Penyelesaian Perselisihan Melalui Bipartit

keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan Pasal 1 angka 5. Jenis-jenis perselisihan hubungan industrial tersebut menurut UU PPHI wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mufakat yaitu melalui perundingan bipartit. 218 Apabila usaha penyelesaian melalui bipartit gagal maka dilakukan usaha penyelesaian melalui tripartit yaitu dengan jalan mediasi, konsiliasi, maupun arbitrase. Jika usaha penyelesaian melalui tripartit juga menemui kegagalan, para pihak baru dapat meneruskan perselisihannya melalui jalur litigasi yaitu dengan cara menggugat pihak lain ke Pengadilan Hubungan Industrial. Dari jenis-jenis perselisihan hubungan industrial tersebut, tidak dibayarnya upah atau uang pesangon pekerjaburuh oleh perusahaan termasuk dalam kategori perselisihan hak, sehingga penyelesaiannya melalui proses non litigasi menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

1. Penyelesaian Perselisihan Melalui Bipartit

Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain. Begitu pula apabila terjadi perselisihan hak mengenai tidak dibayarnya upah atau uang pesangon pekerjaburuh oleh perusahaan sebaiknya penyelesaiannya juga dilakukan secara musyawarah mufakat, sehingga dapat memperoleh hasil yang menguntungkan kedua 218 Pasal 3 ayat 1 UU PPHI. belah pihak. Selain itu, musyawarah dapat menekan biaya serta menghemat waktu. Itulah sebabnya UU PPHI mengharuskan setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit. 219 Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. 220 Jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui perundingan bipartit adalah 30 tiga puluh hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan, dimana apabila salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. 221 Apabila dalam perundingan bipartit dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh pihak pekerjaburuh dengan pihak perusahaan, yang mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Serta didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama 222 dengan diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama. 223 219 Lalu Husni, Op.Cit, hal. 52-53. 220 Pasal 1 angka 10 UU PPHI. 221 Pasal 3 ayat 2 dan 3 UU PPHI. 222 Pasal 7 ayat 1 dan 2 ; Pasal 13 ayat 1 dan 2 e ; Pasal 23 ayat 1 dan 2 e UU PPHI. Perjanjian bersama yang tercapai dalam penyelesaian Bipartit wajib didaftarkan Pasal 7 ayat 3 UU PPHI. 223 Pasal 7 ayat 4; Pasal 13 ayat 3 a; Pasal 23 ayat 2 a UU PPHI. Jika Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 224

2. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

3 84 83

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2

7 174 169

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Dalam Hukum Merek Di Indonesia

0 23 150

Kedudukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee) dengan Pembebanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby)

2 11 9

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Asing di Indonesia (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)

1 16 0