak hanya sebatas perebutan yang dilakukan dengan cara kompromistis semata, namun telah mengarah pada tindakan keras pemerintah daerah dan DPRD kabupaten Sumbawa barat berupa ancaman penutupan lahan pernambangan PT NNT, aksi demontrasi rakyat Sumbawa Barat yang menolak penambangan dan meminta agar Pemerintah Pusat tidak membeli saham yang ditawarkan PT NNT, atau bahkan safari politik anggota DPRD ke berbagai kementerian di Jakarta untuk mendukung pembelian saham oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, Pemerintah Pusat melalui Menteri Keuangan berencana akan membeli saham divestasi tersebut dengan menggunakan kendaraan Pusat Investasi Pemerintah PIP. Perebutan antara kedua penyelenggara negara ini menjadi sebuah problem dalam pelaksanaan divestasi saham usaha pertambangan Indonesia, padahal di masa datang divestasi saham usaha pertambangan asing akan berlangsung dan tentunya antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat memiliki keinginan yang sama untuk dapat memiliki saham divestasi yang ditawarkan pemegang izin usaha pertambangan asing di Indonesia. Berdasarkan PP Nomor Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, pemerintah dapat melakukan investasi melalui penempatan sejumlah dana danatau barang dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga; dan investasi langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, danatau manfaat lainnya. Investasi Pemerintah dilakukan dalam bentuk investasi surat berharga dengan cara pembelian saham danatau investasi dengan cara pembelian surat utang; danatau investasi langsung dalam bentuk penyertaan modal danatau pemberian pinjaman. Guna melakukan investasi tersebut Pemerintah mendapatkan dana yang berasal dari APBN, keuntungan investasi terdahulu, danabarang amanat pihak lain yang dikelola oleh Badan Investasi Pemerintah, danatau sumber-sumber lainnya yang sah. Terhadap pembelian saham PT NNT, maka skema investasi dengan cara pemberian sahamlah yang menjadi bentuk investasi Pemerintah. Sebagaimana dalam Pasal 11 ayat 4 huruf l diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional, Menteri Keuangan selaku pengelola investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab melaksanakan investasi Pemerintah dan divestasinya yang dilakukan oleh Badan Investasi Pemerintah yang dapat berupa satu atau lebih satuan kerja atau badan hukum Pasal 12 ayat 2. Selanjutnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52PMK.012007 tanggal 16 Mei 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah terbentuklah PIP sebagai Badan Layanan Umum BLU yang mempunyai tugas melaksanakan kewenangan operasional dalam pengelolaan investasi Pemerintah Pusat sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu bentuk kewenangan operasional tersebut yaitu dalam rangka melaksanakan investasi pemerintah dan dalam hal ini membeli 7 saham yang ditawarkan kepada pemerintah. Bila dilihat dari dasar hukum tersebut, PIP melalui penugasan dari Menteri Keuangan dapat melakukan pembelian saham PT NNT. Hal tersebut didukung pula Pasal 24 ayat 3 KK yang menyatakan bahwa perusahaan PT NNT harus menjamin bahwa saham-saham yang dimiliki oleh penanam modal asing yang akan ditawarkan untuk dijual atau diterbitkan, pertama kepada pemerintah, dan kedua jika pemerintah tidak menerima, akan ditawarkan kepada pemerintah atau warga negara Indonesia. Pengertian “pemerintah” sebagaimana dalam Pasal 1 KK, yaitu Pemerintah Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah Daerah, Kepala Daerah Tingkat I atauTingkat II-nya. Dengan demikian, pemerintah daerah sesuai ketentuan tersebut juga memiliki prioritas pertama untuk juga ditawarkan oleh PT NNT, walaupun PP 23 Tahun 2010 mengatur bahwa Pemerintah pusatlah yang menjadi pihak pertama yang menerima penawaran tersebut. Untuk itu, pembelian 7 saham PT NNT dapat dilakukan secara bersama oleh Pemerintah Pusat melalui PIP dengan pemerintah daerah sebagaimana pelaksanaan investasi langsung melalui penyertaan modal danatau pemberian pinjaman dilakukan oleh Badan Investasi Pemerintah berwujud BLU PIP dengan badan usaha, BLU, pemerintah provinsikabupatenkota, BLUD, danatau badan hukum asing Pasal 16 ayat 1. Analisis yuridis divestasi saham, persoalan divestasi saham usaha pertambangan asing ternyata tidak hanya menjadi persoalan pelik pada saat pradivestasi, yaitu ketika pemerintah harus ‘memaksa’ PT NNT mendivestasikan saham sesuai dengan KK, tetapi juga pada saat PT NNT akan mendivestasikan saham kepada pemerintah, muncul masalah perebutan kepemilikan antara sesama penyelenggara negara Pemerintah Pusat versus pemerintah daerah Sumbawa Barat. Dinamika permasalahan ini mengisyaratkan belum