Kajian Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong Kecamatan Kasomalang, Subang

(1)

i

DIAN ADYANTI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Kajian Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong, Kecamatan Kasomalang, Subang

Adalah benar merupakan karya hasil saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua benar data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.

Bogor, Oktober 2010

Dian Adyanti C24063167


(3)

Abstrac

Situ Cigayonggong artificial ground formed by human intervention and the water comes from springs. Situ Cigayonggong has some kind of potential support for the development of tourism which are the natural and social resources of society. The purpose of this study is to identify the potential and the problems listed in situ region Cigayonggong, evaluate systems management that have been deployed to the region and to make recommendations situ Cigayonggong sustainable tourism development plan. Respondents who took the tourists 30 people, tourist anglers 30 people, communities about 30 people, and managers of the 5 people. Situ Cigayonggong total of about ± 3 hectares with a height of 400 m above sea level, has the cool air with temperatures averaging around 180-230 and the scenery is quite beautiful and crystal clear water. Water quality parameters measured were brightness, color, temperature, odor, pH, DO, and BOD show is still appropriate when used as a tourist attraction and fisheries. Based on the analysis of the suitability of tourism activities like water bicycle tours, fishing and outbound has a very precise level category while sitting back having the appropriate level. While the carrying capacity for each of the tourism activities are as follows water bike has a capacity of carrying 32 people, 90 people fishing, outbound 75 people and sit back 44 people. ROS are used to identify the remote control to handle the conflict due to the level of diversity of land-use natural factors, infrastructure and management of tourist areas and the balance in the use of the area.


(4)

iii

Kajian Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong, Kecamatan Kasomalang, Subang. Di bawah bimbingan Fredinan Yulianda dan Luky Adrianto.

Situ Cigayonggong merupakan situ buatan yang terbentuk melalui campur tangan manusia dan airnya bersumber dari mata air yang berasal dari Gunung Tangkuban Perahu. Situ Cigayonggong memiliki beberapa potensi yang mendukung untuk pengembangan ekowisata yaitu sumberdaya alam dan sumberdaya sosial masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang terdapat di kawasan Situ Cigayonggong, mengkaji sistem pengelolaan yang sudah diterapkan di kawasan Situ Cigayonggong dan mengidentifikasi rekomendasi rencana pengembangan kawasan wisata yang berkelanjutan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juli 2010 di kawasan wisata Situ Cigayonggong, Kecamatan Kasomalang, Subang dan di laboratorium Produktivitas lingkungan. Wilayah yang diamati yaitu keseluruhan kawasan wisata Situ Cigayonggong. Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dan data sekunder tersebut diolah dengan menggunakan beberapa analisis yaitu analisis kualitas air, analisis Kesesuaian Wisata (IKW), analisis Daya Dukung Kawasan (DDK) serta analisis ROS. Responden yang diambil yaitu wisatawan 30 orang, wisatawan pemancing 30 orang, masyarakat sekitar 30 orang, dan pihak pengelola 5 orang.

Situ Cigayonggong memiliki luas perairan sekitar ±3 hektar dengan ketinggian 400 m dari permukaan laut, memiliki udara yang sejuk dengan temperatur udara rata-rata berkisar antara 180 – 230Cdan pemandangan yang cukup indah serta perairan yang jernih. Parameter kualitas air yang diamati yaitu kecerahan, warna, suhu, bau, pH, DO dan BOD menunjukkan masih sesuai jika dijadikan sebagai objek wisata dan perikanan. Berdasarkan analisis kesesuaian wisata kegiatan wisata seperti sepeda air, memancing dan outbound memiliki tingkat kategori yang sangat sesuai sedangkan duduk santai memiliki tingkat kategori sesuai. Berdasarkan analisis daya dukung untuk masing-masing kegiatan wisata adalah sebagai berikut sepeda air memiliki daya dukung 32 orang, memancing 90 orang, outbond 75 orang dan duduk santai 44 orang. Metode ROS digunakan untuk mengidentifikasi status remote control kegiatan wisata berdasarkan pada tingkat keberagaman faktor alam, infrastruktur dan pengelolaan terhadap kawasan wisata tersebut dan ditujukan untuk menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi di kawasan wisata Situ Cigayonggong yaitu membersihkan gulma secara berkala untuk mencegah terjadinya blooming tanaman air, melakukan pengolahan limbah sebelum limbah masuk ke perairan, pengerukkan lumpur secara berkala untuk mencegah terjadinya pendangkalan, dan menyediakan sarana transportasi untuk wisatawan.


(5)

iv

SUBANG

DIAN ADYANTI C24063167

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

\

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

v

Judul : Kajian Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong Kecamatan Kasomalang, Subang

Nama Mahasiswa : Dian Adyanti

NRP : C24063167

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc NIP 19630731 198803 1 002 NIP 19691013 199512 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002


(7)

vi

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

”Kajian Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong, Kecamatan

Kasomalang, Subang”; disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada April 2010 – Juli 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku pembimbing serta Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 atas bimbingan dan arahannya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih baik di kemudian hari. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Oktober 2010


(8)

vii

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, arahan, motivasi dan nasehat hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S selaku ketua komisi pendidikan program studi S1 atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan.

3. Staf tata usaha MSP (Mbak Widar dan Mbak Yani) atas arahan dan kesabarannya.

4. Keluarga tercinta (Ibu, Bapak, Kak Shinta dan Dina) atas doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasinya.

5. Daniel ITK’43 dan Andaleb 2 (Lina, Wily, Mila, Memi, Risa, Nailah) serta Teman-teman MSP (angkatan 43, 44, 45) atas doa dan bantuannya.


(9)

viii

Penulis dilahirkan di Subang, pada tanggal 29 Januari 1988 dari pasangan Bapak Ade Syahmudin dan Ibu Eneng Setiawati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di TK. PGRI Cisalak (1994), SDN V Kasomalang (2000), SLTPN 1 Cisalak (2003) dan SMAN 3 Subang (2006).

Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di organisasi kemahasiswaan HIMASPER periode 2007-2009 bidang SAE (Social and Enviromental) sebagai anggota, serta beberapa kepanitiaan diantaranya Aksi Cinta Lingkungan (2008) dan aktif di organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Subang. Selama masa perkuliahan penulis pernah magang di Balai Benih Ikan Cibogo girang - Purwakarta (2007) dan Dinas Peternakan dan Perikanan Purwakarta (2008)

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Kajian Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong, Kecamatan Kasomalang, Subang”.


(10)

ix

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Ekosistem Perairan Tawar ... 5

2.2. Faktor Pembatas Fisika-Kimia-Biologi Perairan Situ ... 7

2.3. Situ sebagai Kawasan Ekowisata ... 8

2.4. Pengelolaan Sistem Pariwisata ... 12

2.5. Kesesuaian dan Daya Dukung ... 13

2.6. Peluang Wisata (ROS) ... 14

3. METODE PENELITIAN ... 20

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

3.2. Alat dan Bahan serta Data Penelitian ... 21

3.3. Metode pengambilan dan Pengumpulan data ... 23

3.3.1. Data primer ... 23

3.3.2. Data sekunder ... 24

3.4. Analisis Data ... 25

3.4.1. Analisis sumberdaya dan lingkungan perairan ... 25

3.4.2. Analisis kesesuaian wisata ... 25

3.4.3. Analisis daya dukung ... 29

3.4.4. Analisis peluang wisata (ROS) ... 31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1. Kondisi Fisik dan Lingkungan Situ Cigayonggong ... 36

4.2. Kondisi Fisika-Kimia-Biologi Situ ... 36

4.2.1. Kualitas air ... 36

4.2.2. Parameter fisika... 38

4.2.3. Parameter kimia ... 39

4.2.4. Parameter biologi ... 40

4.3. Kondisi Sosial-Ekonomi ... 42

4.3.1. Kondisi sosial-ekonomi responden masyarakat sekitar ... 43

4.3.2. Kondisi sosial-ekonomi responden wisatawan ... 51


(11)

x

4.7. Analisis Peluang Wisata ... 66

4.8. Instansi-Instansi Terkait ... 77

4.9. Strategi Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong ... 78

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1. Kesimpulan ... 80

5.2. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82


(12)

xi

Halaman

1. Parameter kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute) ... 16

2. Klasifikasi kelas ROS ... 17

3. Klasifikasi berdasarkan kriteria fisik-sumber dan fasilitas ... 18

4. Klasifikasi berdasarkan kriteria sosial pengunjung dan pengguna ... 19

5. Klasifikasi berdasarkan kriteria administrasi-pengelolaan dan pengaturan pelayanan ... 19

6. Komposisi, jenis, sumber dan teknik pengambilan data ... 22

7. Parameter kesesuaian sumberdaya untuk wisata danau ... 27

8. Potensi ekologis pengunjung (K) dan Luas area kegiatan (Lt) ... 31

9. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata ... 31

10. Pemberian skor dan bobot ... 32

11. Matrik parameter kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute) ... 34

12. Kualitas air Situ Cigayonggong ... 37

13. Karakteristik-karakteristik lokasi pengamatan di sekitar kawasan wisata Situ Cigayonggong ... 38

14. Lokasi wisata dan luasan kawasan wisata yang dapat dimanfaatkan ... 64

15. Daya dukung kawasan wisata Situ Cigayonggong ... 66

16. Matriks parameter kawasan rekreasi ... 68

17. Perhitungan parameter kawasan rekreasi ... 69

18. Permasalahan yang terjadi di Situ Cigayonggong dan strategi pengelolaannya ... 79


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka Penelitian Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong ... 3 2. Peta lokasi penelitian ... 21 3. Diagram pengambilan contoh responden ... 24 4. Grafik jumlah curah hujan kecamatan Kasomalang, kabupaten Subang setiap bulan pada tahun 2009 ... 36 5. Komposisi jenis kelamin responden di sekitar Situ Cigayonggong ... 44 6. Kelompok umur responden di sekitar kawasan wisata Situ Cigayonggong 44 7. Tingkat pendidikan responden di sekitar kawasan wisata Situ

Cigayonggong ... 45 8. Jenis pekerjaan responden di sekitar kawasan wisata Situ Cigayonggong .. 46 9. Tingkat pendapatan responden di sekitar kawasan Situ Cigayonggong ... 47 10. Persepsi responden mengenai keberadaan Situ Cigayonggong ... 48 11. Manfaat dan tujuan responden terhadap keberadaan Situ Cigayonggong . 49 12. Keterlibatan responden dalam menjaga kelestarian Situ Cigayonggong dan

pengetahuan mengenai hubungan konservasi dengan lingkungan ... 50 13. Komposisi jenis kelamin responden yang berkunjung ke Situ

Cigayonggong ... 51 14. Kelompok umur responden yang berkunjung ke Situ Cigayonggong ... 52 15. Asal responden yang berkunjung ke Situ Cigayonggong ... 53 16. Tingkat pendidikan responden yang berkunjung ke Situ Cigayonggong .. 53


(14)

xiii

18. Tingkat pendapatan responden per bulan (dalam jutaan rupiah) ... 55

19. Biaya yang dikeluarkan responden ... 56

20. Motivasi responden berkunjung ke Situ Cigayonggong ... 58

21. Hambatan responden berkunjung ke Situ Cigayonggong ... 59

22. Pendapat responden mengenai pembatasan pengunjung dan tempat membuang sampah ... 60

23. Peta Kesesuaian Wisata Situ Cigayonggong ... 61

24. Nilai ROS parameter fisik Situ Cigayonggong ... 70

25. Keberadaan ikan di setiap lokasi penelitian ... 71

26. Jenis-jenis tanaman air di setiap lokasi penelitian ... 72

27. Nilai ROS parameter pengelolaan kawasan wisata Situ Cigayonggong.... 74

28. Nilai ROS parameter sosial kawasan wisata Situ Cigayonggong ... 75

29. Nilai ROS parameter fisik, sosial dan pengelolaan... 76


(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lokasi penelitian ... 85

2. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengamatan kualitas air ... 87

3. Sarana dan prasarana di Situ Cigayonggong ... 88

4. Kuisioner untuk pengelola Situ Cigayonggong ... 90

5. Kuisioner untuk pihak Desa Kasomalang Wetan ... 91

6. Kuisioner untuk Dinas Pariwisata Subang ... 92

7. Kuisioner untuk responden wisatawan ... 93

8. Kuisioner untuk responden masyarakat sekitar Situ Cigayonggong ... 95

9. Kuisioner untuk responden pemancing ... 97

10. PP. No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kuailitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air ... 98

11. Indeks kesesuaian wisata di kawasan wisata air Situ Cigayonggong ... 100

12. Indeks kesesuaian wisata dan Daya dukung kawasan wisata Situ Cigayonggong ... 106

13. Curah hujan Desa Kasomalang Wetan, Subang ... 107

14. Prosedur kerja pengamatan parameter kualitas air ... 108

15. Jenis-jenis tanaman air yang ditemui di Situ Cigayonggong ... 110

16. Contoh jenis-jenis ikan di Situ Cigayonggong ... 111


(16)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Situ merupakan salah satu ekosistem perairan tergenang, umumnya berair tawar dan berukuran kecil. Situ dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara alamiah (karena proses alami) maupun secara buatan (buatan manusia, yaitu melalui pembendungan atau cekungan). Air di situ dapat bersumber dari mata air, air hujan atau limpasan air permukaan. Dilihat dari aspek ekonomi dan sosial budaya diantaranya situ dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk memancing, lokasi wisata, pendidikan dan sebagainya (Ubaidillah dan Maryanto 2003). Situ Cigayonggong adalah suatu ekosistem lahan basah yang berlokasi di Desa Kasomalang Wetan, Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang, Jawa Barat yang perlu dijaga eksistensinya, karena situ ini sebagian besar dimanfaatkan oleh penduduk Desa Kasomalang Wetan untuk kebutuhan hidup sehari-hari (seperti minum, mandi, mencuci), mengairi sawah/kolam, dan lain-lain.

Situ Cigayonggong memiliki kondisi lingkungan yang indah dan kualitas air yang baik, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata. Di sekitar situ, pengunjung dapat berfoto dan menikmati arena berwisata baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Fasilitas-fasilitas yang tersedia diantaranya untuk anak-anak terdapat arena mandi bola, kincir angin dan kolam renang waterboom, selain itu terdapat kebun durian montong, kolam renang untuk orang dewasa, arena untuk senam, arena untuk berkemah, aula, vila dan panggung hiburan. Di sekitar Situ Cigayonggong terdapat banyak vegetasi darat sehingga menambah daya tarik kawasan wisata tersebut, sedangkan di perairan situ wisatawan dapat bersepeda air dan memancing ikan (Dinas Pariwisata Subang 2010). Hal tersebut membutuhkan pengelolaan atau perencanaan yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan serta partisipasi berbagai pihak dalam melaksanakan dan mengawasi kegiatan tersebut.

Menurut Fandeli dan Mukhlison (2000) ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi, melalui pengelolaan alam dan budaya untuk menjamin kelestarian alam dan masyarakat. Situ Cigayonggong memiliki potensi sebagai kawasan wisata. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk


(17)

mengoptimalkan pemanfaatan Situ Cigayonggong melalui strategi pengelolaan yang tepat dan bijaksana sehingga nilai dan manfaat situ dapat berkelanjutan. Selain itu, diperlukan penelitian untuk mengidentifikasi peluang dan hambatan agar potensi wisata yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.

1.2. Rumusan Masalah

Situ Cigayonggong dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar diantaranya untuk kegiatan perikanan, pengairan, pertanian dan wisata. Situ Cigayonggong dijadikan sebagai objek wisata karena memiliki keindahan dan kualitas air yang masih baik. Pengembangan pariwisata di Situ Cigayonggong memberikan manfaat bagi lingkungan dan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat di sekitar situ. Akan tetapi, dalam proses pengembangan tersebut mengalami beberapa hambatan yaitu pengendalian blooming tanaman air yang kurang optimal, belum adanya pengelolaan limbah cair dan promosi yang kurang optimal. Apabila masalah tersebut tidak segera diatasi dapat menimbulkan hambatan yang baru, seperti penurunan kualitas air dan pendangkalan. Oleh karena itu, diperlukan implementasi pengelolaan yang tepat agar keindahan dan kelestarian Situ Cigayonggong tetap terjaga. Selain itu, diperlukan konsep pengelolaan yang berbasis kelestarian sumberdaya yaitu ekowisata. Konsep ekowisata diperlukan untuk mengetahui kesesuaian kawasan dalam rangka pengembangan wisata di Situ Cigayonggong dan adanya kontrol berdasarkan daya dukung kawasan terhadap kegiatan wisata yang telah ada dan akan dikembangkan di Situ Cigayonggong, hal tersebut dilakukan agar Situ Cigayonggong tetap alami dan tidak mengalami kerusakan. Berikut ini adalah kerangka penelitian yang yang digunakan dalam menentukan pengelolaan yang tepat bagi Situ Cigayonggong (Gambar 1).


(18)

Gambar 1. Kerangka Penelitian Pengelolaan Kawasan Wisata Situ Cigayonggong, Kecamatan Kasomalang, Subang

Pola Pemanfaatan Situ Cigayonggong

Situ

Pengujung/Wisatawan Masyarakat setempat

Dampak (+) : -Sarana wisata -Sarana Olahraga -Sarana pendidikan

-Sarana pertemuan - Sarana penelitian - Tempat kuliner

Dampak (+) : -Objek wisata -Sumber air

- Irigasi -mengairi kolam deras

-Daerah resapan air -Habitat biota akuatik

Dampak (+) : -Sarana wisata &

olahraga -Memenuhi kebutuhan

sehari-hari -Meningkatkan

perekonomian masyarakat

Dampak (-) : -Pencemaran air &

lingkungan -Perubahan ekosistem

perairan -Degradasi -Menurunkan estetika

Analisis Kesesuaian wisata

Analisis Daya dukung

Analisis ROS

Strategi pengelolaan kawasan Situ Cigayonggong


(19)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakan penelitian ini untuk :

1. Mengidentifikasi peluang dan hambatan yang terdapat di kawasan Situ Cigayonggong.

2. Mengkaji sistem pengelolaan yang sudah diterapkan di kawasan Situ Cigayonggong.

3. Mengidentifikasi rekomendasi rencana pengembangan kawasan wisata yang berkelanjutan.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak pengelola dan pemerintah daerah dalam upaya pengelolaan Situ Cigayonggong secara berkelanjutan, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan untuk usaha mengembangkan wisata.


(20)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Perairan Tawar

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan. Sistem ekologi dikenal dengan ekosistem. Ekosistem adalah suatu kawasan alam yang didalamnya terdapat unsur-unsur hayati (organisme) dan unsur-unsur non-hayati (zat-zat yang tidak hidup) serta antara unsur-unsur tersebut mempunyai hubungan timbal-balik (Resosoedarmo et al. 1984), sedangkan menurut Odum (1993) ekosistem adalah satuan yang mencangkup semua organisme didalam suatu daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus energi mengarah ke struktur makanan, keanekaragaman biotik, dan daur-daur bahan yang jelas. Lingkungan perairan tawar secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu perairan tawar yang tidak bergerak (lactic) dan perairan tawar yang bergerak (lotic). Karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh perairan tawar yang tidak bergerak diantaranya arus air relatif tenang dan stagnan, organisme didalamnya tidak memiliki adaptasi khusus, ada stratifikasi suhu dan residence time relatif lama. Salah satu contoh bentuk lingkungan perairan tawar yang tidak bergerak adalah situ. Situ adalah suatu wadah genangan air yang berada di permukaan tanah yang terbentuk secara alami atau buatan, airnya bersumber dari mata air, air hujan, dan/atau limpasan air permukaan. Proses pembentukkan situ dapat terbentuk melalui dua cara yaitu secara alami dan buatan (Puspita et al. 2005). Situ alami yaitu situ yang terbentuk karena kondisi topografi yang menyebabkan terperangkapnya sejumlah air dan membentuk cekungan, sedangkan situ buatan yaitu situ yang terbentuk karena dibendungnya suatu cekungan (basin). Sumber air tersebut berasal dari mata air, air hujan dan/atau limpasan air permukaan (Suryadiputra 2005).

Menurut Suryadiputra (2005), keberadaan air di dalam situ bersifat permanen atau sementara. Pada musim kemarau panjang (misalnya: selama berlangsungnya fenomena el-nino), biasanya beberapa situ dapat mengalami kekeringan secara total dan beralih fungsi menjadi suatu lapangan terbuka yang dimanfaatkan oleh penduduk sekitarnya untuk melakukan aktivitas, seperti bercocok tanam atau lapangan sepak bola.


