3. Pengertian Berhenti Membayar
Pada masa berlakunya Faillissementsverordening, baik berdasarkan pendapat para ahli di bidang hukum kepailitan maupun yurisprensi tidak terdapat kesatuan
pendapat berkaitan dengan pengertian keadaan berhenti membayar utang. Secara etimologi, istilah “toestand” sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat 1
Faillissementsverordening berarti keadaan penghentian kewajiban membayar, yang pada umumnya baru ada, jika orang membiarkan debitor tidak membayar lebih dari
satu utang.
140
Dengan perkataan lain, debitor dalam keadaan berhenti membayar kewajibannya ketika ia tidak membayar terhadap lebih dari satu orang kreditor.
Kapan seorang debitor berada dalam keadaan berhenti membayar utang- utangnya dapat dilihat dari beberapa pendapat berikut ini. Keadaan berhenti
membayar dapat terjadi, ketika kredit-kredit yang lain mendesak pembayarannya atau memiliki eksekusi di luar Undang-Undang Kepailitan.
141
Keadaan berhenti membayar adalah keadaan dimana aktiva boedel pailit terbukti cukup untuk
membayar semua utang debitor, namun tidak menghalangi bahwa debitor dalam keadaan berhenti membayar.
142
Debitor dalam keadaan berhenti membayar adalah ketika ia menolak melakukan pembayaran ; syarat lainnya harus ada lebih dahulu dari satu kreditor, dan
140
N.E. Algra, Op.Cit, hal. 571.
141
Putusan H.R. 17 Desember 1920, N.J. 1921 276, dan H.R. 24 Juli 1936, N.J. 1937, 38, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta, 1994, hal. 40, dan Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, 1981, hal. 9.
142
Putusan H.R. 15 Mei 1925, N.J. 1925, 995, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Loc.Cit, dan Siti Soemarti Hartono, Loc.Cit.
utang yang tidak dibayar harus ditafsirkan dalam arti yang luas, yaitu debitor tidak berprestasi.
143
Keadaan berhenti membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup membayar utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan debitor
tidak membayar utang-utangnya itu.
144
Pengertian berhenti membayar adalah apabila seorang debitor tidak membayar bukan karena keadaan memaksa atau kejadian tiba-tiba yang tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada debitor overmacht, namun berdasarkan keberatan- keberatan yang oleh hakim dapat dianggap beralasan, sehingga hakim dapat
menganggap keadaan berhenti membayar tersebut ada.
145
Ada pula pendapat yang menyatakan keadaan berhenti membayar terjadi apabila pengeluaran debitor lebih besar dari penghasilannya.
146
Dengan perkataan lain, kemampuan finansial debitor lebih kecil dari pengeluaran yang dilakukannya.
Jika debitor baru sekali tidak melakukan pembayaran, maka hal ini belumlah merupakan keadaan berhenti membayar.
147
Artinya, debitor berhenti membayar utang tidak hanya terhadap satu orang kreditornya, namun juga terhadap kreditor yang lain.
143
Putusan H.R. 26 Januari 1940, N.J. 1940, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Loc.Cit, dan Siti Soemarti Hartono, Loc.Cit.
144
Putusan H.R. 22 Maret 1946, N.J. 1946, 233, dan putusan H.R. 6 Desember 1946, N.J. 1946, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Op.Cit, hal. 41, dan Siti Soemarti Hartono,
Op.Cit, hal. 8.
145
Putusan H.R. 6 Desember 1951, N.J. 1953 7, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Loc.Cit, dan Siti Soemarti Hartono, Loc.Cit.
146
Putusan H.R. 7 Februari 1958, dalam Victor M. Situmorang Hendri Soekarso, Loc.Cit, dan R. Soerjatin, Op.Cit, hal. 265.
147
Putusan H.R. 10 April 1959, N.J. 1959, 232, dalam M.H. Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Jakarta: Djambatan, 1970, hal. 228, dan Siti Soemarti Hartono, Op.Cit, hal. 9.
Ada pula pendapat yang menyatakan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan bahwa debitor tidak mempunyai uang, cukup apabila ia tidak membayar
utang-utangnya.
148
Itulah pengertian debitor dalam keadaan berhenti membayar. Beberapa pendapat di atas mengindikasikan bahwa ketentuan “keadaan
berhenti membayar” dalam Faillissement Verordening menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Pada satu sisi terdapat pendapat yang menyatakan tidak ada
perlakuan yang berbeda terhadap debitor yang assetnya lebih besar daripada utangnya dengan debitor yang assetnya lebih kecil daripada utangnya, namun di sisi lain
terhadap ketentuan yang sama ada pula yang berpendapat sebaliknya. Ada pendapat hakim yang menyatakan keadaan berhenti membayar tidak mensyaratkan debitor
tidak mempunyai uang, cukup apabila ia tidak membayar utang-utangnya.
149
Untuk pengertian yang sama terdapat pula pendapat yang berseberangan, yaitu debitor
dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya karena ia tidak mempunyai uang lagi.
150
Meskipun demikian, untuk hal-hal tertentu terdapat pandangan yang sama. Misalnya terdapat pedoman yang pada umumnya disetujui berkaitan dengan
pernyataan pailit terhadap debitor yang dinyatakan tidak mampu membayar utang- utangnya, dan tidak ditujukan kepada debitor yang mampu membayar utangnya.
151
148
R. Susanto, Hukum Dagang dan Koperasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982, hal. 124
149
Loc.Cit.
150
Putusan No. 01PdtP1998PN.JUPailit antara PT. Wili Sapta Utama dkk lawan Lo Shin Jeong, dalam Siti Anisah, Op.Cit, hal. 76
151
Sunaryati Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta: Liberty, 1981, hal. 8.
Kata “keadaan berhenti membayar” dalam Faillissement Verordening berubah menjadi “…tidak membayar…” dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 1998.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU kalimat itu dipertegas menjadi “…tidak membayar lunas…”. Debitor tidak membayar utang-utangnya kepada para
kreditornya tidak memerlukan klarifikasi, apakah ia benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utang-utangnya ataukah karena ia tidak mau membayar
kendatipun ia memiliki kemampuan untuk itu.
152
4. Pengertian Utang Yang Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih