Kepailitan dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

BAB IV PENGADILAN YANG BERWENANG UNTUK MENGADILI TUNTUTAN

PEKERJABURUH TERHADAP UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN

A. Kepailitan dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Sebagai Aturan Khusus Lex Specialist Dalam melakukan kajian terhadap kewenangan mengadili dari suatu badan peradilan, sudah barang tentu akan selalu bersangkut paut dengan kaidah-kaidah hukum acara perdata. Ini disebabkan persoalan kompetensi pengadilan dalam hukum acara berada pada ruang lingkup pembagian kewenangan memeriksa perkara di antara badan peradilan yang tidak sejenis. Maksudnya adalah kewenangan badan peradilan dalam memeriksa perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda. 252 Hukum acara yang dipakai baik oleh Pengadilan Hubungan Industrial PHI maupun Pengadilan Niaga adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus dalam undang- undang tersebut. Hukum acara perdata Indonesia HIRRBg menetapkan bahwa, dalam hal-hal terjadi perselisihan mengenai kewenangan mengadili atas suatu 252 HugenholtzHeemskerk, Hoofdlijnen van Nederlands Burgerlijk Procesrecht, VUGA: ‘s- Gravenhage, 1998, hal. 17 dalam Eman Suparman, “Pergeseran Kompetensi Pengadilan Negeri dalam Menyelesaikan Sengketa Komersial, Kajian Mengenai Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa Serta Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional”, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, hal. 11, http:resources.unpad.ac.idunpad-content uploads publikasi_dosen 2A kompetensi-pn-bergeser.pdf, diakses tanggal 25 Juni 2009. Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit, hal. 59. sengketa yang karena sesuatu sebab menjadi tidak termasuk kewenangan Pengadilan Negeri, maka pengadilan harus tunduk kepada ketentuan Pasal 134 HIR160 RBg. 253 Oleh karena itu hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili. Ini berarti bahwa hakim karena jabatannya ex officio harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa sengketa yang diajukan, walaupun tanpa adanya eksepsi tangkisan dari pihak lawan. Secara teoritis, isi atau substansi dari hukum perburuhanketenagakerjaan di Indonesia diadobsi dari hukum perdata yang diatur oleh Buku III KUHPerdata khususnya dalam Bab 7A Pasal 1601-1603, yang mengatur tentang pelaksanaan kerja dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara pekerjaburuh dan pengusahamajikan. Dan dengan seiring perkembangan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan terhadap peraturan-peraturan khususnya mengenai hubungan kerja antara pengusahamajikan dengan pekerjaburuh sebaik mungkin yang kemudian dituangkan di dalam Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan berdasarkan Pancasila dan kedua pasal tersebut, pemerintah menganggap ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1601-1603 KUHPerdata tersebut banyak yang tidak sesuai jika diterapkan dalam Hubungan Industrial Pancasila, sehingga dikeluarkanlah beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai 253 Pasal 134 HIR160 RBg menyatakan : “Tetapi dalam hal sengketa yang bersangkutan mengenai persoalan yang tidak menjadi wewenang mutlak Pengadilan Negeri, maka dalam taraf pemeriksaan mana pun kepada hakim dapat diadakan tuntutan untuk menyatakan dirinya tidak berwenang, bahkan hakim berkewajiban menyatakan hal itu karena jabatannya”. pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut, maka ketentuan Buku III KUHPerdata Bab 7A yang bertentangan dengan undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali beberapa hal yang masih ada sangkut pautnya dengan perjanjian kerja, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata masih dipergunakan sebagai pedoman. 254 Dipergunakannya sebagai pedoman menurut Sri Subiandini Gultom adalah lebih fleksibel daripada dinyatakan berlaku. 255 Apabila dilihat dari sistematikanya, Buku III KUHPerdata terdiri atas bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai oleh masyarakat dan yang sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian schenking dan sebagainya. 256 Dari sistematika tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum perburuhanketenagakerjaan merupakan suatu aturan hukum khusus lex specialis dari aturan hukum umum mengenai perjanjian pada umumnya lex generalis dalam Buku III KUHPerdata. Sifat kekhususan dari pada hukum 254 Hartono Widodo dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hal. 9-13. Undang-undang tersebut antara lain UU Nomor 1 Tahun 1951 tentang Undang-Undang Kerja, UU Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan, UU Nomor 14 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Kerja dll. 255 Sri Subiandini Gultom, Op.Cit, hal. 3. 256 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1992, hal. 127. perburuhanketenagakerjaan ini dapat juga dilihat dalam pembuatan perjanjian kerja, dimana isi dari perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak tidak boleh menyimpang dari ketentuan peraturan undang-undang ketenagakerjaan karena hukum tenaga kerja bersifat memaksa dan tidak boleh dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat perjanjian kerja. 257 Hal ini merupakan penyimpangan daripada ketentuan mengenai perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata pada umumnya yang menganut asas kebebasan berkontrak beginsel der contractsvrijheid dan merupakan hukum pelengkap aanvullend recht, bukan hukum keras atau hukum yang memaksa. 258 Oleh karena hukum perburuhanketenagakerjaan merupakan suatu aturan hukum khusus lex specialis dari aturan hukum umum mengenai perjanjian pada umumnya lex generalis dalam Buku III KUHPerdata, maka setiap permasalahan atau perselisihan yang terjadi dalam hubungan industrial di Indonesia untuk penyelesaiannya pun juga diatur dalam suatu aturan hukum yang khusus pula. Seperti dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial PPHI. 257 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 70. Disebutkan bahwa para pihak dalam perjanjian kerja tidak dapat membuat perjanjian kerja yang menyimpang dari ketentuan peraturan undang-undang ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan bersifat memaksa yaitu tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat perjanjian kerja. Perjanjian kerja adalah merupakan bagian hukum ketenagakerjaan, bukan bagian dari hukum perjanjian. Hukum perjanjian yang mengatur ketentuan umum, sepanjang tidak diatur oleh hukum ketenagakerjaan berlaku dalam perjanjian kerja, tetapi bila undang-undang ketenagakerjaan telah mengaturnya maka ketentuan tersebut bersifat memaksa, artinya tidak dapat dikesampingkan. 258 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 127-128 Sebelum dikeluarkannya UU PPHI, penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengenai perselisihan hak, menurut ketentuan UU nomor 22 Tahun 1957 ada dua badan atau instansi yang berwenang menyelesaikannya, yaitu : 259 1. melalui Pengadilan Negeri, dalam hal ini dapat diajukan oleh pengusahamajikan, pekerjaburuh maupun Serikat PekerjaBuruh dengan sanksi Perdata, dan 2. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4, hal ini dapat diajukan oleh pengusahamajikan atau perkumpulan pengusaha maupun Serikat PekerjaBuruh dengan sanksi Perdata danatau Pidana berupa kurungan selama 3 Itiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,- Pasal 26 UU Nomor 22 Tahun 1957. Sedangkan perselisihan kepentingan hanya dapat diajukan kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 dan tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri, karena tidak ada dasar hukumnya. 260 Kewenangan absolut Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 secara spesifik disebutkan dalam Pasal 1 huruf c UU Nomor 22 Tahun 1957, yaitu : 1. perselisihan perburuhan berupa pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh, 2. pertentangan itu berkenaan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, danatau keadaan perburuhan. Dari ketentuan pasal tersebut, maka Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 hanya berwenang menyelesaikan perselisihan antara majikan dan organisasi pekerja, sedangkan untuk pekerja secara perseorangan atau sekumpulan 259 Hartono Widodo dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hal. 27. 260 Loc.Cit. tenaga kerja maka penyelesaiannya hanya bisa sampai tingkat perantarapegawai perantara, dan tidak dapat dilanjutkan kesidang P4DP4P. 261 Selain itu menurut Pasal 10 dan Pasal 16 UU Nomor 22 Tahun 1957, Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk menyatakan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 dapat dijalankan dan melaksanakan putusan tersebut menurut aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan sesuatu putusan perdata. Jadi peranan Pengadilan Negeri disini adalah hanya membantu para pihak yang memohon untuk melaksanakan suatu putusan fiat eksekusi yang tidak mau dijalankan secara sukarela oleh pihak yang dihukum oleh putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4. Setelah dikeluarkannya UU Nomor 2 Tahun 2004, maka seluruh perselisihan mengenai hubungan industrial hanya ada satu lembaga peradilan yang dapat menyelesaikan atau mengadilinya yaitu Pengadilan Hubungan Industrial PHI dan tidak dapat diajukan kepada pengadilan perdata pada Pengadilan Negeri pada umumnya. Pengadilan Hubungan Industrial PHI merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 17 UU PPHI. Dan pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial PHI merupakan kelanjutan dari amanat Pasal 136 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 261 Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, editor Andi Hamzah, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 95. Lihat juga penjelasan atas UU Nomor 2 Tahun 2004 alenia ke 5 dan 6. Dengan adanya pengadilan ini PHI, maka perselisihan hubungan industrial yang terjadi antara pengusaha perorangan atau yang tergabung dalam gabungan pengusaha dengan pekerjaburuh perseorangan atau yang tergabung dalam serikat pekerjaburuh yang tidak dapat diselesaikan oleh bipartit, mediasi, konsiliasi, maupun arbitrase, maka penyelesaiannya dapat dilanjutkan melalui Pengadilan Hubungan Industrial PHI. Adapun tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial PHI adalah memeriksa dan memutus Pasal 56 UU PPHI : a. ditingkat pertama mengenai perselisihan hak ; b. ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan ; c. ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja ; d. ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja serikat buruh dalam satu perusahaan. Setelah dikeluarkannya UU PPHI, maka UU Nomor 22 Tahun 1957 dan UU Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi. Begitu juga dalam hukum kepailitan, dimana kepailitan sebagai sita umum merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan vermogenrechts. Prinsip paritas creditorium dianut oleh Buku II KUHPerdata dalam Bab 19 Pasal 1131, yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Sedangkan prinsip pari passu prorate parte dianut dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu, menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dengan demikian, maka kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang ada dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. 262 Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum kepailitian juga merupakan aturan hukum khusus lex specialis dari Buku II Bab 19 Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata tentang piutang- piutang yang diistimewakan. Oleh karenanya pengadilan yang mengadili mengenai perkara kepailitan juga merupakan pengadilan khusus yaitu Pengadilan Niaga, yang mempunyai kewenangan kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus semua permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU serta perkara lain di bidang perniagaan seperti masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual HAKI. 263 Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya dua pengadilan khusus pernah berdiri sebelum masuknya era reformasi, yaitu Pengadilan Ekonomi UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 dan Pengadilan Anak UU Nomor 3 Tahun 1997. Setelah masuknya era reformasi yang diawali dengan krisis moneter, pengadilan khusus mulai banyak 262 Hadi Subhan, Op.Cit, hal. 3-5. 263 Lihat Pasal 117 ayat 10 UU Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Pasal 38 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Pasal 30 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. didirikan. Pengadilan khusus yang pertama diera ini adalah Pengadilan Niaga, yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan dengan UU Nomor 4 Tahun 1998 dan diubah lagi dengan UU Nomor 37 Tahun 2004 , Pengadilan Pajak UU Nomor 14 Tahun 2000, Pengadilan HAM UU Nomor 26 Tahun 2000, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi UU Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU Nomor 2 Tahun 2004 dan yang terakhir yaitu Pengadilan Perikanan UU Nomor 31 Tahun 2004. Apabila dilihat dari pengaturan beberapa undang-undang yang mengatur mengenai peradilan khusus yang