BAB IV PENGADILAN YANG BERWENANG UNTUK MENGADILI TUNTUTAN
PEKERJABURUH TERHADAP UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN
A. Kepailitan dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Sebagai Aturan Khusus Lex Specialist
Dalam melakukan kajian terhadap kewenangan mengadili dari suatu badan peradilan, sudah barang tentu akan selalu bersangkut paut dengan kaidah-kaidah
hukum acara perdata. Ini disebabkan persoalan kompetensi pengadilan dalam hukum acara berada pada ruang lingkup pembagian kewenangan memeriksa perkara di
antara badan peradilan yang tidak sejenis. Maksudnya adalah kewenangan badan peradilan dalam memeriksa perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda.
252
Hukum acara yang dipakai baik oleh Pengadilan Hubungan Industrial PHI maupun Pengadilan Niaga adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus dalam undang- undang tersebut. Hukum acara perdata Indonesia HIRRBg menetapkan bahwa,
dalam hal-hal terjadi perselisihan mengenai kewenangan mengadili atas suatu
252
HugenholtzHeemskerk, Hoofdlijnen van Nederlands Burgerlijk Procesrecht, VUGA: ‘s- Gravenhage, 1998, hal. 17 dalam Eman Suparman, “Pergeseran Kompetensi Pengadilan Negeri dalam
Menyelesaikan Sengketa Komersial, Kajian Mengenai Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa Serta Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional”, Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, hal. 11, http:resources.unpad.ac.idunpad-content uploads publikasi_dosen 2A kompetensi-pn-bergeser.pdf, diakses tanggal 25 Juni 2009. Lihat juga Sudikno Mertokusumo,
Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit, hal. 59.
sengketa yang karena sesuatu sebab menjadi tidak termasuk kewenangan Pengadilan Negeri, maka pengadilan harus tunduk kepada ketentuan Pasal 134 HIR160 RBg.
253
Oleh karena itu hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili. Ini berarti bahwa hakim karena jabatannya ex officio harus menyatakan dirinya
tidak berwenang untuk memeriksa sengketa yang diajukan, walaupun tanpa adanya eksepsi tangkisan dari pihak lawan.
Secara teoritis, isi atau substansi dari hukum perburuhanketenagakerjaan di Indonesia diadobsi dari hukum perdata yang diatur oleh Buku III KUHPerdata
khususnya dalam Bab 7A Pasal 1601-1603, yang mengatur tentang pelaksanaan kerja dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara pekerjaburuh dan
pengusahamajikan. Dan dengan seiring perkembangan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Indonesia mulai
memperhatikan terhadap peraturan-peraturan khususnya mengenai hubungan kerja antara pengusahamajikan dengan pekerjaburuh sebaik mungkin yang kemudian
dituangkan di dalam Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan berdasarkan Pancasila dan kedua pasal tersebut, pemerintah menganggap
ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1601-1603 KUHPerdata tersebut banyak yang tidak sesuai jika diterapkan dalam Hubungan Industrial Pancasila, sehingga
dikeluarkanlah beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
253
Pasal 134 HIR160 RBg menyatakan : “Tetapi dalam hal sengketa yang bersangkutan mengenai persoalan yang tidak menjadi wewenang mutlak Pengadilan Negeri, maka dalam taraf
pemeriksaan mana pun kepada hakim dapat diadakan tuntutan untuk menyatakan dirinya tidak berwenang, bahkan hakim berkewajiban menyatakan hal itu karena jabatannya”.
pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Dengan dikeluarkannya
undang-undang tersebut, maka ketentuan Buku III KUHPerdata Bab 7A yang bertentangan dengan undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali
beberapa hal yang masih ada sangkut pautnya dengan perjanjian kerja, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata masih dipergunakan sebagai pedoman.
254
Dipergunakannya sebagai pedoman menurut Sri Subiandini Gultom adalah lebih fleksibel daripada
dinyatakan berlaku.
255
Apabila dilihat dari sistematikanya, Buku III KUHPerdata terdiri atas bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku
bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan
mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai oleh masyarakat dan yang sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian
perburuhan, maatschap, pemberian schenking dan sebagainya.