jelasnya pengaturan dan pelaksanaan divestasi saham di Indonesia. Padahal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara UU Minerba telah mengatur mengenai hal ini secara umum. Sebagaimana dalam Pasal 112 dinyatakan bahwa setelah 5 lima tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP Izin Usaha Pertambangan dan IUPK Izin Usaha Pertambangan Khusus yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Selanjutnya pada ayat 2 dinyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham diatur dengan peraturan pemerintah. Kemudian sebagai pelaksanaan UU Minerba, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam PP tersebut pengaturan divestasi saham diatur dalam satu bab tersendiri, yaitu bab IX mengenai divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus yang sahamnya dimiliki oleh asing. Dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 99 diatur mengenai modal asing pemegang IUP dan IUPK setelah 5 lima tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20 dua puluh persen dimiliki peserta Indonesia. Selanjutnya divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara langsung kepada peserta Indonesia yang terdiri atas Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupatenkota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Penawaran yang dilakukan kepada Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupatenkota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional secara berjenjang, artinya apabila pemerintah pusat tidak tertarik maka akan ditawarkan ke pemerintah daerah provinsi, dan seterusnya. PP 23 Tahun 2010 hanya mengatur hal demikian saja, selanjutnya ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara divestasi saham dan mekanisme penetapan harga saham diatur dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. Pengaturan yang tidak jelas, tidak komprehensif, dan cenderung menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai divestasi saham muncul dikarenakan belum diaturnya hal-hal yang seharusnya diatur dalam tataran undang-undang atau peraturan pemerintah yang membuat persoalan divestasi saham usaha pertambangan menjadi jelas, komprehensif, dan menimbulkan kepastian hukum. Pengaturan tersebut bukan cenderung menimbulkan konflik, baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara perusahaan pertambangan yang dibebani kewajiban divestasi saham dengan pemerintah, bahkan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sekitar wilayah izin usaha pertambangan. Celakanya, dalam Pasal 169 ayat 2 UU Minerba mengatur mengenai ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya 1 satu tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. Dengan demikian, secara yuridis normatif, seluruh perusahaan di Indonesia dalam KK dan PKP2B harus memasukan ketentuan kewajiban divestasi saham minimal 20 kepada peserta Indonesia.Padahal, dengan pengaturan seadanya dan pelaksanaan yang rawan konflik ke depan persoalan divestasi di Indonesia akan semakin kompleks serta menguras banyak energi baik penyelenggara negara maupun investor asing. Ketidakpastian hukum dan tuntutan yang besar dari pemerintah daerah serta masyarakat atas manfaat social ekonomi dari setiap usaha pertambangan yang berada wilayahnya, semakin menjadikan persoalan divestasi saham seakan-akan menjadi bom waktu bagi harmonisasi hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Terhadap permasalahan divestasi saham PT NNT, ada beberapa solusi hukum yang dapat diambil agar titik gelap pengaturan dan pelaksaan divestasi saham di Indonesia dapat terang, yaitu: pertama, pengaturan lebih komprehensif mengani divestasi saham dalam PP 23 Tahun 2010. Melalui pengaturan yang lebih komprehensif mengenai tata cara divestasi saham usaha pertambangan asing di Indonesia, tahapan-tahapan divestasi saham, syarat dan kondisi pelaksanaan divestasi, jangka waktu divestasi, penghitungan harga saham dan mekanisme penjualan saham, kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembelian sejumlah saham divestasi, serta ketentuan lain yang merperjelas pelaksanaan divestasi, diperlukan dalam PP 23 Tahun 2010. Alternatif ini akan berdampak pada perubahan atas PP nomor 23 Tahun 2010. Penghindaran perubahan atas PP 23 Tahun 2010 dapat dilakukan melalui alternatif kedua, yaitu segera menerbitkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara divestasi saham dan mekanisme penetapan harga saham diatur dengan Peraturan Menteri ESDM. Hal ini penting agar kepastian hukum dapat terwujud dan persoalan divestasi saham secara regulatif jelas dan menimbulkan kepastian hukum. Perlu digarisbawahi pula bahwa Perubahan PP Nomor 23 Tahun 2010 dan pembentukan Permen ESDM tersebut harus pula mengakomodir kepentingan daerah untuk dapat berperan dalam proses divestasi saham dengan prinsip keadilan, efisiensi, dan keterbukaan. Di sisi lain, pengaturan persoalan yang hanya dalam level peraturan menteri akan menimbulkan beberapa kelemahan, misalnya permasalahan divestasi saham menyangkut banyak sektor atau tidak hanya menyangkut urusan Kementerian SDM, tetapi juga Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kemneterian BUMN, serta BKPM, sehingga perlu peraturan sekelas peraturan pemerintah untuk mengaturnya; atau persoalan tingkat kepatuhan pemerintah daerah yang kurang terhadap peraturan menteri karena peraturan menteri bukanlah termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undnagan. Menjadikan pembentukan peraturan menteri tidak serta merta menjadi solusi terbaik. Ketiga, dimungkinkan untuk melakukan pembelian secara bersama antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah Pusat melalui PIP dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah mengenai pembelian secara bersama 7 saham yang ditawarkan PT NNT. Hal ini dapat pula dilakukan terhadap divestasi perusahaan pertambangan asing lainnya di kemudian harinya. Melalui keterlibatan pemerintah daerah dalam pembelian sejumlah saham, maka peran pemerintah daerah di era desentralisasi dapat terwujud. Selain itu, secara riil lokasi penambangan berada di daerah, sehingga peranan daerah sangat strategis bila kepemilikan sejumlah saham pada perusahaan pertambangan di daerahnya juga dimiliki pemerintah daerah. Sebagaimana skema pendanaan bersama antara pemerintah daerah Sumbawa Barat, pemerintah daerah Sumbawa, pemerintah daerah NTB dan PT Multi Capital yang membentuk PT Daerah Maju Bersaing PT DMB untuk melakukan pembelian 24 saham PT NNT. Hal ini terasa lebih baik apabila antara Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama sebagaimana model PT DMB, skema ini juga penting untuk menghindari agar pemerintah daerah tidak hanya menjadi ‘boneka’ perusahaan swasta untuk meraup keuntungan yang besar dari pembelian saham dengan menggunakan ‘jubah’ pemerintah daerah. Keempat, melakukan cost benefit analysis terhadap kemungkian pembelian saham oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Kajian ini dilakukan dengan melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara bersamaan dan berdasarkan kajian ini diharapkan mampu menjawab persoalan pihak mana yang paling mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya great hapiness for the great numbers terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui kepemilikan 7 saham tersebut. Pilihan ini memang merupakan pilihan sulit karena untuk menyatukan persepsi antar kedua pihak diperlukan kebijaksanaan antar pihak. Persoalan divestasi saham dalam peraturan perundang-undangan, tentunya harus diatur jelas, komprehensif, berkesinambungan, dan berkeadilan, dengan demikian permasalahan dalam tataran pelaksanaan akan dapat diminimalisasi karena adanya kepastian hukum dan kejelasan pengaturan. Perlu disadari bahwa permasalahan pelaksanaan divestasi saham saat ini sangat dipengaruhi oleh belum jelas dan komprhensifnya pengaturan permasalahan divestasi saham di Indonesia. Adanya peraturan perundang-undangan yang baik, maka sebagai negara hukum yang menjungjung tinggi prinsip hukum peraturan perundang-undangan sebagai panglima di negeri ini dengan tetap memperhatikan aspek kegunaan sosiologis dan keadilan filosofis dapat terwujud dengan baik, sehingga hukum bisa ‘melayani’ persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Selain itu, diperlukan pula kebijaksanaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan ini, kepentingan rakyat banyaklah yang menjadi alasan terdalam dan utama dari upaya pembelian saham tersebut.Jangan pula tersirat kepentingan atau bahkan pesanan kepentingan dari pihak yang yang ingin menguasai saham tersebut hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja.Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus duduk bersama guna berbicara hari hati ke hati tentang manfaat kepemilikan ini terhadap bangsa dan negara. Apabila dirasa manfaat yang didapat akan lebih besar apabila saham tersebut dimiliki pemerintah pusat, maka pemerintah daerah harus rela untuk melepas keinginan untuk memiliki saham tersebut, atau sebaliknya. Pun penguasaan tersebut semuanya bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UUD NKRI 1945 yang menjadi prinsip penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam Indonesia. 69 69 http:ahmadredi2003.blogspot.com201104karut-marut-persoalan-divestasi- saham.htm. diakses pada 15 Agustus 2014 pukul 21:50 WIB. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan