B. Pengadilan Yang Berwenang Dalam Mengadili Tuntutan PekerjaBuruh
Atas Upah Atau Uang Pesangon
Dengan adanya beberapa pengadilan khusus tersebut maupun sehubungan dengan sistem pemisahan lingkungan peradilan, besar sekali kemungkinan terjadi
sengketa kewenangan mengadili dan sering terjadi kekaburan dalam menentukan titik singgung serta batas yang jelas dan terang mengenai yurisdiksi absolut
268
serta merupakan problematik tersendiri yang perlu terlebih dahulu dipecahkan sebelum
hakim memeriksa perkara.
269
Bahkan hukum acara perdata Indonesia HIRRBg menetapkan bahwa, dalam hal-hal terjadi perselisihan mengenai kewenangan
mengadili atas suatu sengketa yang karena sesuatu sebab menjadi tidak termasuk kewenangan Pengadilan Negeri, maka pengadilan harus tunduk kepada ketentuan
Pasal 134 HIR160 RBg.
270
Oleh karena itu hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili. Ini berarti bahwa hakim karena jabatannya ex officio
harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa sengketa yang diajukan, meskipun tanpa ada eksepsi tangkisan dari pihak Tergugat.
Mengenai permasalahan sengketa kewenangan mengadili, pada peradilan tingkat pertama diatur dalam Pasal 134 HIR160 RBg HIRRBg, sedangkan dalam
tingkat kasasi, sengketa kewenangan mengadili oleh Mahkamah Agung diatur dalam
268
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Op.Cit, hal 182 dan 209.
269
Zakir. A., “Keputusan TUN Sebagai Objek Gugatan”, Himpunan Materi Rapat Kerja Tahunan 1997, Mahkamah Agung, 1998, hal. 145 dalam M. Yahya Harahap, Ibid, hal 182.
270
Pasal 134 HIR160 RBg menyatakan : “Tetapi dalam hal sengketa yang bersangkutan mengenai persoalan yang tidak menjadi wewenang mutlak Pengadilan Negeri, maka dalam taraf
pemeriksaan mana pun kepada hakim dapat diadakan tuntutan untuk menyatakan dirinya tidak berwenang, bahkan hakim berkewajiban menyatakan hal itu karena jabatannya”.
Pasal 33 ayat 1 juncto berhubungan dengan Pasal 56 UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
271
Bentuk sengketa kewenangan mengadili menurut Pasal 33 ayat 1 tersebut adalah : a.
Sengketa Kewenangan Absolut : 1.
sengketa mengadili antara satu lingkungan peradilan dengan lingkungan peradilan lain. Misalnya sengketa mengadili antara lingkungan peradilan
umum dengan peradilan agama, peradilan militer, atau peradilan tata usaha negara TUN ;
2. sengketa kewenangan mengadili pengadilan tingkat banding antara
lingkungan peradilan yang berlainan. b.
Sengketa Kewenangan Relatif : 1.
sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tingkat pertama yang terdapat dalam satu lingkungan peradilan yang sama antara Pengadilan
Negeri dengan Pengadilan Negeri atau antara pengadilan agama dengan pengadilan agama ;
2. sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tingkat banding yang
terdapat dalam lingkungan peradilan yang sama. Sedangkan menurut Pasal 56 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2004, sengketa
tentang kewenangan mengadili terjadi karena :
271
Undang-Undang Tentang Mahkamah Agung ini kemudian diubah lagi dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan
UU Nomor 5 Tahun 2004.
a. jika 2 dua pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang
sama; b.
jika 2 dua pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
Tetapi baik Pasal 33 ayat 1 maupun Pasal 56 UU Nomor 5 Tahun 2004 tersebut tidak secara tegaseksplisit mengatur mengenai sengketa kewenangan
mengadili antara lingkungan peradilan umum Pengadilan Negeri dengan pengadilan khusus atau antara pengadilan khusus dengan pengadilan khusus lainnya, misalnya
antara Pengadilan Niaga dengan Pengadilan Hubungan Industrial. Mengenai lembaga mana yang berwenang untuk mengadili perkara tuntutan
pekerjaburuh terhadap pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan tempatnya bekerja, ada beberapa pendapat yaitu :
1. M. Hadi Subhan membedakannya sebagai berikut :
272
A. Tuntutan pekerjaburuh dalam perusahaan yang sedang pailit