256
Dari sistematika tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum perburuhanketenagakerjaan merupakan suatu aturan hukum khusus lex specialis
dari aturan hukum umum mengenai perjanjian pada umumnya lex generalis dalam Buku III KUHPerdata. Sifat kekhususan dari pada hukum
254
Hartono Widodo dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hal. 9-13. Undang-undang tersebut antara lain UU Nomor 1 Tahun
1951 tentang Undang-Undang Kerja, UU Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan, UU Nomor 14 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Kerja dll.
255
Sri Subiandini Gultom, Op.Cit, hal. 3.
256
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1992, hal. 127.
perburuhanketenagakerjaan ini dapat juga dilihat dalam pembuatan perjanjian kerja, dimana isi dari perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak tidak boleh menyimpang
dari ketentuan peraturan undang-undang ketenagakerjaan karena hukum tenaga kerja bersifat memaksa dan tidak boleh dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat
perjanjian kerja.
257
Hal ini merupakan penyimpangan daripada ketentuan mengenai perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata pada umumnya yang menganut
asas kebebasan berkontrak beginsel der contractsvrijheid dan merupakan hukum pelengkap aanvullend recht, bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.
258
Oleh karena hukum perburuhanketenagakerjaan merupakan suatu aturan hukum khusus lex specialis dari aturan hukum umum mengenai perjanjian pada
umumnya lex generalis dalam Buku III KUHPerdata, maka setiap permasalahan atau perselisihan yang terjadi dalam hubungan industrial di Indonesia untuk
penyelesaiannya pun juga diatur dalam suatu aturan hukum yang khusus pula. Seperti dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial PPHI.
257
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 70. Disebutkan bahwa para pihak dalam perjanjian kerja tidak dapat membuat perjanjian kerja yang
menyimpang dari ketentuan peraturan undang-undang ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan bersifat memaksa yaitu tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat perjanjian kerja.
Perjanjian kerja adalah merupakan bagian hukum ketenagakerjaan, bukan bagian dari hukum perjanjian. Hukum perjanjian yang mengatur ketentuan umum, sepanjang tidak diatur oleh hukum
ketenagakerjaan berlaku dalam perjanjian kerja, tetapi bila undang-undang ketenagakerjaan telah mengaturnya maka ketentuan tersebut bersifat memaksa, artinya tidak dapat dikesampingkan.
258
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 127-128
Sebelum dikeluarkannya UU PPHI, penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengenai perselisihan hak, menurut ketentuan UU nomor 22 Tahun 1957
ada dua badan atau instansi yang berwenang menyelesaikannya, yaitu :
259
1. melalui Pengadilan Negeri, dalam hal ini dapat diajukan oleh pengusahamajikan,
pekerjaburuh maupun Serikat PekerjaBuruh dengan sanksi Perdata, dan 2.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4, hal ini dapat diajukan oleh pengusahamajikan atau perkumpulan pengusaha maupun Serikat PekerjaBuruh
dengan sanksi Perdata danatau Pidana berupa kurungan selama 3 Itiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,- Pasal 26 UU Nomor 22 Tahun
1957.
Sedangkan perselisihan kepentingan hanya dapat diajukan kepada Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 dan tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri, karena tidak ada dasar hukumnya.
260
Kewenangan absolut Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 secara spesifik disebutkan dalam Pasal 1 huruf c UU Nomor 22 Tahun 1957, yaitu :
1. perselisihan perburuhan berupa pertentangan antara majikan atau perkumpulan
majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh, 2.
pertentangan itu berkenaan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, danatau keadaan perburuhan.
Dari ketentuan pasal tersebut, maka Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 hanya berwenang menyelesaikan perselisihan antara majikan dan
organisasi pekerja, sedangkan untuk pekerja secara perseorangan atau sekumpulan
259
Hartono Widodo dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hal. 27.
260
Loc.Cit.
tenaga kerja maka penyelesaiannya hanya bisa sampai tingkat perantarapegawai perantara, dan tidak dapat dilanjutkan kesidang P4DP4P.
