Pengertian Berhenti Membayar Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pen

3. Pengertian Berhenti Membayar

Pada masa berlakunya Faillissementsverordening, baik berdasarkan pendapat para ahli di bidang hukum kepailitan maupun yurisprensi tidak terdapat kesatuan pendapat berkaitan dengan pengertian keadaan berhenti membayar utang. Secara etimologi, istilah “toestand” sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Faillissementsverordening berarti keadaan penghentian kewajiban membayar, yang pada umumnya baru ada, jika orang membiarkan debitor tidak membayar lebih dari satu utang. 140 Dengan perkataan lain, debitor dalam keadaan berhenti membayar kewajibannya ketika ia tidak membayar terhadap lebih dari satu orang kreditor. Kapan seorang debitor berada dalam keadaan berhenti membayar utang- utangnya dapat dilihat dari beberapa pendapat berikut ini. Keadaan berhenti membayar dapat terjadi, ketika kredit-kredit yang lain mendesak pembayarannya atau memiliki eksekusi di luar Undang-Undang Kepailitan. 141 Keadaan berhenti membayar adalah keadaan dimana aktiva boedel pailit terbukti cukup untuk membayar semua utang debitor, namun tidak menghalangi bahwa debitor dalam keadaan berhenti membayar. 142 Debitor dalam keadaan berhenti membayar adalah ketika ia menolak melakukan pembayaran ; syarat lainnya harus ada lebih dahulu dari satu kreditor, dan 140 N.E. Algra, Op.Cit, hal. 571. 141 Putusan H.R. 17 Desember 1920, N.J. 1921 276, dan H.R. 24 Juli 1936, N.J. 1937, 38, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 40, dan Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, 1981, hal. 9. 142 Putusan H.R. 15 Mei 1925, N.J. 1925, 995, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Loc.Cit, dan Siti Soemarti Hartono, Loc.Cit. utang yang tidak dibayar harus ditafsirkan dalam arti yang luas, yaitu debitor tidak berprestasi. 143 Keadaan berhenti membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup membayar utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan debitor tidak membayar utang-utangnya itu. 144 Pengertian berhenti membayar adalah apabila seorang debitor tidak membayar bukan karena keadaan memaksa atau kejadian tiba-tiba yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada debitor overmacht, namun berdasarkan keberatan- keberatan yang oleh hakim dapat dianggap beralasan, sehingga hakim dapat menganggap keadaan berhenti membayar tersebut ada. 145 Ada pula pendapat yang menyatakan keadaan berhenti membayar terjadi apabila pengeluaran debitor lebih besar dari penghasilannya. 146 Dengan perkataan lain, kemampuan finansial debitor lebih kecil dari pengeluaran yang dilakukannya. Jika debitor baru sekali tidak melakukan pembayaran, maka hal ini belumlah merupakan keadaan berhenti membayar. 147 Artinya, debitor berhenti membayar utang tidak hanya terhadap satu orang kreditornya, namun juga terhadap kreditor yang lain. 143 Putusan H.R. 26 Januari 1940, N.J. 1940, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Loc.Cit, dan Siti Soemarti Hartono, Loc.Cit. 144 Putusan H.R. 22 Maret 1946, N.J. 1946, 233, dan putusan H.R. 6 Desember 1946, N.J. 1946, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Op.Cit, hal. 41, dan Siti Soemarti Hartono, Op.Cit, hal. 8. 145 Putusan H.R. 6 Desember 1951, N.J. 1953 7, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Loc.Cit, dan Siti Soemarti Hartono, Loc.Cit. 146 Putusan H.R. 7 Februari 1958, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Loc.Cit, dan R. Soerjatin, Op.Cit, hal. 265. 147 Putusan H.R. 10 April 1959, N.J. 1959, 232, dalam M.H. Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Jakarta: Djambatan, 1970, hal. 228, dan Siti Soemarti Hartono, Op.Cit, hal. 9. Ada pula pendapat yang menyatakan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan bahwa debitor tidak mempunyai uang, cukup apabila ia tidak membayar utang-utangnya. 148 Itulah pengertian debitor dalam keadaan berhenti membayar. Beberapa pendapat di atas mengindikasikan bahwa ketentuan “keadaan berhenti membayar” dalam Faillissement Verordening menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Pada satu sisi terdapat pendapat yang menyatakan tidak ada perlakuan yang berbeda terhadap debitor yang assetnya lebih besar daripada utangnya dengan debitor yang assetnya lebih kecil daripada utangnya, namun di sisi lain terhadap ketentuan yang sama ada pula yang berpendapat sebaliknya. Ada pendapat hakim yang menyatakan keadaan berhenti membayar tidak mensyaratkan debitor tidak mempunyai uang, cukup apabila ia tidak membayar utang-utangnya. 149 Untuk pengertian yang sama terdapat pula pendapat yang berseberangan, yaitu debitor dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya karena ia tidak mempunyai uang lagi. 150 Meskipun demikian, untuk hal-hal tertentu terdapat pandangan yang sama. Misalnya terdapat pedoman yang pada umumnya disetujui berkaitan dengan pernyataan pailit terhadap debitor yang dinyatakan tidak mampu membayar utang- utangnya, dan tidak ditujukan kepada debitor yang mampu membayar utangnya. 151 148 R. Susanto, Hukum Dagang dan Koperasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982, hal. 124 149 Loc.Cit. 150 Putusan No. 01PdtP1998PN.JUPailit antara PT. Wili Sapta Utama dkk lawan Lo Shin Jeong, dalam Siti Anisah, Op.Cit, hal. 76 151 Sunaryati Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta: Liberty, 1981, hal. 8. Kata “keadaan berhenti membayar” dalam Faillissement Verordening berubah menjadi “…tidak membayar…” dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 1998. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU kalimat itu dipertegas menjadi “…tidak membayar lunas…”. Debitor tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditornya tidak memerlukan klarifikasi, apakah ia benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utang-utangnya ataukah karena ia tidak mau membayar kendatipun ia memiliki kemampuan untuk itu. 152

4. Pengertian Utang Yang Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

3 84 83

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2

7 174 169

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Dalam Hukum Merek Di Indonesia

0 23 150

Kedudukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee) dengan Pembebanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby)

2 11 9

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Asing di Indonesia (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)

1 16 0