Pengaruh Keberadaan Persawahan terhadap Kejadian Mikrofilaria Pengaruh Suhu dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif

nyamuk kurang dari 200 m akan sangat memberikan peluang besar terjadinya filariasis di daerah tersebut. Penelitian Nasrin 2008 di kabupaten Bangka Barat juga menyatakan ada hubungan bermakna antara keberadaan rawa dengan kejadian filariasis. Hal ini diibuktikan dengan teori yang menjelaskan bahwa umumnya nyamuk mampu terbang sejauh 350- 550 m, misalnya Anopheles sinensis jarak terbangnya mencapai 200 sampai 800 m, Anopheles barbirostris mencapai 200 sampai 300 m Kelvey et al dalam Munif, 2009.

5.1.2 Pengaruh Keberadaan Persawahan terhadap Kejadian Mikrofilaria

Positif dan Filariasis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keberadaan persawahan bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hal ini dimungkinkan berkaitan dengan jarak persawahan yang ada di wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan yang secara geografis umumnya berjarak 200 m dari perumahan penduduk atau terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu. Keadaan ini berkaitan juga dengan laporan Depkes RI 2009 bahwa vektor utama filariasis di Sumatera Utara adalah Mansonia uniformis yang biasanya ditemukan di daerah rawa dan hutan rimba, sedangkan yang ditemukan di daerah persawahan adalah Anopheles barbirostis umumnya di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya dipermukaan air Universitas Sumatera Utara satu persatu atau rombolan tetapi saling lepas, telur anopeles mempunyai alat pengapung Nurmaini, 2003. Hasil penelitian ini sesuai yang diperoleh Ulfana 2009 dalam penelitiannya di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna keberadaan sawah dengan kejadian filariasis. Pada lahan yang dikelola misalnya persawahan, biasanya ditempati berbagai jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor atau tidak. Di persawahan dekat pantai ditemukan 33 spesis yang terdiri dari 10 jenis Anopheles 5 diantaranya berperan menularkan malaria, 13 jenis culex, 4 jenis Aedes sisanya jenis Mansonia dan Ficalbica Munif, 2009. Hal ini dapat diartikan bahwa nyamuk jenis Mansonia sebagai vektor utama filariasis di Sumatera Utara memang lebih sedikit berkembang pada daerah persawahan dibandingkan nyamuk jenis Anopheles sebagai vektor malaria.

5.1.3 Pengaruh Suhu dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif

dan Filariasis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa suhu dalam rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan di dalam dan di luar rumah responden, suhu udara rataan dalam rumah lebih rendah dibanding suhu luar rumah dengan perbedaan mencapai + 3 ºC. Suhu memenuhi syarat di dalam rumah responden berkisar 26,1º-29,6ºC dan suhu di luar rumah berkisar 26,3º-30ºC, sedangkan suhu yang tidak memenuhi syarat berkisar 30,1º -33,2 ºC. Universitas Sumatera Utara Menurut Hoedojo 1993 suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk berkisar 20º-28ºC, sedangkan menurut Depkes RI 2009, berkisar 25º – 27ºC. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ansari 2004 di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara suhu dalam rumah dengan kejadian filariasis.

5.1.4 Pengaruh Kelembaban dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria