Menurut Permenkes RI No. 374 tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor, ada beberapa metode pengendalian vektor antara lain metode pengendalian fisik dan
mekanis yang bertujuan mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanik antara lain dengan
pemasangan kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan lain-lain.
5.1.6 Pengaruh Konstruksi Plafon Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria
Positif dan Filariasis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar konstruksi plafon rumah tidak rapat 4,267 kali lebih besar
dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis p0,05. Hasil observasi yang dilakukan di rumah responden diketahui bahwa dari 64 rumah
dengan konstruksi plafon tidak rapat sebesar 40,62 26 rumah tidak memiliki
plafon, 29,64 19 rumah konstruksi plafon terbuat dari anyaman bambu gedek, 18,75 12 rumah konstruksi plafon terbuat dari triplek dengan kondisi rusak
bolong-bolong, dan 10,94 7 rumah konstruksi plafon terbuat dari susunan papan seadanya. Sedangkan untuk konstruksi plafon rapat diketahui bahwa dari 48 rumah,
terdapat 53,19 26 rumah konstruksi plafon terbuat dari triplek, 25,53 12 rumah konstruksi plafon terbuat dari asbes, dan 21,28 10 rumah konstruksi
plafon terbuat dari gypsum. Keadaan ini memperbesar peluang masuknya nyamuk ke dalam rumah sehingga memperbesar risiko untuk kontak atau mendapat gigitan
nyamuk . Plafon berguna sebagai pemisah antara atap dengan ruangan agar tidak
Universitas Sumatera Utara
berhubungan langsung, dan keberadaan plafon cukup penting agar nyamuk tidak leluasa masuk rumah melalui celah-celah atap.
Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Juriastuti dkk 2010 di kelurahan Jati Sempurna yang menemukan adanya hubungan bermakna antara konstruksi plafon
dengan kejadian filariasis dengan nilai OR=6,3, diartikan bahwa responden dengan keadaan plafon yang buruk di rumah akan lebih berisiko 6,3 kali dibandingkan
responden dengan keaadaan plafon yang baik. 5.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian Mikrofilaria
Positif dan Filariasis
Pengaruh variabel lingkungan biologis terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis dalam penelitian ini sebagai berikut :
5.2.1 Pengaruh Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar adanya tanaman di sekitar rumah 3,922 kali lebih besar
dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis p0,05. Hasil observasi yang dilakukan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten
Asahan bahwa dari 64 rumah yang terdapat tanaman disekitar rumahnya diketahui jenis tanaman yang terdapat disekitar rumah responden tersebut dalam jarak 200 m
adalah semak-semakrumput-rumputan 46,88 30 rumah, perkebunan kelapa sawit 38,5 24 rumah, dan hutan 15,63 10 rumah. Kondisi lingkungan seperti
Universitas Sumatera Utara
ini merupakan tempat yang menjadi resting places bagi vektor nyamuk, sehingga memperbesar risiko penularan mikrofilaria positif dan filariasis.
Keadaan ini sejalan dengan potensi daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang merupakan sentra perkebunan di Provinsi Sumatera Utara dengan luas
perkebunan mencapai 20,56 dari luas wilayah BPS Kabupaten Labuhanbatu, 2011. Demikian halnya juga dengan Kabupaten Asahan dengan luas perkebunan
mencapai 21,11 dari luas wilayah Profil Daerah Kabupaten Asahan, 2011. Hasil penelitian Pulungan dkk 2012 di Kecamatan Kampung Rakyat
Kabupaten Labuhanbatu Selatan menemukan 15 rumah 75 pada kelompok kasus dan pada kelompok kontrol 7 rumah 35 ada tempat peristirahatan nyamuk yaitu
berupa gantungan baju dan semak pada lingkungan rumah, dan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara keberadaan tempat peristirahatan nyamuk dengan
kejadian filariasis. Tempat beristirahat nyamuk juga berbeda-beda tergantung spesiesnya. Pada
umumnya nyamuk beristirahat pada tempat-tempat teduh, seperti disemak-semak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap
Soeyoko, 2002. Fuad dkk 2008 di Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat menyatakan kondisi lingkungan tempat tinggal dekat 500 m dari lingkungan
perkebunan kelapa sawit merupakan faktor risiko terkuat penyebab kejadian filariasis di Kabupaten Agam secara analisis spasial. Wharton dalam Boesri 2012
Universitas Sumatera Utara
telah menemukan banyak nyamuk Mansonia uniformis di celah-celah batu dibawah rumput-rumputan.
Penelitian Sulistiyani dkk 2012 di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Propinsi Papua mendapatkan hubungan yang signifikan antara keberadaan
hutansemak-semak disekitar rumah dengan kejadian filariasis OR=9,727. Keberadaan semak-semak terutama yang rimbun akan menghalangi sinar matahari
menembus permukaan tanah, sehingga adanya semak-semak yang rimbun berakibat lingkungan menjadi teduh serta lembab dan keadaan ini merupakan tempat istirahat
yang disenangi nyamuk Depkes RI, 2009.
5.2.2 Pengaruh Keberadaan Hewan Peliharaan di Sekitar Rumah terhadap