Selain metode resepsi sastra eksperimental, penelitian ini juga didukung oleh pendekatan apresiatif. Pendekatan apresiatif merupakan pendekatan yang
dapat digunakan untuk mengapresiasi karya sastra dengan cara memberikan penilaian terhadap karya sastra tersebut. Apresiasi sastra menekankan perilaku
pengindahan, penikmatan, dan penghargaan sastra. Resepsi sastra yang merupakan salah satu jenis kritik sastra juga menekankan pada perilaku pencarian,
penilaian, dan penghakiman kebenaran nilai-nilai atau hal-hal yang ada dalam sastra Saryono, 2009: 44.
Perbedaan pembaca dalam memberikan makna tidak terlepas dari adanya penilaian subjektif dan penilaian objektif terhadap karya sastra. Penilaian bersifat
subjektif merupakan penilaian yang sepenuhnya ditentukan oleh pembaca tanpa harus mengaitkannya dengan karya sastra. Penilaian bersifat objektif bila
penilaian yang ditentukan oleh nilai yang ada dalam teks sastra, dan bukan nilai yang ada dalam opini pembaca itu sendiri Aminuddin, 1995: 54. Penelitian ini
menggunakan penilaian yang bersifat objektif karena penilaian karya sastra bukan berasal dari opini pembaca.
2. Hakikat Cerpen a. Pengertian Cerpen
Cerpen termasuk salah satu karya sastra yang berjenis cerita narasi. Cerpen berisi cerita yang menggambarkan pengalaman atau imajinasi pengarangnya.
Sayuti berpendapat bahwa cerpen adalah karya sastra berupa prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk. Cerita yang disajikan pengarang cukup
18
dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca Sayuti, 2000: 9. Cerpen menceritakan secara singkat konflik yang muncul sehingga pembaca lebih
menyukai cerpen karena ceritanya yang tidak berbelit-belit. Cerpen merupakan cerita pendek. Namun, tidak setiap cerita pendek dapat
digolongkan ke dalam cerpen. Cerpen adalah cerita yang pendek dan di dalamnya terdapat pergolakan jiwa pada diri pelakunya sehingga secara keseluruhan cerita
pada cerpen tersebut bisa menyentuh perasaan pembaca. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai buah sastra dari cerpen Nursisto, 2000: 165.
Mochtar Lubis dalam Rampan, 2000: 1 mengatakan bahwa cerpen adalah cerita yang bisa selesai sekali baca, dua kali baca, atau tiga kali baca. Jumlah
perkataan dalam cerpen berkisar 500-30.000 kata. Penentuan jumlah perkataan dalam cerpen dapat menjadi acuan untuk membedakan cerpen karena cerita yang
pendek belum tentu dapat dikatakan cerpen. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa cerpen
merupakan cerita pendek yang selesai sekali baca, dua kali baca, atau tiga kali baca. Isi cerita pada cerpen dapat memberikan efek tertentu pada pembaca. Selain
itu, jumlah perkataan dalam cerpen berkisar 500-30.000 kata. Oleh karena itu, tidak semua cerita pendek dapat dikatakan cerpen.
b. Unsur Pembangun Cerpen
Unsur pembangun cerpen terdiri dari beberapa unsur. Menurut Stanton dalam Wiyatmi, 2009: 30 unsur pembangun cerita fiksi atau cerpen terbagi
menjadi tujuh unsur, yaitu tokoh, alur, latar, judul, sudut pandang, gaya dan nada, serta tema. Lebih lanjut, unsur pembangun cerpen terdiri dari tema, plot,
perwatakan, sudut pandangan, latar, gaya, alinea awal alinea akhir Rampan, 2009: 3-9. Unsur-unsur pembangun cerpen dan novel sama, seperti plot atau alur,
tema, penokohan, dan latar. Unsur-unsur yang telah disebutkan oleh para ahli tersebut berkaitan satu sama lain untuk membentuk cerita secara utuh
Nurgiyantoro, 2013: 14. Berikut penjelasan unsur pembangun cerpen yang dilihat dari alur atau plot, tema, penokohan, serta gaya dan nada.
Alur atau plot merupakan bagian yang penting dalam cerpen. Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro, 2013: 167, plot atau alur merupakan bagian cerita
yang berisi urutan kejadian, namun setiap kejadian hanya dihubungkan secara sebab akibat. Selanjutnya, kejelasan plot, kejelasan hubungan antar peristiwa yang
dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita Nurgiyantoro, 2013: 164. Namun, plot cerpen yang rumit dan sulit
dikenali menyebabkan pembaca sulit memahami isi cerita. Jakob Sumardjo dalam Rampan, 2013: 3, berpendapat bahwa tema
adalah ide sebuah cerita. Pengarang, dalam menulis cerita, bukan sekedar bercerita, tetapi mengatakan atau mengungkapkan sesuatu pada pembacanya.
Sesuatu yang dimaksud adalah suatu yang berasal dari masalah kehidupan, pandangan hidup tentang kehidupan, atau komentar terhadap kehidupan. Lebih
lanjut, tema merupakan motif pengikat keseluruhan cerita yang umumnya tidak ditunjukkan secara gamblang oleh pengarang. Pembaca harus memahami dan
menafsirkan cerita sehingga pembaca mampu mengetahui tema dari cerita tersebut Nurgiyantoro, 2013: 113.