Kerangka Pemikiran Kajian Manfaat Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Bagi Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Perairan Laut Berau, Kalimantan Timur)

11

2.3 Pembagian Zonasi di Kawasan Konservasi Perairan

Rencana zonasi KKP mengacu pada Undang-Undang No. 452009 tentang perikanan dan Peraturan Pemerintah No. 602008 tentang konservasi sumber daya ikan. Dalam peraturan perundangan tersebut, zonasi KKP terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Susanto 2011 juga menjelaskan untuk kasus-kasus yang spesifik, maka akan ada pembagian sub-sub zona sebagai bagian dari keempat zona utama yang penentuannya disesuaikan dengan potensi, karakteristik, dan pertimbangan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Pembagian zonasi KKP di Indonesia yaitu : - Zona inti diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan pendidikan dengan tetap mempertahankan perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Kriteria penentuan zona inti meliputi : daerah yang merupakan tempat pemijahan, pengasuhan atau alur migrasi ikan; daerah yang merupakan habitat biota perairan tertentu; mempunyai keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya; mempunyai ciri khas ekosistem alami dan mewakili biota tertentu yang masih asli; mempunyai kondisi perairan yang relatif masih asli dan tidak atau belum terganggu manusia; mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis ikan tertentu untuk menunjang pengelolaan perikanan yang efektif dan menjamin berlangsungnya bio-ekologis secara alami; serta mempunyai ciri khas sebagai sumber plasma nutfah bagi KKP. - Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Penentuan zona perikanan berkelanjutan yaitu daerah yang memiliki nilai konservasi namun masih memiliki toleransi terhadap pemanfaatan budidaya ramah lingkungan dan penangkapan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan. Selain itu, mempunyai karakteristik ekosistem yang memungkinkan untuk berbagai pemanfaatan ramah lingkungan dan mendukung perikanan berkelanjutan, memiliki keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya, mempunyai kondisi perairan yang relatif masih baik untuk mendukung kegiatan multifungsi dengan tidak merusak ekosistem aslinya, dan mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin pengelolaan budidaya ramah lingkungan, perikanan berkelanjutan, dan kegiatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, serta mempunyai karakteristik potensi dan keterwakilan biota perairan bernilai ekonomi. - Zona pemanfaatan yaitu bagian KKP yang diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, serta pendidikan. Kriteria penentuan zona pemanfaatan ini diantaranya mempunyai daya tarik pariwisata alam berupa biota perairan beserta ekosistem perairan yang indah dan unik, mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensial dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi, dan mempunyai karakter objek penelitian dan pendidikan yang mendukung kepentingan konservasi, serta mempunyai kondisi perairan yang relatif masih baik untuk berbagai kegiatan pemanfaatan dengan tidak merusak ekosistem aslinya. 12 - Zona lainnya adalah zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan yang diperuntukkan bagi zona rehabilitasi dalam rangka mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Zona khusus untuk kepentingan aktivitas, sarana penunjang kehidupan kelompok masyarakat atau masyarakat adat yang tinggal di wilayah tersebut, dan kepentingan umum antara lain berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi, dan jaringan listrik. Kriteria penentuan zona lainnya tergantung dari karakteristik kawasan seperti adanya perubahan fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia, adanya invasif spesies yang mengganggu jenis atau biota asli kawasan, dan adanya pemanfaatan lain yang sesuai kebutuhan zona dengan tetap memperhatikan daya dukung dari kawasan tersebut.

2.4 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

2.4.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dan berfungsi sebagai habitat bagi beragam biota laut sebagai berikut : 1 Beraneka ragam hewan avertebrata terutama karang batu stony coral juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, serta ekinodermata bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut, dan leli laut ; 2 Beraneka ragam ikan, 50 - 70 ikan karnivora oportunik, 15 ikan herbivora, dan sisanya omnivora ; 3 Reptil, umumnya ular laut dan penyu laut ; dan 4 Ganggang dan rumput laut, yaitu algae hijau berkapur, algae karolin dan lamun Bengen 2001. Sorokin 1993 menjelaskan terumbu karang coral reef merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur CaCO 3 yang kuat menahan gelombang laut. Organisme yang dominan hidup adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang banyak juga mengandung kapur. Terumbu karang ini dibedakan antara binatang karang sebagai individu dan terumbu karang sebagai ekosistem. Sebagai ekosistem dasar laut, terumbu karang dengan penghuni utama karang batu memiliki arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut pada bagian atas dan dikelilingi tentakel, namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni Sorokin 1993. Menurut Burke et al. 2002 sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup dalam jaringannya. Dalam simbiosisnya, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Karang batu merupakan karang penyusun yang paling penting dalam proses pembentukannya yaitu sebagai 13 hewan karang pembangun terumbu. Karang batu ini termasuk kedalam kelas Anthozoa, filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Bell dan Galzin 1984 menjelaskan bahwa keadaan terumbu karang substrat sebagai habitat yang dilihat dari luasan tutupan karangnya memiliki pengaruh terhadap kekayaan spesies dan jumlah dari ikan yang terdapat berasosiasi di dalamnya. Hal tersebut diperjelas dengan membandingkan kekayaan jenis ikan dan kelimpahan ikan yang terdapat pada substrat yang tidak terdapat tutupan karang. Dengan demikian, penting diperhatikan kondisi terumbu karang sebagai habitat untuk mengendalikan kondisi ikan-ikan karang yang ada. Menurut Nybakken 1997, pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah : 1. Kedalam Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0-25 m dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50-70 m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua- benua atau pulau-pulau. 2. Suhu Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23 O C-25 O C. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada suhu dibawah 18 O C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36 O C-40 O C. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang. 3. Cahaya Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosistesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat CaCO3 serta membentuk terumbu akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas berkurang hingga 15-20 dari intensitas di permukaan. 4. Salinitas Karang tidak dapat bertahan pada salinitas di luar 32- 35‰. Namun pada kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidupp pada salinitas 42‰. Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas rendah dari kisaran diatas, terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairang yang didalam tubuhnya akan keluar, 5. Pengendapan Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertuambuhan terumbu karang adalah pengendapan dimana pengendapan yang terjadi di dalam air atau diatas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Endapan mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang. 14 Pertumbuhan terumbu karang akan menjadi terhambat apabila daerah terumbu karang tersebut mengalami kerusakan. Faktor-faktor yang sangat dominan dalam kerusakan terumbu karang adalah faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan akibat faktor alam bagi terumbu karang terutama disebabkan oleh perusakan tektonik akibat gempa di dasar laut yang menyebabkan tsunami dan mekanik melalui badai tropis yang hebat sehingga koloni terumbu karang tersebut terangkat dari terumbu. Badai bisa memporak-porandakan karang baik di daerah reef flat, reef edge dan reef slope. Peristiwa ini biasanya sangat rawan terutama pada terumbu karang yang letaknya di pantai pulau terpencil yang langsung menuju atau berhadapan ke lautan bebas. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching. Disamping faktor fisik-kimia, faktor biologis yaitu predator karang diketahui juga tidak kalah pentingnya andil pada kerusakan karang. Bintang laut berduri Acanthaster plancii cukup terkenal sebagai perusak karang di daerah Indo-Pasifik. Selain Acanthaster plancii, beberapa jenis hewan lainnya seperti gastropoda Drupella rugosa, bulu babi Echinometra mathaei, Diadema setosum, dan Tripneustes gratilla, dan beberapa jenis ikan karang seperti ikan kakak tua Scarrus sp., Kepe-kepe Chaetodon sp. dapat mengakibatkan kerusakan pada area terumbu karang Supriharyono 2000. Faktor kerusakan lainnya disebabkan oleh kegiatan manusia secara langsung yang dapat menyebabkan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan eksploitasi berlebihan pada sumberdaya tertentu. Pengeboran minyak lepas pantai, tumpahan minyak baik kecelakaan kapal laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang. Disamping itu kegiatan pertanian dan perkebunan di daerah dataran tinggi dapat menyebabkan sedimentasi di daerah pesisir Supriharyono 2000.

2.4.2 Komunitas Ikan Kerapu

Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis, dan ada beberapa ikan kerapu hidup di terumbu karang. Kerapu muda hidup di daerah padang lamun, tetapi pada saat dewasa hidup di pantai berpasir atau di daerah pantai berlumpur. Beberapa spesies kerapu hidup pada kedalaman 100-200 m adakalanya sampai kedalaman 500 m, tetapi pada umumnya kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m Philip Randall 1993. Menurut Philip dan Randall 1993, habitat ikan kerapu berada pada perairan dasar, terumbu karang dan karang berbatu pada kedalaman kurang dari 60 m. Pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m, dimana perpindahan ini biasanya terjadi pada siang dan sore hari. Telur dan larva kerapu besifat pelagis, sedangkan muda hingga dewasa bersifat demersal Tampubolon Mulyadi 1989. 15 Ikan kerapu tersebar luas di Pasifik Barat, mulai Jepang bagian selatan sampai Palau, Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australisa bagian selatan serta Laut India bagian timur dari Nicobar sampai Broome. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di wilayah perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Madur, Kalimantan dan Nusa Tenggara Heemstra Randall 1993. Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperatur 24-31 O C, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut 3,5 ppm dan pH 77,8-8. Perairan dengan kondisi seperti ini pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang Lembaga Penelitian Undana 2006. Kebanyakan jenis komersial penting, termasuk jenis ikan kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal spawning aggregation melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu Sadovy 1996. Pemijahan massal adalah kelompok spesies ikan yang sama berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi Domeier Colin 1997. Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah Sadovy 1996. Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target mudah bagi aktivitas penangkapan musiman Sadovy 1997. Jenis ikan kerapu umumnya merupakan hermaprodit protogyni Shapiro 1987 in Levin Grimes 1991. Juvenil kerapu biasanya memiliki jenis kelamin betina dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin Levin Grimes 1991. Selanjutnya Levin Grimes 1991 menjelaskan bahwa ekploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebiih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti yang dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalaupun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan Shapiro et al. 1994 in Levin Grimes 1991.

2.4.3 Hubungan Terumbu Karang, Ikan Karang dan Ikan Kerapu

Terumbu karang sebagai habitat dari berbagai ikan karang. Menurut Choat dan Bellwood 1991 terdapat beberapa jenis interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang yang terbagi kedalam tiga bentuk, yaitu : 1. Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan muda ; 2. Interaksi dalam mencari makan bagi ikan yang mengonsumsi biota pengisi habitat dasar, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang dan alga ;