261
Selain itu menurut Pasal 10 dan Pasal 16 UU Nomor 22 Tahun 1957, Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk menyatakan putusan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan P4 dapat dijalankan dan melaksanakan putusan tersebut menurut aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan sesuatu putusan perdata. Jadi
peranan Pengadilan Negeri disini adalah hanya membantu para pihak yang memohon untuk melaksanakan suatu putusan fiat eksekusi yang tidak mau dijalankan secara
sukarela oleh pihak yang dihukum oleh putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4.
Setelah dikeluarkannya UU Nomor 2 Tahun 2004, maka seluruh perselisihan mengenai hubungan industrial hanya ada satu lembaga peradilan yang dapat
menyelesaikan atau mengadilinya yaitu Pengadilan Hubungan Industrial PHI dan tidak dapat diajukan kepada pengadilan perdata pada Pengadilan Negeri pada
umumnya. Pengadilan Hubungan Industrial PHI merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri, sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 1 angka 17 UU PPHI. Dan pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial PHI merupakan kelanjutan dari amanat Pasal 136 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
261
Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, editor Andi Hamzah, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 95. Lihat juga penjelasan atas UU Nomor 2 Tahun 2004
alenia ke 5 dan 6.
Dengan adanya pengadilan ini PHI, maka perselisihan hubungan industrial yang terjadi antara pengusaha perorangan atau yang tergabung dalam gabungan
pengusaha dengan pekerjaburuh perseorangan atau yang tergabung dalam serikat pekerjaburuh yang tidak dapat diselesaikan oleh bipartit, mediasi, konsiliasi, maupun
arbitrase, maka penyelesaiannya dapat dilanjutkan melalui Pengadilan Hubungan Industrial PHI. Adapun tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial PHI
adalah memeriksa dan memutus Pasal 56 UU PPHI : a.
ditingkat pertama mengenai perselisihan hak ; b.
ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan ; c.
ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja ; d.
ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja serikat buruh dalam satu perusahaan.
Setelah dikeluarkannya UU PPHI, maka UU Nomor 22 Tahun 1957 dan UU Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
dinyatakan tidak berlaku lagi. Begitu juga dalam hukum kepailitan, dimana kepailitan sebagai sita umum
merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan vermogenrechts. Prinsip
paritas creditorium dianut oleh Buku II KUHPerdata dalam Bab 19 Pasal 1131, yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Sedangkan prinsip pari
passu prorate parte dianut dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangannya, yaitu, menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Dengan demikian, maka kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang ada dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.
262
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum kepailitian juga merupakan aturan hukum khusus lex
specialis dari Buku II Bab 19 Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata tentang piutang- piutang yang diistimewakan. Oleh karenanya pengadilan yang mengadili mengenai
perkara kepailitan juga merupakan pengadilan khusus yaitu Pengadilan Niaga, yang mempunyai kewenangan kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus semua
permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU serta perkara lain di bidang perniagaan seperti masalah Hak Atas Kekayaan
Intelektual HAKI.
263
Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya dua pengadilan khusus pernah berdiri
sebelum masuknya era reformasi, yaitu Pengadilan Ekonomi UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 dan Pengadilan Anak UU Nomor 3 Tahun 1997. Setelah masuknya era
reformasi yang diawali dengan krisis moneter, pengadilan khusus mulai banyak
262
Hadi Subhan, Op.Cit, hal. 3-5.
263
Lihat Pasal 117 ayat 10 UU Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Pasal 38 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri, Pasal 30 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
didirikan. Pengadilan khusus yang pertama diera ini adalah Pengadilan Niaga, yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan dengan UU
Nomor 4 Tahun 1998 dan diubah lagi dengan UU Nomor 37 Tahun 2004 , Pengadilan Pajak UU Nomor 14 Tahun 2000, Pengadilan HAM UU Nomor 26
Tahun 2000, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi UU Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU Nomor 2 Tahun
2004 dan yang terakhir yaitu Pengadilan Perikanan UU Nomor 31 Tahun 2004. Apabila dilihat dari pengaturan beberapa undang-undang yang mengatur
mengenai peradilan khusus yang ada dan pernah ada tersebut, dasar pengkhususannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
264
1. Pengadilan yang kekhususannya karena hukum materiil yang menjadi ruang
lingkupnya Pengadilan yang masuk dalam kategori ini yaitu Pengadilan Ekonomi,
Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Pajak, dan Pengadilan Perikanan. Pada keenam pengadilan ini, kompetensi absolutnya berkaitan dengan
objek hukum, maksudnya setiap perkara yang termasuk dalam objek hukum tertentu menjadi wewenang pengadilan ini. Pada Pengadilan Ekonomi setiap
perkara tindak pidana ekonomi menjadi wewenang Pengadilan Ekonomi, pada Pengadilan Niaga setiap perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang PKPU serta HAKI merupakan wilayah Pengadilan Niaga.