(21)

Secara ekosistem situ memiliki berbagai nilai dan manfaat untuk kepentingan makhluk hidup diantaranya (Puspita et al. 2005) :

a. Nilai ekologis situ

Berdasarkan nilai ekologis situ diantaranya dimanfaatkan sebagai habitat berbagai jenis tumbuhan dan hewan baik yang endemik maupun yang dilindungi, sebagai pengatur fungsi hidrologis karena dapat menampung air tanah maupun limpasan air permukaan serta menjaga sistem dan proses-proses alami yaitu dijadikan lahan pertanian karena tanahnya menjadi subur, kesuburan tersebut disebabkan adanya proses penambahan unsur hara dari hasil sedimentasi serta situ berperan sebagai penghasil oksigen melalui berbagai jenis fitoplankton yang hidup didalamnya.

b. Nilai ekonomis situ

Berdasarkan nilai ekonomis situ diantaranya dimanfaatkan sebagai penghasil sumberdaya alam yang bernilai ekonomis baik hewan maupun tumbuhan, penghasil energi, sarana wisata dan olahraga, sumber air dan memiliki nilai sosial dan budaya situ.

Menurut Ubaidillah dan Maryanto (2003) situ merupakan salah satu sumberdaya yang potensial dan belum dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan fungsinya. Namun, situ memiliki beberapa permasalahan diantaranya:

a. Aspek kelembagaan

Permasalahan pada aspek kelembagaan diantaranya belum adanya keberpihakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam mengupayakan konservasi situ, belum adanya pembagian tugas dalam melakukan pengelolaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, belum adanya perpaduan dalam pelaksanaan program pengelolaan situ, keterbatasan kapasitas dan kemampuan kelembagaan pemanfaatan situ serta masih lemahnya kampanye publik mengenai manfaat dan fungsi situ, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

b. Aspek hukum

Permasalahan aspek hukum diantanya kurangnya penegasan hukum yang berorientasi pada wisata, kurang diberlakukan Undang-Undang No.22 Tahun 1991 tentang pemerintah daerah dan belum adanya legalitas penguasaan atas situ.


(22)

c. Aspek fisik hidrologis

Permasalahan aspek fisik hidrologis diantaranya semakin menurunnya kualitas perairan, adanya pendangkalan, dan penutupan perairan oleh gulma

d. Aspek tata ruang

Permasalahan aspek tata ruang diantaranya kurang terkendalinya perubahan akan tata guna lahan atau alih fungsi situ, batas daerah penguasaan situ belum jelas, serta belum adanya rencana yang detail akan pengembangan kawasan dan rencana teknis kawasan.

e. Aspek sosial kemasyarakatan.

Permasalahan aspek sosial kemasyarakatan diantaranya masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya fungsi dan manfaat situ, kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan situ.

2.2. Faktor Pembatas Fisika-Kimia-Biologi Perairan Situ

Faktor pembatas perairan tawar diantaranya suhu, kekeruhan dan debit arus (Odum 1993). Parameter fisika yang dianalisis diantaranya: suhu, kecerahan, warna dan bau perairan. Pada badan air suhu dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, adanya penutupan awan, pergerakkan aliran air, kedalaman dari badan air serta waktu dalam satu hari. Perubahan suhu dapat mempengaruhi proses fisik, kimia dan biologi suatu badan air. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan air tersebut, yang mempengaruhi kecerahan air diantaranya keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta tingkat ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Warna perairan dikelompokkan menjadi dua, yaitu warna sesungguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color). Warna perairan dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik dan bahan anorganik, serta keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam (misalnya besi dan mangan), serta bahan-bahan lain (Effendi 2003). Aroma atau bau (odor) bersifat chemical sense karena adanya kontak langsung bahan air sampel dengan reseptor cell yang terletak di hidung. Senyawa organik dan anorganik yang terdapat di perairan berpengaruh terhadap aroma atau bau.

Faktor pembatas di perairan secara kimia yang dianalisis diantaranya: DO, BOD dan pH. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah gas oksigen yang


(23)

terlarut di dalam air. Oksigen yang terlarut di perairan dari proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tumbuhan air dan difusi udara (APHA. 1992 in Effendi 2003). Sumber oksigen yang terlarut berasal dari difusi oksigen di atmosfer (sekitar 35%) dan sebagian besar berasal dari hasil sampingan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny dan Olem 1994). Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand/BOD) merupakan gambaran secara tidak langsung kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air, diukur pada suhu 20o selama 5 hari dengan keadaan tanpa cahaya (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2003). Kadar keasaman (pH) berkaitan dengan karbondioksida dan alkalinitas (Mackereth et al. 1989 in Effendi 2003), semakin tinggi nilai pH maka nilai alkalinitas akan semakin tinggi pula dan kadar karbondioksida bebas semakin sedikit.

Faktor pembatas biologi di perairan yang dianalisis adalah biota perairan yaitu ikan dan tanamana air. Keberadaan ikan diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan wisatatawan pemancing, sedangkan tanaman air diperoleh melalui pengamatan kemudian diidentifikasi.

2.3. Situ sebagai Kawasan Ekowisata

Situ memiliki nilai ekonomis yang dapat digunakan sebagai sarana wisata dan olahraga (Puspita et al. 2005), karena keberadaan situ identik dengan keberadaan air dan pemandangan alam yang indah. Menurut Yulianda (2007), wisata merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasaan manusia. Oleh karena itu, situ sebagai sarana wisata diperlukan pengelolaan dan tata ruang yang baik dengan konsep ekowisata agar pemanfaatannya berkelanjutan. Ekowisata merupakan suatu konsep dalam mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan, bertujuan untuk mendukung dan mengupayakan kelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya, sehingga dapat menambah pendapatan masyarakat setempat. Dilihat dari segi pengelolaannya, ekowisata merupakan penyelenggara kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami atau berdasarkan kaidah alam dan berkelanjutan, mendukung untuk


(24)

mengupayakan kelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat . Selain itu, perencanaan dan pengembangan wisata harus memperhatikan daya dukungnya.

Konsep pengembangan ekowisata dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi :

1. Mencegah dan menaggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan; restribusi atau pajak konservasi (conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perecanaan dan pengawasan kawasan.

5. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestariaan kawasan.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

8. Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat).

Menurut Sulaksmi (2007) in Rahmawati (2009) bentuk-bentuk wisata yang akan dikembangkan dan direncanakan berdasarkan beberapa hal diantaranya:

1. Kepemilikan (ownerhip) atau pengelolaan areal wisata dikelompokkan kedalam tiga sektor yaitu sektor pemerintahan, sektor organisasi nirlaba dan perusahaan konvensional,

2. Sumberdaya (resource) yaitu sumberdaya alam (natural) atau budaya (cultural),

3. Perjalanan wisata atau lama tinggal (touring/longstay),

4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan (indoor) atau di luar ruangan (outdoor),


(25)

6. Daya dukung (carryng capacity) tampak dengan tingkat penggunaan pengunjung yaitu intensif, semi intensif dan ekstensif.

Dalam pengembangan wisata diperlukan sumberdaya agar dapat memberikan kepuasan bagi manusia. Sumber daya yang terkait dengan pengembangan pariwisata tersebut meliputi sumber daya alam, sumber daya budaya dan sumber daya manusia. Elemen dari sumber daya alam misalnya air, pepohonan, udara, hamparan, pegunungan, pantai, bentang alam dan sebagainya. Sumber daya alam tersebut tidak akan berguna bagi pariwisata kecuali semua elemen tersebut dapat memuaskan dan memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu, sumber daya memerlukan intervensi manusia untuk mengubahnya agar menjadi bermanfaat.

Sumberdaya alam yang dapat dikembangkan menurut Fennel (1999) in Pitana dan Diarta (2009), adalah sebagai berikut :

1. Lokasi geografis, menyangkut karakteristik ruang yang menentukan kondisi terkait dengan variabel lainnya.

2. Iklim dan cuaca, ditentukan oleh latitude dan elevation diukur dari permukaan air laut, daratan, pegunungan, dan sebagainya. Faktor geologis dan iklim merupakan penentu utama dari lingkungan fisik yang mempengaruhi vegetasi, kehidupan binatang, angin dan sebagainya.

3. Topografi dan landform, merupakan bentuk umum dari permukaan bumi dan membuat beberapa areal geografis menjadi bentang alam yang unik (landform). Kedua aspek tersebut menjadi daya tarik tersendiri dalam membedakan kondisi geografis suatu wilayah/ benua dengan wilayah/ benua lainnya, sehingga sangat menarik untuk menjadi atraksi wisata.

4. Surface materials, menyangkut sifat dan ragam material yang menyusun permukaan bumi, misalnya formasi bebatuan alam, pasir, mineral, minyak dan sebagainya, sangat unik dan menarik untuk dikembangkan menjadi atraksi wisata alam.

5. Air, memegang peran sangat penting dalam menentukan tipe dan level dari rekreasi outdoor, misalnya bisa dikembangkan jenis wisata pantai/ bahari, danau, sungai, dan sebagainya (sailing, cruise, fishing, snorkeling, dan sebagainya).


(26)

suatu area tertentu. Kegiatan wisata sangat tergantung pada kehidupan dan formasi tumbuhan seperti misalnya ekowisata pada kawasan konservasi alam/ hutan lindung.

7. Fauna, berperan sangat signifikan terhadap aktivitas wisata baik di pandang dari sisi konsumsi (misalnya wisata berburu dan memancing) maupun non-konsumsi (misalnya birdwatching).

Sumber daya manusia merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan pariwisata, karena elemen pariwisata memerlukan sumberdaya manusia untuk menggerakkannya (Pitana dan Diarta 2009). Selain itu, sumberdaya manusia menentukan eksistensi pariwisata sebagai salah satu industri jasa yang diberikan kepada wisatawan yang secara langsung akan berdampak pada kenyamanan, kepuasan dan kesan atas kegiatan wisata yang dilakukannya sedangkan sumberdaya budaya dijadikan sebagai faktor penarik dalam mempromosikan karakteristik budaya dari destinasi. Selain itu pariwisata budaya dapat dijadikan sebagai peluang bagi wisatawan untuk mengalami, memahami, dan menghargai karakter dari destinasi, kekayaan, dan keragaman budayanya dan memberikan kesempatan kontak pribadi secara langsung dengan masyarakat lokal (Pitana dan Diarta 2009).

