Secara Teoritis Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga

1. Secara Teoritis

a. Apabila nilai gugatan dibawah Rp. 150.000.000,00,- seratus lima puluh juta maka pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial Pasal 58 UU PPHI. Sedangkan apabila tuntutan diajukan ke Pengadilan Niaga, pekerjaburuh akan dikenakan biaya pendaftaran permohonan yang besarnya tergantung dari jarak panggilan para pihak yang berperkara. 277 b. Hakim PHI yang memeriksa perkara selain terdiri dari hakim karir sebagai ketua majelis, juga terdiri dari hakim ad-hoc yang berasal dari unsur serikat pekerjaserikat buruh dan dari unsur organisasi pengusaha Pasal 88 ayat 1 dan 2 juncto Pasal 63 ayat 2 UU PPHI, yang diharapkan menguasai bidangnya masing-masing dengan lebih baik sehingga putusan yang dijatuhkan juga diharapkan dapat lebih tepat dan lebih memberikan rasa keadilan kepada masing-masing pihak. c. Kemungkinan besar penuntutan hak pekerjaburuh atas upah beserta hak-hak lain melalui PHI lebih dapat dipenuhi dibandingkan melalui Pengadilan Niaga, karena seluruh harta perusahaan menjadi sumber pelunasan utang dan hasil bersih eksekusi harta perusahaan dipakai untuk membayar tuntutan pekerjaburuh terhadap upah atau uang pesangon tersebut. Hal ini berbeda apabila tuntutan diajukan ke Pengadilan Niaga, walau permohonan 277 Menurut Agus Subroto, saat bertugas sebagai hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, biaya pendaftaran permohonan pernyataan pailit adalah sebesar Rp. 5 juta untuk tingkat pertama dan Rp. 10 juta untuk tingkat kasasi. pekerjaburuh untuk mempailitkan perusahaan tempatnya bekerja dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, tetapi hak pekerjaburuh berupa upah yang belumtidak dibayar oleh perusahaan yang telah dinyatakan pailit tersebut hanya menduduki peringkat keempat setelah utang pajak, kreditor separatis sebagai pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik, dan kreditor preferens dengan privilege khusus, 278 maupun untuk upah kurator, sehingga kadang-kadang sisa harta perusahaan tidak cukup untuk membayar upah pekerjaburuh karena telah dibagikan terlebih dahulu dengan pihak-pihak tersebut. Sedangkan bagi pengusaha perusahaan apabila tuntutan pekerjaburuhnya tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Niaga maka demi hukum ia kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan Pasal 24 ayat 1 UUK dan PKPU. d. Pasal 96 ayat 1 UU PPHI menentukan bahwa dalam persidangan pertama, pekerjaburuh dapat memohon kepada majelis hakim agar segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha perusahaan untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang seharusnya diterima oleh pekerjaburuh yang bersangkutan. Dan majelis hakim harus mengabulkan permohonan tersebut apabila secara nyata-nyata pihak pengusaha perusahaan terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003. Dan selama pemeriksaan sengketa masih 278 Lihat Siti Anisah, Op.Cit, hal. 350. berlangsung, putusan sela tersebut tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha perusahaan, maka dilakukan sita jaminan dalam sebuah penetapan dimana baik putusan sela maupun penetapan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum Pasal 96 ayat 3 dan 4 UU PPHI. e. Waktu penyelesaian perkara melalui PHI relatif lebih cepat dari penyelesaian melalui Pengadilan Niaga dimana apabila melalui PHI, maka putusan harus diucapkan selambat-lambatnya 50 lima puluh hari kerja terhitung sejak sidang pertama Pasal 103 UU PPHI sedangkan apabila melalui Pengadilan Niaga, putusan dijatuhkan paling lambat 60 enam puluh hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan Pasal 8 ayat 5 UUK dan PKPU. f. Sama halnya dengan kepailitan, terhadap putusan PHI tidak ada upaya hukum banding tetapi langsung kasasi Pasal 110 UU PPHI dan dalam putusan PHI juga dapat diperintahkan agar dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun putusan PHI diajukan perlawanan atau kasasi uitvoerbaar bij voorraad Pasal 108 UU PPHI.

2. Secara Praktis

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

3 84 83

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2

7 174 169

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Dalam Hukum Merek Di Indonesia

0 23 150

Kedudukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee) dengan Pembebanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby)

2 11 9

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Asing di Indonesia (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)

1 16 0