264
Asril, “Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia”, Buletin Dictum, edisi 4, tahun 2005, hal. 82.
Pada Pengadilan Pajak, sengketa pajak yang menjadi ruang lingkupnya. Pada Pengadilan HAM memeriksa pelanggaran HAM berat, Pengadilan Hubungan
Industrial PHI memeriksa perselisihan hubungan industrial, dan pada Pengadilan Perikanan yaitu tindak pidana perikanan yang diatur dalam UU
Perikanan. Tidak ada perkara yang termasuk dalam lingkup hukum tersebut dapat diselesaikan di luar pengadilan-pengadilan khusus tersebut.
2. Pengadilan yang kekhususannya karena subjek yang terlibat
Pada kategori ini, yang menjadi dasar kekhususan adalah subjek yang terlibat. Pada Pengadilan Anak, subjek yang menjadi sumber kekhususan adalah
tersangkaterdakwanya dalam hal ini anak yang berusia antara 8-18 tahun. Pada Pengadilan Korupsi hanya perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi saja yang dapat diperiksa dalam pengadilan ini. Sedangkan perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh pihak kejaksaan
tetap diperiksa pada Pengadilan Negeri. Berdasarkan pengkhususan- pengkhususan tersebut terlihat bahwa Pengadilan Korupsi merupakan pengadilan
khusus yang paling berbeda dari yang lainnya. Berdasarkan bidang hukumnya, pengadilan khusus terdiri dari :
265
1. Pengadilan khusus yang merupakan pengadilan pidana, yaitu Pengadilan
Ekonomi, Pengadilan Anak, Pengadilan HAM, Pengadilan Korupsi, dan Pengadilan Perikanan ;
2. Pengadilan khusus yang merupakan pengadilan perdata, yaitu Pengadilan Niaga
dan pengadilan hubungan industrial PHI ; dan
265
Ibid, hal. 83.
3. Pengadilan khusus yang merupakan Pengadilan Tata Usaha Negara TUN yaitu
Pengadilan Pajak. Dari hukum acara yang dipakai dalam pengadilan khusus tersebut, diatur juga
beberapa hukum acara yang berbeda yang menyimpangi aturan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Pada Pengadilan HAM, Pengadilan Anak, dan Pengadilan
Perikanan aturan hukum acara pidana KUHAP yang disimpangi seperti mengenai jangka waktu penahanan yang melebihi aturan KUHAP dalam Pengadilan HAM
atau sebaliknya justru dipersingkat dalam Pengadilan Anak dan Pengadilan Perikanan.
266
Begitu pula pada Pengadilan Korupsi dimana misalnya dalam melakukan penyitaan tidak memerlukan izin dari ketua pengadilan. Sedangkan pada
Pengadilan Niaga, PHI, dan Pengadilan Pajak, penyimpangan terhadap hukum acara perdata juga banyak dilakukan. Pada Pengadilan Niaga dan PHI tingkatan pengadilan
dipangkas menjadi dua tingkat saja yaitu pada tingkat pertama dan kasasi saja, sementara untuk banding tidak ada. Pada Pengadilan Pajak, pemangkasan tersebut
lebih drastis lagi, putusan Pengadilan Pajak pada tingkat pertama merupakan putusan yang bersifat final yang tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi
lagi, kecuali dalam hal tertentu peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung. Tujuan dari pemangkasan tingkatan pengadilan tersebut adalah untuk membuat proses
penyelesaian sengketa dispute menjadi lebih cepat.
267
266
Loc.Cit.
267
Ibid, hal. 84
B. Pengadilan Yang Berwenang Dalam Mengadili Tuntutan PekerjaBuruh