D. Manfaat Penelitian
Dengan terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan sejumlah
manfaat teoritis maupun manfaat secara praktis. Manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan
guna pengembangan Hukum KetenagakerjaanPerburuhan maupun Hukum Kepailitan khususnya dalam beracara di pengadilan, sedangkan manfaat secara
praktis adalah untuk memberikan masukan bagi para buruhpekerja maupun pengusaha agar dapat memilih pengadilan yang tepat untuk menyelesaikan
permasalahannya sehingga asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dapat tercapai. Selain itu diharapkan agar tercapainya persamaan persepsi dari hakim
yang memutus perkara tersebut sehingga asas kepastian hukum yang didamba- dambakan oleh para pencari keadilan yustisiabelen dapat terpenuhi.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi dan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara baik untuk program studi ilmu hukum maupun program studi kenotariatan, bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai Kewenangan
Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan PekerjaBuruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan Pailit. Jadi penelitian ini adalah asli
karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan problem yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat
kerangka berpikir dalam penulisan.
45
Satjipto Raharjo mengatakan bahwa teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.
46
Demikian pula menurut Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai
serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.
47
Pentingnya kerangka teori menurut Ronny Hanitijo adalah setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan
karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data dan analisis data.
48
45
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994, hal. 80.
46
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hal. 224.
47
Ibid
48
Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 41.
Bertitik tolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka pemikiran teoritis sebagai landasan konsepsional pendekatan masalah penelitian
dapat disusun menggunakan teori, konsep, asas-asas dan pendapat-pendapat ilmuwan yang dinilai relevan untuk membuat jernih dan atau memecahkan suatu masalah yang
diteliti. Sebagai negara hukum rechtsstaat, maka setiap warga negara Indonesia dan
alat negaranya harus bertindak dan terikat pada aturan yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang.
49
Hal ini dapat diartikan juga bahwa apabila terjadi suatu perselisihan, dan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara
kekeluargaan, maka pihak yang merasa
50
dirugikan haknya tidak boleh menyelesaikannya dengan cara menghakimi sendiri eigenrichting, akan tetapi harus
diselesaikan melalui pengadilan.
51
Pihak yang merasa dirugikan haknya dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana
mestinya. Tugas pengadilan hakim dalam menyelesaikan suatu sengketaperselisihan adalah mengimplementasikan aturan-aturan hukum
menyangkut perkara yang diajukan.
52
49
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di luar Pengadilan, Op.Cit, hal. 8.
50
Dipakainya perkataan “merasa” dan :dirasa”, oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sesungguhnya melanggar hak penggugat.
Lihat. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1989,
hal. 1.
51
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta: Pustaka Kartini, 1988, hal. 21.
52
Implementasi dari aturan hukum tersebut tergantung dari perkara yang diajukan ke pengadilan apakah merupakan perkara pidana atau perdata. Apabila perkara yang diajukan merupakan
perkara pidana, maka aturan hukum yang digunakan dapat berupa KUHP, KUHAP, atau aturan lain di luar KUHP dan KUHAP seperti UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah-kaidah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena diperlakukan bagi setiap orang, dan
normatif karena menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah
tersebut.
53
Dari sudut fungsinya, hukum mencakup hukum substantif hukum materiil dan hukum ajektif hukum acara; hukum formil.
54
Hukum materiil yang termuat dalam suatu bentuk perundang-undangan merupakan pedoman atau pegangan bagi
seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup, baik itu perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apa yang boleh
dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan. Sedangkan proses penegakan hukum materiil erat kaitannya dengan hukum formil atau hukum acara, karena fungsi
dari hukum acara adalah untuk mengatur cara mempertahankan dan menerapkan hukum materiil.
Dikeluarkannya UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 136 ayat 2 UU
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan : “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
Korupsi, UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dll. Apabila perkaranya merupakan perkara perdata, maka aturan yang digunakan dapat berupa KUHPerdata, KUHD, RBg, HIR, dll.
53
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 31.
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 5-6.
melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang”.
Jadi dapat dikatakan bahwa UU Nomor 2 tahun 2004 merupakan suatu
mekanisme untuk mengimplementasikan dan mempertahankan aturan-aturan hukum yang terdapat dalam UU Nomor13 tahun 2003.