Sumberdaya budaya yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata diantaranya sebagai berikut (Pitana dan Diarta 2009) :

1. Bangunan bersejarah, situs, monument, museum, galeri seni, situs budaya kuno dan sebagainya.

2. Seni dan patung kontemporer, arsitektur, tekstil, pusat kerajinan tangan dan seni, pusat desain, studio artis, industri film dan penerbit dan sebagainya. 3. Seni pertunjukkan, drama, sendratari, lagu daerah, teater jalanan, eksibisi

foto, festival dan even khusus lainnya.

4. Peninggalan keagamaan seperti pura, candi, masjid, situs dan sejenisnya. 5. Kegiatan dan cara hidup masyarakat lokal, sistem pendidikan, sanggar,

tekhnologi tradisional, cara kerja dan sistem kehidupan setempat.

6. Perjalanan ke tempat bersejarah menggunakan alat transportasi unik (berkuda, dokar, cikar, dan sebagainya).


(27)

2.4. Pengelolaan Sistem Pariwisata

Sistem dalam pariwisata adalah memandang pariwisata sebagai suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai suatu sistem yang besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti ekonomi, ekologi, politik, sosial, budaya dan sebagainya (Pitana dan Diarta 2009). Pariwisata sebagai suatu sistem tidak dapat dilepaskan dari subsistem yang lain, seperti politik, ekonomi, budaya dan sebagainya yang saling ketergantungan dan saling terkait (interconnectedness).

Pengelolaan menurut Leiper (1990) in Pitana dan Diarta (2009) adalah seperangkat peranan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, atau merujuk pada fungsi-fungsi yang melekat pada peran tersebut. Fungsi-fungsi

manajemen tersebut adalah sebagai berikut : 1). Planning (perencanaan), 2). Directing (mengarahkan), 3). Organizing (termasuk coordinating) dan 4). Controlling (pengawasan). Pengelolaan pariwisata harus mengacu kepada

prinsip-prinsip pengelolaan yang menekankan nilai-nilai kelestarian lingkungan alam, komunitas dan nilai sosial yang memungkinkan wisatawan menikmati kegiatan wisatanya serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat lokal (Pitana dan Diarta 2009). Menurut Cox (1985) dan Fennel (2003) in Pitana dan Diarta (2009), pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut :

1) Pembangunan dan pengembangan pariwisata harus didasarkan pada kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan.

2) Preservasi, proteksi, dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi basis pengembangan kawasan pariwisata.

3) Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah budaya lokal.

4) Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan lingkungan lokal.

5) Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi jika sebaliknya maka menghentikan aktivitas pariwisata tersebut jika melampaui ambang batas (Carrying capacity) lingkungan alam atau akseptabilitas sosial.


(28)

2.5. Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan

Daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal (Yulianda 2010), yaitu kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan keaslian sumberdaya alam. Kemampuan alam mentolerir kegiatan manusia serta mempertahankan keaslian sumberdaya ditentukan oleh besarnya gangguan yang kemungkinan akan muncul dari kegiatan wisata. Suasana alami lingkungan juga menjadi persyaratan dalam menentukan kemampuan tolerir gangguan dan jumlah pengunjung dalam unit area tertentu. Tingkat kemampuan alam untuk mentolerir dan menciptakan lingkungan yang alami dihitung dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung. Potensi ekologis pengunjung dihitung berdasarkan area yang digunakan untuk beraktifitas dan alam masih mampu untuk mentolerir kehadiran pengujung.

Daya dukung lingkungan (carrying capacity), adalah jumlah individu maksimum yang dapat ditampung pada suatu area dengan tidak mempengaruhi atau merusak lingkungan dan dapat memberikan kepuasan bagi pengunjung dan masyarakat setempat (Maryadi 2003 in Maulana 2009). Aspek ekologi dan aspek pemanfaatan sumberdaya dapat dilihat dari kesesuaian karakteristik sumberdaya dan lingkungan dalam mengembangkan wisatanya. Pertimbangan aspek ekologi bertujuan untuk mempertahan keberadaan sumberadaya dan keseimbangan sistem kehidupan biota perairan agar tetap lestari dan berkelanjutan, sedangkan pertimbangan aspek pemanfaatan adalah kepuasan manusia dalam menjalani kegiatan wisata. Oleh karena itu, kepuasan manusia akan tercapai apabila sumberdaya dapat dinikmati secara alami dan nyaman. Menurut Yulianda (2010) sumberdaya harus dipertahankan keaslian dan keserasiannya, serta jumlah pengunjung harus disesuaikan dengan kapasitasnya sehingga wisatawan tidak merasa terganggu oleh pengunjung lainnya.

Faktor lingkungan yang diperlukan untuk mendukung pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (Soemarwoto 2004) yaitu :

1. Terpeliharanya proses ekologi yang esensial, 2. Tersedianya sumberdaya yang cukup,


(29)

Strategi pengelolaan situ sebagai sumberdaya air harus dilakukan secara lintas sektoral dengan tetap memperhatikan fungsi air, yaitu fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Keterpaduan pengelolaan harus diwujudkan mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan. Untuk itu, aparatur Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, harus mempunyai visi dan persepsi yang sama dalam identifikasi tujuan konservasi situ (Ubaidillah dan Maryanto 2002). Dalam kerangka pemikiran ini, kegiatan yang perlu dilakukan adalah:

1. Penetapan pedoman pengelolaan situ.

2. Penetapan standarisasi teknis pengelolaan situ (meliputi penyelenggaraan penataan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, penanganan dan rehabilitasi penyimpangan fungsi ruang, pengendalian penggunaan lahan, penatagunaan sumberdaya air, pengendalian dan pemanfaatan sumberdaya air, tertib administrasi pertanahan, kriteria kerusakan, pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kerusakan).

3. Pembangunan sistem informasi.

2.6.Peluang Wisata (ROS)

Recreation Opportunity Spectrum (ROS) merupakan suatu alat manajemen rekreasi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat melalui Dinas Kehutanan pada awal 1980-an untuk mengelola dan melaksanakan pengaturan alam bagi para wisatawan yang berkunjung. ROS fokus kepada identifikasi dan pengelolaan sumberdaya yang tersedia antara lain ruang, fasilitas, kondisi sosial dan ekologi. Tujuan utamanya yakni untuk mencapai konsistensi dalam pengelolaan rekreasi melalui integrasi rekreasi, perencanaan dan pengelolaan sumber daya. ROS lebih proaktif dan konstruktif dalam mendukung integrasi dari pengalaman dan kesempatan rekreasi dengan mempertimbangankan kondisi ekologi yang diperlukan dalam sumberdaya alam yang berkelanjutan. Menurut Clark dan Stankey (1979), ROS merupakan suatu kerangka pemikiran konseptual untuk membantu memperjelas hubungan antara kondisi kawasan, aktivitas dan pengalaman rekreasi.

Kerangka ini menganalisis tiga parameter, yatu fisik (physical attribute), pengelolaan (managerial attribute) dan sosial (social attribute) yang digunakan


(30)

untuk menguraikan kondisi kawasan rekreasi. Selain itu, ROS juga didefinisikan sebagai suatu konsep pemikiran yang digunakan dalam pengelolaan kawasan alam dan perencanaan kawasan wisata yang bertujuan menangani terjadinya suatu konflik penggunaan lahan melalui identifikasi kegiatan wisata berdasarkan pada tingkat keberagaman faktor alam, infrastruktur dan pengelolaan yang ada di suatu kawasan. Konsep ROS merekomendasikan pembagian zonasi dan kegiatan rekreasi dimana pemanfaatan kawasan diklasifikasikan dan dibagi berdasarkan kondisi lingkungan dan aktivitas rekreasi. Pemanfaatkan dan pengembangan suatu potensi pariwisata harus memperhatikan faktor lingkungan, sosial dan pengelolaan sesuai dengan peruntukan dan tujuan pengembangan suatu kawasan.

Faktor lingkungan (environmental conditions) dilihat dari kondisi suatu kawasan apakah masih bersifat alami atau sudah tekontaminasi oleh aktivitas manusia. Faktor lingkungan suatu kawasan pariwisata beguna untuk menentukan jenis dan arah pengembangan wisata, sedangkan faktor sosial (social conditions) berguna untuk menggambarkan intensitas pemanfaatan suatu kawasan wisata. Oleh karena itu, diperlukan strategi khusus untuk mempertahankan kondisi yang telah ada menjadi lebih baik.

Faktor utama yang dianalisis ROS adalah identifikasi parameter kondisi kawasan rekreasi (setting). Parameter kondisi kawasan rekreasi merupakan kondisi dari keseluruhan kawasan rekreasi termasuk parameter fisik, sosial dan pengelolaan sebagai satu kesatuan. Parameter fisik berpengaruh dalam menentukan jenis kegiatan dan tipe rekreasi yang dapat dikembangkan. ROS merangkum keragaman dari berbagai parameter kondisi kawasan wisata berdasarkan pengalaman tertentu. Kombinasi dari parameter - parameter tersebut membentuk suatu spektrum yang mengarah pada jenis tipe rekreasi yang dapat dikembangkan bagi kawasan wisata tersebut. Berikut parameter kondisi kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute) pada Tabel 1.


(31)

Tabel 1. Parameter kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute)

Parameter fisik/lingkungan

(Physical Attributes)

Parameter Sosial

(Social Attributes)

Parameter pengelolaan

(Managerial Attributes)

 Sumberdaya alam (perairan

dan daratan)

 Topografi wilayah

 Kualitas perairan

 Klimatologi

 Pembuangan limbah cair

dan dampak

 Pendidikan dan tenaga kerja

 Demografi

 Presepsi terhadap kawasan

wisata

 Isu dan permasalahan

Sarana dan prasarana

rekreasi

Transportasi dan

komunikasi

Kebijakan pengelolaan

Kondisi Pariwisata

Kondisi perikanan

Sumber : Clark dan Stankey (1979) .

ROS juga mengintegrasikan kesempatan rekreasi dan non-kegiatan rekreasi di lahan-lahan masyarakat, sehingga para pengelola dapat membuat sebuah keputusan. Pendekatan yang berlaku pada metode ROS ini mengunakan pendekatan kriteria fisik, sosial, dan pengelolaan untuk menggambarkan kondisi yang sudah ada, sehingga dapat menentukan kemampuan dan kesesuaian untuk menyediakan berbagai kegiatan rekreasi.