ada dan pernah ada tersebut, dasar pengkhususannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 264 1. Pengadilan yang kekhususannya karena hukum materiil yang menjadi ruang lingkupnya Pengadilan yang masuk dalam kategori ini yaitu Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Pajak, dan Pengadilan Perikanan. Pada keenam pengadilan ini, kompetensi absolutnya berkaitan dengan objek hukum, maksudnya setiap perkara yang termasuk dalam objek hukum tertentu menjadi wewenang pengadilan ini. Pada Pengadilan Ekonomi setiap perkara tindak pidana ekonomi menjadi wewenang Pengadilan Ekonomi, pada Pengadilan Niaga setiap perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU serta HAKI merupakan wilayah Pengadilan Niaga. 264 Asril, “Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia”, Buletin Dictum, edisi 4, tahun 2005, hal. 82. Pada Pengadilan Pajak, sengketa pajak yang menjadi ruang lingkupnya. Pada Pengadilan HAM memeriksa pelanggaran HAM berat, Pengadilan Hubungan Industrial PHI memeriksa perselisihan hubungan industrial, dan pada Pengadilan Perikanan yaitu tindak pidana perikanan yang diatur dalam UU Perikanan. Tidak ada perkara yang termasuk dalam lingkup hukum tersebut dapat diselesaikan di luar pengadilan-pengadilan khusus tersebut. 2. Pengadilan yang kekhususannya karena subjek yang terlibat Pada kategori ini, yang menjadi dasar kekhususan adalah subjek yang terlibat. Pada Pengadilan Anak, subjek yang menjadi sumber kekhususan adalah tersangkaterdakwanya dalam hal ini anak yang berusia antara 8-18 tahun. Pada Pengadilan Korupsi hanya perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saja yang dapat diperiksa dalam pengadilan ini. Sedangkan perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh pihak kejaksaan tetap diperiksa pada Pengadilan Negeri. Berdasarkan pengkhususan- pengkhususan tersebut terlihat bahwa Pengadilan Korupsi merupakan pengadilan khusus yang paling berbeda dari yang lainnya. Berdasarkan bidang hukumnya, pengadilan khusus terdiri dari : 265 1. Pengadilan khusus yang merupakan pengadilan pidana, yaitu Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Anak, Pengadilan HAM, Pengadilan Korupsi, dan Pengadilan Perikanan ; 2. Pengadilan khusus yang merupakan pengadilan perdata, yaitu Pengadilan Niaga dan pengadilan hubungan industrial PHI ; dan 265 Ibid, hal. 83. 3. Pengadilan khusus yang merupakan Pengadilan Tata Usaha Negara TUN yaitu Pengadilan Pajak. Dari hukum acara yang dipakai dalam pengadilan khusus tersebut, diatur juga beberapa hukum acara yang berbeda yang menyimpangi aturan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Pada Pengadilan HAM, Pengadilan Anak, dan Pengadilan Perikanan aturan hukum acara pidana KUHAP yang disimpangi seperti mengenai jangka waktu penahanan yang melebihi aturan KUHAP dalam Pengadilan HAM atau sebaliknya justru dipersingkat dalam Pengadilan Anak dan Pengadilan Perikanan. 266 Begitu pula pada Pengadilan Korupsi dimana misalnya dalam melakukan penyitaan tidak memerlukan izin dari ketua pengadilan. Sedangkan pada Pengadilan Niaga, PHI, dan Pengadilan Pajak, penyimpangan terhadap hukum acara perdata juga banyak dilakukan. Pada Pengadilan Niaga dan PHI tingkatan pengadilan dipangkas menjadi dua tingkat saja yaitu pada tingkat pertama dan kasasi saja, sementara untuk banding tidak ada. Pada Pengadilan Pajak, pemangkasan tersebut lebih drastis lagi, putusan Pengadilan Pajak pada tingkat pertama merupakan putusan yang bersifat final yang tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi lagi, kecuali dalam hal tertentu peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung. Tujuan dari pemangkasan tingkatan pengadilan tersebut adalah untuk membuat proses penyelesaian sengketa dispute menjadi lebih cepat. 267 266 Loc.Cit. 267 Ibid, hal. 84

B. Pengadilan Yang Berwenang Dalam Mengadili Tuntutan PekerjaBuruh

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

3 84 83

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2

7 174 169

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Dalam Hukum Merek Di Indonesia

0 23 150

Kedudukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee) dengan Pembebanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby)

2 11 9

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Asing di Indonesia (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)

1 16 0