Tata cara mekanisme mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiil ini, merupakan salah satu subsistem yang penting kalau tidak dapat dikatakan yang
terpenting dalam keseluruhan sistem peradilan. Seluk beluk bagaimana caranya menyelesaikan suatu perkara melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam hukum
acara.
55
Hukum formil atau hukum acara pada umumnya tidaklah membebani hak dan kewajiban seperti yang termuat dalam hukum materiil. Hukum acara memuat aturan-
aturan untuk menjamin pelaksanaan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum materiil, yaitu melalui pengaturan seperti cara mengajukan tuntutan hak, proses
pemeriksaan, dan memutus perkara serta pelaksanaan putusan. Pada pokoknya hukum acara sebagai hukum formil mengatur tata cara pengadilan dalam
mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiil yang menyangkut perkara yang diajukan.
Bila ada hukum materiil yang dilanggar siapakah yang harus melaksanakan atau menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Apakah kita berhak sendiri-sendiri
melaksanakan aturan tersebut ataukah harus oleh suatu badan tertentu yang telah
55
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hal 8-9.
ditunjuk secara resmi. Jika hukum materiil dilaksanakan sendiri-sendiri menurut kehendak pihak yang bersangkutan, maka akan timbullah apa yang dikenal dengan
istilah “main hakim sendiri eigenrichting”. Inilah yang justru sangat dikhawatirkan, karena ketertiban dalam masyarakat, juga merupakan salah satu tujuan dari hukum.
Dalam usahanya mengatur, hukum menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya, berusaha mencari
keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi masyarakat. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyebabkan
terjadinya konflik antara kepentingan perorangan dengan perorangan atau antara kepentingan perorangan dengan masyarakat, maka hukum berusaha menampung
ketegangan atau menyelesaikan konflik tersebut.
56
Masing-masing hukum mempunyai tujuan yang spesifik, misalnya hukum pidana tentunya mempunyai tujuan yang spesifik jika dibandingkan dengan hukum
perdata, demikian pula hukum formil mempunyai tujuan yang spesifik jika dibandingkan dengan hukum materiil dan bidang-bidang hukum lainnya.
57
Dari keseluruhan aliran mengenai tujuan hukum, maka dapat diklasifikasikan ke dalam 3 aliran konvensional, yaitu :
58
1. Aliran etis yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-
mata untuk mencapai keadilan. 2.
Aliran utilitas yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan.
56
Ibid, hal.31-32.
57
Ibid, hal. 35.
58
Ibid, hal. 35-36.
3. Aliran normatif-dogmatik yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum
adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
Mengacu pada beberapa aliran mengenai tujuan hukum tersebut, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum, karena
penegakkan hukum atau penerapan hukum melalui proses pengadilan merupakan unsur yang penting untuk mencapai kepastian hukum.
59
Dengan adanya kewenangan mengadili kompetensi yang jelas antara pengadilan hubungan industrial PHI dan Pengadilan Niaga akan memberikan
kepastian bagi pekerjaburuh dalam menuntut haknya berupah upah atau pun uang pesangon akibat adanya pemutusan hubungan kerja PHK oleh perusahaan
tempatnya bekerja. Memberikan kepastian hukum bagi pekerjaburuh dalam menuntut haknya
khususnya berupa upah atau pun uang pesangon merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat sebagai tenaga kerja, pekerjaburuh memiliki
peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku actor dalam mencapai tujuan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan
untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta
59
Bagir Manan, Membangun kepastian hukum yang benar dan adil, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2004, hal. 84. Bagir Manan menyebutkan bahwa : Penegakkan hukum melalui proses
peradilan bukan satu-satunya cara untuk mencapai kepastian hukum, masih banyak komponen- komponen lain yang mempengaruhi kepastian hukum antara lain peraturan perundang-undangan,
pelayanan birokrasi, proses peradilan, kegaduhan politik, dan kegaduhan sosial.
melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
60
Dan adanya kewenangan mengadili yang jelas juga memberikan satu ukuran yang dapat dijadikan pegangan bagi pengusaha dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Khususnya apabila dihubungkan dengan kegiatan untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di Indonesia sebagai penunjang pembangunan,
karena investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Dan salah satu faktor yang harus dipersiapkan jika ingin menarik minat
investor agar datang untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah adanya perangkat hukum yang jelas. Artinya antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya
yang berkaitan tidak saling berbenturan.
61
Patut disayangkan ialah bahwa sering kali keinginan untuk mengatur kegiatan perekonomian itu demikian tinggi, dimana peraturan-peraturan yang dibuat itu
kadang-kadang sedemikian banyaknya, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan kekaburan akan hukum yang berlaku.
62
Adanya kekaburan akan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentu sedikit banyaknya akan berpengaruh pula pada putusan-putusan yang dikeluarkan
oleh badan peradilan, mengingat bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang menganut sistem hukum civil law dimana kodifikasi merupakan sumber hukum yang
60
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif Dan Operasional, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005, hal. 1.
61
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi: Pembahasan Dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Bandung: Nuansa Aulia, 2007, hal.31-33.
62
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, Cet.1, hal. 154-155.
digunakan oleh pengadilan dalam memutus sebuah perkara.
63
Sementara putusan- putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan juga menjadi bahan pertimbangan lain
investor dalam melakukan investasinya di Indonesia. Sebab persepsi badan keuangan dan investor internasional yang hendak turut memulihkan perekonomian Indonesia
jelas akan dipengaruhi oleh putusan yang diberikan badan peradilan di Indonesia, sehingga badan peradilan di Indonesia dituntut agar menjadi badan peradilan yang
andal reliable judiciary.
64
Hal ini sejalan juga dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa tidak hanya kaidah hukum atau peraturan hukum, tetapi juga
lembaga atau institusi dan proses, mempunyai andil yang besar dalam menunjang tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan.
65
Selain itu Brug’s menyatakan bahwa terdapat 5 lima unsur yang harus dikembangkan supaya hukum tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas stability,
prediksi predictability, keadilan fairness, pendidikan education, dan pengembangan khusus bagi para sarjana hukum the special development abilities of
the lawyer. Burg’s menjelaskan bahwa unsur pertama dan kedua merupakan prasyarat agar sistem perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Dalam hal ini,
stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing conflict of interest, sedangkan prediksi merupakan suatu
63
Lihat Bismar Nasution, “Reformasi Pendidikan Hukum Untuk Menghasilkan Sarjana Hukum Yang Kompeten dan Profesional”, http:www. Bismarnasty.com. diakses tanggal 23 Januari
2008.
64
Charles Himawan, Op.Cit, hal.35-36.
65
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum dalam Pembangunan, Jakarta: Bina Cipta, 1976, hal.7. Menurut beliau hukum secara luas tidak hanya kaidah, tetapi juga institusi dan proses.
kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan perekonomian suatu negara. Begitu juga dengan pendapat J.D. Ny Hart yang
mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu predictability, procedural capability, codification of goals, education, balance,
definition and clarity of status serta accommodation.
66
Dengan adanya hukum yang baik diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohamidjojo : Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa
kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai, dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku
seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimiliknya, bila penyelenggaraan
hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya
sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama.
67
Wujud kepastian hukum pada umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang mempunyai otoritas untuk itu. Namun ada juga pandangan
lebih luas yang dikemukakan oleh J.M. Otto :
68
Kepastian hukum nyata sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum yuridis, namun sekaligus lebih dari itu. Saya mendefinisikannya sebagai
kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu : 1
tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh accessible, diterbitkan oleh atau diakui karena kekuasaan negara;
66
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Op.Cit, hal.37-38.
67
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problema Filsafat Hukum, Jakarta: Grasindo, 1999, hal.150-151.
68
J.M. Otto dalam Sentosa Sembiring, Op.Cit, hal. 39
2 bahwa instansi-instansi penguasa pemerintahan menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten juga tunduk dan taat terhadapnya; 3
bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas warga negara menyetujui muatan isi dank arena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap
aturan-aturan tersebut;
4 bahwa hakim-hakim peradilan yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan
5 bahwa keputusan peradilan secara konsisten dilaksanakan.
Menurut Sentosa Sembiring, hal menarik dari pandangan yang dikemukakan oleh guru besar ilmu hukum Universitas Leiden ini, yaitu apabila hakim sudah
memutus satu kasus, maka putusan tersebut secara konkret harus dilaksanakan. Jadi yang menjadi kata kunci dalam menjaga terciptanya kontinuitas kepastian hukum
berada di tangan hakim atau lembaga peradilan yang harus berwibawa.
69
Hukum yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen akan memberikan keadilan dan
kepastian hukum yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri.
70
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kepastian hukum, maka akan memberikan pertimbangan bagi investorpengusaha
dalam memprediksikan putusan-putusan yang akan dikeluarkan oleh badan peradilan hakim sehingga investorpengusaha mendapat jaminan terhadap kelangsungan
usahanya di Indonesia. Selain itu dalam penelitian ini juga akan dilihat bagaimana hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan oleh pekerjaburuh untuk
menuntut haknya baik berupa upah atau pun uang pesangon terhadap perusahaan
69
Ibid, hal. 39-40.
70
Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Pidato disampaikan pada Dies Natalis dan
Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, Depok, tanggal 5 Februari 2000, hal. 6.
tempatnya bekerja, sehingga dalam penelitian ini juga digunakan teori mengadili menurut hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Bagir Manan menyimpulkan beberapa patokan sebagai makna mengadili menurut hukum, yaitu :
71
1 Mengadili menurut hukum merupakan salah satu asas mewujudkan Negara
berdasarkan atas hukum. Setiap putusan hakim harus mempunyai dasar hukum – substantif dan prosedural – yang telah ada sebelum perbuatan melawan dan
pelanggaran hukum terjadi.
2 Hukum, dalam mengadili menurut hukum harus diartikan luas melebihi
pengertian hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum – dalam kasus atau keadaan tertentu – meliputi pengertian-pengertian yang mengikat pihak-pihak, kesusilaan
yang baik dan ketertiban umum geode zeden en openbaar orde, termasuk asas- asas hukum.
3 Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum yang dipertimbangkan
dalam putusan hakim, tetapi tidak selalu harus diikuti, karena kemungkinan “the living law” justru harus dikesampingkan karena tidak sesuai dengan tuntutan
sosial baru.
4 Sesuai dengan tradisi hukum yang berlaku, hakim wajib mengutamakan
penerapan hukum tertulis, kecuali kalau akan menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum. Hakim bukan mulut atau
corong undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan.
Dari sudut pandang mengadili menurut hukum, upaya menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dilakukan pertama-tama dengan
menemukan hukum rechtsvinding. Apabila dipandang perlu, menciptakan hukum. Menemukan hukum bertolak dari asumsi hukumnya sudah ada, sedangkan
menciptakan hukum bertolak dari asumsi hukum belum ada. Tetapi keduanya
71
Bagir Manan, “Hakim dan Pemidanaan”, Varia Peradilan, Tahun ke XXI, Nomor 249 Agustus 2006, Jakarta: IKAHI, hal. 17.
memiliki peran yang sama yaitu menemukan hukum sebagai dasar untuk memutus, agar dipenuhi syarat mengadili atau memutus menurut hukum. Bukan sebaliknya,
dengan putusan akan tercipta hukum.
72
Dalam sistem hukum civil law sebagaimana yang dianut oleh Indonesia, hukum tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum. Dalam paham
civil law dikatakan bahwa hukum adalah identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum, diakui sebagai hukum apabila undang-
undang menunjuknya.
73
Selanjutnya dikatakan juga bahwa undang-undang kodifikasi justru diadakan untuk membatasi hakim, yang karena kebebasannya telah
menjurus kearah kesewenang-wenangan atau tirani.
74
Dari sejumlah pengamat peradilan ahli hukum dan bukan ahli hukum, acap kali diperdengarkan ungkapan “hakim terlalu legalistik, sehingga putusan tidak
mencerminkan rasa keadilan masyarakat”. Selain bermaksud menggambarkan hakim selalu berpikir sempit, berkapasitas rendah, ungkapan tersebut sebagai cara tidak
langsung membangun juga gambaran bahwa putusan semacam itu adalah alat melakukan KKN. Rasa keadilan masyarakat yang diemban para pengamat dalam hal
tertentu mengusung beberapa misi, misalnya kepentingan investasi asing, hakim
72
Ibid, hal. 21.
73
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 10.
74
J.A. Pontier, “Penemuan Hukum Rechtsvinding”, diterjemahkan oleh B. Arief Shidarta Untuk digunakan secara terbatas hanya untuk kalangan sendiri, Laboratorium Hukum Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, 2000, hal. 54. Disana dikatakan: Kodifikasi sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan para hakim. Kodifikasi hukum mengimplementasikan
bahwa tugas pengembangan hukum secara formal dibebankan kepada pembentuk undang-undang, dan bukan hakim.
harus menjadi mulut kehendak para penuntut seperti seorang wajib dinyatakan bersalah, menghukum yang lebih berat dan lain sebagainya.
75
Tanpa mengurangi kenyataan, bahwa telah terjadi berbagai putusan tidak atau kurang memuaskan, tingkah laku sebagian hakim yang mengecewakan, ungkapan
“hakim terlalu legalistik” atau ungkapan lain yang senada, justru “misleading”, karena :
76
1 dari berbagai putusan yang ditengarai kurang tidak memuaskan, bukan karena
hakim bersifat legalistik, melainkan justru karena tidak menjalankan asas legalitas dengan tepat dan benar, baik dalam menerapkan hukum materil maupun hukum
acara. Perkara-perkara pidana yang dibebaskan atau putusan Pengadilan Niaga atau keperdataan pada umumnya yang kemudian dikoreksi Mahkamah Agung,
pada umumnya bukan karena majelis hakim terlalu legalistik melainkan karena dijumpai kurangnya hakim berpegang dan menerapkan asas legalistik secara tepat
dan benar.
2 salah pengertian mengenai makna asas legalistik yang dicampuradukkan dengan
paham legisme. Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, asas legalistik merupakan suatu condition sine quanon untuk menjamin peradilan dijalankan dan
penetapan putusan semata-mata atas dasar ketentuan hukum, bukan atas kehendak perorangan yang mungkin menyalahgunakan kekuasaan atau bertindak sewenang-
wenang
3 selain sebagai instrumen negara berdasarkan atas hukum, mengadili menurut
hukum merupakan kendali terhadap asas kebebasan hakim. Tanpa kewajiban mengadili menurut hukum, hakim yang bebas dapat bertindak sewenang-wenang
dalam memutus suatu perkara. Selain itu, tanpa kewajiban mengadili menurut hukum, melainkan atas dasar kenyataan atau rasa keadilan masyarakat, dapat pula
menggerogoti tuntutan konsistensi putusan dan kepastian hukum. Meskipun hakim tidak boleh sekedar menjadi mulut undang-undang, tetapi juga tidak boleh
menjadi mulut dirinya sendiri dengan menggunakan yargon memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hanya ada satu kewajiban hakim yaitu menerapkan hukum
secara tepat dan benar demi mewujudkan keadilan atau memberi kepuasan pada pencari keadilan.
75
Bagir Manan, “Hakim dan Pemidanaan”, Op.Cit, hal. 18.
76
Ibid, hal. 18 – 19.
Dalam sudut pandang teori atau filsafat hukum, nilai hukum dan rasa keadilan, bukan saja aneka ragam tapi dapat bertentangan satu sama lain. misalnya
nilai kepastian hukum yang menuntut keseragaman dapat bertentangan dengan rasa keadilan yang menuntut ketidakseragaman karena perbedaan status atau keadaan
sosial pencari keadilan dan lain-lain. Demikian pula nilai hukum mengenai bagaimana semestinya peranan hukum dalam masyarakat, nilai baik dan buruk, dan
lain sebagainya sangat tergantung pada cara pandang mengenai hukum dan aliran hukum yang dianut. Salah satu indikator pelaksanaan kewajiban hakim
memperhatikan nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah upaya membuat putusan yang mampu memberi kepuasan kepada para pencari
keadilan. Kepentingan masyarakat tidak boleh mengorbankan kepentingan pencari keadilan. Namun kepuasan tersebut tidak boleh mengorbankan kewajiban mengadili
menurut hukum dan kepastian hukum.
77
2. Landasan Konsepsional