ROS dibagi menjadi empat kelas berdasarkan kepadatan lingkungan untuk kegiatan pengaturan. Kondisi fisik, sosial dan pengelolaan berbeda-beda pada setiap kelasnya. Keempat kelas yang terdapat pada metode ROS diantaranya primitive dicirikan dengan area yang belum ada kegiatan yang dapat mengubah lingkungan alam yang cukup besar sehingga lingkungan alam masih tergolong alami dan lestari, primitive non-motorized dicirikan oleh lingkungan yang belum berubah, semi-primitive motorized dicirikan oleh lingkungan alam yang belum dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas dan rural dicirikan oleh lingkungan alam yang telah berubah secara substansial, salah satunya terjadi akibat adanya aktivitas-aktivitas yang menyebabkan lingkungan berubah seperti telah adanya kegiatan bisnis struktur lainnya (Tabel 2).


(32)

Tabel 2. Klasifikasi Kelas ROS

Kelas ROS Keterangan

Primitive Area ini ditandai dengan belum ada kegiatan yang dapak mengubah lingkungan alam yang cukup besar. Pengguna masih tergolong minim. Sistem jalan belum ada. Infrastruktur masih tergolong sedikit dan sederhana. Secara umum, sumber daya masih alami dan belum berubah. Vegetasi berada dalam keadaan alami.

Semi-primitive non-motorized

Lingkungan alam yang belum berubah. Pengguna dengan konsentrasi rendah. Daerah lebih mudah diakses dari kelas primitif, tetapi masih jauh dari keramaian dan jalan raya. Vegetasi, dan sumber daya yang sebagian besar adalah alami tetapi mungkin ada beberapa dampak seperti adanya kegiatan manusia.

Semi-primitive motorized Lingkungan alam yang belum dipengaruhi. Konsentrasi pengguna sudah ada tetapi jarang. Tidak bisa diakses oleh kendaraan beroda empat. Beberapa bagian dari daerah mungkin jauh dari jalan raya. Vegetasi sebagian besar adalah alami tapi wilayah lokal mungkin ada gangguan seperti kerusakan akibat terkena dampak kegiatan manusia.

Rural lingkungan alam yang telah berubah secara substansial. Adanya kegitan pemanfaatan sumberdaya. Area biasanya bisa diakses oleh kendaraan bermotor dari daerah mana pun , bisnis, dan struktur lainnya juga telah ada. Lalu Lintas tingkat daerah cukup konstan karena dihuni.Vegetasi dan sumberdaya juga telah mengalami perubahan akibat dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya.

Sumber: Clark dan Stankey (1979).

Berdasarkan keempat kelas tersebut dapat dilihat karakteristik-karakteristik disetiap kelasnya, terdapat perbedaan - perbedaan dilihat dari kriteria fisik (sumber dan fasilitas), kriteria sosial (pengunjung dan pengguna) dan kriteria administratif (pengelolaan dan pengaturan pelayanan) (Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5). Kriteria berdasarkan fisik-sumber dan fasilitas digunakan untuk mengetahui pengelolaan di kawasan wisata, pengelolaan kawasan wisata yang baik adalah pengelolaan yang disesuaikan dengan konsep ekowisata. Mengetahui kondisi pemandangan dikawasan masih bersifat alami atau sudah terkontaminasi, dan untuk mengetahui keberadaan sarana dan prasarana yang terdapat di kawasan wisata (Tabel 3). Informasi-informasi tersebut diperoleh berdasarkan pengamatan di lapang dan wawancara.


(33)

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan kriteria fisik - sumber dan fasilitas

Keterangan Primitive Semi-Primitive

non-motorized

Semi-Primitive

Motorized Rural

Remoteness  besarnya

kesempatan untuk sendiri

 lebih dari 5 mil

dari jalan

 belum ada

pembangunan infrastruktur

kecil kesempatan

untuk sendirian

5 mil dari jalan

sudah ada

pembangunan infrastruktur tetapi tidak menggagu pemandangan

kecil kesempatan

untuk sendirian

 mudah diakses

 sudah ada

pembangunan infrastruktur tetapi tidak menggagu pemandangan sangat kecil kesempa-tan untuk sendiri tinggi perasaan aman dekat jalan utama di dekat sebuah kota

Naturalness pemandangan alam

terganggu

 munculnya

lansekap dan

pembangunan infrastruktur

munculnya lansekap tetapi tidak dominan dan adanya pembangunan infrastruktur sudah dibangun Infrastruk-tur sehingga kesan alami tidak terlihat lagi

Fasilitas umumnya tidak ada,

walaupun ada biasanya dalam jumlah yang sedikit.

jalan kaki yang agak dipertahankan bermotor trails (mungkin pernah musiman atau pembatasan lainnya) yang dipelihara fasilitas modern yang tersedia

Sumber: Clark dan Stankey (1979).

Kriteria berdasarkan sosial-pengunjung dan pengguna digunakan untuk mengetahui keadaan sosial wisatawan dalam melakukan beberapa aktivitas wisata yang terdapat di Situ Cigayonggong dan kelompok kunjungan wisatawan, sedangkan bukti-bukti digunakan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas wisata (Tabel 4).

Kriteria berdasarkan administratif-pengelolaan dan pengaturan pelayanan digunakan untuk mengetahui sumber informasi yang diperoleh wisatawan dalam mengetahui keberadaan kawasan wisata, mengetahui pengelolaan yang diterapkan dalam mengelola kawasan wisata dan mengetahui dana yang dikeluarkan untuk pembangunan, pengelolaan dan perawatan kawasan wisata sehingga keindahan dan kelestarian kawasan tetap terjaga (Tabel 5).


(34)

Tabel 4. Klasifikasi berdasarkan kriteria sosial – pengunjung dan pengguna

Keterangan Primitive Semi-Primitive

non-motorized

Semi-Primitive

Motorized Rural

Sosial Encounters  kecil kemunginan untuk bertemu dan melihat pengunjung lain secara langsung ukuran kelompok kecil (<3)

 ada kemunginan

untuk bertemu dan melihat pengunjung lain secara langsung

ukuran grup

sosial (<5)

 ada kemunginan

untuk bertemu dan melihat pengunjung lain secara langsung

ukuran grup

sosial (<5)  tinggi kemung-kinan untuk bertemu dan melihat pengun- jung lain secara lang- sung ukuran grup sosial sangat bervaria-si banyak pengun- jung

Bukti-bukti ditemukan bekas

orang yang berekreasi dulunya

ditemukan Bukti sumberdaya yang rusak akibat ada kegiatan manusia ada jalan, kebisingan, serta tempat-tempat rekreasi peningkat jumlah sampah

Sumber: Clark dan Stankey (1979)

Tabel 5. Klasifikasi berdasarkan kriteria administratif - pengelolaan dan pengaturan pelayanan

Keterangan Primitive Semi-Primitive

non-motorized

Semi-Primitive

Motorized Rural

Perjalanan pengunjung

 ada peta

 ada guide

 (pembimbing

wisata)

 ada peta

 tempat mudah

dicari

ada guide

(pembimbing wisata

 ada peta

 tempat mudah

dicari

ada guide

(pembimbing wisata

ada iklan

wisata

ada buku

panduan wisata

Pengelolaan  tidak ada

pengunjung yang menguasai

 dan tidak ada

batasan

 tidak ada

pengunjung yang menguasai

 dan tidak ada

batasan

 ada pengunjung

yang menguasai dan memiliki perbatasan tertentu

 terbatas dalam

menggunakan sumberdaya

 ada hukum yang

berlaku

 memilki

aturan yang jelas

 ada kegiatan

patroli kawasan

Biaya penggunaan

tidak ada tidak ada tidak ada Ada


(35)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan wisata Situ Cigayonggong yang berlokasi di Desa Kasomalang Wetan, Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang. Wilayah yang diamati yaitu keseluruhan kawasan wisata Situ Cigayonggong. Penelitian dilakukan secara dua tahap pada bulan April 2010-Juli 2010, yaitu penelitian pendahuluan, pengambilan data primer dan sekunder serta analisis data. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan April 2010 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan mempersiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan dalam pengambilan data. Kedua, pengumpulan data primer dan sekunder dilaksanakan pada bulan Mei-juli 2010.

Situ Cigayonggong berlokasi di Desa Kasomalang Wetan, Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang. Situ Cigayonggong berada pada temperatur 180 C-230C, udaranya sejuk. Selain itu, Situ Cigayonggong memiliki pemandangan yang cukup indah. Luas perairan Situ Cigayonggong ± 3 ha dan kedalaman ± 2m (hasil wawancara pihak pengelola 2010). Secara geografis, batas-batas wilayah Situ Cigayonggong adalah sebagai berikut :

Utara : Kawasan wisata, kawasan pertanian dan jalan dusun.

Barat : Kolam air deras (kolam ikan) milik penduduk, kawasan pertanian dan inlet dari perairan Situ Cigayonggong.

Timur : Kawasan pemukiman dan outlet dari perairan Situ Cigayonggong. Selatan : Kawasan pemukiman, pertanian dan perkebunan.

Aktitas-aktivitas yang terdapat disekitar situ Cigayonggong dapat berdampak negatif pada kondisi kualitas perairan situ, sehingga diperlukan pengelolaan yang efektif untuk menjaga kelestarian dan keindahan yang dimiliki situ. Pengambilan titik sampel di Situ Cigayonggong, dilakukan sebanyak 8 (delapan) titik, yaitu di perairan sebanyak 5 (lima) titik sampel untuk pengamatan analisis kualitas air, analisis kesesuaian wisata dan analisis daya dukung, sedangkan di daratan dilakukan sebanyak 3 (tiga) titik sampel yaitu untuk analisis kesesuaian wisata dan analisis daya dukung (Gambar 2).


(36)

! [ ! [ ! [ ! [ ! [ ! [ ! [ !

[STASIUN 8 STASIUN 7 STASIUN 6

STASIUN 2 STASIUN 5

STASIUN 4

STASIUN 3 STASIUN 1

107.737461 107.737461 107.738188 107.738188 107.738915 107.738915 107.739642 107.739642 107.740369 107.740369 -6 .6 9 5 7 3 8 -6 .6 9 5 7 3 8 -6 .6 9 5 0 1 7 -6 .6 9 5 0 1 7 -6 .6 9 4 2 9 6 -6 .6 9 4 2 9 6 -6 .6 9 3 5 7 5 -6 .6 9 3 5 7 5 -6 .6 9 2 8 5 4 -6 .6 9 2 8 5 4

40 20 0 40 80 120

Meter

LEGENDA

!

[ POSISI STASIUN

DAERAH PENGAMATAN DI DARAT SITU CIGAYONGGONG

PETA LOKASI PENELITIAN SITU CIGAYONGGONG, SUBANG

SUMBER PETA:

GOOGLE EARTH TAHUN 2010

PETA ADMINISTRASI INDONESIA TAHUN 1991 SURVEI LAPANG TAHUN 2010

TAHUN PEMBUATAN 2010

SUBANG SUMEDANG BANDUNG PURWAKARTA INDRAMAYU

3

U T S B

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Alat dan Bahan serta Data Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya kamera, termometer, kertas lakmus, plastik, papan alas, Secchi disc, erlemeyer, botol BOD, inkubator, GPS, tambang dan pemberat serta alat tulis, sedangkan bahan yang digunakan diantaranya kuesioner, data sheet, peta wilayah, dan bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian serta alat dan bahan yang digunakan untuk menganalisis parameter kimia.

Jenis data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi keadaan umum lokasi, kualitas perairan, data biofisik lingkungan, data perikanan, persepsi terhadap kawasan, kebijakan dalam pengelolaan, data sosial-ekonomi penduduk setempat dan pengunjung, kesesuaian wisata, kesesuaian lahan, isu dan permasalahan yang terjadi


(37)

sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka, buku-buku laporan hasil penelitian sebelumnya, buku-buku yang terkait dengan penelitian ini dan pengisian kuisioner oleh pihak pengelola, masyarakat sekitar situ dan wisatawan. Jenis data yang diambil, diantaranya keadaan umum Situ Cigayonggong, keadaan bota, sosial-ekonomi sumberdaya manusia (masyarakat sekitar, wisatawan dan pihak pengelola), sejarah dan budaya yang terdapat di kawasan Situ Cigayonggong, isu dan permasalahan yang berkembang dan kebijakan pengelolaan yang di tetapkan di kawasan wisata Situ Cigayonggong serta teknik pengambilan data pada saat di lapangan (Tabel 6).

Tabel 6. Komposisi, jenis, sumber, dan teknik pengambilan data

No. Komponen data Jenis data Sumber data Teknik pengambilan data

1 2 3 4 5

1.

Perairan situ Primer Sekunder

Kedalaman perairan

(m), berdasarkan

parameter yang

diukur

lebar tepi danau (m), berdasarkan

parameter yang di ukur

kecepatan arus

(cm/det)berdasarkan parameter yang di ukur Primer Primer Primer Sekunder Sekunder Sekunder Laporan Laporan Laporan

Studi pustaka,

pengukuran dengan

menggunakan papan skala

Studi pustaka. Obsevasi lapang

Studi pustaka

2 Warna perairan Primer Laporan Studi Pustaka,

Observasi lapang

3. Luas area kegiatan

yang dapat

dimanfaatkan

Sekunder Laporan Studi Pustaka

4. Sumberdaya

Manusia Masyarakat (Pendidikan, pendapatan,

pekerjaan, persepsi masarakat, dll)

Primer Responden,

lapangan Wawancara, Observasi lapang Pengunjung (Pendidikan, pendapatan, frekuesi kunjungan, persepssi pengunjung, dll)

Primer Responden,

lapangan

Wawancara, Observasi lapang


(38)

Tabel 6. (lanjutan)

No Komponen Jenis data Sumber data Tekhnik pengambilan

data

1 2 3 4 5

5. Keadaan Umum

Lokasi

Sejarah dan Budaya Primer Sekunder Responden,

laporan

Wawancara, Studi

pustaka

Geografi Sekunder Laporan Studi Pustaka

Demografi Sekunder Laporan Studi Pustaka

Sarana dan Prasarana

Primer Sekunder Responden,

lapangan

Wawancara,

Observasi lapang,

Studi pustaka

Pendidikan Primer Sekunder Responden,

lapangan

Wawancara,

Observasi lapang,

Studi pustaka

6. Isu-isu yang

berkembang

Primer Sekunder Responden,

laporan, lapangan

Wawancara,

Observasi lapang,

Studi pustaka

7. Kebijakan

pengelolaan

Primer Sekunder Responden,

laporan, lapangan

Wawancara,

Observasi lapang,

Studi pustaka

Sumber : Yulianda (2007)

3.3. Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data 3.3.1. Data primer

Data primer yang digunakan meliputi keadaan umum lokasi, kualitas perairan situ, data biofisik lingkungan, data perikanan, persepsi terhadap kawasan, kebijakan dalam pengelolaan, kesesuaian wisata, kesesuaian lahan, data sosial-ekonomi penduduk setempat dan pengunjung, isu–isu dan permasalahan yang terjadi. Metode yang digunakan dalam memperoleh data primer, yaitu dilakukan dengan cara observasi lapang dan wawancara.

a. Observasi lapang

Observasi lapang merupakan bagian dari pengumpulan data primer, kegiatan ini dilakukan dengan cara mengukur insitu pada parameter lingkungan yang diperlukan dalam penelitian. Parameter tersebut meliputi kualitas perairan situ, kondisi lingkungan disekitar situ dan beberapa aktivitas yang dilakukan disekitar situ.


(39)

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kawasan penelitian, yaitu dengan cara wawancara langsung kepada penduduk disekitar kawasan penelitian, pengunjung atau wisatawan, pegawai di kawasan, pengelola dan dinas pariwisata Subang. Penentuan responden dilakukan dengan metode purposive sampling terdiri dari penduduk sekitar, pengelola kawasan wisata dan pegawai dalam kawasan wisata. Metode ini memilih responden berdasarkan kebutuhan data yang diinginkan yaitu dengan ketentuan peran serta (partisipasi) responden dalam kegiatan wisata, selain itu memudahkan dalam mewawancara dan kesediaan responden untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian. Metode accident sampling digunakan untuk responden wisatawan untuk memudahkan dalam pengambilan data. Responden yang diambil dari penduduk, wisatawan dan wisatawan pemancing masing-masing sebanyak 30 orang (Gambar 3).

.

Gambar 3. Diagram pengambilan contoh responden.

3.3.2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, buku-buku laporan hasil penelitian sebelumnya, buku-buku yang terkait dengan penelitian ini, pengisian kuisioner oleh masyarakat sekitar situ, pihak pengelola dan wisatawan. Data-data

Populasi wisata

Penduduk Wisatawan Pengelola

n= 30 n= 30 n= 5

N= 95

Informasi kawasan Situ Cigayonggong

Wisatawan Pemancing


(40)

yang dikumpulkan meliputi sumberdaya alam, keadaan umum kawasan Situ Cigayonggong, isu dan permasalahan yang berkembang.

3.4. Analisis Data

3.4.1 Analisis sumberdaya dan lingkungan perairan

Analisis sumberdaya terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Analisis sumberdaya alam meliputi kondisi kawasan, kualitas air, flora, dan fauna. Kondisi kawasan diperoleh melalui data primer yaitu dengan cara observasi lapang dan wawancara melalui pengisian kuisioner kepada pihak pengelola Situ Cigayonggong, masyarakat sekitar situ dan wisatawan. Data sekunder diperoleh dengan cara pengumpulan literatur - literatur. Kualitas air yang diamati dalam penelitian ini meliputi parameter fisik (suhu, warna, kecerahan dan bau), parameter kimia (pH, DO dan BOD), dan parameter biologi (ikan dan tanaman air). Data kualitas air yang diperoleh dibandingkan dengan baku mutu menurut PPRI NO. 82 Tahun 2001 yaitu mengenai air baku untuk sarana rekreasi, peternakan, pembudidayaan ikan tawar dan pertamanan. Fauna perairan yang diamati adalah ikan yang diperoleh dengan cara wawancara kepada wisatawan pemancing untuk mengetahui jenis dan kelimahan ikan yang ada di perairan Situ Cigayonggong, sedangkan flora perairan yang diamati adalah tanaman, dilihat jenis tanaman air yang tumbuh disana kemudian diidentifikasi.

Analisis sumberdaya manusia yaitu mencakup masyarakat sekitar kawasan wisata, wisatawan, pengelola dan instasi yang terkait. Analisis sumberdaya manusia dilakukan melalui wawancara dengan cara memberikan kuisioner untuk mengetahui tingkat pendidikan, usia, pekerjaan dan tingkat pemahaman kelestarian lingkungan.

3.4.2 Analisis kesesuaian wisata

Kegiatan wisata yang ada atau akan dikembangkan di suatu kawasan harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang dimiliki dan peruntukannya. Hal tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis kesesuaian wisata. Kawasan wisata air Situ Cigayonggong memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga lokasi penelitian kesesuian wisata dibagi sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya.


(41)

Kegiatan wisata yang ada diantaranya sepeda air dan memancing sedangkan kegiatan wisata akan dikembangkan di kawasan wisata air Situ Cigayonggong diantaranya duduk santai, outbound dan berkemah. Analisis kesesuaian wisata ditentukan berdasarkan perhitungan indeks kesesuaian wisata (IKW) yang memiliki persamaan sebagai berikut (Yulianda 2007) :

IKW = ∑ (Ni / Nmaks) x 100 % Keterangan :

IKW : Indeks Kesesuaian Wisata (%) Ni : Nilai parameter ke-i

Nmaks : Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Nilai parameter ke-i (Ni) merupakan hasil perkalian antara bobot dan skor lokasi penelitian dari suatu parameter. Nilai maksimum dari suatu kategori wisata (Nmaks) merupakan hasil perkalian antara bobot dan skor maksimum dari suatu parameter. Parameter, bobot dan skor yang dimaksud dapat dilihat pada matriks kesesuaian. Matriks kesesuaian wisata yang digunakan berdasarkan matriks kesesuaian menurut Yulianda (2010) yang telah dimodifikasi.

Parameter-parameter yang berpengaruh terhadap kegiatan memancing, duduk santai, outbound dan berkemah diberi bobot. Bobot ditentukan oleh tingkat kepentingan parameter pada kegiatan yang akan dikembangkan. Bobot yang diberikan adalah lima apabila parameter tersebut sangat penting bagi kegiatan yang akan dikembangkan, tiga apabila parameter tersebut penting dan satu apabila parameter tersebut kurang penting bagi kegiatan yang akan dikembangkan. Skor lokasi penelitian didasari oleh tingkat kesesuaian masing-masing parameter di setiap lokasi penelitian. Skor yang diberikan berkisar antara 0-3. Skor tiga apabila parameter kesesuaian wisata yang diamati di lokasi penelitian tergolong dalam kategori sangat sesuai. Skor dua apabila parameter kesesuaian wisata yang diamati di lokasi penelitian tergolong kategori sesuai. Skor satu apabila parameter-parameter kesesuaian wisata yang diamati di lokasi penelitian tergolong dalam kategori sesuai bersyarat dan skor nol apabila parameter kesesuaian wisata yang diamati di lokasi penelitian tergolong dalam kategori tidak sesuai. Skor maksimum adalah skor pada tingkat kesesuaian tertinggi.


