a. jika 2 dua pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang
sama; b.
jika 2 dua pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
Tetapi baik Pasal 33 ayat 1 maupun Pasal 56 UU Nomor 5 Tahun 2004 tersebut tidak secara tegaseksplisit mengatur mengenai sengketa kewenangan
mengadili antara lingkungan peradilan umum Pengadilan Negeri dengan pengadilan khusus atau antara pengadilan khusus dengan pengadilan khusus lainnya, misalnya
antara Pengadilan Niaga dengan Pengadilan Hubungan Industrial. Mengenai lembaga mana yang berwenang untuk mengadili perkara tuntutan
pekerjaburuh terhadap pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan tempatnya bekerja, ada beberapa pendapat yaitu :
1. M. Hadi Subhan membedakannya sebagai berikut :
272
A. Tuntutan pekerjaburuh dalam perusahaan yang sedang pailit
Dalam kasus seperti ini, menurut M. Hadi Subhan memang terdapat dualisme kewenangan pengadilan yang mengadili, pertama merupakan wewenang
Pengadilan Niaga karena berdasarkan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun
2004 dinyatakan bahwa : “Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan garis bawah dan tebal oleh M. Hadi Subhan
danatau diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang
272
Wawancara dengan M. Hadi Subhan, dosen ahli Hukum Kepailitan dan Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, melalui email : hadi_unairyahoo.com.
daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor”. Perkara tuntutan pekerja mengenai hak-hak normatifnya pada perusahaan yang pailit
adalah melalui prosedur renvoi renvooi procedure. Sementara itu Pengadilan Hubungan Industrial PHI juga bisa mengadili tuntutan hak buruh pada
perusahaan yang sedang pailit berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2004. Terhadap pendapat ini, penulis tidak sependapat dengan alasan bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUK dan PKPU, maka dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap debitor, segala tuntutan hukum di
pengadilan yang diajukan terhadap debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang
berjalan, gugur demi hukum, sehingga upaya pekerjaburuh untuk menuntut haknya melalui Pengadilan Hubungan Industrial tentunya akan sia-sia karena
secara otomatis tuntutannya akan menjadi gugur demi hukum.
B. Permohonan pailit oleh buruh terhadap perusahaannya
Dalam hal ini, buruh memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit jika terdapat hak yang tidak dipenuhi seperti upah yang tidak dibayar,
pesangon yang tidak dibayar ketika di PHK, karena menurut Pasal 1139 dan 1149 KUHPerdata pekerjaburuh juga dapat berkedudukan sebagai kreditor
yaitu sebagai kreditor preferen. Sebagai kreditor preferen, maka menurut penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 pekerjaburuh
berwenang mengajukan permohonan pailit. Hal ini sama juga jika ada seorang yang melakukan wanprestasiperbuatan melawan hukum, maka untuk
mengajukan permohonan pailit tidak perlu ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu, demikian juga meskipun ada klausula arbitrase di dalam perjanjian
para pihak, maka bisa langsung mengajukan permohonan pailit tanpa perlu ke arbitrase dulu karena kepailitan adalah lex specialis dari hal tersebut.
Seandainya harus ditempuh jalur biasa dulu maka tidak akan ada manfaatnya permohonan kepailitan tersebut, karena harus menunggu waktu yang lama
padahal filosofi kepailitan adalah sarana untuk jalan keluar terhadap debitor yang tidak membayar utangnya. Selain itu M. Hadi Subhan juga memberikan
jalan keluar dengan cara pekerjaburuh melakukan gugatan terlebih dahulu ke Pengadilan Hubungan Industrial PHI mengenai jika ada haknya yang belum
terpenuhi, dan jika PHI sudah menetapkan hak buruh tetapi perusahaan tidak mau menjalankannya maka pekerjaburuh bisa mengajukan permohonan
pernyataan pailit seperti kasus PT. Dirgantara Indonesia. Dari jalan keluar yang berikan oleh M. Hadi Subhan tersebut, penulis
juga tidak sependapat karena apabila suatu perkara sudah diperiksa dan diputus oleh pengadilan yang berwenang, maka terhadap pelaksanaan
putusannya juga harus melalui pengadilan yang telah menjatuhkan putusan tersebut, dimana hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 195 ayat 1
HIR206 ayat 1 RBg yang menyebutkan : “Hal menjalankan keputusan oleh pengadilan dalam perkara yang mula-mula
diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dilakukan atas perintah dan dengan
pimpinan ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal di bawah ini”.
2. Agusmidah berpendapat bahwa tidak dibayarnya upah atau uang pesangon dari
pekerjaburuh merupakan perselisihan hak yang termasuk dalam sengketa perselisihan hubungan ketenagakerjaan dan untuk menyelesaikannya telah ada
mekanismenya tersendiri. Sebelum adanya UU PPHI, mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan ketenagakerjaan diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yaitu dengan melalui proses bipartit, tripartit, P4D, P4P, bahkan sampai kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara. Tetapi setelah adanya UU PPHI, UU Nomor 22 Tahun 1957 tersebut kemudian dihapuskan tetapi mekanisme penyelesaian perselisihan yang terjadi
dalam hubungan ketenagakerjaan tidak jauh berbeda yaitu harus didahului dengan proses penyelesaian secara bipartit, dimana apabila penyelesaian secara bipartit
ternyata gagal maka proses selanjutnya adalah melalui tripartit yaitu melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Dan apabila penyelesaian melalui tripartit juga
menemui kegagalan barulah para pihak bisa melanjutkan penyelesaiannya melalui mekanisme litigasi yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pengajuan
tuntutan pekerjaburuh mengenai pembayaran upah atau uang pesangon terhadap perusahaannya melalui permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga juga
dikhawatirkan tidak dapat memenuhi unsur dari Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU sehingga permohonan tersebut dapat ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga,
apalagi apabila tuntutan tersebut hanya diajukan oleh beberapa orang pekerjaburuh saja.
273
3. Agus Subroto berpendapat Pengadilan Niaga berwenang mengadili tuntutan
pekerjaburuh terhadap upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan asal memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1
UUK dan PKPU.
274
4. Ibnu Affan berpendapat bahwa upah pekerjaburuh yang tidak dibayar oleh
perusahaan tempatnya bekerja merupakan suatu perselisihan hak. Sedangkan tuntutan pekerjaburuh terhadap uang pesangon akibat adanya pemutusan
hubungan kerja PHK termasuk dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja. Sehingga yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerjaburuh terhadap upah
atau uang pesangon akibat adanya pemutusan hubungan kerja PHK adalah Pengadilan Hubungan Industrial PHI.
275
Dari beberapa pendapat baik dari akademisi maupun praktisi di atas, penulis
lebih condong kepada pendapat bahwa yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili tuntutan pekerjaburuh atas upah maupun uang pesangon yang tidak
dibayar oleh perusahaan tempatnya bekerja adalah Pengadilan Hubungan Industrial dengan alasan yaitu apabila dilihat dari ketentuan Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun
273
Wawancara dengan Agusmidah, Dosen dan Ahli Hukum Ketenagakerjaan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada tanggal 13 Agustus 2009.
274
Wawancara dengan Agus Subroto, mantan hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat dan mantan Ketua Pengadilan Negeri Tanjung pinang Kepulauan Riau yang sekarang
menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri dan Niaga Semarang, pada tanggal 15 Juli 2009.
275
Wawancara dengan Ibnu Affan, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial PHI pada Pengadilan Negeri Medan, tanggal 11 Juli 2009.
2003 yang mengatur mengenai kadaluarsanya suatu tuntutan pembayaran upah pekerjaburuh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah setelah
melampaui jangka waktu 2 dua tahun sejak timbulnya hak. Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2003 :
“Tuntutan pembayaran upah pekerjaburuh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 dua
tahun sejak timbulnya hak”. Selain itu dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan :
“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.
Dalam penjelasan Pasal 2 huruf a juga disebutkan : “Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan”.
Salah satu hak normatif yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah hak bagi pekerjaburuh untuk memperoleh penghasilan upah sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 88 – Pasal 98. Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tuntutan pembayaran upah
pekerjaburuh dan segala pembayarannya yang timbul dari hubungan kerja harus diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial PHI, karena Pengadilan
Hubungan Industrial PHI yang dibentuk berdasarkan UU PPHI sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 136 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003
merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengimplementasikan dan mempertahankan aturan-aturan hukum sebagai hukum formil yang terdapat dalam
UU Nomor 13 Tahun 2003 sebagai hukum materiilnya. Begitu juga apabila dilihat dari subjek yang diatur dalam UU PPHI adalah lebih spesifik, yaitu pengusaha
perusahaan atau gabungan pengusaha perusahaan dengan pekerjaburuh atau serikat pekerjaburuh.
Selain itu pekerjaburuh yang juga berkedudukkan sebagai kreditor istimewa yang dalam UUK dan PKPU disebut sebagai kreditor preferen tidak mempunyai
hak untuk memulai prosedur hukum untuk melaksanakan hak mereka, mereka hanya diwajibkan untuk mengajukan tagihan mereka pada kurator untuk dicocokkan
sehingga kreditor istimewa dibebani segala biaya kepailitan secara prorata parte.
276
C. KelebihanKeuntungan Menggunakan Pengadilan Hubungan Industrial