(42)

Berdasarkan nilai indeks kesesuaian wisata tersebut maka masing-masing kegiatan wisata yang akan dikembangkan di kawasan wisata air Situ Cigayonggong dimasukkan kedalam empat kategori. Kategori sangat sesuai jika nilai IKW >83%, sesuai jika nilai IKW antara 50-<83% dan tidak sesuai jika nilai IKW<50%. Kegiatan wisata yang termasuk kedalam kategori sesuai dan sangat sesuai merupakan kegiatan yang dapat direkomendasikan kepada pengelola untuk dikembangkan di kawasan wisata air Situ Cigayonggong. Kesesuaian wisata danau mempertimbangkan masing-masing parameter yang berbeda-beda tergantung dengan kegiatan wisata yang akan dikembangkan ( Tabel 7).

Tabel 7. Parameter kesesuaian sumberdaya untuk wisata danau

No Parameter Bobot Kategori Skor

Berkemah

1 Lebar tepi danau 5

X >10 3

7< X≤10 2

5< X≤7 1

≤5 0

2 Hamparan dataran 1

Rumput/pasir 3

Tanah liat/semak belukar 2

Lumpur/batu datar 1

Batu cadas/tanah labil 0

3 Vegetasi yang hidup di tepi

danau 3

Campuran pohon 3

Campuran pohon dan belukar 2

Belukar tinggi 1

Belukar tinggi dan rawa 0

4 Pemandangan 1

Danau, Hutan, Pegunungan,

Sungai 3

2-3 dari 4 pemandangan 2

1 dari 4 pemandangan 1

Tidak ada objek yang indah 0

Sepeda air

1 Kedalaman perairan 5

X <3 3

3< X≤5 2

5-10 1

X>10 0

2 Kecepatan arus (m/det)

5 0< X≤0.15 3

0.15< X≤0.30 2

0.30-0.45 1

x>0.45 0

3 Bau 3

Tidak berbau 3

Sedikit berbau 2

Berbau 1


(43)

Tabel 7. (lanjutan)

No Parameter Bobot Kategori Skor

Sepeda air

4 Vegetasi yang hidup di tepi

danau 3

Lebih dari 4 pohon 3

3-4 pohon 2

1-2 pohon 1

Tidak ada pohon 0

5 Warna perairan 1

Jernih 3

Hijau 2

Hijau kecoklatan 1

Kehitaman 0

Memancing

1 Kelimpahan ikan 5

Sangat banyak 3

Banyak 2

Sedang 1

Sedikit 0

2 Jenis ikan 3

Lebih dari 4 3

3-4 2

1-2 1

Tidak ada 0

1≤ X<3 3

3 Kedalaman perairan 1 3< X≤5 2

x>5 1

X<1 0

Duduk santai

X≥8 3

1 Lebar tepi danau (m) 5 5< X<8 2

2-5 1

<2 0

Danau, Hutan,

Pegunungan,sungai 3

2 Pemandangan 5 2-3 dari 4 pemandangan 2

1 dari 4 pemandangan 1

Tidak ada objek yang indah 0

Lebih dari 4 pohon 3

3 Vegetasi yang hidup di tepi

danau 5 2-3 pohon 2

1 pohon 1

Tidah ada pohon 0

4 Hamparan dataran 3

Rumput/ pasir 3

Tanah liat/ semak belukar 2

Lumpur/ batu datar 1

Batu cadas/ tanah labil 0

5 Biota berbahaya 3

Tidak ada 3

1 jenis 2

1-2 1


(44)

Sumber : Modifikasi Yulianda (2010)

3.4.3 Analisis daya dukung

kegiatan-kegiatan yang dapat direkomendasikan untuk dikembangkan di Situ Cigayonggong, perlu dilakukan analisis daya dukung agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Metode yang digunakan untuk analisis daya dukung yaitu dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK), yang diperoleh melalui persamaan (Yulianda 2007) :

DDK= K x Lp/Lt x Wt/Wp Keterangan :

DDK : Daya dukung kawasan (orang/hari).

K : Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area (orang).

Lp : Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan (m2 atau m). Lt : Unit area untuk kategori tertentu (m2 atau m).

Wt : Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (jam/hari).

Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu (jam).

Daya dukung kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum wisatawan yang secara fisik dapat ditampung di setiap lokasi sesuai dengan peruntukannya dalam

Tabel 7. (lanjutan)

No Parameter Bobot Kategori Skor

Outbond

1 Lebar tepi danau (m) 5

X≥15 3

15<X<10 2

10-5 1

<5 0

2 Hamparan dataran 1

Rumput/pasir 3

Tanah liat/semak belukar 2

Lumpur/batu datar 1

Batu cadas/tanah labil 0

3 Vegetasi yang hidup di tepi

danau 3

Lebih dari 4 pohon 3

3-4 pohon 2

1-2 pohon 1

Tidak ada pohon 0

5 Biota berbahaya 1

Tidak ada 3

1 jenis 2

1-2 1


(45)

satu hari agar tidak menimbulkan kerusakan alam dan wisatawan dapat bergerak bebas serta tidak merasa terganggu oleh keberadaan wisatawan lain yang berada di lokasi tersebut.

Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area (K) adalah jumlah wisatawan maksimum yang dapat ditampung oleh suatu sarana atau lokasi wisata dalam waktu yang bersamaan. Kondisi sarana atau lokasi yang digunakan harus dalam kondisi yang baik (layak pakai), sehingga masih dapat menampung wisatawan sesuai dengan nilai K yang telah ditetapkan. Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan (Lp) adalah luas atau panjang suatu area yang telah disediakan oleh pengelola agar wisatawan dapat melakukan kegiatan wisata yang ditetapkan di area tersebut. Unit area untuk kategori tertentu (Lt) adalah luas atau panjang suatu area yang dibutuhkan wisatawan agar dapat bergerak bebas melakukan kegiatan wisata yang ditetapkan di area tersebut dan tidak merasa terganggu oleh keberadaan wisatawan lain. Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (Wt) merupakan lamanya waktu kawasan wisata air Situ Cigayonggong dibuka dalam satu hari yaitu sekitar 9 jam (pukul 08.00-17.00). Waktu yang dihabiskan oleh wisatawan untuk melakukan satu jenis kegiatan (Wp) yang berbeda-beda tergantung kepada jenis kegiatan wisatanya. Nilai unit area untuk kategori tertentu (Lt) dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu (Wp) diperoleh dari subjektifitas para pakar yang ahli dalam bidangnya. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luasan area (Lt) serta prediksi waktu yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan wisata, dipertimbangkan melalui perhitungan daya dukung kawasan (DDK) (Tabel 8 dan tabel 9).


(46)

Tabel 8. Potensi ekologis pengunjung (K) dan Luasan area kegiatan (Lt)

Jenis kegiatan

Pengunjung (orang)

Unit area

(Luas lahan) Keterangan

Sepeda air 2 15.000 m2 Dihitung luas situ yang dibutuhkan

untuk 2 orang

(1 sepeda air) untuk mengelilingi situ

sebesar 15.000 m2

Memancing 1 240 m² Setiap satu orang membutuhkan area

untuk memancing sebesar 240 m²

Duduk santai 2 16 m Setiap dua orang membutuhkan

ruang untuk duduk santai sepanjang 16 m

Outbound 10 700 m2 Dihitung luas lokasi yang dibutuhkan

untuk 10 orang (1 team) untuk

outbound adalah 700 m2

Berkemah 2 169 m2 Dihitung luas satu tenda (2 orang) 9

m2 dan jarak antar tenda 10 m

Sumber: Modifikasi Yulianda (2007).

Tabel 9. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata

No Kegiatan

Waktu yang dibutuhkan Wp

(jam)

Total waktu 1 hari Wt (jam)

1 Berkemah 24 24

2 Bersepeda air 0,5 9

3 Memancing 4 9

4 Duduk santai 2 9

5 Outbound 4 9

Sumber : Yulianda (2010).

3.4.4. Analisis peluang wisata (ROS)

Recreation Opportunity Spectrum merangkum keragaman dari recreation setting (kondisi rekreasi) berdasarkan pengalaman tertentu. Recreation setting attribute (parameter kondisi kawasan rekreasi) terdiri dari parameter fisik atau lingkungan (physical attribute) digunakan untuk mengetahui potensi sumberdaya, sosial (social attribute) dan pengelolaan (managerial attribute). Gabungan dari parameter -parameter tersebut membentuk suatu rangkaian aktivitas yang mengarah pada suatu pengalaman (Tabel 10).


(47)

Tabel 10. Pemberian skor dan bobot

Parameter Kriteria Skor Keterangan

Potensi sumberdaya

(bobot 3)

Kelimpahan ikan dan tanaman air

sangat banyak 3 Baik

Kelimpahan ikan dan tanaman air

banyak 2 Cukup

Kelimpahan ikan dan tanaman air

sedikit 1 Kurang

Kualitas perairan (bobot 3)

Secara umum perairan sesuai

baku mutu 3 Baik

Perairan kurang sesuai baku mutu 2 Cukup

Perairan tidak sesuai baku mutu 1 Kurang

Klimatologi (bobot 3)

Curah hujan <1500 mm/tahun merupakan criteria beriklim

kering 3 Baik

Curah hujan 1500-2000 mm/tahun merupakan criteria beriklim lembab yang tergantung pada lamanya musim hujan

dengan 3-4 bulan kring 2 Cukup

Curah hujan 2500-3000 mm/tahun, merupakan riteria beriklim basah dengan 2-3 bulan

kering 1 Kurang

Pemandangan (bobot 3)

Indah dan nyaman 3 Baik

Cukup indah dan cukup nyaman 2 Cukup

Kurang indah dan kurang nyaman 1 Kurang

Ketersediaan sarana dan

prasarana (bobot 3)

Lengkap dan tidak ada yang rusak 3 Baik

Lengkap dan ada yang rusak 2 Cukup

Tidak lengkap dan ada yang rusak 1 Kurang

Transportasi (bobot 3)

Tersedia sarana transportasi dalam jumlah yang memadai, kawasan

mudah dijangkau 3 Baik

Sarana transportasi tersedia dalam jumlah yang kurang memadai,

kawasan mudah dijangkau 2 Cukup

Tersedia sarana transportasi dalam jumlah yang kurang memadai,

kawasan susah dijangkau 1 Kurang

Media informasi dan

komunikasi (bobot 3)

Jaringan telepon, televisi, radio,

koran, majalah, internet 3 Baik

Televisi, radio, koran, majalah 2 Cukup

Televisi, radio 1 Kurang

Kondisi wisata (bobot 3)

Baik sudah dikelola 3 Baik

Baik belum dikelola 2 Cukup

Kurang baik, tidak dikelola 1 Kurang

Pembuangan limbah cair

(bobot 3)

Dilakukan pengelolaan secara

sistematis, ada pembatasan 3 Baik


(48)

Tabel 10. (lanjutan)

Parameter Kriteria Skor Keterangan

Pembuangan limbah cair

Belum dikelola, dibuang begitu

saja ke perairan 1 Kurang

SLTA – Akademi 3 Baik

Tingkat

pendidikan SD – SLTP 2 Cukup

(bobot 3) SLTA-Akademi 3 Baik

SD-SLTP 2 Cukup

Tidak sekolah-SD 1 Kurang

Tenaga kerja (bobot 3)

Penduduk sekitar 3 Baik

Orang luar dan penduduk sekitar 2 Cukup

Orang luar dan penduduk sekitar 1 Kurang

Demografi (bobot 3)

Kependudukan rendah 3 Baik

Kependudukan sedang 2 Cukup

Kependudukan tinggi 1 Kurang

Persepsi terhadap kawasan (bobot 3)

Indah dan nyaman 3 Baik

Cukup indah dan cukup nyaman 2 Cukup

Tidah indah dan tidak nyaman 1 Kurang

Isu (bobot 3)

Tidak terdapat permasalahan 3 Baik

Permasalahan tidak

mempengaruhi kawasan 2 Cukup

Permasalahan mempengaruhi

kawasan 1 Kurang

Sumber : Modifikasi Cemporaningsih (2007), Yulianda (2007) dan Masrul (2002) in

Rahmawati (2009).

Pengelompokan parameter kondisi kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute) terdiri dari parameter fisik atau lingkungan, sosial dan pengelolaan sesuai dengan kegiatan yang ditemukan di kawasan wisata Situ Cigayonggong, kemudian mendeskripsikan kegiatan sesuai dengan parameternya. Berikut matrik parameter kawasan rekreasi (Tabel 11).

Kombinasi paremeter-parameter tersebut membentuk aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu pengalaman, kemudian dilakukan perhitungan terhadap parameter kondisi kawasan rekreasi dengan menggunakan metode penskoring. Metode ini diperoleh dari masing-masing parameter kawasan rekreasi tersebut, kemudian diberi penilaian bobot berdasarkan pada tingkat kepentingan dalam penentuan kawasan ekowisata baik parameter fisik, sosial dan pengelolaannya.


(49)

Tabel 11. Matriks parameter kawasan rekreasi (Recreation Setting Atrribute)

No

Recreation Setting Attribute

Physical Attribute

Deskripsi Managerial Attribute

Deskripsi Social Attribute

Deskripsi

1 Sumber daya

alam

Sarana prasarana

Pendidikan

2 Pemandangan Transportasi Tenaga kerja

(asal)

3 Kualitas

perairan

Kebijakan pengelolaan

Persepsi terhadap kawasan

4 Klimatologi Kondisi wisata Isu

Pembuangan limbah .


(50)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Fisik dan Lingkungan Situ Cigayonggong

Situ Cigayonggong memiliki potensi sumberdaya yang mendukung untuk dijadikan sebagai kawasan wisata karena memiliki jenis ikan yang beragam dan jumlah ikan yang cukup banyak serta udara yang sejuk karena Situ Cigayonggong berada pada ketinggian 400 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata harian sebesar 18o-23o C. Situ Cigayonggong memiliki kedalaman maksimum ± 2 m dan luas perairan Situ Cigayonggong ± 3 ha (hasil pengamatan dan wawancara dengan pengelola Situ Cigayonggong).

. Di sekitar situ banyak terdapat vegetasi darat dan semak belukar, untuk menambah daya tarik dan keindahan situ tersebut sebaiknya semak belukar yang terdapat di sekitar situ dirapikan. Selain itu, Situ Cigayonggonggong yang terletak di Desa Kasomalang Wetan memiliki jumlah curah hujan yang relatif rendah yaitu jumlah curah hujan pada tahun 2009 sebesar 170.56 mm (Dinas Pengairan Subang 2009). Curah hujan merupakan salah satu penyebab yang berpengaruh terhadap intentensitas pengunjung ke kawasan wisata, karena semakin tinggi jumlah curah hujan maka jumlah wisatan yang datang ke kawasan wisata semakin berkurang begitu pun sebaliknya. Selain itu, curah hujan tidak memberikan pengaruh terhadap frekuensi luasan situ, akan tetapi berpengaruh terhadap volume air situ. Jumlah curah hujan Kasomalang Wetan setiap bulannya mengalami fluktuasi (Gambar 4). Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 58.33 mm dan pada bulan juli-september memiliki curah hujan terendah, diduga bahwa pada bulan tersebut merupakan musim kemarau, namun hingga saat ini Situ Cigayonggong tidak mengalami kekeringan karena perairannya bersumber dari mata air yang berasal dari Gunung Tangkuban Perahu.


(51)

Gambar 4. Grafik jumlah curah hujan Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang setiap bulan pada tahun 2009.

4.2. Kondisi Fisika-Kimia-Biologi Situ 4.2.1. Kualitas air

Kondisi biofisik perairan yang diamati mencangkup kualitas perairan (fisika,kimia dan biologi). Hal tersebut dilakukan untuk menentukan kondisi perairan untuk kelayakan habitat bagi perikanan dan pariwisata. Parameter fisika yang diamati adalah suhu, kecerahan, warna dan bau.Parameter kimia yang diamati adalah pH, DO dan BOD sedangkan parameter biologi yang diamati adalah ikan dan tanaman air. Parameter-parameter tersebut berpengaruh atau dipengaruhi oleh aktivitas wisata yang terdapat di Situ Cigayonggong seperti sepeda air dan memancing.

Pengambilan sampel di perairan Situ Cigayonggong dilakukan di lima stasiun didasarkan pada karakteristik yang dimiliki perairan. Stasiun 1 yaitu inlet, stasiun 2 yaitu perairan dekat pemukiman penduduk dan banyak terdapat tanaman air, stasiun 3 yaitu perairan dekat dengan tempat wisata dan banyak terdapat tanaman air, stasiun 4 yaitu perairan dekat dengan pertanian dan perkebunan dan stasiun 5 yaitu outlet dan perairan dekat pemukiman.


(1)

Lampiran 13. Curah hujan Desa Kasomalang Wetan, Subang Bulan Curah hujan 2009

Januari 13.06

Februari 20.14

Maret 14.06

April 58.33

Mei 14.8

Juni 8.4

Juli 0.16

Agustus 0.5

September 0.63

Oktober 7.96

November 17.16

Desember 15.36

0 10 20 30 40 50 60 70 Ju mla h hu ja n (mm ) Bulan


(2)

Lampiran 14. Prosedur kerja pengamatan parameter kualitas air

a. Pengukuran DO

1. Pindahkan air sampel ke dalam botol BOD sampai meluap, tutup kembali dan jangan sampai terbentuk gelembung

2. Tambahkan 0,5 ml Sulfamic Acid dengan pipet ke dalam air sampel, tutup botol BOD tersebut lalu aduk dengan cara membolak-balikan botol

3. Tambahkan 1 ml MnSO4 dan 1 ml NaOH+KI ke dalam air sampel, kemudian tutup dan aduk botol dengan cara yang sama. Biarkan beberapa saat hingga endapan coklat terbentuk di dasar botol BOD secara sempurna.

4. Lalu tambahkan 1 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati, aduk dengan cara yang sama hingga semua endapan terlarut.

5. Ambil 25 ml air dari botol BOD dengan pipet mohr atau gelas ukur, masukkan ke dalam erlenmeyer dan usahakan jangan terjadi aerasi.

6. Titrasi dengan Na2S2O3 hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua kekuning muda, kemudian tambahkan indikator amylum 2-3 tetes hingga terbentuk warna biru dan lanjutkan titrasi hingga warna biru hilang.

DO =

ml titran x normalitas x 8 x 1000 ml sampel x ml botol BOD −ml reagen terpakai

ml botol BOD

b. Pengukuran BOD

1. Ambil air sampel sebanyak 1-2 liter dari kedalaman yang dikehendaki. Apabila kandungan organik diduga tinggi (warna air agak keruh) lanjutkan ke prosedur 2, bila kandungan bahan organik rendah (warna air agak jernih) lanjutkan ke prosedur 3.

2. Encerkan air sampel 2-100 kali, tergantung tingkat kepekatan sampel, dengan menggunakan akuades bebas biota.

3. Tingkatkan kadar oksigen sampel dengan menggunakan aerator selama kurang lebih lima menit.


(3)

4. Pindahkan air sampel tersebut ke dalam botol BOD gelap dan terang sampai penuh. Air dalam botol BOD terang segera dianalisa kadar oksigen terlarutnya. Botol BOD gelap yang telah diinkubasi pada suhu 200C selama lima hari.

BOD = (DO1-DO5) x faktor pengenceran

C. Kecerahan

1. Turunkan secchi disk dengan tali berskala ke dalam air sampai tidak tampak lagi dan catat kedalamannya.

2. Turunkan secchi disk sedikit lagi, kemudian perlahan-lahan tarik ke atas. Jika sudah mulai terlihat untuk pertamakalinya, catat kedalamannya.

3. Kemudian hitunglah rata-rata dari nilai kedalaman tersebut yang merupakan nilai dari kecerahan, dinyatakan dalam cm.


(4)

Lampiran 15. Jenis-jenis tanaman air yang ditemui di Situ Cigayonggong

Eceng gondok

Selada air

Cypyrus papyrus

Iris kuning


(5)

Lampiran 16. Lampiran contoh jenis-jenis ikan di Situ Cigayonggong

Ikan lele

Ikan belut

Ikan mujair

Ikan benteur


(6)

Lampiran 17. Aksebilitas menuju Situ Cigayonggong dan Peta desain tanaman air s

Peta desain tanaman air Aksebilitas ke Situ Cigayonggong